Sebelum Saya Beranjak Tidur - Cerpen Cinta

SEBELUM AKU BERANJAK TIDUR
Karya Reswati Ningsih

“ Darah apa ini ? Siapa yang terluka?”, tanyaku ketika saya mendapati tetesan darah berceceran dilantai dapur rumahku. Tetesan darah itu berawal dari kamarku dan berakhir dikamarku dengan melewati lantai dapur. Aku terus bertanya-tanya perihal darah yang berceceran itu.

Aku dikejutkan dengan dibukanya pintu kamar mandi oleh teman karibku Liana. Mataku bundar memandanginya dan hatiku bertanya-tanya.
“ Apakah ceceran darah ini ialah darahnya? Tapi tak terlihat sedikitpun luka ditubuhnya?”, gumamku dalam hati. Awalnya hanya sebuah dugaan kosong tak berarti, akan tetapi hanya ada ia dirumah ini dan aku, dan hanya ia yang ada dikamarku ketika saya tinggal kehalaman depan.
“Dika? Kamu kenapa?”, tanya liana terheran.
“Tidak apa-apa. Aku hanya heran dari mana datangnya darah ini? Apa ini….”
“Iya, ini darahku hidungku kembali mimisan. Maaf jika membuat rumahmu kotor. Akan saya bersihkan.”
Sebelum Aku Beranjak Tidur
Bergegas Liana mengambil kain pel dan memersihkannya. Sementara saya pribadi beranjak ke kamarku tanpa ku hidupi lagi keraguannku. Aku duduk di erat tas milik Liana. Aku melihat sebuah amplop yang tertuliskan menyerupai sebuah kop surat rumah sakit. Mulai tumbuh rasa ingin tau dalam diriku terhadap amplop itu. Sambil mataku mengendap-endap mengawasi semoga pintu semoga tidak terbuka oleh Liana, dan memastikan Liana tak akan tiba hingga saya selesai membaca isi amplop itu untuk menjawab setiap pertanyaanku. Aku amplop tersebut dan ku dapati secarik kertas yang jika boleh saya duga itu menyerupai sebuah hasil laboratorium.

Lima belas menit kemudian.
“Dika….”, panggil Liana sambil membuka pintu kamarku.
Untunglah saya sanggup menutupi kegugupanku dengan bercermin, sehabis saya melakoni adegan yang membuatku begitu deg-degan. Wajar saja saya begitu deg-degan, pasalnya Liana merupakan tipe anak yang paling tidak suka jika sesuatu miliknya dibaca tanpa seijinnya, walau itu saya sekalipun sahabatnya. Tapi saya hargai sikapnya yang menyerupai itu.

Aku terpana dan tubuhku sedikit membeku bagai orang jawa yang tulen yang pertama kali mencium udara AC. Lamunanku segera tercipta waktu itu.
“Dika…?”
“Oh iya, ada apa Liana?”
“Kenapa kau melamun?”
“Tidak. Aku hanya beruntung saja mempunyai teman sepertimu. Aku harap diantara kita tidak ada yang saling dirahasiakan?”
“Apa maksudmu? Tidak ada yang saya sembunyikan darimu. Tenanglaaahhhhh”
“Baguslah jika begitu, ku harap kau tidak membohongiku”
“Sungguh saya tak berbohong. Oh iya, sudah jam 4 sore, saya harus pulang. Agar saya tidak dimarahi oleh mereka”
“Iya, hati-hati ya?”
“Iya. Assalamualaikum”
“Wangalaikumssalam”
Aku hanya sanggup mengantarkannya hingga dihalaman rumahku saja, tak sanggup lebih. Ku pandangi kepergiannya hingga ia tek terlihat lagi oleh pandangku. Terbesit sedikit kecewa dalam hatiku dengan tanggapan Liana ketika ku tanya tadi. Apa maksudnya membohongiku dengan semua yang ia alami sekarang? Aku tak sanggup menduga apa tujuan Liana membohongiku? Tapi semoga kau mempunyai tujuan baik atas kebohongan yang kau lakukan padaku. Aku mencoba melupakan semua itu, karna saya tidak mau mengakibatkan kekecewaanku sebagai alasan retakan persahabatanku.

Pagi ini, saya kembali menyapa embun dalam perjalanan ke sekolah. Aku siap bertemu Liana tanpa keraguan hari ini, karna sapaan embun pagi telah merefresh otakku untuk menjadi lebih bening, sebening embun. Aku beranjak turun dari kendaraan beroda empat dan bergegas menyapa Liana dikelas. Aku memandanginya dengan penuh beronta, walau embun pagi telah jernihkan pikiranku, namun saya insan yang hidup ditengan tanda tanya, bukan insan namanya bila hidup tak punya pertanyaan. Aku ingin menanyakan sesuatu padanya. Tapi apakah pertanyaan ini tidak akan merusak persahabatan kita?
“Dika! Mengapa kau memandangiku menyerupai itu?”, tanya Liana terheran.
“Tidak. Aku hanya ingiin……..”
“Bertanya?”, katanya memotong ucapanku. ”Tanyakan saja”, sambung Liana.
“Tidak. Meskipun ada nanti saja”
“Baiklah. Oh iya, sepulang sekolah kau kerumahku ya?”
“Rumahmu?”
“Iyaa….iya rumah mereka”
“OK!”
Syukurlah. Aku sanggup membuatnya tidak curiga.
Bel pulangpun berbunyi. Aku dan Liana akan pergi ke rumah mereka. Mereka. Ya mereka, Liana biasa menyebut mereka dengan sebutan mereka. Mereka itu ialah sebutan yang Liana berikan untuk kedua orang tuanya. Liana memang terpenuhi kebutuhannya dari segi jasmani, namun tak sedikitpun kasih sayang ia dapatkan semenjak ia menginjak usia remaja. Mungkin karna Liana mengalami hal yang saya baca dalam buku diarinya dan kertas hasil laboratorium.
Sesampainya saya dirumah mereka, saya dikejutkan dengan sebuah tamparan yang melayang dari tangan bu Linda, ibu kandung Liana, ketika Liana membuka pintu rumah. Liana jaatuh tersungkur ke lantai sempurna dihadapanku. Tetes demi tetes air mata mulai membasahi pipinya yang memar karna tamparan.

Aku hanya sanggup memandangi mata ibu Linda yang memanarkan aroma kemarahan yang tak terang dari mana datangnya kemarahan itu. Aku takut ketika itu. Aku semakin takut, ketika tamparan bu Linda mendarat pula di pipi kiriku ketika saya hendak membantu Liana bangun.
“Biarkan saja!”, hardik ibu Linda.
“Bisakan kau melarangnya untuk menolongku tanpa memakai tamparanmu?”

Liana yang tersungkur mulai mengangkat tubuhnya untuk bangun. Tangan kanannya melekat di pipinya yang lebam. Liana mulai mengucapkan sepatah kata keluar dari mulutnya.
“Apa kesalahanku? Kenapa saya ditampar?”, tanya Liana, terlihat dimatanya tak memancarkan sedikitpun rasa takut. Seolah ia telah biasa mendapat perlakuan semacam itu.
“Tidak sopan kamu!”
“Tidak sopan bagaimana bu?”, tanyaku terheran.
“Apa kau tidak mendengar, ia mengajakku berbicara tanpa memanggil siapa aku?”
“Memangnya saya harus memanggilmu apa?”
“Kamu…..”, kata bu Linda seraya tangannya mengangkat untuk hendak menampar Liana ubtuk yang kedua kalinya.
“Tampar! Tampar aku. Aku sudah baka dengan tamparanmu!!!!”

Liana menarik saya untuk masuk ke dalam kamarnya. Liana pribadi membanting tanganku dan membanting tasnya ke atas tempt tidurnya. Dia berdiri membelakangiku. Aku sanggup mendengar isak tangisnya lirih. Aku paham ia tak ingin saya melihatnya menangis, oleh alasannya itu saya tak mendekatinya.
“Ini mungkin kesempatan bagiku untuk menanyakan sesuatu padanya”, gumamku dalam hati.

Aku melangkah mendekatinya pelan. Ku sandarkan tangan kananku ke pundaknya. Mulutku mulai bergema sedikit demi sedikit.
“Liana akuuu….”
“Aku tau. Tanpa kau bertanya saya tau apa yang akan kau tanyakan padaku”
“Apa perilaku ibumu itu atas dasar penyakit yang kau derita? Apa karna penyakit kanker otak yang kau derita semenjak kecil?”

Liana mengangguk.
“Tapi seharusnya, mereka sebagai orang bau tanah sepantasnya merawatmu, bukan membuangmu”
“Aku menderita penyakit itu semenjak kecil. Dokter memfonisku semenjak saya berusia 5 tahun. Aku masih ingat, sebelum saya difonis, mereka sangat menyayangiku, tapi sekarang…..”, kata Liana yang kemudian menangis.
“Tapi kenapa mereka membuangmu? Bahkan membuangmu ketika kau mendapat fonis dari dokter?”
“Mereka aib mempunyai anak yang berpenyakit menyerupai aku, pernah kejadian, ayah dan ibuku mengajakku tiba ke sebuah program besar yang diadakan oleh perusahaan dimana ayah bekerja, disitu secara tiba-tiba penyakitku kambuh, saya mendengar ada orang yang menghina kedua orang tuaku,kalau mempunyai anak yang berpenyakit itu menyusahkan dll”
“Subhanallaaaaaahhhh…,”
Aku terenyuh mendengar apa yang dikatakan oleh Liana. Aku tidak menyangka jika nasib sahabatku begitu parah. Bahkan lebih parah dariku. Bahkan Liana juga menyampaikan jika ia juga di fonis oleh dokter jika kanker otaknya sudah stadium akhir. Dokter menyampaikan jika kalau masa hidupnya hanya hingga usia 17 tahun. Dan kini ia berusia 17 tahun.
“Apakah ia akan pergi meninggalkanku? Apakah?”
Baru saja saya bergumam semacam itu. Aku kembali dikejutkan dengan pingsannya Liana dengan darah yang mengucur deras dari hidungnya. Di tengah kepanikan, saya pribadi memanggil kedua orang bau tanah Liana dan membawanya ke rumah sakit yang memang sudah menjadi langganan Liana.

Dua jam lamanya dokter belum keluar dari ruang UGD. Sebentar-sebentar saya melirik wajah orang bau tanah Liana. Tidak terlihat sedikitpun rasa kekhawatiran dalam diri orang bau tanah Liana. Tanpa pikir panjang saya pribadi menghampiri dokter yang menangani Liana yang beru saja keluar dari ruang UGD.
“Bagaimana keadaan teman saya dok?”
“Kritis!”
“Lalu bagaimana Dok?”
“Masa hidupnya hanya tinggal sebentar lagi. Dia tidak akan bertahan usang lagi”, kata Dokter tersebut yang kemudian meninggalkan kami.
“Lebih baik kau pulang tidak usah mengkhawatirkan keadaannya lagi, toh sebentar lagi ia akan mati ”
Aku tak memperdulikan omongan Pak Dharma, saya bergegas kedalam. Langkahku yang tergesa-gesa perlahan melemas mendapati Liana terbaring dengan alat bantu yang terpasang ditubuhnya. Aku berjalan pelan mendekatinya. Aku berdiri disamping kanan ranjang daerah ia berbaring.
Aku berjanji Liana saya akan mmewujudkan impian yang ada dalam buku diarimu. Maaf Liana jika saya telah lancang membacanya. Aku hanya sanggup meneteskan air mata ketika ini. Aku tidak sanggup berbuat apapun lagi untukmu selain mewujudkan apa yang menjadi keinginanmu. Akan saya usahakan.
Aku mendengar alat uji jantung di sebelah kananku bergerak semakin kritis. Aku melihat Liana mengangkat bahunya naik turun, ia sesak nafas. Aku bergegas memanggil dokter, yang kemudian menangani Liana. Kembali saya menunggu keputusan dokter.

Perlahan saya mendekatkan diri dengan kedua orang bau tanah Liana. Aku berusaha menyampaikan apa yang seharusnya saya katakan. Sedikit takut. Tapi ini untuk kebahagiaan sahabatku. Aku tidak ingin ia semakin menderita.
“Tante. Om. Kenapa tante dan om tidak pernah mencintai Liana? Apakah karna penyakitnya? Kenapa om lebih mementingkan popularitas dibandingkan dengan kesehatan Liana?”
Semua diam. Hening mulai terlihat membuat diri dalam keadaan yang semakin menegang.
“Liana butuh perhatian dari om dan tante. Bukan hanya perhatian dalam bentuk segala keinginannya harus dipenuhi, sementara kasih sayangnya sangat sangat kurang om, tanteeeee”

Kedua orang bau tanah Liana hanya diam. Entah mereka tergores hatinya atau tidak. Yang terang saya harus menuntaskan misi ini, menyampaikan semua impian Liana yang terakhir kalinya.
“Kami selalu memperhatikannya”, kata Pak Dharma angkat bicara.
“Kalau om dan tante selalu memperhatikannya, berarti om dan tante seharusnya tau apa impian terakhir Liana?”
“Keinginan terakhir? Memangnya apa impian terakhirnya?”
“Dalam buku diarinya ia menulis semua impian terakhirnya”
“Sebelum saya pulang. Sebelum saya pergi dengan membawa penyakit yang saya derita semenjak kecil ini. Daaaaannn….. sebelum saya beranjak tidur menutup mata. Aku ingin. Aku menginginkan satu hal. Aku ingin kembali diizinkan untuk memanggil mereka dengan sebutan mamaahh papaaahh”
Pak Dharma dan Bu Liana meneteskan air mata. Aku berhasil telah membuat mereka sadar walau saya sendiri tak tahu terang kebenaran dari kesadarannya itu. Aku pun tak tahan menahan tangis dan sedihku ini.

Sontak.
Bu Linda berlari menuju ruang UGD, saya bergegas menyusul bagitupun Pak Dharma.

Dokter menyambut kami dengan wajah tanang. Semua alat bantu ditubuhnya telah dilepas. Wajah Liana ditutupi kain putih.
“Kami telah berusaha semaksimal mungkin, namun yang kuasa berkehendak lain, putri bapak telah dipanggil oleh sang pencipta”
“Apa?”
Aku tidak sanggup lagi menahan bendungan ku ini, ku biarkan hujan membasahi pipiku. Pak Dharma terlihat begitu histeris begitu juga dengan Bu Linda. Tiada hentinya mereka berkata meminta maaf pada Liana atas semua perlakuan mereka padanya.

Aku murung karna telah kehilangan teman karibku, meski telah seminggu ia pergi meninggalkanku. Aku terduduk di depan televisi, ku pandangi dan ku jajaki satu persatu album kenangan ku dan Liana. Ayahku duduk di sampingku. Aku ingin bertanya sesuatu padanya.
“Ayaahh, apakah aysh juga akan menjadi menyerupai ayah Liana jika putrimu ini sakit sepertinya?”
“Apa kau menginginkan ayah yang sepertinya?”
Aku menggeleng, seraya saya peluk ayah. Aku tau ayahku mustahil menyerupai ayah Liana. Sejak kecil saya selalu dimanja olehnya. Aku masih beruntung walau kini saya sudah tak bersama mamah lagi. Liana kau akan tetap menjadi sahabatku hingga kapanpun.
PROFIL PENULIS
Nama : Reswati Ningsih
Alamat : Purbalingga
Add fb : Reswati Ningsih
Sekolah : Sekolah Menengan Atas N 1 Padamara 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel