Tanpa Arti - Cerpen Motivasi Sedih

TANPA ARTI
Karya Ulfa Tapani

Gemuruh bunyi mesin kendaraan beroda empat menggetarkan beling rumah. Mengusik kesibukan dua benda kayu yang sedang berbincang di ruangan.
“Siapa yang datang?”
“Entahlah, paling juga Ibu-ibu yang mau arisan..”
“Ohh,, untung saya sudah mempercantik diri, “
“Awas, awas, tampaknya mereka mau mendekati kita, “
“Ah, lihatlah tubuh mereka besar-besar, saya yakin bokongnyapun besar, ahaha,, surprize untukmu !!”

Aku terdiam. Ah, sial sekali saya hari ini harus kedatangan tamu ibarat mereka, andai saya punya kaki yang sanggup berlari, tak akan ada ragu dalam benakku untuk melarikan diri kini juga, menit ini, detik ini, secepatnya!
“Tunggu, sebentar lagi mereka akan memujiku ..”
“Tidak asing lagi, kau jangan menyombongkan diri, saya yang lebih mempunyai kegunaan bagi mereka ..”
“O, ya ? haha... Mereka senang, kau menderita, bukankah begitu? Haha ..Bertahun-tahun saya berdampingan denganmu, bertahun-tahun juga saya saksikan kesengsaraanmu, saya tak pernah melihatmu terhias bagus sepertiku, dengan vas yang berisi bunga segar, dengan masakan cemilan yang lezat-lezat, minuman segar, dan hidanganmu apa? Bokong orang ya? Hahaha..”
Tanpa Arti
Aku tak pernah mau menanggapi cercaannya. Buat apa saya balas, toh, beliau selalu menjatuhkanku, meja yang sombong.
“Aduhai, bagus sekali meja ini dengan hiasan bunga segar, darimana kau dapatkan bunga ini? Cantik sekali, saya suka..”
Tak aneh, sungguh tak asing bagiku mereka mengucapkan hal itu. Mungkin untuk yang kesekian ratus kalinya. Sejurus kemudian, Ibu-ibu lain tiba berdesakkan memasuki rumah. Rupanya, tubuh mereka yang besar-besar itu membuat mereka kesulitan memasuki rumah yang memang mempunyai ambang pintu cukup kecil itu. Aku tahu, bokong-bokong mereka yang besar itu tak usang lagi akan menindihku. Satu..dua..dan,, aww,, benar saja , dalam sekejap tubuhku tertutupi bokong-bokong itu.

Salah seorang dari Ibu-ibu yang menindih tubuhku ini sekejap mengangkat bokongnya sedikit dan terdengar bunyi “dduuuttt..”. Dalam sekejap, udara yang tadinya begitu segar, mendadak tercemari dengan amis yang sangat sangat menusuk-nusuk hidung. Mereka yang duduk agak jauhpun mulai menutup hidungnya. Bayangkan, jarak yang jauh pun membuat mereka batuk-batuk dan hampir muntah, dan aku? Jarak yang sangat sangat dekat, apa kata yang lebih daripada mual? Aku yang paling mencicipi begitu busuknya amis itu. Si Ibu hanya nyengir, sungguh , wajah tanpa dosa! Kalau saja saya punya mulut, akan kumuntahkan seluruh isi tubuhku ! Sial !
“Haha. Aku tak menyangka Ibu itu akan melaksanakan hal yang konyol, sangat konyol !Bersyukurlah alasannya yaitu kau tak punya hidung yang tajam untuk menghirup udara amis itu. Kursi renta yang malang..”
“Manusia memang tak tau etika kawan, bukankah agama mereka mengajarkan wacana sopan santun? Tahukah kau meja, pasanganku, bahwa sopan santun itu sangat berharga di mata Tuhan, setidaknya, mereka tahu adab bertamu, saya heran dengan insan ini, mereka berguru ilmu agama tapi tidak mengamalkannya.”
“Ya, kau memang benar. Ah, saya tak peduli dengan mereka, toh, saya tak rugi, kau yang rugi kan? Kau selalu kena batunya! Haha “
“Kau memang ibarat itu, hai meja sungguh saya hanya ingin membuatkan ilmu denganmu”

Tak pernah pasanganku ini memperhatikan [endapatku, tapi taka pa-apa setidaknya saya sanggup membagi ilmuku padanya, meski ia tak pernah peduli. Aku mengintip keluar jendela, di sana banyak belum dewasa kecil yang sedang memetik daun-daun sembarangan.
“Lihatlah belum dewasa itu!”
“Memangnya kenapa? Ada yang salah?”
“Tentu saja, lihat, mereka memetik daun-daun itu sembarangan, untuk apa coba? Mereka hanya merobek-robek daunnya, kemudian membuangnya begitu saja, mereka belum puas kalau tanah itu belum jadi guunung sampah! “
“Ah, sudahlah, kau selalu ibarat itu, biarkanlah mereka melaksanakan hal yang mereka inginkan. Mereka yang akan menanggung kesudahannya sendiri. “
“Tapi, kenapa mereka tak pernah memperhatikan kita? Lingkungan mereka? Apa kau tidak sedih? Hah? Lagian, kalau tiba bencana, ibarat banjir, kita juga akan kena kan? Bukan hanya mereka, mereka sanggup melarikan diri, tapi kita? Mereka tak akan peduli pada kita, “
“Kau benar juga. Tapi apa daya, kita tak mungkin sanggup berbicara kepada mereka.”
“Tuhan punya kehendak lain untuk itu!”

Diam. Sang meja hanya diam. Kuharap itu sebagai arahan pengertiannya pada perkataanku. Bising. Suasana rumah ini bagaikan pasar. Perbincangan-perbincangan saling sahut-menyahut. Kebanyakan membicarakan “Dimana kau membeli sepatu itu?” “Berapa harganya?” “Dapat diskon gak?”
“Ah, bising sekali suasana rumah ini!” sahut meja.
“Ya, kau benar, mereka itu hanya mengumpulkan dosa di sini. Dari tadi, tak kudengar tak satupun yang membicarakan agama. Mungkin ibarat “Kapan ya kita sanggup melaksanakan tablig akbar di kampong kita?” “Pengajian rutin, dan sebagainya.” Padahal itu akan sangat mempunyai kegunaan bagi mereka. Sesungguhnya mereka di sini itu untuk menjalin tali silaturahmi, bukan untuk menggunjingkan orang atau membicarakan hal yang tak penting. Sungguh sia-sia pertemuan ini jikalau hanya akan merajut dosa tanpa membersihkannya.”
“Hmm, hmm, terus saja kau berceramah ibarat itu, sekeras apapun, merekea tak akan sanggup mendengarnya!”
“Tunggu saja, Tuhan niscaya akan memperlihatkan isyaratnya lewat kita, hingga manusia-manusia itu sadar.”
“Iya, iyalah, terserahmu saja!”
“Lihat itu, belum dewasa itu masuk, “
“Wah,, lihat yang satu itu, badannya besar sekali, pipinya bergoyang-goyang kalau ia berlari, tenaganya berpengaruh sekali, awass hati-hati, ancaman mengancammu ! kau kan sudah tua,, sanggup jadi, “
“Apa??”
“Tidak ah, tidak jadi..” kata meja sembil tersenyum sinis.

Anak-anak itu berlarian kesana-kemari, membuat suasana ini berubah, yang tadinya ibarat suasana pasar, kini malah ibarat suasana Perang Dunia. Suara-suara anak ini menggema, ke sudut-sudut ruangan, benda-bergetar alasannya yaitu injakan mereka, terutama anak gendut itu. Tidak, saya berada di rumah ini bertahun-tahun, dan memang kini saya sudah tua, tubuhku suka bergoyang kalau diduduki dan sanggup saja riwayatku tamat kalau hingga anak gendut itu menginjakku.
“Iya, awas !! sembunyi di sana! Lari! Wah, seru juga memperhatikan anak itu. Hei, dingklik tua, kau tahu kan perbedaan kita? Mereka lebih suka mendekatimu daripada aku, mereka tak’kan menyakitiku alasannya yaitu kalau mereka menyakitiku, mereka akan terima akibatnya. Kulit mereka akan membiru sehabis mendapay hantaman keras, dari sudut-sudut tubuhku!”
“Kita memang berbeda, tapi kita harus saling mengisi kawan. Tuhan, membuat kita berpasang-pasangan, dingklik dengan meja, buku dengan raknya, lemari dengan baju, dan tak ayal mereka saling mengisi kekosongan. Tak maukah kau bersanding denganku? Selama bertahun-tahun saya bersamamu, berusaha membuatmu menjadi meja yang berwibawa di mata manusia, menjadi sosok benda mati yang berguna. Kita punya daya guna, tanpa kita, mereka, manusia, tak akan pernah sejahtera, mereka tak akan sanggup menulis dengan nyaman kalau tidak ada meja, mereka tak akan sanggup duduk nyaman kalau tidak ada kursi. Berterimakasihlah kepada Tuhan yang telah mentakdirkan kita menjadi makhluk yang mempunyai kegunaan bagi setiap manusia..”
“Aaarrgghhtttt, dingklik tua! Tak bisakah kau membisu sehari saja? Tak sadarkah kau setiap menit selalu melontarkan kata-kata yang klise, menyangkut insan yang tidak sanggup menjaga kita, li8ngkungannya. Harus berapa kali saya bilang? Sekeras apapun kau bicara, mereka tak akan sanggup mendengar kita, memperhatikan kita, kau tahu itu kan? Dasar dingklik terbelakang !”
“Lalu, apa yang kita sanggup lakukan supaya mereka sadar? Hah? Selain arahan kepada mereka,”
“Isyarat apa?? Kaprikornus kau itu inginnya apa? Hah? Ingin kau ini dibangga-banggakan? Kau syirik kan kepadaku??”
“Astagfirulloh, syirik itu perbuatan syetan! Aku tak pernah merasa ibarat itu, saya terima takdirku untuk diduduki, dikentuti, diinjak-injak, saya tak pernah mengeluh, selama ini saya hanya ingin memperlihatkan petuah kepadamu supaya kau menjadi makhluk yang pandai member isyarat, Tuhan tahu apa yang kita rasakan, andai kau mencicipi apa yang saya rasakan, apa yang akan kau lakukan selain memberi arahan pada insan supaya menjaga kita dengan baik??”
“Bertahun-tahun saya bersamamu, hany apetuah dan petuah yang kau berikan tak membuatku mengerti apa arti sebuah isyarat, penghuni rumah ini sudah sering mengotori kita tapi apa yang sanggup kita lakukan? Aku cape, kalau haru terus mendengar ceramahanmu !!”

Diam. Mungkin dengan cara ini saya menanggapinya. Selama ini saya selalu berharap supaya insan sanggup menjaga lingkungannya. Aku tahu, global warming yang sedang melanda Indonesia. Panas raja siang yang mengkremasi tubuh, begitu ganas membuat daun-daun kering, udara sesak, debu-debu mengendap di tubuhku. Bagiku, insan itulah penyebabnya, kalau saja mereka mau melaksanakan penghematan, penghijauan dan sebagainya, saya yakin dunia tak’kan ibarat kini ini.
“Sejujurnya saya ingin membantu membangun kembali kesadaran pada manusia”
“Bagaimana caranya?? Apa kau bisa?? “
“Tak ada yang tak mungkin jikalau Tuhan berkehendak, Dia akan mengakibatkan lisan kita berucap atas kehendaknya. Aku kasihan pada ala mini yang semakin hari, semakin rusak. Aku ttipkan tanggungjawabku padamu, kalau tubuhku tidak sanggup lagi menopang tubuh manusia, jaga dirimu baik-baik!”

Suasana masih sangat ramai. Anak-anak masih dengan senjata mereka, berlari kesana-kemari, bersembunyi, berjinjit-jinjit , mereka mendekati. Anak gendut itu terlihat sangat lincah, tenaganya begitu besar mengalahkan lawannya . ia berlari dan terus berlari. Jaraknya semakin bersahabat denganku. Langkahnya semakin cepat mendekat, ia meloncat tinggi kemudian menaikiku dan..
“GUBBRAKKK..” tubuhku pecah sudah, tubuhku yang sudah reot ini menjadi berkeping-keping. Hancur sudah raga ini. Melihat keadaanku, suasana rumah mendadak sepi alasannya yaitu bunyi jatuhnya anak itu. Anak itu menangis keras alasannya yaitu kesakitan. Malangnya anak itu. Sementar meja hanya melongo melihat saya yang kini tak berdaya.
“Ku tak pernah berpikir akan ibarat ini kawanku..” gres kali ini saya mendengar ia menyampaikan “kawanku” kepadaku,
“Kenapa?” saya bertanya
“Jadi, kau benar-benar akan meninggalkanku??”
“Ten..tu saja..”
“Ja,,jad,, jadi, tak akan ada lagi yang menasehatiku?”
“Bukankah itu yang kau mau?”
“Kalau saya punya air mata, akan kutumpahkan ketika ini juga. Aku memang tak suka kau menasehatiku terlalu berlebihan, tapi sungguh saya akan meras kehilangan, saya tak punya teman, sepertimu.. ayolah bisakah kau menyatukan tubuhmu lagi?”
“Tidak mungkin, saya sudah ditakdirkan ibarat ini kawan, setiap awal, niscaya ada akhir, setiap kehidupan, niscaya ada kematian. Kau tak perlu bersedih kawan.”
“Ku berjanji akan menuruti nasehatmu, mendengarkan petuahmu, saya janji!!”
“Sudah cukup banyak saya berpetuah, terimakasih sudah mau mendengarkanku..”

Dua orang bapak tiba menggotong tubuhku, membawaku ke gudang penyimpanan barang rusak. Meja itu menjerit-jerit.
“Jangan !! jangan kau ambil sahabatku wahai insan !! saya tak sanggup tanpanya ! ya Tuhan apa yang sanggup saya lakukan tanpanya? Apalah artinya sebuah meja bila tanpa kursi? Tuhan , saya mohon, izinkan saya berbicara kepada mereka, izinkan saya berteriak ketika ini juga, Tuhan apa yang harus saya lakukan??? “

Suasana yang tadinya ramai mendadak sepi, lambat laun orang-orang mulai meninggalkan rumah. Sepi , mencekam.
“Aku masih merintih di sini, ayolah kembalikan dingklik itu, saya tak sanggup hidup tanpanya, apalah artinya aku? Apa artinya diriku? Aku benar-benar tanpa arti..”

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel