Dibalik Kanvasku Ini - Cerpen Motivasi

DIBALIK KANVASKU INI
Karya Rafiqa Khaira
Aku terkejut menatap jam dinding yang terpampang di dinding sebelah kanan kamarku.
“Apa?! Udah jam empat?!” pekikku
Dengan segera saya pastikan lagi dengan arloji yang menempel ditangan kiriku. hasilnya sama. masih tidak percaya, Aku cek lagi dengan jam di ponselku, tertera angka 04.02 disana. Meski saya bersikeras berharap “tidak” tapi tetap saja tidak masuk logika jikalau ketiga jam itu error. Akhirnya saya percaya.
Aku bangun dari kanvasku, menuju kamar mandi dan keluar dalam keadaan segar. Ya, sudah tidak pegal. Setelah itu saya kembali lagi.
Masih dengan niat mengoles kuas di atas lembar itu. Tapi senyumku mengembang begitu memperhatikannya. Tak terasa lukisan itu selesai. Puas. Aku pandang ulang lukisan yang menggambarkan pemandangan sebuah daerah terindah yang berjulukan “Pulau Derawan”. Wah! Benar-benar menarik. Sangat sulit memang, alasannya saya harus bermain dengan banyak warna. Tapi menurutku, saya berhasil. 
Dibalik Kanvasku Ini
 Memang setimpal, pikirku. Sudah hampir 6 jam saya terhanyut didalamnya. Tanpa menghiraukan panggilan dari luar kamar. Untungnya mereka tidak memaksaku bangun dari sudut ternyaman ini.
Langsung saja, saya berlari kecil menuju teras. Tempat biasa ibuku bersantai setiap sore.
“Bu! Lihat deh. Tadi Ade buat ini dikamar. Seharian lho bu. Periksa ya?” pintaku.
Ibu berpaling dari majalah yang sedang dibacanya, kemudian mengambil lembar yang kusodorkan. Ibu memperjatikan dengan seksama, tidak ada reaksi kagum di raut wajahnya yang bagus itu. Pikiranku jadi tak tentu arah, berharap ibu akan berkata ‘-bagus, bagus banget De-‘. Tapi ternyata...
“Haduh, De. Kamu ini gimana sih! Warna yang kau padukan lebih kelihatan jorok. Kotor De” kata Ibuku dengan sangat enteng.
Terkejut untuk kedua kalinya di hari ahad ini. Tapi saya tidak mau menampakkan wajah sedih. Aku tidak suka dikasihani orang! termasuk Ibu.
Aku kembali ke kamar dengan wajah lesu. Bagaimana tidak?! seharian Aku duduk di sudut kamar mengerjakan sesuatu yang dikatakan ‘-lumayan-‘ saja tidak!
Huft! Aku juga menolak ketika kak Tiara meneriakkan namaku untuk makan malam. Benar-benar tidak selera! Padahal saya belum memasukkan makanan sedikitpun ke dalam perut semenjak saya mulai melukis.
Sebenarnya, apa yang keluar dari verbal Ibu tadi sore bukan untuk pertama kali. Tapi hari ini semua itu cukup mengejutkan.
Aku berbaring di atas ranjang. Kali ini saya menangis hingga membasahi bantal. Aneh! Aku tidak setegar biasanya. Tapi biarlah airmataku ini keluar. Karena saya tahu sehabis itu perasaanku mulai damai dan lega. Tapi tanpa sadar saya mulai terlelap dalam mimpi!
Keesokan paginya, saya bangun pagi-pagi sekali. Karena hari ini akan ada pelajaran kesukaanku. Tentu saja seni lukis! Bahkan hari ini yakni prakteknya! Ya semangatku mulai terpacu kembali. Segera saja sehabis semua siap, saya berangkat ke sekolah.
Saat upacara selesai. Pak handoko, guru mapel favoritku masuk dengan senyum yang mulai mengobarkan pikiranku. Kedua tanganku ini rasanya ingin menggertak-gertak meja. Tak sabar untuk melukis.
“Keluarkan kanvas kalian. Mulailah dengan sangat cermat. Akan ada hadiah untuk yang terbaik” kata Pak Handoko
Kalimat terakhirnya menciptakan seisi kelas gaduh. Begitu juga denganku. Dengan optimis, Aku mulai saja dengan warna pertama. Masih ada harapan untuk membawa hadiah itu ke hadapan ibu sebagai bukti lukisanku bagus kali ini! dan saya benar-benar percaya.
Neng Nong Neng...
Bel berbunyi, saya juga sudah menyelesaikannya dengan baik dan puas.
“Waktu habis!. Ketua, Kumpulkan hasilnya dan bawa ke meja bapak di Kantor. Akan bapak umumkan pemenangnya segera sepulang sekolah” katanya lagi.
Waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Bukan Cuma saya yang berdebar-debar. Tapi semua temanku.
“Ade Krisna”
Hah?! ! Aku dipanggil ke depan dengan wajah yang benar-benar gembira!
Saat diserahkannya Hadiah itu, Teman-temanku bersorak dan bertepuk tangan. Serasa menang tingkat Internasional saja.
Kemudian sehabis semua diperbolehkan bubar. Aku berlari kencang menuju Rumah dengan sekotak Hadiah tadi ditanganku. Sambil membayangkan kebanggaan apa yang akan dilontarkan Ibu nanti.
Tapi sesampainya. Ibu malah tidak sedang di Rumah. huft! Sia-sia saja saya berlari tadi.
Aku masuk kamar dan memandang ke setiap sudut. Tiba-tiba saja saya ingin mengumpulkan semua lukisanku. Lalu saya mencarinya, lembar- demi lembar di setiap laci lemari. Sudah ada hampir 50 lembar lebih ditanganku.
Tapi kemana lukisanku yang bergambar Bunga mawar dan Pulau Derawan?! Padahal menurutku, kedua lukisan itulah yang paling bagus diantara yang lain.
Aku terus mencarinya hingga semua sudut. Tapi tidak juga kudapatkan. Dibawah daerah tidur, dilaci meja, di tas jinjing. Semuanya tidak ada! Wajahku mulai panik.
“Kenapa yang bagus sih yang ilang! Yang buruk malah ada” sentakku. Aku kesal sekali. Rasanya ingin memecah tangisan. Apalagi jikalau membayangkan jikalau melukisnya tidak mudah! Ikh... rasanya geram sekali.
Kemudian saya duduk di sisi jendela yang mencondong keluar. Tiba-tiba pintu kamarku terbuka. Ternyata ibu. Ibu kemudian mendekatiku dan duduk di pinggir ranjangku.
“Ibu kemana aja sih?!” tanyaku masih agak kesal
“Abis main ke rumah Tante Wiwik. Kamu kenapa? lagi kesel ya, mulutnya monyong gitu” tanya Ibu sambil bergurau
“Iya saya kesel! Abisnya, Lukisan saya yang bagus banget malah ilang” jawabku. Tiba-tiba saya teringat sesuatu. O iya hadiah itu.
Aku turun dari jendela dan mengambil sebuah Kotak yang dibungkus kertas kado bewarna merah. dan duduk kembali di jendela itu.
“Bu! Kata Pak Handoko lukisan yang terbaik, yang layak dapetin ini. tapi sayangnya, lukisan itu gak saya bawa pulang. Soalnya diminta buat dipajang di Mading” kataku girang sambil memperlihatkan kotak itu pada Ibu
“Wah! Hebat putri Ibu”
Senang sekali, risikonya mendengar kata “Hebat” dari Ibu.
“Iya, tapi saya masih kesal. Kenapa dua lukisan terbaik saya hilang. Aneh deh”
“Kamu yakin udah nyari kemana-mana?”
“Yakin Bu, Yakin banget”
“Oh jikalau gitu. Yang ini bukan?” tanya ibu sambil membuka halaman dimajalah yang dari tadi digenggamnya. Hah?! Lukisanku terpampang penuh di salah satu lembarnya. “Atau yang ini?” kata Ibu lagi sambil menunjukkannya padaku dari majalah yang berbeda.
Aku mengambilnya dan menatap dengan mata penuh rasa kaget “Hah?! Kaprikornus memang Ibu yang mengambilnya... ya ampun!” kataku “Sekarang saya sanggup kan menerangkan jikalau bahu-membahu Lukisan ku bagus!”
“Kenapa sekarang?, memang semua lembaran yang kau lukis bagus kok” puji Ibu, wajahku bermetamorfosis bingung.
“Terus kenapa selama ini Ibu bilang buruk lah, Kotor lah, kurang ini lah kurang itu lah. Kenapa Bu?” tanyaku. 
 Mimikku semakin penasaran.
“Kamu mau tahu alasannya?” Tanya Ibu balik, Aku mengangguk cepat. “kamu tahu sebuah karya kan. Enggak semua karya akan selalu dipuji orang. Pasti selalu ada kritikan, saran dan bahkan makian. Ibu mau kau juga terbiasa dengan semua itu. jadi bukan sekedar kebanggaan saja”
Aku tertegun mendengar ucapan Ibu. Berarti selama ini niatnya baik.
“Dan ibu melihat ketegarannya di sikapmu. Kamu terus berkarya dan menciptakan kritikan itu menjadi salah satu penyemangat. Dan sekaranglah, Ibu gres mau mengutarakan tujuan kesinisan Ibu akan lukisanmu selama ini” tambah Ibu
“Hmm... jikalau begitu, Aku benar kan? Haha” kataku memuji diri
“Sekarang coba buka, apa yang ada dibalik kotak itu?” perintah Ibu lembut
Aku mulai merobeknya, dan membuka tutup kotak itu. Hah? Kudapati kuas dan aneka macam warna cat cair.
“YES!” seruku
“Oiya, ada satu lagi. Ini amplop untukmu, dari produser majalah” kata Ibu, beliau menyodorkan amplop putih yang ternyata berisi uang.
Senangnya, saya berniat akan membeli Kanvas baru!

... Selesai ...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel