Mahabarata Episode 32: Kedaulatan Negeri Matsya Dipertaruhkan
Jumat, 14 Juli 2017
Sebelumnya...
Uttara meninggalkan ibukota Negeri Matsya dengan ke- reta yang dikemudikan Brihannala. Ia memerintahkan sais itu memacu kuda sekencang-kencangnya ke arah balatentara Kaurawa. Jauh di kaki langit tampak sebaris titik, memanjang, melingkar-lingkar, diselimuti debu yang mengepul ke angkasa. Itu niscaya pasukan Kaurawa dalam jumlah besar.
Makin bersahabat makin terang sosok mereka. Mula-mula tam- pak kereta-kereta yang dinaiki Bhisma, Drona, Mahaguru Kripa, Duryodhana dan Karna. Melihat rombongan Kau- rawa, hati Uttara tiba-tiba menjadi kecut. Dia menyuruh Brihannala melambatkan keretanya. Uttara sangat ketaku- tan. Mulutnya terasa kering, bulu romanya berdiri, dan keringat hambar mengucur dari dahinya. Tangan dan kaki- nya gemetar. Ia menutupi matanya dengan kedua tangan- nya dan berkata lirih kepada Brihannala, “Bagaimana mungkin saya sendirian melawan musuh sebanyak itu? Aku tidak membawa pasukan. Semua prajurit dibawa ayahku ke selatan. Tidak mungkin saya melawan kesatria- kesatria yang termasyhur andal berperang itu. Brihannala, berbaliklah! Kita pulang.”
Brihannala menjawab, “Tuanku, engkau berangkat de- ngan semangat berapi-api hendak menghancurkan musuh. Permaisuri, penghuni istana dan rakyat mempercayakan nasib mereka kepadamu. Sairandri memuji-muji saya dan menciptakan engkau mengangkatku menjadi saismu. Kalau kita kembali sekarang, tanpa merebut ternak kita yang dirampas musuh, kita akan ditertawakan. Aku tidak akan membelokkan kereta ini. Mari kita maju terus dan bertempur! Jangan gentar!”
Uttara berkata dengan gugup, “Aku tidak mau, saya tidak mau! Biarlah Kaurawa merampas ternak kita, biarlah perempuan-perempuan menertawakan aku, saya tidak peduli. Apa gunanya melawan musuh yang jauh lebih berpengaruh dan lebih besar jumlahnya? Itu namanya tolol! Belokkan kereta! Kalau tidak, saya akan meloncat turun dan pulang dengan berjalan kaki.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Uttara membuang senjata-senjatanya sambil meloncat turun dari kereta. Rasa takut melihat kekuatan musuh mencekam jiwanya dan membuatnya panik. Ia lari kalang kabut, kembali ke ibu kota.
Brihannala mengejar Uttara sambil memanggil-manggil semoga pangeran itu berbuat sebagai kesatria. Rambut pan- jang dan pakaian Brihannala melambai-lambai ditiup angin kencang. Uttara makin mempercepat larinya. Akhir- nya pangeran itu terkejar juga. Uttara meminta semoga Brihannala membiarkannya pulang.
Uttara berkata dengan bunyi mengiba, “Aku satu- satunya anak lelaki ibuku. Aku dibesarkan di pangkuan ibuku. Aku tak mau meninggalkan ibuku. Aku takut, saya takut sekali! Aku takut mati bertempur melawan musuh!”
Brihannala berusaha melepaskan Uttara dari ketaku- tannya dan membangkitkan keberaniannya. Ia menggeng- gam tangan Uttara dan memaksanya naik lagi ke kereta.
Uttara menangis dan berkata terbata-bata, “Alangkah malunya aku, terlanjur omong besar. Apa balasannya saya nanti?”
Brihannala menghiburnya, “Jangan takut! Aku yang akan menghadapi Kaurawa. Bantu aku, pegang tali kekang ini, selebihnya serahkan padaku. Percayalah padaku, tidak ada gunanya lari dari pertempuran. Akan kita enyahkan musuhmu dan kita dapatkan kembali semua ternak yang mereka rampas. Kemenangan niscaya di pihak kita. Perca- yalah!”
Setelah berkata demikian, Brihannala meminta Uttara semoga menghela kereta itu ke arah sebatang pohon besar di bersahabat kuburan. Sampai di bersahabat kuburan, Brihannala meminta Uttara naik ke pohon besar itu dan mengambil senjata-senjatanya yang disembunyikannya di sana. Uttara memejamkan mata, tak berani memanjat pohon itu.
“Kata orang di pohon ini pernah tergantung mayit nenek renta yang berkembang menjadi setan. Aku tak berani memegang mayit itu. Mengapa kamu menyuruhku mela- kukan ini?” kata Uttara.
“Dengar, Pangeran, itu tidak benar! Itu bukan mayat. Itu kantong kulit. Di sana tersimpan senjata-senjata sakti milik Pandawa. Naiklah dan bawa turun senjata-senjata itu. Cepat! Jangan buang-buang waktu,” kata Brihannala tegas.
Karena Brihannala terus mendesak, Uttara terpaksa menurut. Ia memanjat pohon itu kemudian mengambil kantong kulit besar yang disembunyikan di balik daun-daunan. Alangkah kagetnya ia ketika melihat isi kantong itu: senjata-senjata yang gemilang! Cepat-cepat dibawanya kantong itu turun dan diserahkannya kepada saisnya. Brihannala menyuruh Uttara meraba senjata-senjata itu. Begitu menyentuh senjata-senjata itu, Uttara merasa ada arus kekuatan mistik merasuki tubuhnya dan menguatkan jiwanya. Matanya kini berbinar memancarkan sema- ngat baru.
Ia bertanya kepada Brihannala, “Alangkah anehnya! Katamu senjata-senjata ini milik Pandawa. Bukankah kerajaan mereka dirampas Kaurawa dan mereka diusir ke hutan oleh Kaurawa? Bagaimana mungkin engkau sanggup tahu perihal senjata-senjata ini?”
Secara ringkas Brihannala berkata bahwa bahwasanya sudah hampir satu tahun Pandawa tinggal di ibu kota Negeri Matsya dan bekerja mengabdi Raja Wirata. Mereka ialah Kangka, Walala, Dharmagranti, Tantripala, dan
Sairandri. Brihannala juga bercerita perihal selesai hayat Mahasenapati Kicaka yang berani menghina Draupadi.
“Aku ini Arjuna. Putra Mahkota, jangan takut. Engkau akan melihat bagaimana saya menaklukkan Kaurawa. Biar- pun di pihak Kaurawa ada Bhisma, Drona, Duryodhana dan Aswatthama, kita harus rebut kembali ternak dan harta yang mereka rampas. Dan engkau akan menjadi masyhur. Semua ini akan menjadi pelajaran berharga bagimu,” kata Arjuna meyakinkan Uttara.
Uttara segera mengatupkan kedua telapak tangannya, memberi hormat kepada Arjuna, dan berkata, “Tak ku- sangka engkau ialah Arjuna. Alangkah beruntungnya saya sanggup bertemu denganmu. Arjuna, kamu kesatria per- kasa. Engkau telah menanamkan keberanian dalam jiwa- ku. Maafkan kesalahanku sebab kedunguanku.”
Di kereta yang dikemudikan Uttara, Arjuna bercerita perihal kisah-kisah kepahlawanan untuk membangkitkan keberanian Uttara.
Kini kereta semakin mendekati pertahanan pasukan Kaurawa. Arjuna minta semoga kereta dihentikan. Kemudian mereka turun. Perhiasan perempuan ditanggalkannya, rambut- nya yang panjang diikat, pakaian perempuan ditukarnya dengan pakaian perang, dan senjata-senjatanya disiapkan. Dengan menghadap Batara Surya di arah timur, Arjuna bersila dan bersembahyang, memuja dan berdoa. Setelah selesai, ia berdiri tegak penuh keagungan, menciptakan Uttara terkagum-kagum. Pangeran itu bangun semangatnya. Ia naik ke kereta. Arjuna mengangkat busur Gandiwa, mema- sang anak panah, membidik ke angkasa, menarik tali busur, dan ... meluncurlah anak panah itu membelah ang- kasa dengan bunyi mendesing-desing. Kemudian Arjuna meniup terompet kerangnya yang berjulukan Dewadatta. Suaranya menderu menggema ke seluruh penjuru!
Mendengar bunyi itu, pasukan Kaurawa terkejut. Mereka saling berpandangan. Dengan telinganya yang tajam, Drona memastikan bahwa bunyi itu berasal dari desingan anak panah Gandiwa dan gema terompet kerang
Dewadatta milik Arjuna. Drona membisikkan hal itu kepada Karna yang menanggapi, “Mana mungkin itu Arju- na? Apa peduli kita kalaupun ia ada di sini? Apa yang sanggup ia lakukan sendirian menghadapi kita, kalau Pandawa lainnya bersama Wirata pergi ke selatan melawan Susar- ma? Paling-paling ia hanya bersama Uttara, Putra Mahkota yang pengecut itu!”
Duryodhana menyambung, “Kenapa kita mesti pusing- pusing? Walaupun itu Arjuna, paling-paling ia hanya akan menyerahkan diri ke tangan kita untuk ditemukan sebe- lum waktunya. Dan, sebab itu kita sanggup mengirim Pan- dawa ke hutan selama dua belas tahun lagi.”
Dari kejauhan tampak sesuatu bergerak kencang. Debu mengepul bagaikan ekor binatang. Sekali lagi terdengar desing Gandiwa dan gema Dewadatta.
“Pasukan kita diserbu. Itu Arjuna tiba menyerbu mereka,” kata Drona dengan prihatin.
Duryodhana kesal melihat perilaku Drona mirip itu. Ia berkata kepada Karna, “Sumpah Pandawa ialah meneri- ma pengasingan di hutan selama dua belas tahun dan setahun bersembunyi tanpa dikenali. Tahun ketiga belas belum habis, tetapi Arjuna sudah berani muncul. Kenapa kita mesti prihatin? Mereka harus mengembara di hutan selama dua belas tahun lagi. Drona terlalu banyak mempe- lajari falsafah hingga jadi penakut. Biarlah ia bersembunyi di belakang, kita maju terus!”
Karna mengangguk baiklah dan berkata, “Memang, kalau tidak biasa bertempur niscaya gemetar. Kalaupun yang tiba memang Arjuna, kenapa kita mesti takut? Para- surama sekalipun, saya tidak gentar. Aku akan hadang ia kalau ia berani maju. Balatentara Matsya mungkin sanggup merebut kembali ternak mereka, tetapi Arjuna harus berhadapan dengan aku.” Kemudian Karna membunyikan terompetnya sendiri dan meledakkan senjatanya tanda ia siap bertempur.
Mahaguru Kripa yang mendengar kata-kata Karna menasihati, “Jangan berbuat tolol. Kita harus menyerang
Arjuna tolong-menolong dan serentak. Hanya dengan cara itu kita akan berhasil. Jangan omong besar dan berperang tanding sendirian.”
Karna naik pitam. Ia berkata lantang, “Oh, Mahaguru Kripa ternyata sudah mulai menyanyikan lagu kebanggaan untuk Arjuna. Apakah sebab takut atau sebab sayang kepada Pandawa? Aku tidak tahu. Yang saya tahu, para tetua semua takut dan menasihatkan semoga kita tak usah bertempur. Kalau begitu, sebaiknya kalian tinggal di bela- kang dan menonton saja. Seharusnya, mereka yang telah makan garam di Hastinapura berani maju bertempur.
“Aku hanya mengenal cinta kepada mitra dan benci kepada musuh. Aku takkan mundur! Apa guna mereka mempelajari kitab-kitab suci, kalau hingga di sini hanya memuji-muji musuh?”
Aswatthama, putra Drona dan kemenakan Mahaguru Kripa, tak tahan mendengar sindiran tajam Karna. Ia menyahut, “Kita belum membawa pulang ternak ke Hasti- napura. Kita belum memenangkan pertempuran. Omong besarmu tidak ada gunanya. Mungkin kami bukan golo- ngan kesatria; mungkin kami tergolong orang yang hanya membaca-baca mantra, Weda dan kitab-kitab Sastra. Meski demikian, kami belum pernah menemukan pedoman yang menyatakan bahwa seorang raja dikatakan kesatria kalau sanggup merampas kerajaan lain dengan muslihat dalam permainan dadu.
“Dengarlah, Karna. Mereka yang telah bertempur mati- matian dan menaklukkan banyak kerajaan tidak pernah menyombongkan kemenangan mereka. Tapi... engkau? Aku belum pernah melihat hasil perbuatanmu yang pantas engkau banggakan.
“Api tidak ribut tetapi membakar. Matahari bersinar bu- kan untuk dirinya. Bumi memeluk segala yang ada di ba- hunya tanpa berisik. Pujian apakah yang pantas diberikan kepada kesatria yang merampas kerajaan lain dengan muslihat dalam permainan dadu? Keberhasilan menipu Pan- dawa tidak pantas dibanggakan, menyerupai menangkap burung piaraan sendiri dengan perangkap yang hebat. “Duryodhana dan Karna, pertempuran apakah yang telah kalian menangkan melawan Pandawa? Pantaskah ka- lian merasa gembira dikarenakan telah mempermalukan Drau- padi? Kalian hampir saja menghancurkan bangsa Kuru, mirip si pandir menebang pohon cendana sebab mabuk oleh keharumannya.
“Melemparkan dadu untuk menerima angka 4 atau 2 tidak sesulit menghadapi desing Gandiwa Arjuna. Apa kalian kira Sakuni sanggup menyulap jalannya pertempuran semoga kita menang? Mungkin kita semua sudah gila.”
Para pemimpin pasukan Kaurawa mulai berperang mulut, saling mencaci dan memaki. Bhisma sedih melihat itu dan berkata dengan sabar, “Orang yang berbudi luhur tidak akan mencaci-maki mahagurunya. Orang yang pergi berperang niscaya sudah memperhitungkan segala kemung- kinan, yaitu tempat, waktu, dan situasi.
“Memang, orang pintar sanggup juga kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Karena marah, Duryodhana lupa bahwa kita berhadapan dengan Arjuna yang sekarang, bukan Arjuna yang dulu. Pikiranmu gelap terselubung amarah dan dendam kesumat, Duryodhana.
“Aswatthama, jangan kaumasukkan kata-kata Karna yang tajam itu ke dalam hatimu. Jadikan itu sebagai peringatan semoga kamu mawas diri dan lebih cermat dalam bertindak.
“Sekarang bukan waktunya untuk berkelahi atau membesar-besarkan perbedaan. Drona, Mahaguru Kripa dan Aswatthama harus memaafkan Karna. Kaurawa tak mungkin menemukan mahaguru yang hebat mirip Kripa dan Drona serta Aswatthama, putra Drona, yang sakti dan perkasa. Mereka ialah kesatria-kesatria sakti yang mum- puni dalam ilmu kitab suci.
“Kita tahu, kecuali Parasurama, tak seorang pun sanggup menandingi Drona. Kita hanya sanggup menaklukkan Arjuna kalau kita serang ia bersama-sama. Mari kita hadapi kiprah berat ini bersama-sama. Kalau kita terus bertengkar, kita tidak akan sanggup menundukkan Arjuna.” Demikianlah nasihat Bhisma, sesepuh yang dimuliakan dan disegani seluruh bangsa Kuru. Semua melongo dan tertunduk mendengar kata-kata Bhisma!
Bhisma menoleh kepada Duryodhana, kemudian melanjutkan, “Wahai Raja para Kaurawa, Arjuna sudah datang. Waktu tiga belas tahun yang ditetapkan sebagai masa penga- singan dan persembunyian Pandawa telah habis kemarin. Perhitunganmu salah. Tanyakan kepada pendita yang tahu perihal pergantian hari, bulan dan peredaran bintang-bin- tang. Aku tahu masa pengasingan mereka sudah selesai ketika kita mendengar deru terompet Arjuna. Sekarang Pandawa telah bebas. Pikirkan baik-baik sebelum memu- tuskan untuk bertempur. Jika engkau mau berdamai dengan Pandawa, sekaranglah waktunya. Apa yang engkau kehendaki? Perdamaian yang adil dan terhormat, atau ...kehancuran bersama dalam peperangan? Pertimbangkan baik-baik dan tentukan pilihanmu.”
Duryodhana menjawab, “Kakek Yang Mulia, saya tidak ingin berdamai. Aku tidak sudi menyerahkan satu desa pun kepada Pandawa. Mari bersiap untuk perang.”
Drona berkata, “Kalau demikian, biarlah Baginda Dur- yodhana kembali ke Hastinapura dikawal seperempat bala- tentara kita. Separo dari balatentara yang ada akan me- ngawal ternak dan barang rampasan yang dibawa ke Hastinapura sebagai bukti bahwa kita menang perang. Dengan kata lain, tanpa ternak-ternak itu berarti kita mendapatkan kekalahan. Lalu, balatentara yang tersisa akan mengawal kita berlima, Bhisma, Kripa, Karna, Aswatthama dan saya sendiri, untuk menghadapi Arjuna.”
Kemudian, balatentara Kaurawa diatur berdasarkan pemba- gian itu. Arjuna tidak melihat Duryodhana dalam pasukan Kaurawa yang dihadapinya. Ia berkata kepada Uttara, “Aku tidak melihat Duryodhana dan keretanya. Aku hanya meli- hat Bhisma. Mungkin Duryodhana sedang merebut ternak kita. Ayo kita kejar ia dan kita rebut kembali ternak kita.”
Uttara melecut kudanya ke arah yang ditunjukkan Arju-na. Mereka mengejar pasukan Kaurawa yang menggiring ternak dan membawa barang-barang rampasan. Arjuna menyerang pasukan itu hingga mereka tunggang langgang meninggalkan ternak dan barang-barang rampasan. Sete- lah musuh kabur, Arjuna menyuruh para gembala meng- ambil kembali ternak mereka.
Kemudian Arjuna mencari Duryodhana. Mengetahui hal itu, Bhisma mengerahkan pasukan Kaurawa untuk mem- bantu Duryodhana. Mereka mengepung Arjuna. Tahu diri- nya dikepung, Arjuna menetapkan untuk menggempur pemimpin balatentara Kaurawa satu per satu. Pertama, diserangnya Karna dengan serangan kilat. Karna tak mam- pu melawan. Ia terpelanting jatuh dari keretanya. Kemudi- an Arjuna menerjang Drona hingga terjengkang. Aswat- thama melihat ayahnya kalah kemudian cepat-cepat membantu. Serangan Aswatthama berhasil ditangkis Arjuna. Justru Aswatthama yang dibentuk tidak berkutik sebab serangan Arjuna yang bertubi-tubi.
Mahaguru Kripa menyerang Arjuna dari belakang, di- bantu oleh Bhisma dan Duryodhana.
Arjuna ingin melumpuhkan mereka satu per satu, kare- na ia sadar tidak punya sahabat apalagi pasukan. Arjuna berhasil menghindari serangan Kripa dan Bhisma. Lalu ia memusatkan serangannya pada Duryodhana. Pangeran itu ingin sekali memancung leher Arjuna, tetapi ia justru dihu- jani panah dan terpaksa lari terbirit-birit mirip pengecut.
Karena kewalahan menghadapi Mahaguru Kripa dan Bhisma yang terus menyerangnya, Arjuna menetapkan untuk mengeluarkan ajian pembius. Ia kemudian menciptakan kedudukan musuhnya terpusat. Setelah lawan berada dalam posisi yang diinginkannya, Arjuna melemparkan senjata saktinya ke tengah-tengah balatentara Kaurawa. Satu per satu orang-orang itu jatuh pingsan. Dengan gampang Uttara dan Arjuna merampas jubah mereka, seba- gai tanda kemenangan.
Arjuna berkata kepada Uttara, “Belokkan arah kereta. Ternak dan harta benda telah kembali kepada rakyat kita dan musuh sudah kita taklukkan. Wahai Putra Mahkota, pulanglah engkau dan bawalah isu kemenangan ini.”
Sebelum hingga ke istana, Arjuna menyimpan kembali senjata-senjatanya di daerah rahasia, membersihkan diri dan mengganti pakaiannya kembali mirip Brihannala, sang guru tari. Kemudian ia mengirim utusan ke ibu kota Matsya untuk memberikan isu kemenangan gemilang Uttara kepada Raja Wirata.
Di daerah pertempuran, Duryodhana kembali ke induk pasukannya. Dilihatnya Bhisma dan yang lain-lain gres saja siuman dan jubah mereka tidak ada lagi. Artinya, Kaurawa kalah dan sebaiknya mundur. Dengan memikul kekalahan besar, Kaurawa kembali ke Hastinapura.
***
Dari arah selatan, Raja Wirata diiringkan balatentaranya kembali ke ibu kota sesudah mengalahkan Raja Susarma dari Negeri Trigata. Rakyat mengelu-elukannya. Tetapi, sesampainya di istana, Wirata tak menemukan Uttara. Permaisuri dan para putri memberi tahu bahwa Uttara pergi ke utara menggempur Kaurawa yang menduduki sebagian wilayah Kerajaan Matsya. Mereka berharap semo- ga Uttara sanggup menaklukkan musuhnya. Setelah tahu bahwa putranya hanya ditemani oleh Brihannala, guru tari yang banci, Raja Wirata pasrah. Ia yakin, putranya niscaya kalah dan terbunuh dalam pertempuran.
“Anakku tercinta kini niscaya sudah tewas,” katanya sedih.
Ia kemudian memerintahkan menterinya untuk mengirimkan pasukan terkuat ke utara guna membantu Putra Mahkota Uttara. Jika pangeran itu masih hidup, pasukan itu harus membawanya pulang. Pasukan diam-diam dan pencari jejak dikirim ke segala penjuru untuk mengetahui ke mana Uttara pergi dan bagaimana nasibnya.
Kangka mencoba menghibur Wirata dengan mengata- kan bahwa Putra Mahkota niscaya selamat dan sanggup meme-nangkan pertempuran sebab ia didampingi Brihannala sebagai sais kereta.
“Kekalahan Susarma di selatan niscaya sudah diketahui Kaurawa. Mereka niscaya gentar dan menentukan mundur,” kata Kangka hati-hati.
Sementara itu, utusan Uttara tiba, mengabarkan isu kemenangan. Ternak dan harta benda yang dirampas sudah kembali ke tangan rakyat.
Wirata tak percaya. Menurutnya, isu itu terlalu dibe- sar-besarkan. Kangka terus berusaha meyakinkan Wirata bahwa isu itu memang benar. Bagi Wirata, kemenangan putranya merupakan suatu keajaiban. Karena gembiranya, ia berikan hadiah besar kepada pembawa isu itu. Kemu- dian ia memerintahkan para menteri, pimpinan pasukan dan seluruh penduduk ibu kota untuk menyambut kem- balinya Putra Mahkota Uttara dari medan perang.
Berkatalah Wirata, “Kemenanganku melawan Susarma tidak berarti apa-apa. Kemenangan yang bahwasanya ada- lah kemenangan Putra Mahkota. Siapkan upacara keme- nangan dan persembahyangan syukur di seluruh negeri. Pasang umbul-umbul aneka warna dan hiasi jalan-jalan semoga semarak. Kerahkan penduduk untuk mengadakan arak-arakan gamelan, genderang, dan tetabuhan. Siapkan upacara penyambutan paling meriah untuk Putra Mahkota yang berhati singa!”
Setelah memberi perintah, Wirata pergi ke beranda untuk berstirahat. Ia memanggil Sairandri dan Kangka. Mereka disuruhnya mempersiapkan permainan dadu. Sambil bermain dadu, Wirata berkata, “Aku sangat baha- gia. Lihatlah, betapa perkasanya anakku Uttara! Ia telah menaklukkan kesatria-kesatria Kaurawa.”
“Benar demikian. Putra Mahkota Uttara beruntung di- dampingi sais kereta mirip Brihannala yang tangkas dan tahu bagaimana mengemudikan kereta perang.”
Wirata merasa tersindir dan tidak suka mendengar kata-kata Kangka. Ia murka dan berkata lantang, “Kenapa engkau berulang-ulang menyebut nama si banci, padahal saya sedang senang sebab putraku memenangkan per- tempuran? Bukankah sudah sepantasnya saya memuji putraku yang gagah perkasa? Kenapa engkau justru menekankan ketangkasan si bencong sebagai sais kereta?”
“Aku tahu Brihannala bukan orang biasa. Kereta yang dikemudikannya niscaya takkan salah arah dan ia niscaya pantang menyerah. Brihannala selalu yakin akan sanggup me- metik kemenangan gemilang siapa pun musuhnya,” jawab Kangka tenang.
Wirata tidak sanggup menahan amarahnya. Ia meng- anggap kata-kata Kangka sebagai penghinaan terhadap anak dan dirinya sendiri. Ia naik pitam. Dilemparkannya dadu ke wajah Kangga, melukai pipinya hingga berdarah. Sairandri, yang kebetulan lewat, melihat darah di pipi Kangka. Dengan cepat disekanya wajah Kangka dengan sari-nya. Darah Kangka yang titik ditampungnya dalam cawan emas.
Melihat itu Wirata semakin marah. Apalagi sebab Sai- randri melakukannya di hadapannya, penguasa tertinggi Negeri Matsya. Wirata menghardik, “Kurang ajar! Kenapa engkau menadahi darah Kangka dengan cawan emas?”
“Tuanku Raja, darah seorang sanyasin tidak boleh jatuh ke bumi,” jawab Sairandri tenang. “Kalau hingga darahnya menetes ke bumi, hujan tidak akan turun di negeri ini selama beberapa tahun, tanah akan retak kekeringan dan rakyat akan mati kelaparan. Karena itu, darahnya kutam- pung dalam cawan emas. Aku khawatir, Tuanku Raja belum mengenal kebesaran Kangka,” Sairandri menam- bahkan.
Sementara percakapan itu berlangsung, seorang penga- wal mengabarkan kedatangan Uttara, diiringkan Brihan- nala, yang ingin segera menghadap Baginda Raja.
“Persilakan mereka menghadapku,” kata Wirata kepada pengawal itu.
Kesempatan itu dipergunakan Kangka untuk membisiki si pengawal semoga Uttara tiba menghadap sendirian, jangan hingga Brihannala ikut. Kangka berbuat demikian sebab Raja sedang marah. Ia tahu, Brihannala alias Arju- na niscaya murka kalau melihat pipi Kangka alias Yudhistira berdarah sebab ia sangat mencintai saudaranya.
Uttara masuk dan menyembah Raja Wirata. Waktu menoleh ke arah Kangka, hendak mengucapkan salam hormat, ia terkejut melihat darah kering di wajah lelaki itu. Sekarang Uttara sadar, Kangka tiada lain ialah Yudhis- tira yang agung.
“Tuanku Raja, siapa yang telah melukai dia, Yang Agung?” Uttara bertanya dengan cemas.
Wirata memandang putranya, kemudian berkata, “Kenapa? Aku melempar mukanya dengan dadu sebab kelancangan dan kesombongannya. Waktu saya sedang senang dan gembira sebab kemenanganmu, ia justru memperkecil arti kemenanganmu. Setiap kali saya memuji kesaktian dan keperkasaanmu, ia justru menyebut-nyebut kemahiran si banci. Aku memang telah melukainya, kuakui itu; tapi hal ini tak usah kita bicarakan lagi. Ceritakanlah bagaimana engkau bertempur hingga menang.”
Uttara merasa takut. Ia berkata, “Ya, Dewata, Ayah telah berbuat kesalahan besar. Berlututlah di hadapannya, kini juga, Ayah. Mintalah maaf. Kalau tidak, kita akan musnah dari akar hingga ke daun.”
Wirata tidak mengerti maksud anaknya. Ia hanya duduk membisu kebingungan. Tanpa menunggu lagi, Uttara segera berlutut di depan Yudhistira dan meminta maaf yang sebesar-besarnya.
Melihat itu, Wirata memeluk anaknya dan berkata, “Anakku, engkau benar-benar seorang kesatria! Aku tak sabar lagi menunggu ceritamu. Bagaimana engkau menak- lukkan balatentara Kaurawa? Bagaimana engkau merebut kembali ternak dan harta benda kita?”
Sambil menundukkan kepala sebab sangat malu, Utta- ra berkata, “Bukan saya yang menaklukkan musuh. Bukan saya yang mengambil ternak itu kembali. Semua itu dilaku- kan oleh seorang Putra Mahkota yang sangat sakti dan perkasa. Dia yang memukul mundur pasukan Kaurawa dan merebut kembali semua ternak dan kekayaan kita. Aku tidak berbuat apa-apa.”
Wirata tidak percaya akan apa yang didengarnya. Ia bertanya lagi, “Di manakah Putra Mahkota itu sekarang? Aku harus berterima kasih kepadanya sebab ia telah menolong engkau dan mengusir musuh. Akan kuberikan anakku, Dewi Uttari untuk dipersunting. Panggillah Uttari kini juga.”
“Dia telah pergi. Mungkin besok atau lusa ia akan tiba kemari,” jawab Uttara.
***
Atas perintah Wirata, balairung dan ruang-ruang persida- ngan besar di ibu kota Negeri Matsya dihiasi sangat megah untuk merayakan kemenangan Raja dan Putra Mahkota. Undangan dikirimkan kepada raja-raja sahabat, tamu- tamu agung, dan orang-orang penting lainnya. Pesta besar akan dilangsungkan di ibu kota Negeri Matsya.
Kangka si sanyasin, Walala si juru masak, Brihannala si guru tari, Dharmagranti si tukang kuda, dan Tantripala si penggembala, hadir di pesta. Sebenarnya mereka tidak diundang, sebab yang diundang hanya tamu-tamu agung dan orang-orang penting. Dalam pesta itu juga tampak Sai- randri, pelayan permaisuri. Hadirin berbisik-bisik, membi- carakan kehadiran mereka. Ada yang berkata bahwa mere- ka pantas diundang sebab jasa mereka dalam peperangan yang gres lalu. Ada yang menyesalkan, kenapa orang- orang mirip mereka diperbolehkan hadir dalam perjamu- an besar itu. “Bukankah mereka hanya sanyasin, juru masak, guru tari, tukang kuda, gembala, dan pelayan?”
Ketika masuk ke dalam ruangan, Wirata melihat Kangka si sanyasin, Walala si juru masak, dan yang lain duduk berjajar bersama para tamu. Raja sangat murka dan de- ngan kata-kata bergairah menghina mereka. Karena perilaku Wirata yang keterlaluan, maka tanpa ragu Pandawa menyatakan siapa diri mereka sebenarnya. Penyamaran telah dibuka. Para tamu bersorak sorai dan menyambut mereka dengan tepuk tangan meriah.
Wirata sungguh tidak menyangka bahwa orang-orang yang selama ini telah bekerja keras mengabdi kepadanya tiada lain ialah Pandawa. Wirata segera meminta maaf dan di hadapan para tamu, ia memeluk Kangka. Kemudi- an, secara resmi ia mengumumkan bahwa ia menyerahkan Negeri Matsya kepada Pandawa sebab jasa-jasa mereka. Wirata juga menyerahkan putrinya, Dewi Uttari, kepada Arjuna untuk diperistri.
Pandawa mengucapkan terima kasih kepada Raja Wirata dan rakyat Negeri Matsya yang telah melindungi dan membantu mereka dalam keadaan sangat sulit selama satu tahun. Pandawa mendapatkan penyerahan Negeri Matsya secara simbolik dan ketika itu juga menyerahkannya kembali kepada Raja Wirata. Kemudian semua yang hadir memper- sembahkan doa syukur bagi kemakmuran dan kesejah- teraan Raja dan rakyat Negeri Matsya.
Arjuna menyela, “Tidak, ini tidak pantas sebab Dewi Uttari berguru musik dan tari dari aku. Aku ialah gurunya dan saya lebih pantas menjadi ayahnya. Jika tidak ada yang berkeberatan, saya usulkan semoga ia dinikahkan de- ngan putraku, Abhimanyu.”
Sementara semua orang sedang berpesta, tiba utu- san Duryodhana membawa pesan khusus untuk Yudhis- tira.
Setelah diperkenankan menghadap, utusan itu berkata, “Wahai Putra Dewi Kunti, Duryodhana sangat menyayang- kan tindakan Dananjaya yang ceroboh. Dananjaya membi- arkan dirinya dikenali orang sebelum tahun ketiga belas habis. Engkau harus kembali ke hutan lagi. Sesuai sum- pahmu, engkau harus mengembara dua belas tahun lagi di dalam hutan.”
Dharmaputra tersenyum dan berkata, “Utusan yang ter- hormat, kembalilah segera kepada Duryodhana dan kata- kan kepadanya bahwa saya menyuruhnya bertanya kepada para tetua yang bijak dan pintar perihal cara meng-hitung waktu. Kakek Bhisma yang kita muliakan dan para mahaguru lainnya niscaya tahu peredaran bintang di langit. Mereka niscaya akan menegaskan bahwa tiga belas tahun penuh telah kami lewatkan sempurna sehari sebelum Kaurawa mendengar desing Gandiwa dan deru Dewadatta milik Dananjaya yang menciptakan kalian lari tunggang langgang.”
Uttara meninggalkan ibukota Negeri Matsya dengan ke- reta yang dikemudikan Brihannala. Ia memerintahkan sais itu memacu kuda sekencang-kencangnya ke arah balatentara Kaurawa. Jauh di kaki langit tampak sebaris titik, memanjang, melingkar-lingkar, diselimuti debu yang mengepul ke angkasa. Itu niscaya pasukan Kaurawa dalam jumlah besar.
Makin bersahabat makin terang sosok mereka. Mula-mula tam- pak kereta-kereta yang dinaiki Bhisma, Drona, Mahaguru Kripa, Duryodhana dan Karna. Melihat rombongan Kau- rawa, hati Uttara tiba-tiba menjadi kecut. Dia menyuruh Brihannala melambatkan keretanya. Uttara sangat ketaku- tan. Mulutnya terasa kering, bulu romanya berdiri, dan keringat hambar mengucur dari dahinya. Tangan dan kaki- nya gemetar. Ia menutupi matanya dengan kedua tangan- nya dan berkata lirih kepada Brihannala, “Bagaimana mungkin saya sendirian melawan musuh sebanyak itu? Aku tidak membawa pasukan. Semua prajurit dibawa ayahku ke selatan. Tidak mungkin saya melawan kesatria- kesatria yang termasyhur andal berperang itu. Brihannala, berbaliklah! Kita pulang.”
Brihannala menjawab, “Tuanku, engkau berangkat de- ngan semangat berapi-api hendak menghancurkan musuh. Permaisuri, penghuni istana dan rakyat mempercayakan nasib mereka kepadamu. Sairandri memuji-muji saya dan menciptakan engkau mengangkatku menjadi saismu. Kalau kita kembali sekarang, tanpa merebut ternak kita yang dirampas musuh, kita akan ditertawakan. Aku tidak akan membelokkan kereta ini. Mari kita maju terus dan bertempur! Jangan gentar!”
Uttara berkata dengan gugup, “Aku tidak mau, saya tidak mau! Biarlah Kaurawa merampas ternak kita, biarlah perempuan-perempuan menertawakan aku, saya tidak peduli. Apa gunanya melawan musuh yang jauh lebih berpengaruh dan lebih besar jumlahnya? Itu namanya tolol! Belokkan kereta! Kalau tidak, saya akan meloncat turun dan pulang dengan berjalan kaki.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Uttara membuang senjata-senjatanya sambil meloncat turun dari kereta. Rasa takut melihat kekuatan musuh mencekam jiwanya dan membuatnya panik. Ia lari kalang kabut, kembali ke ibu kota.
Brihannala mengejar Uttara sambil memanggil-manggil semoga pangeran itu berbuat sebagai kesatria. Rambut pan- jang dan pakaian Brihannala melambai-lambai ditiup angin kencang. Uttara makin mempercepat larinya. Akhir- nya pangeran itu terkejar juga. Uttara meminta semoga Brihannala membiarkannya pulang.
Uttara berkata dengan bunyi mengiba, “Aku satu- satunya anak lelaki ibuku. Aku dibesarkan di pangkuan ibuku. Aku tak mau meninggalkan ibuku. Aku takut, saya takut sekali! Aku takut mati bertempur melawan musuh!”
Brihannala berusaha melepaskan Uttara dari ketaku- tannya dan membangkitkan keberaniannya. Ia menggeng- gam tangan Uttara dan memaksanya naik lagi ke kereta.
Uttara menangis dan berkata terbata-bata, “Alangkah malunya aku, terlanjur omong besar. Apa balasannya saya nanti?”
Brihannala menghiburnya, “Jangan takut! Aku yang akan menghadapi Kaurawa. Bantu aku, pegang tali kekang ini, selebihnya serahkan padaku. Percayalah padaku, tidak ada gunanya lari dari pertempuran. Akan kita enyahkan musuhmu dan kita dapatkan kembali semua ternak yang mereka rampas. Kemenangan niscaya di pihak kita. Perca- yalah!”
Setelah berkata demikian, Brihannala meminta Uttara semoga menghela kereta itu ke arah sebatang pohon besar di bersahabat kuburan. Sampai di bersahabat kuburan, Brihannala meminta Uttara naik ke pohon besar itu dan mengambil senjata-senjatanya yang disembunyikannya di sana. Uttara memejamkan mata, tak berani memanjat pohon itu.
“Kata orang di pohon ini pernah tergantung mayit nenek renta yang berkembang menjadi setan. Aku tak berani memegang mayit itu. Mengapa kamu menyuruhku mela- kukan ini?” kata Uttara.
“Dengar, Pangeran, itu tidak benar! Itu bukan mayat. Itu kantong kulit. Di sana tersimpan senjata-senjata sakti milik Pandawa. Naiklah dan bawa turun senjata-senjata itu. Cepat! Jangan buang-buang waktu,” kata Brihannala tegas.
Karena Brihannala terus mendesak, Uttara terpaksa menurut. Ia memanjat pohon itu kemudian mengambil kantong kulit besar yang disembunyikan di balik daun-daunan. Alangkah kagetnya ia ketika melihat isi kantong itu: senjata-senjata yang gemilang! Cepat-cepat dibawanya kantong itu turun dan diserahkannya kepada saisnya. Brihannala menyuruh Uttara meraba senjata-senjata itu. Begitu menyentuh senjata-senjata itu, Uttara merasa ada arus kekuatan mistik merasuki tubuhnya dan menguatkan jiwanya. Matanya kini berbinar memancarkan sema- ngat baru.
Ia bertanya kepada Brihannala, “Alangkah anehnya! Katamu senjata-senjata ini milik Pandawa. Bukankah kerajaan mereka dirampas Kaurawa dan mereka diusir ke hutan oleh Kaurawa? Bagaimana mungkin engkau sanggup tahu perihal senjata-senjata ini?”
Secara ringkas Brihannala berkata bahwa bahwasanya sudah hampir satu tahun Pandawa tinggal di ibu kota Negeri Matsya dan bekerja mengabdi Raja Wirata. Mereka ialah Kangka, Walala, Dharmagranti, Tantripala, dan
Sairandri. Brihannala juga bercerita perihal selesai hayat Mahasenapati Kicaka yang berani menghina Draupadi.
“Aku ini Arjuna. Putra Mahkota, jangan takut. Engkau akan melihat bagaimana saya menaklukkan Kaurawa. Biar- pun di pihak Kaurawa ada Bhisma, Drona, Duryodhana dan Aswatthama, kita harus rebut kembali ternak dan harta yang mereka rampas. Dan engkau akan menjadi masyhur. Semua ini akan menjadi pelajaran berharga bagimu,” kata Arjuna meyakinkan Uttara.
Uttara segera mengatupkan kedua telapak tangannya, memberi hormat kepada Arjuna, dan berkata, “Tak ku- sangka engkau ialah Arjuna. Alangkah beruntungnya saya sanggup bertemu denganmu. Arjuna, kamu kesatria per- kasa. Engkau telah menanamkan keberanian dalam jiwa- ku. Maafkan kesalahanku sebab kedunguanku.”
Di kereta yang dikemudikan Uttara, Arjuna bercerita perihal kisah-kisah kepahlawanan untuk membangkitkan keberanian Uttara.
Kini kereta semakin mendekati pertahanan pasukan Kaurawa. Arjuna minta semoga kereta dihentikan. Kemudian mereka turun. Perhiasan perempuan ditanggalkannya, rambut- nya yang panjang diikat, pakaian perempuan ditukarnya dengan pakaian perang, dan senjata-senjatanya disiapkan. Dengan menghadap Batara Surya di arah timur, Arjuna bersila dan bersembahyang, memuja dan berdoa. Setelah selesai, ia berdiri tegak penuh keagungan, menciptakan Uttara terkagum-kagum. Pangeran itu bangun semangatnya. Ia naik ke kereta. Arjuna mengangkat busur Gandiwa, mema- sang anak panah, membidik ke angkasa, menarik tali busur, dan ... meluncurlah anak panah itu membelah ang- kasa dengan bunyi mendesing-desing. Kemudian Arjuna meniup terompet kerangnya yang berjulukan Dewadatta. Suaranya menderu menggema ke seluruh penjuru!
Mendengar bunyi itu, pasukan Kaurawa terkejut. Mereka saling berpandangan. Dengan telinganya yang tajam, Drona memastikan bahwa bunyi itu berasal dari desingan anak panah Gandiwa dan gema terompet kerang
Dewadatta milik Arjuna. Drona membisikkan hal itu kepada Karna yang menanggapi, “Mana mungkin itu Arju- na? Apa peduli kita kalaupun ia ada di sini? Apa yang sanggup ia lakukan sendirian menghadapi kita, kalau Pandawa lainnya bersama Wirata pergi ke selatan melawan Susar- ma? Paling-paling ia hanya bersama Uttara, Putra Mahkota yang pengecut itu!”
Duryodhana menyambung, “Kenapa kita mesti pusing- pusing? Walaupun itu Arjuna, paling-paling ia hanya akan menyerahkan diri ke tangan kita untuk ditemukan sebe- lum waktunya. Dan, sebab itu kita sanggup mengirim Pan- dawa ke hutan selama dua belas tahun lagi.”
Dari kejauhan tampak sesuatu bergerak kencang. Debu mengepul bagaikan ekor binatang. Sekali lagi terdengar desing Gandiwa dan gema Dewadatta.
“Pasukan kita diserbu. Itu Arjuna tiba menyerbu mereka,” kata Drona dengan prihatin.
Duryodhana kesal melihat perilaku Drona mirip itu. Ia berkata kepada Karna, “Sumpah Pandawa ialah meneri- ma pengasingan di hutan selama dua belas tahun dan setahun bersembunyi tanpa dikenali. Tahun ketiga belas belum habis, tetapi Arjuna sudah berani muncul. Kenapa kita mesti prihatin? Mereka harus mengembara di hutan selama dua belas tahun lagi. Drona terlalu banyak mempe- lajari falsafah hingga jadi penakut. Biarlah ia bersembunyi di belakang, kita maju terus!”
Karna mengangguk baiklah dan berkata, “Memang, kalau tidak biasa bertempur niscaya gemetar. Kalaupun yang tiba memang Arjuna, kenapa kita mesti takut? Para- surama sekalipun, saya tidak gentar. Aku akan hadang ia kalau ia berani maju. Balatentara Matsya mungkin sanggup merebut kembali ternak mereka, tetapi Arjuna harus berhadapan dengan aku.” Kemudian Karna membunyikan terompetnya sendiri dan meledakkan senjatanya tanda ia siap bertempur.
Mahaguru Kripa yang mendengar kata-kata Karna menasihati, “Jangan berbuat tolol. Kita harus menyerang
Arjuna tolong-menolong dan serentak. Hanya dengan cara itu kita akan berhasil. Jangan omong besar dan berperang tanding sendirian.”
Karna naik pitam. Ia berkata lantang, “Oh, Mahaguru Kripa ternyata sudah mulai menyanyikan lagu kebanggaan untuk Arjuna. Apakah sebab takut atau sebab sayang kepada Pandawa? Aku tidak tahu. Yang saya tahu, para tetua semua takut dan menasihatkan semoga kita tak usah bertempur. Kalau begitu, sebaiknya kalian tinggal di bela- kang dan menonton saja. Seharusnya, mereka yang telah makan garam di Hastinapura berani maju bertempur.
“Aku hanya mengenal cinta kepada mitra dan benci kepada musuh. Aku takkan mundur! Apa guna mereka mempelajari kitab-kitab suci, kalau hingga di sini hanya memuji-muji musuh?”
Aswatthama, putra Drona dan kemenakan Mahaguru Kripa, tak tahan mendengar sindiran tajam Karna. Ia menyahut, “Kita belum membawa pulang ternak ke Hasti- napura. Kita belum memenangkan pertempuran. Omong besarmu tidak ada gunanya. Mungkin kami bukan golo- ngan kesatria; mungkin kami tergolong orang yang hanya membaca-baca mantra, Weda dan kitab-kitab Sastra. Meski demikian, kami belum pernah menemukan pedoman yang menyatakan bahwa seorang raja dikatakan kesatria kalau sanggup merampas kerajaan lain dengan muslihat dalam permainan dadu.
“Dengarlah, Karna. Mereka yang telah bertempur mati- matian dan menaklukkan banyak kerajaan tidak pernah menyombongkan kemenangan mereka. Tapi... engkau? Aku belum pernah melihat hasil perbuatanmu yang pantas engkau banggakan.
“Api tidak ribut tetapi membakar. Matahari bersinar bu- kan untuk dirinya. Bumi memeluk segala yang ada di ba- hunya tanpa berisik. Pujian apakah yang pantas diberikan kepada kesatria yang merampas kerajaan lain dengan muslihat dalam permainan dadu? Keberhasilan menipu Pan- dawa tidak pantas dibanggakan, menyerupai menangkap burung piaraan sendiri dengan perangkap yang hebat. “Duryodhana dan Karna, pertempuran apakah yang telah kalian menangkan melawan Pandawa? Pantaskah ka- lian merasa gembira dikarenakan telah mempermalukan Drau- padi? Kalian hampir saja menghancurkan bangsa Kuru, mirip si pandir menebang pohon cendana sebab mabuk oleh keharumannya.
“Melemparkan dadu untuk menerima angka 4 atau 2 tidak sesulit menghadapi desing Gandiwa Arjuna. Apa kalian kira Sakuni sanggup menyulap jalannya pertempuran semoga kita menang? Mungkin kita semua sudah gila.”
Para pemimpin pasukan Kaurawa mulai berperang mulut, saling mencaci dan memaki. Bhisma sedih melihat itu dan berkata dengan sabar, “Orang yang berbudi luhur tidak akan mencaci-maki mahagurunya. Orang yang pergi berperang niscaya sudah memperhitungkan segala kemung- kinan, yaitu tempat, waktu, dan situasi.
“Memang, orang pintar sanggup juga kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Karena marah, Duryodhana lupa bahwa kita berhadapan dengan Arjuna yang sekarang, bukan Arjuna yang dulu. Pikiranmu gelap terselubung amarah dan dendam kesumat, Duryodhana.
“Aswatthama, jangan kaumasukkan kata-kata Karna yang tajam itu ke dalam hatimu. Jadikan itu sebagai peringatan semoga kamu mawas diri dan lebih cermat dalam bertindak.
“Sekarang bukan waktunya untuk berkelahi atau membesar-besarkan perbedaan. Drona, Mahaguru Kripa dan Aswatthama harus memaafkan Karna. Kaurawa tak mungkin menemukan mahaguru yang hebat mirip Kripa dan Drona serta Aswatthama, putra Drona, yang sakti dan perkasa. Mereka ialah kesatria-kesatria sakti yang mum- puni dalam ilmu kitab suci.
“Kita tahu, kecuali Parasurama, tak seorang pun sanggup menandingi Drona. Kita hanya sanggup menaklukkan Arjuna kalau kita serang ia bersama-sama. Mari kita hadapi kiprah berat ini bersama-sama. Kalau kita terus bertengkar, kita tidak akan sanggup menundukkan Arjuna.” Demikianlah nasihat Bhisma, sesepuh yang dimuliakan dan disegani seluruh bangsa Kuru. Semua melongo dan tertunduk mendengar kata-kata Bhisma!
Bhisma menoleh kepada Duryodhana, kemudian melanjutkan, “Wahai Raja para Kaurawa, Arjuna sudah datang. Waktu tiga belas tahun yang ditetapkan sebagai masa penga- singan dan persembunyian Pandawa telah habis kemarin. Perhitunganmu salah. Tanyakan kepada pendita yang tahu perihal pergantian hari, bulan dan peredaran bintang-bin- tang. Aku tahu masa pengasingan mereka sudah selesai ketika kita mendengar deru terompet Arjuna. Sekarang Pandawa telah bebas. Pikirkan baik-baik sebelum memu- tuskan untuk bertempur. Jika engkau mau berdamai dengan Pandawa, sekaranglah waktunya. Apa yang engkau kehendaki? Perdamaian yang adil dan terhormat, atau ...kehancuran bersama dalam peperangan? Pertimbangkan baik-baik dan tentukan pilihanmu.”
Duryodhana menjawab, “Kakek Yang Mulia, saya tidak ingin berdamai. Aku tidak sudi menyerahkan satu desa pun kepada Pandawa. Mari bersiap untuk perang.”
Drona berkata, “Kalau demikian, biarlah Baginda Dur- yodhana kembali ke Hastinapura dikawal seperempat bala- tentara kita. Separo dari balatentara yang ada akan me- ngawal ternak dan barang rampasan yang dibawa ke Hastinapura sebagai bukti bahwa kita menang perang. Dengan kata lain, tanpa ternak-ternak itu berarti kita mendapatkan kekalahan. Lalu, balatentara yang tersisa akan mengawal kita berlima, Bhisma, Kripa, Karna, Aswatthama dan saya sendiri, untuk menghadapi Arjuna.”
Kemudian, balatentara Kaurawa diatur berdasarkan pemba- gian itu. Arjuna tidak melihat Duryodhana dalam pasukan Kaurawa yang dihadapinya. Ia berkata kepada Uttara, “Aku tidak melihat Duryodhana dan keretanya. Aku hanya meli- hat Bhisma. Mungkin Duryodhana sedang merebut ternak kita. Ayo kita kejar ia dan kita rebut kembali ternak kita.”
Uttara melecut kudanya ke arah yang ditunjukkan Arju-na. Mereka mengejar pasukan Kaurawa yang menggiring ternak dan membawa barang-barang rampasan. Arjuna menyerang pasukan itu hingga mereka tunggang langgang meninggalkan ternak dan barang-barang rampasan. Sete- lah musuh kabur, Arjuna menyuruh para gembala meng- ambil kembali ternak mereka.
Kemudian Arjuna mencari Duryodhana. Mengetahui hal itu, Bhisma mengerahkan pasukan Kaurawa untuk mem- bantu Duryodhana. Mereka mengepung Arjuna. Tahu diri- nya dikepung, Arjuna menetapkan untuk menggempur pemimpin balatentara Kaurawa satu per satu. Pertama, diserangnya Karna dengan serangan kilat. Karna tak mam- pu melawan. Ia terpelanting jatuh dari keretanya. Kemudi- an Arjuna menerjang Drona hingga terjengkang. Aswat- thama melihat ayahnya kalah kemudian cepat-cepat membantu. Serangan Aswatthama berhasil ditangkis Arjuna. Justru Aswatthama yang dibentuk tidak berkutik sebab serangan Arjuna yang bertubi-tubi.
Mahaguru Kripa menyerang Arjuna dari belakang, di- bantu oleh Bhisma dan Duryodhana.
Arjuna ingin melumpuhkan mereka satu per satu, kare- na ia sadar tidak punya sahabat apalagi pasukan. Arjuna berhasil menghindari serangan Kripa dan Bhisma. Lalu ia memusatkan serangannya pada Duryodhana. Pangeran itu ingin sekali memancung leher Arjuna, tetapi ia justru dihu- jani panah dan terpaksa lari terbirit-birit mirip pengecut.
Karena kewalahan menghadapi Mahaguru Kripa dan Bhisma yang terus menyerangnya, Arjuna menetapkan untuk mengeluarkan ajian pembius. Ia kemudian menciptakan kedudukan musuhnya terpusat. Setelah lawan berada dalam posisi yang diinginkannya, Arjuna melemparkan senjata saktinya ke tengah-tengah balatentara Kaurawa. Satu per satu orang-orang itu jatuh pingsan. Dengan gampang Uttara dan Arjuna merampas jubah mereka, seba- gai tanda kemenangan.
Arjuna berkata kepada Uttara, “Belokkan arah kereta. Ternak dan harta benda telah kembali kepada rakyat kita dan musuh sudah kita taklukkan. Wahai Putra Mahkota, pulanglah engkau dan bawalah isu kemenangan ini.”
Sebelum hingga ke istana, Arjuna menyimpan kembali senjata-senjatanya di daerah rahasia, membersihkan diri dan mengganti pakaiannya kembali mirip Brihannala, sang guru tari. Kemudian ia mengirim utusan ke ibu kota Matsya untuk memberikan isu kemenangan gemilang Uttara kepada Raja Wirata.
Di daerah pertempuran, Duryodhana kembali ke induk pasukannya. Dilihatnya Bhisma dan yang lain-lain gres saja siuman dan jubah mereka tidak ada lagi. Artinya, Kaurawa kalah dan sebaiknya mundur. Dengan memikul kekalahan besar, Kaurawa kembali ke Hastinapura.
***
Dari arah selatan, Raja Wirata diiringkan balatentaranya kembali ke ibu kota sesudah mengalahkan Raja Susarma dari Negeri Trigata. Rakyat mengelu-elukannya. Tetapi, sesampainya di istana, Wirata tak menemukan Uttara. Permaisuri dan para putri memberi tahu bahwa Uttara pergi ke utara menggempur Kaurawa yang menduduki sebagian wilayah Kerajaan Matsya. Mereka berharap semo- ga Uttara sanggup menaklukkan musuhnya. Setelah tahu bahwa putranya hanya ditemani oleh Brihannala, guru tari yang banci, Raja Wirata pasrah. Ia yakin, putranya niscaya kalah dan terbunuh dalam pertempuran.
“Anakku tercinta kini niscaya sudah tewas,” katanya sedih.
Ia kemudian memerintahkan menterinya untuk mengirimkan pasukan terkuat ke utara guna membantu Putra Mahkota Uttara. Jika pangeran itu masih hidup, pasukan itu harus membawanya pulang. Pasukan diam-diam dan pencari jejak dikirim ke segala penjuru untuk mengetahui ke mana Uttara pergi dan bagaimana nasibnya.
Kangka mencoba menghibur Wirata dengan mengata- kan bahwa Putra Mahkota niscaya selamat dan sanggup meme-nangkan pertempuran sebab ia didampingi Brihannala sebagai sais kereta.
“Kekalahan Susarma di selatan niscaya sudah diketahui Kaurawa. Mereka niscaya gentar dan menentukan mundur,” kata Kangka hati-hati.
Sementara itu, utusan Uttara tiba, mengabarkan isu kemenangan. Ternak dan harta benda yang dirampas sudah kembali ke tangan rakyat.
Wirata tak percaya. Menurutnya, isu itu terlalu dibe- sar-besarkan. Kangka terus berusaha meyakinkan Wirata bahwa isu itu memang benar. Bagi Wirata, kemenangan putranya merupakan suatu keajaiban. Karena gembiranya, ia berikan hadiah besar kepada pembawa isu itu. Kemu- dian ia memerintahkan para menteri, pimpinan pasukan dan seluruh penduduk ibu kota untuk menyambut kem- balinya Putra Mahkota Uttara dari medan perang.
Berkatalah Wirata, “Kemenanganku melawan Susarma tidak berarti apa-apa. Kemenangan yang bahwasanya ada- lah kemenangan Putra Mahkota. Siapkan upacara keme- nangan dan persembahyangan syukur di seluruh negeri. Pasang umbul-umbul aneka warna dan hiasi jalan-jalan semoga semarak. Kerahkan penduduk untuk mengadakan arak-arakan gamelan, genderang, dan tetabuhan. Siapkan upacara penyambutan paling meriah untuk Putra Mahkota yang berhati singa!”
Setelah memberi perintah, Wirata pergi ke beranda untuk berstirahat. Ia memanggil Sairandri dan Kangka. Mereka disuruhnya mempersiapkan permainan dadu. Sambil bermain dadu, Wirata berkata, “Aku sangat baha- gia. Lihatlah, betapa perkasanya anakku Uttara! Ia telah menaklukkan kesatria-kesatria Kaurawa.”
“Benar demikian. Putra Mahkota Uttara beruntung di- dampingi sais kereta mirip Brihannala yang tangkas dan tahu bagaimana mengemudikan kereta perang.”
Wirata merasa tersindir dan tidak suka mendengar kata-kata Kangka. Ia murka dan berkata lantang, “Kenapa engkau berulang-ulang menyebut nama si banci, padahal saya sedang senang sebab putraku memenangkan per- tempuran? Bukankah sudah sepantasnya saya memuji putraku yang gagah perkasa? Kenapa engkau justru menekankan ketangkasan si bencong sebagai sais kereta?”
“Aku tahu Brihannala bukan orang biasa. Kereta yang dikemudikannya niscaya takkan salah arah dan ia niscaya pantang menyerah. Brihannala selalu yakin akan sanggup me- metik kemenangan gemilang siapa pun musuhnya,” jawab Kangka tenang.
Wirata tidak sanggup menahan amarahnya. Ia meng- anggap kata-kata Kangka sebagai penghinaan terhadap anak dan dirinya sendiri. Ia naik pitam. Dilemparkannya dadu ke wajah Kangga, melukai pipinya hingga berdarah. Sairandri, yang kebetulan lewat, melihat darah di pipi Kangka. Dengan cepat disekanya wajah Kangka dengan sari-nya. Darah Kangka yang titik ditampungnya dalam cawan emas.
Melihat itu Wirata semakin marah. Apalagi sebab Sai- randri melakukannya di hadapannya, penguasa tertinggi Negeri Matsya. Wirata menghardik, “Kurang ajar! Kenapa engkau menadahi darah Kangka dengan cawan emas?”
“Tuanku Raja, darah seorang sanyasin tidak boleh jatuh ke bumi,” jawab Sairandri tenang. “Kalau hingga darahnya menetes ke bumi, hujan tidak akan turun di negeri ini selama beberapa tahun, tanah akan retak kekeringan dan rakyat akan mati kelaparan. Karena itu, darahnya kutam- pung dalam cawan emas. Aku khawatir, Tuanku Raja belum mengenal kebesaran Kangka,” Sairandri menam- bahkan.
Sementara percakapan itu berlangsung, seorang penga- wal mengabarkan kedatangan Uttara, diiringkan Brihan- nala, yang ingin segera menghadap Baginda Raja.
“Persilakan mereka menghadapku,” kata Wirata kepada pengawal itu.
Kesempatan itu dipergunakan Kangka untuk membisiki si pengawal semoga Uttara tiba menghadap sendirian, jangan hingga Brihannala ikut. Kangka berbuat demikian sebab Raja sedang marah. Ia tahu, Brihannala alias Arju- na niscaya murka kalau melihat pipi Kangka alias Yudhistira berdarah sebab ia sangat mencintai saudaranya.
Uttara masuk dan menyembah Raja Wirata. Waktu menoleh ke arah Kangka, hendak mengucapkan salam hormat, ia terkejut melihat darah kering di wajah lelaki itu. Sekarang Uttara sadar, Kangka tiada lain ialah Yudhis- tira yang agung.
“Tuanku Raja, siapa yang telah melukai dia, Yang Agung?” Uttara bertanya dengan cemas.
Wirata memandang putranya, kemudian berkata, “Kenapa? Aku melempar mukanya dengan dadu sebab kelancangan dan kesombongannya. Waktu saya sedang senang dan gembira sebab kemenanganmu, ia justru memperkecil arti kemenanganmu. Setiap kali saya memuji kesaktian dan keperkasaanmu, ia justru menyebut-nyebut kemahiran si banci. Aku memang telah melukainya, kuakui itu; tapi hal ini tak usah kita bicarakan lagi. Ceritakanlah bagaimana engkau bertempur hingga menang.”
Uttara merasa takut. Ia berkata, “Ya, Dewata, Ayah telah berbuat kesalahan besar. Berlututlah di hadapannya, kini juga, Ayah. Mintalah maaf. Kalau tidak, kita akan musnah dari akar hingga ke daun.”
Wirata tidak mengerti maksud anaknya. Ia hanya duduk membisu kebingungan. Tanpa menunggu lagi, Uttara segera berlutut di depan Yudhistira dan meminta maaf yang sebesar-besarnya.
Melihat itu, Wirata memeluk anaknya dan berkata, “Anakku, engkau benar-benar seorang kesatria! Aku tak sabar lagi menunggu ceritamu. Bagaimana engkau menak- lukkan balatentara Kaurawa? Bagaimana engkau merebut kembali ternak dan harta benda kita?”
Sambil menundukkan kepala sebab sangat malu, Utta- ra berkata, “Bukan saya yang menaklukkan musuh. Bukan saya yang mengambil ternak itu kembali. Semua itu dilaku- kan oleh seorang Putra Mahkota yang sangat sakti dan perkasa. Dia yang memukul mundur pasukan Kaurawa dan merebut kembali semua ternak dan kekayaan kita. Aku tidak berbuat apa-apa.”
Wirata tidak percaya akan apa yang didengarnya. Ia bertanya lagi, “Di manakah Putra Mahkota itu sekarang? Aku harus berterima kasih kepadanya sebab ia telah menolong engkau dan mengusir musuh. Akan kuberikan anakku, Dewi Uttari untuk dipersunting. Panggillah Uttari kini juga.”
“Dia telah pergi. Mungkin besok atau lusa ia akan tiba kemari,” jawab Uttara.
***
Atas perintah Wirata, balairung dan ruang-ruang persida- ngan besar di ibu kota Negeri Matsya dihiasi sangat megah untuk merayakan kemenangan Raja dan Putra Mahkota. Undangan dikirimkan kepada raja-raja sahabat, tamu- tamu agung, dan orang-orang penting lainnya. Pesta besar akan dilangsungkan di ibu kota Negeri Matsya.
Kangka si sanyasin, Walala si juru masak, Brihannala si guru tari, Dharmagranti si tukang kuda, dan Tantripala si penggembala, hadir di pesta. Sebenarnya mereka tidak diundang, sebab yang diundang hanya tamu-tamu agung dan orang-orang penting. Dalam pesta itu juga tampak Sai- randri, pelayan permaisuri. Hadirin berbisik-bisik, membi- carakan kehadiran mereka. Ada yang berkata bahwa mere- ka pantas diundang sebab jasa mereka dalam peperangan yang gres lalu. Ada yang menyesalkan, kenapa orang- orang mirip mereka diperbolehkan hadir dalam perjamu- an besar itu. “Bukankah mereka hanya sanyasin, juru masak, guru tari, tukang kuda, gembala, dan pelayan?”
Ketika masuk ke dalam ruangan, Wirata melihat Kangka si sanyasin, Walala si juru masak, dan yang lain duduk berjajar bersama para tamu. Raja sangat murka dan de- ngan kata-kata bergairah menghina mereka. Karena perilaku Wirata yang keterlaluan, maka tanpa ragu Pandawa menyatakan siapa diri mereka sebenarnya. Penyamaran telah dibuka. Para tamu bersorak sorai dan menyambut mereka dengan tepuk tangan meriah.
Wirata sungguh tidak menyangka bahwa orang-orang yang selama ini telah bekerja keras mengabdi kepadanya tiada lain ialah Pandawa. Wirata segera meminta maaf dan di hadapan para tamu, ia memeluk Kangka. Kemudi- an, secara resmi ia mengumumkan bahwa ia menyerahkan Negeri Matsya kepada Pandawa sebab jasa-jasa mereka. Wirata juga menyerahkan putrinya, Dewi Uttari, kepada Arjuna untuk diperistri.
Pandawa mengucapkan terima kasih kepada Raja Wirata dan rakyat Negeri Matsya yang telah melindungi dan membantu mereka dalam keadaan sangat sulit selama satu tahun. Pandawa mendapatkan penyerahan Negeri Matsya secara simbolik dan ketika itu juga menyerahkannya kembali kepada Raja Wirata. Kemudian semua yang hadir memper- sembahkan doa syukur bagi kemakmuran dan kesejah- teraan Raja dan rakyat Negeri Matsya.
Arjuna menyela, “Tidak, ini tidak pantas sebab Dewi Uttari berguru musik dan tari dari aku. Aku ialah gurunya dan saya lebih pantas menjadi ayahnya. Jika tidak ada yang berkeberatan, saya usulkan semoga ia dinikahkan de- ngan putraku, Abhimanyu.”
Sementara semua orang sedang berpesta, tiba utu- san Duryodhana membawa pesan khusus untuk Yudhis- tira.
Setelah diperkenankan menghadap, utusan itu berkata, “Wahai Putra Dewi Kunti, Duryodhana sangat menyayang- kan tindakan Dananjaya yang ceroboh. Dananjaya membi- arkan dirinya dikenali orang sebelum tahun ketiga belas habis. Engkau harus kembali ke hutan lagi. Sesuai sum- pahmu, engkau harus mengembara dua belas tahun lagi di dalam hutan.”
Dharmaputra tersenyum dan berkata, “Utusan yang ter- hormat, kembalilah segera kepada Duryodhana dan kata- kan kepadanya bahwa saya menyuruhnya bertanya kepada para tetua yang bijak dan pintar perihal cara meng-hitung waktu. Kakek Bhisma yang kita muliakan dan para mahaguru lainnya niscaya tahu peredaran bintang di langit. Mereka niscaya akan menegaskan bahwa tiga belas tahun penuh telah kami lewatkan sempurna sehari sebelum Kaurawa mendengar desing Gandiwa dan deru Dewadatta milik Dananjaya yang menciptakan kalian lari tunggang langgang.”