Sebatas Rasa Untuk Kita - Cerpen Remaja

SEBATAS RASA UNTUK KITA
Karya Najla Putri Mawaddah

Ingin ku berlari jauh
Namun saya tak mampu
Bersembunyi darimu
Selaluku tepis bayanganmu
Tapi luka semakin menganga dalam kalbu
Kubiarkan semua apa adanya
Meski ku semakin larut dalam keinginan hampa
Aku tunggu ketulusanmu
Walau harus selamanya
Aku memendam rindu. . .

Mungkin itulah sebuah curahan hatiku ini, yang dilanda kesedihan lantaran cinta. Padahal ini yaitu pertama kalinya saya jatuh cinta. Namun, cintaku aneh. Mencintai dia, yang memiliki saudara kembar yang membenciku. Ya, sosok yang saya cintai itu memiliki saudara kembar. Namanya Angga dan Anggi. Anggalah yang saya cintai. Dia telah berhasil menarik hati ini, untuk mencintainya. Sedangkan Anggi. Huft, dari tatapannya aja, saya sudah bisa menilai, kalau beliau membenciku. Entah saya sendiri juga nggak tau, apa salahku.
Sebatas Rasa Untuk Kita

Angin berhembus, menerpa wajahku dan menusuk tubuhku yang dibalut jilbab. Aku terus terduduk di rumput, sambil menatap gunung yang menjulang tinggi dari kejauhan mataku.
Pikiranku teringat pada kenangan masa Sekolah Menengah Pertama dulu.

Sampai di perpus. . .
“Nil? Loe dicariin orang tuh!” lapor Icha, sahabatku.
“Siapa?” tanyaku cuek.
“Hmm… siapa ya?” Icha akal-akalan mikir, sambil menggodaku. Aku mengangkat satu alis.
Icha melihat sesuatu. “Sama dia!” tunjuk Icha pada Angga, yang gres menginjakkan kaki di perpus. Aku bengong. Benarkah yang dikatakan Icha ini? Angga menatapku sambil tersenyum. Hatiku entah mengapa, jadi cenat-cenut. Akhir-akhir ini, semenjak sering bertemu Angga selalu perhatian dan rajin ke perpus. Aku cuek, tidak mengubris. Toh pekerjaanku sebagai anggota perpus, masih menumpuk.
“Aku bantuin ya?” tawar Angga, dengan senyum tulus. Ia sedikit salting.
Tak berpengaruh menahan senyum, kesannya saya tersenyum juga buat dia. “Up to you.” Jawabku.

Dan benar saja. Angga membantuku. Ia tata rapih buku-buku yang berantakkan. Aku tersenyum melihatnya.
“Cie… cie…” goda Faris. Sahabat Angga. Aku dan Angga masa bodo. Memang persamaan kita disekolah itu, sama-sama cuek. Namun, walau Angga cuek, tapi banyak saja cewek-cewek yang mendekatinya.
Aku tersadar, sambil tersenyum mengingat itu. Mataku tetap menatap pemandangan gunung di kejauhan. Pikiranku kembali teringat kenangan masa SMP.

Waktu itu, saya sakit di sekolah. Perutku sakit dan kepalaku terasa pusing. Akhirnya saya dibawa ke ruang uks, dirawat oleh anak PMR kelas delapan. Tiba-tiba tiba salah satu anak PMR, berjulukan Sufi.
“Kak, sanggup surat nih!” katanya sedikit menggoda.
“Dari siapa?” tanyaku. Keningku berkerut bingung.
“Sufi udah janji, sama orangnya, nggak bakal ngasih tau namanya ke kakak. Maaf ya kak!” terangnya.
Aku heran, namun eksklusif kubuka saja surat itu, dengan perasaan campur aduk.

Mengenalmu
Anugerah dalam hidupku
Memilikimu
Itu yang selalu ku harapkan
Membiarkanmu berlalu
Tanpa sepatah kata pun
Yang terucap dari bibirku
Adalah suatu kebodohan dihidupku
Karena telat bagiku menyadari
Kau sangat berarti di dalam hidupku
Hanya secercah penyesalan
Yang bisa ku rasakan
Disaat ku kehilanganmu
Dan menyadarinya…
Semoga kau cepat sembuh…
Keningku berkerut lagi membaca surat itu. Namun saya terharu dengan kata-kata di surat ini. Aku menatap kearah jendela yang tidak tertutup gorden. Tiba-tiba sosok yang saya rindukan selama seminggu ini, muncul. Angga. Ya, beliau sedang berjalan disitu. Mataku menatapnya, hingga beliau menoleh dan menatapku. Tatapan yang sulit untuk dilukiskan. Aku gugup. Segera saja, ku tundukkan kepalaku. Dan kini saya merasa ia telah pergi. Hari-hari ini juga, saya merasa beliau menjauh dan menghindariku. Setiap bertemu, beliau selalu melempar pandangan kearah lain. Dia juga sudah jarang ke perpus. Ada apa ini? Kenapa beliau berubah menyerupai itu?

Tapi, setiap saya kenapa-napa, beliau masih menyampaikan perilaku perhatiannya. Seperti saya sakit sekarang. Dia menghampiriku dan ikut membawaku ke UKS. Setelah itu, ia pergi entah kemana. Aku tertidur di UKS. Tiba-tiba saya merasa ada seseorang yang datang. Aku mencicipi gerak-geriknya.
“Nggak tega juga, melihat kau sakit begini. Kamu tau, saya memang pemuda nggak jentel. Bertemu kau aja, saya harus sembunyi-sembunyi. Aku harap kau cepat sembuh ya. Aku bawakan sesuatu buat kamu!” Ucap seseorang itu, terdengar menyerupai bunyi cowok. Dia menyentuh keningku, dan eksklusif beranjak pergi. Mataku terbuka sedikit. Sungguh saya kaget. Aku tak menyangka. Ku kucek-kucek lagi penglihatanku. Namun itu nyata. Sosok itu yaitu Anggi. Cirri-ciri fisiknyalah yang menciptakan ku yakin. Tatapanku beralih pada meja yang ada disampingku. Ada kantong plastik yang berisi makanan. Aku jadi galau dibuatnya.
Hari-hari itu, kulalui dengan sebuah kebingungan. Namun, tiba-tiba saya tertampar oleh sebuah luka. Aku mendengar dari sahabatku, Angga sudah punya pacar. Sakit rasanya. Dari situ, entah ada rasa kecewa yang mendalam, hingga membuatku berniat untuk melupakannya dan melupakan rasa yang dulu memenuhi hatiku.
***

“Ukhti, Nila?” panggil adik kelasku, Zahra.
Aku menoleh ke asal suara. Seketika pikiranku buyar. “Madza?” tanyaku.
“Ukhti, mudifah!” jawabnya memberitahu.

Aku heran. Baru seminggu kemarin saya dijenguk, tapi kini di jenguk lagi. Ada apa gerangan? Ya. Aku memang melanjutkan studyku di sebuah Pondok Pesantren. Semua itu, dengan niat menuntut ilmu dengan mengharap ridho Allah dan untuk membahagiakan orang tuaku. Walau telah usang ditambah jauh. Tapi, tetap saja sebuah kenangan masa Sekolah Menengah Pertama masih teringat dibenakku.
“Oh, na’am. Syukron, Zahra!” balasku.

Zahra tersenyum. Aku segera bangkit dari duduk. “Mudifah, aina?” tanyaku lagi.
“Masyroh.” Jawabnya.
Ternyata saya di jenguk di trimbun. Dengan langkah cepat, kuhampiri keluargaku disana.
***

Di samping kanan, erat saung. Ada sebuah mobil. Tapi bukan mobil, yang biasa di pakai keluargaku. Mobil itu, merek kijang innova silver, bukan avanza silver.
“Nila!” panggil ayahku.
Aku tersenyum. “Ayah?” ku hampiri ayah dan mamaku. Ku cium punggung tangan mereka dan pipi mereka. “Kok cepat banget mudifahnya?” tanyaku, yang sedari tadi, keheranan.
“Ada yang mau bertemu kamu, sayang!” terang mamaku, sambil tersenyum misterius.
Keningku berkerut bingung. “Man, ma?”

Pintu kendaraan beroda empat terbuka. Lalu keluarlah sosok Ibu dan Bapak paruh baya. Aku eksklusif mencium punggung tangan mereka. Mereka tersenyum ramah padaku.
“Kamu anggun sekali, nak!” puji sosok Ibu paruh baya itu.

Aku hanya bisa tersenyum. “Terima kasih, Bu!”
“Bu, Pak! Lebih baik kita duduk disini dulu, sambil menunggu Nila dan Angga berbicara.” Jelas ayahku, yang dibalas eksklusif dengan anggukkan mereka berdua.
Aku kaget bukan main, mendengar perkataan ayahku tadi.

Hah? Angga? Apakah saya salah dengar? Angga ada disini? Jadi, Ibu bapak ini, orang tuanya Angga… dan … Anggi?
“Assalammualaikum!” sapa Angga, yang gres keluar dari mobil.

Aku makin kaget, ketika Angga sudah ada dihadapanku. Satu tahun lebih kita tidak bertemu. Kini, kita bertemu di suasana berbeda. Angga terlihat lebih dewasa, menggunakan celana jeans hitam, dengan kemeja biru dongker.
“Wa… waalaikum salam.” Balasku gugup, sambil menunduk memainkan ujung kerudungku.
Angga tersenyum. “Kamu kaget ya, dengan kedatanganku ini. Aku ngerti kok. Karena suatu sebab, saya dan orang tuaku menemuimu disini.” Terangnya.
Aku mendongak. “Untuk apa?” tanyaku dengan bunyi lirih.
“Anggi.” Jawabnya singkat, namun bisa membuatku bagai tersengat ajaran listrik.
***

Malu juga, berbicara dengan Angga di depan santri-santri yang juga sedang di jenguk oleh orang tuanya. Banyak yang ingin tau, sekedar bolak-balik, dan menatap. Aku risih. Lalu Angga mengajakku untuk bergabung dengan orang renta kita. Aku masih tertegun. Rasanya menyerupai mimpi Angga ada disini.
“Kamu kaget ya Nak, kami tiba kesini?” ucap ayahnya Angga ramah. Aku hanya bisa tersenyum kikuk.
“Sayang, kali ini mama sama ayah, mengizinkan kau untuk pulang.” Ucap ayahku.
“Pulang? Lho, memangnya kenapa, Yah?” tanyaku heran.
“Kami sama-sama sudah mengerti soal ini. Ini soal rasa, nak! Kamu sudah menanjak remaja sekarang. Angga pun begitu. Wajar jikalau contohnya kau sedikit berkorban untuk orang yang menyayangimu!” terang mamaku.
Sumpah. Aku benar-benar nggak mengerti dengan perkataan mama ini. Tanpa disuruh, mamanya Angga menjelaskan. Dan klarifikasi ini, bisa membuatku menitikkan air mata.
***

Di rumah sakit, didalam kamar cempaka dua. Mataku terpaku pada satu titik. Anggi. Sosok yang dulu terlihat kuat, dewasa, dan ceria. Kini menjadi sebaliknya. Gerimis juga hati ini melihatnya.
“Kanker darah yang dideritanya, sudah stadium lanjut. Dokter hampir pasrah dengan kondisinya ini yang semakin parah. Kamu tau, beliau selalu mengigau menyebut namamu.” Terang Angga, yang duduk di seberangku. Kini, mataku berani menatapnya, walau sebentar. Mataku kembali menatap Anggi yang terbujur lemah di ranjang rumah sakit.
“Benarkah yang dikatakan kau ini, Angga? Sejujurnya, saya merasa Anggi membenciku.” Terangku.

Angga menggeleng kuat. “Tidak, Nil! Itu nggak benar. Anggi bekerjsama menyukaimu! Dia menyayangimu. Hanya saja, beliau tidak tau, harus bagaimana menunjukkannya.”
Benarkah yang dikatakan Angga ini, Ya Allah! Ucapan Angga begitu meyakinkan. Tiba-tiba, jari jemari Anggi bergerak. Aku terkejut, namun lega.
“Nil… Nila…” lirih Anggi membuatku terkejut.
“Aku, disini Gi!” ucapku.

Mata Anggi melirik ke arahku. Ia tersenyum tulus. Hatiku bergetar. Ku balas senyuman itu. “Ma… ma… afkan… ak… ku…”
“Maaf? Untuk apa? Bagiku, kau nggak pernah salah!” balasku, bingung.
“Ma… af. Jika se… la… ma… i… ni. Aku, mendiamimu! A… ku, men…yanyangimu, Nil!”

Hah? Anggi? Apa yang kau katakan ini? Aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku membisu.
“Wa… lau, ter… lambat ta… pi a…ku lega, Nil! Ma… ka… sih, u… dah mau nengok a… ku! Hhh…”
Grafik pendetak jantung, yang tadinya naik turun, kini berubah lurus beraturan. Itu yaitu tanda, bahwa Anggi…
Ya Allah, saya mohon, izinkan Aku untuk melihat senyumannya lebih usang lagi! Aku mohon, kembalikan lagi nafas hidupnya, Tuhan!
Aku menangis. Baru kali ini, saya mencicipi kehilangan. Walau sudah usang tak bertemu, Anggi tetap menjadi sebagian dari kisahku di masa Sekolah Menengah Pertama dulu. Ya Allah, ku mohon bahagiakanlah Dia di sisi-Mu!
***

Ku berjongkok di erat pusara bernisan Anggi. Air mataku membulir. Disampingku, ada Angga yang dengan setia menemani. Kini tinggallah kami berdua yang menemani Anggi di rumah barunya.
“Kenapa kau ninggalin aku, Gi! Kita belum usang berbicara, tapi kenapa kau udah eksklusif ninggalin saya begitu saja. Aku belum sempat mengucapkan terima kasih sama kau waktu di UKS itu! Tapi saya selalu berdoa buat kamu, supaya kau senang disana!” Ku elus lembut nisan Anggi. Aku masih terisak.
“Nil… kita pulang yuk?” ajak Angga, yang sedari tadi diam saja melihatku terisak. Aku hanya bisa mengangguk pasrah.
“Kamu baik-baik disini ya, Gi! Kita harus pulang. Kita akan selalu berdoa untukmu!” ucap Angga. Suaranya terdengar berat.
***

“Nil?” panggil Angga dari belakang.
Sedari tadi, di perjalanan pulang, saya memang berjalan membelakangi Angga. Langkahku terhenti, ketika mendengar beliau memanggilku. Aku menoleh. Kini tinggal jarak kira-kira sekitar satu meter yang membatasi kami.
“Ada apa?” tanyaku.
“Masih ingatkah kamu, dengan surat yang saya titipkan sama Sufi?”
Aku mengangguk. Sedikit terkejut mendengarnya. “Jadi, surat itu darimu?” tebakku, walau sangat yakin.

Angga mengangguk kuat. Ia terduduk di dingklik yang ada di sampingnya. Kepalanya tertunduk. “Sudah lama, saya mencintaimu, Nil!” meluncurlah juga sebuah kalimat yang Angga pendam selama hampir dua tahun ini. Aku kaget bukan main. Tak menyangka, ternyata sosok yang mengajari saya jatuh cinta, juga mencintaiku.
“Maaf jikalau saya lancang dan gres mengatakannya sama kamu. Waktu itu, saya bimbang. Karena saya harus menentukan diantara dua pilihan. Anggi yang semakin parah, atau cintaku. Aku sudah tau semenjak lama, kalau Anggi menyukaimu. Walau beliau tidak pernah melihatkannya. Buku diarynyalah yang memberitahuku. Disaat itu juga, saya mengalah. Kesembuhan Anggi dan kebahagiaan Anggilah yang saya utamakan, dari pada cintaku!” Terang Angga panjang lebar.

Aku terperangah mendengar klarifikasi itu. “Lalu, kenapa kau melampiaskannya dengan pacaran?” tanyaku akhirnya.
“Selama ini, saya tidak pernah pacaran, Nil! Tika hanyalah teman. Nggak lebih. Semua itu hanyalah gossip biasa.”
“Lalu, apa maumu sekarang?”
“Kejujuranmu.”
“Aku juga mencintaimu, Ga!” balasku akhirnya. Angga menatapku. Ia tersenyum mengembang. “Tapi saya nggak mau, cinta ini membawaku dalam kemaksiatan dan kesesatan.” Lanjutku.

Angga paham. “Sudah lama, saya memahamimu, Nil! Aku mencintaimu, lantaran Allah!”
“Dan lantaran Allah-lah, saya ingin tidak menjalin relasi special denganmu!”
“Aku mengerti. Tapi satu hal yang harus kau tau. Hati ni, untuk kamu!”

Aku terharu mendengarnya.
“Lalu bagaimana dengan cinta ini?” lanjut Angga.
“Kita tunggu hingga waktunya tiba. Aku yakin, kalau kita jodoh, niscaya Allah akan mempersatukan kita.” Jawabku yakin.
Angga tersenyum dan mengangguk yakin. Kami percaya. Pasti, jikalau Allah berkehendak kami jodoh, kami akan disatukan. Dan niscaya Allah akan selalu menuntun hati kami. Ya Allah, mungkin menyerupai inilah SEBATAS RASA UNTUK KITA!

PROFIL PENULIS
Najla Putri Mawaddah. Lahir di Tangerang, 31 Januari 1996. Hobbynya 5M. Menulis, Menyanyi, Membaca, Menari, dan Main Internet. Bersekolah di sebuah pondok pesantren putri, yakni. Pondok Pesantren Modern Al-Mizan Putri Cikole,Pandeglang-Banten. Selama ini,hanya mempublikasikan karyanya lewat mizan post, majalah al-mizan, dan jaringan sosial. ia berharap, kau kamu semua menyukai dan senang membaca karyanya. bukan hanya untuk hiburan, melainkan juga memaknai apa yang tersirat dari karyanya. bagi yang mau berkomunikasi, yuk mampir di facebook dan twitternya. nih alamatnya story_najlapm@hotmail.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel