Diam - Cerpen Pendidikan

DIAM
Karya Wika G Wulandari

“Selamat pagi anak-anak.” Laki-laki renta yang dibalut kemeja kotak-kotak itu menyapa kami yang tampak kurang pandai dengan seragam putih abu-abu. Senyum sumringah terlihat begitu menawan didepan papan tulis putih bisu.
“Kalian tahu kan? Hari ini kita kedatangan Mentri Pendidikan?” dia bertanya, masih dengan sumringahnya.

Kami tidak menjawab, hanya mengangguk. Hari itu, hanya kelas kami yang begitu dibedakan. Bagaimana tidak? Hari itu hari rabu dan kami seharusnya mengenakan pakaian batik bukannya seragam putih abu-abu yang gres kucuci kemarin. Kami juga dibedakan alasannya yakni kami yang paling pintar. Pemikiran yang menyesatkan.
“Bapak harap kalian sanggup memperlihatkan kesan yang menyenangkan untuk mendapatkan tamu kita nanti. Bila ada pertanyaan, kalian sanggup mengajukan pada beliau.” Laki-laki itu menutup pembicaraan dengan senyumnya yang menawan.

DIAM
Ruang depan kelas itu kosong. Keheningan mulai merayap. Keadaan ini juga bab dari skenario. Kami dituntut untuk tidak mengeluarkan bunyi bila tidak ada keperluan. Dan sekali lagi kami tampak sangat kurang pandai dengan wajah tegang yang dicampur kepolosan palsu.

Semua mata terarah padanya. Sepatunya yang mengkilap menginjak lantai keramik kelas kami dengan bunyi yang berirama. Baju yang dia kenakan terbuat dari katun berkualitas disemprot lima jenis parfum. Kami semakin tegang. Tatapannya ramah ketika dia mengedarkan pandangannya keseluruh sudut kelas. Sudut bibirnya sedikit terangkat ketika tatapan matanya menangkap sosok Winda. Dan sanggup kulihat Winda semakin tegang ketika tatapan itu bertahan lama.
“Selamat pagi, wahai generasi muda Indonesia.” Dia menyapa kami dengan senyuman hangat seorang ayah. Aku terbuai, jujur.
“Apa kabar anak-anakku?” pandangannya sengaja dia tajamkan.

Kami diam. Tak ada yang menjawab dan keheningan itu menggantung selama lima detik. Hingga hasilnya Winda bersuara pelan.
“Kami baik-baik saja.” Katanya kaku. Sebenarnya itu bukan tanggapan yang sempurna alasannya yakni tidak sesuai dengan isi skenario. Harusnya kami menjawab dengan senyuman yang lebar dan menyampaikan bahwa kami sangat baik hari itu. Sepertinya kami menyadari bahwa bab itu akan menciptakan kami lebih konyol lagi.
“Wah, itu tanggapan yang sangat menyenangkan. Siapa namamu?”
“Winda.” Jawaban singkat juga tidak pernah ada dalam skenario hari itu.
Aku hanya diam memandangi percakapan mereka yang tampak kaku. Laki-laki paruh baya yang tengah duduk santai didepan kami begitu gembiranya melihat kami menjalani skenario menyedihkan ini.

Sekolah itu menyedihkan. Kami dipaksa untuk terus mencar ilmu dan belajar. Kadang kelas kami menjadi materi olok-olokan bagi mereka yang merasa dikucilkan oleh guru-guru. Kami pandai bukan berarti kami harus dibandingkan dengan mereka yang ‘bodoh’. Bahkan kami punya kantin tersendiri dan makanan yang tersedia dikantin khusus itu sangatlah tidak menyenangkan. Kami ingin bebas dan mereka memperlihatkan kebebasan itu. Namun bebas dalam presepsi guru-guru sangatlah berbeda dengan bebas dalam kutipan kami.

Kami diharuskan pulang dua jam lebih usang dari biasanya. Dan dua jam ekstra itu kami isi dengan les perhiasan walaupun nilai kami bagus. Kebebasan itu mulai mengetat ketika kami naik tingkat, kelas XII. Bahkan setiap selesai ahad kami diwajibkan untuk tetap bersekolah. Hanya satu tujuan para guru, biar kami sanggup ketika ujian nasional nanti.

Haruskah ujian nasional diadakan dinegara Indonesia? Itu pertanyaan yang selalu kujadikan alasan untuk tetap diam ketika guru-guru itu memperbudak kami.
“Anak-anakku sayang, jikalau kalian punya pertanyaan silahkan. Bapak akan menjawabnya sebisa Bapak. Jangan sungkan-sungkan.” Dia mulai membuka sesi pertanyaan. Dan sesi inilah yang kami tunggu-tunggu, namun saya lebih menentukan diam.
“Pak, apakah ada kemajuan dalam mutu Pendidikan di Indonesia?” Iren bertanya. Itu bukan bab dari skenario. Para guru yang tengah berdiri rapih dengan seketika menahan napas mereka. Ini akan jadi duduk kasus besar, saya diam.

Kikuk, itu reaksi pertama yang Mentri Pendidikan lakukan.
“Tentu saja, anakku. Kami para pemerintah tengah berusaha semaksimal mungkin untuk menyamakan mutu pendidikan Indonesia dengan mutu pendidikan Australia dan Jerman. Makara kalian harus mencar ilmu lebih ulet lagi dan membantu pemerintah menaikkan mutu pendidikan Indonesia.” Para guru mendesah lega, setidaknya posisi kami masih dalam zona aman.
“Kalau begitu, kenapa Ujian Nasional masih tetap ada?” kali ini pertanyaan besar itu dilontarkan oleh Winda. Aku diam dan fokus. Ini bab terpenting dari serangkaian skenario konyol yang guru-guru sediakan.
“Ujian Nasional itu fungsinya untuk menyaring belum dewasa yang berbakat dan berprestasi. Ujian Nasional juga mempunyai kegunaan untuk penyemangat bagi tiap-tiap daerah.” Laki-laki paruh bayah itu tersenyum.
“Bukannya kita ingin menyamakan kedudukan pendidikan dengan Australia?” winda masih kukuh.
“Ya, benar.”
“Australia tidak mengenal yang namanya Ujian Nasional, tapi mereka sanggup melahirkan orang-orang penting. Kenapa kita tidak?” Winda berusaha sebisa mungkin untuk tetap terlihat tenang.

Para guru mulai meremas ujung kemeja masing-masing. Bahkan ada yang mengelap keringat. Ya, udara mulai memanas. Mentri Pendidikan tersungkur kaget diatas kursinya yang empuk, SKAK MAT!
“Winda sayang, menyamakan bukan berarti harus meniru kan?” itu tanggapan terbodoh yang pernah kudengar dari seorang tokoh masyarakat, namun saya tetap diam.
“Kalau meniru untuk mutu masa depan para generasi, kenapa tidak? Sedangkan kini banyak yang meniru hanya untuk kesenangan belaka.” Ucap Winda dengan tatapan tajam.

Para guru mulai gelisah. Posisi kami tersungkur kedalam zona sangat berbahaya.
“Apa alasanmu ingin menghapuskan Ujian Nasional? Bukannya itu juga nanti akan membantumu mencapai cita-citamu nanti?” pria itu balik bertanya.

Winda tersentak. Aku tahu, itu diluar skenario kami.
“Apa Bapak tidak lihat? Banyak anak yang putus asa akhir Ujian Nasional, bagaimana tidak setiap tahun nilai kelulusan bertambah 0.5 dan paket soal makin membumbung tinggi. Apa Bapak tidak pernah berpikir? Bagaimana jadinya masa depan belum dewasa yang masih kecil diluar sana? Kami yang mendapatkan lima paket soal saja sudah frustasi, bagaimana dengan mereka yang akan mendapatkan 20 paket? Apa ini yang namanya melahirkan generasi mutu? Coba Bapak lihat, di Australia aneka macam orang-orang penting yang terus bertambah dan mereka lahir bukan alasannya yakni paksaan mencar ilmu tapi alasannya yakni pemberian semua orang disekitar mereka, termasuk Negara mereka sendiri. Mereka menerima perhatian dan pengertian dari pihak Negara. Negara mereka menghapuskan Ujian Nasional dan memperlihatkan mereka akomodasi yang terbaik. Guru professional dan properti sekolah yang canggih. Walaupun mahal tapi mereka senang Pak. Mereka bahkan tidak mengenal yang namanya peringkat dan juara, alasannya yakni mereka percaya setiap individu itu unik dan tidak layak untuk dibedakan.
“Bagaimana dengan kita? Apa guru kita sudah professional Pak? Apa properti kita sudah canggih? Banyak guru yang makan honor buta dan itu luput dari pengamatan pemerintah. Banyak properti yang sangat ketinggalan zaman dan itu tak pernah menerima kepedulian dari pemerintah. Hanya satu kriteria yang menyamakan pendidikan kita dengan pendidikan Austalia : mahal. Setiap tahun biaya pendidikan makin melonjak tinggi, waktu ditanya alasan pemerintah hanya satu: untuk menaikkan mutu pendidikan. Sudah setinggi mana mutu pendidikannya Pak? Setinggi pohon stroberi atau setinggi pohon tomat?”
Semua terlonjak kaget dengan kalimat terakhir dari Winda.

Dengan damai Bapak Mentri itu menjawab, “Winda sayang. Negara kita ini Negara berkembang jadi butuh banyak biaya. Hutang Negara kita menumpuk dimana-mana. Kalau kita menurunkan harga pendidikan Negara kita akan jatuh miskin.”
“Butuh banyak biaya tapi kenapa pembangunan gedung dewan perwakilan rakyat selalu mewah? Kenapa bukan honor dewan perwakilan rakyat saja yang diturunkan? 60 juta perbulan bukankah itu sangat berlebihan Pak? Coba bapak hitung jikalau satu anggota dewan perwakilan rakyat saja diberi honor 10 juta, pemerintah sanggup untung 50 juta. Dan kenyataannya anggota dewan perwakilan rakyat bukan hanya satu orang saja Pak. Dua orang saja pemerintah sanggup untung 100 juta. 100 juta sudah cukup Pak untuk merenovasi satu sekolah. Jatuh miskin tapi melahirkan generasi bermutu internasional itu lebih baik daripada mencoba melangkah kearah Negara maju tapi yang dilahirkan yakni generasi ‘miskin’. Bapak pilih mana? Kalau pemerintah enggan mengambil resiko, bagaiman kita sanggup menyamakan kedudukan kita Pak?”
“Winda, Jepang yakni Negara maju dengan teknologi yang super canggih, tapi mereka punya Ujian Nasional.” Jawaban yang sangat melesat dari pertanyaan.

Para guru mulai gundah tak menentu. Sesekali mereka melirik arloji glamor yang diam dipergelangan tangan yang hampir tiap hari menerima perawatan glamor juga.
“Australia saja belum sanggup kita samakan, kita mau ganti objek? Yang benar saja Pak.” Winda tertawa mengejek.
“Kesuksesan tidak dibangun dari sistem pendidikan, namun dibangun dari kepercayaan diri dan kerja keras.”
“Dan kenyataannya kepercayaan diri untuk lulus Ujian Nasional juga besar lengan berkuasa pada kesuksesan. Kerja keras? Kerja keras menyerupai apa yang Bapak maksud? Belajar setiap hari menjelang ujian dan terus berdoa biar Tuhan memperlihatkan yang terbaik. Apa menyerupai itu? Pak semua kerja keras sanggup dipatahkan dengan uang, itu salah satu sistem pendidikan Indonesia : sangat murahan. Bagaimanan dengan orang miskin yang kerja keras namun tetap tidak lulus alasannya yakni tidak sanggup membayar ‘jasa’ para guru?”
“Semua ada jalan keluarnya, Winda.” Hawa ruangan makin memanas. Kami semua mulai mundur kebelakang. Kami berdiri menghadap Bapak Mentri Pendidikan dengan tatapan tajam. Kami siap membela kebebasan kami.
“Dan jalan keluar itu selalu berujung buntu. Kami butuh pengertian dari pemerintah. Hapuskan Ujian Nasional dan berikan kami guru professional.” Teriak Winda secara lantang. Bulu kuduk ku merinding mendengar teriakannya. Aku diam melihatnya menangis. Aku diam melihat badannya terguncang alasannya yakni emosi.
“Papa dan seluruh pemerintah gak pernah ngerti Winda. Papa gak ada bedanya dengan guru-guru. Papa gak pernah sekali pun bertanya apa maunya Winda, Winda ingin jadi apa dimasa depan? Gak pernah kan Pa? Satu yang selalu Papa pikir dalam kepala Papa, ketika Winda tersenyum Papa kira Winda udah bahagia? Gak Pa. Winda gak butuh sekolah kalau hanya untuk frustasi.”

Papa? Panggilan itu yang Winda lontarkan untuk Bapak Mentri Pendidikan yang tengah terduduk lemas didepan kami. Haruskah saya tetap diam mendengarnya?
Ruangan itu seketika menegang. Tetesan keringat para guru mulai menderas. Tabir telah tersingkap. Mentri Pendidikan tampak damai memandang anaknya yang masih tersedu-sedu.
Lima menit kemudian kutemukan tubuh Winda tersungkur dilantai dan kepalanya membentur keras ujung meja. Aku diam dan hanya mematung.

PROFIL PENULIS
Lahir tanggal 02 Desember 1996. Tengah menempuh pendidikan tingkat Sekolah Menengan Atas di Sekolah Menengan Atas Sains Averos, kota Sorong. Suka berimajinasi dan berharap sanggup mempunyai dunia imajinasi sendiri. Terlahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara yang seluruhnya perempuan. 


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel