Yakinlah - Cerpen Remaja

YAKINLAH
Karya Mingka Izza

Aku mahasiswi disebuah universitas yang cukup populer di Yogyakarta. Aku memang anak desa yang kebetulan terpilih menerima beasiswa kuliah di universitas impianku. Aku termasuk diantara orang-orang pandai tersebut. Tapi saya hanyalah beruntung. Itu saja. Dengan alasan yang demikian itulah, saya tak berani berharap banyak terhadap apapun disini. Aku merasa tak pantas.

Di kelas, saya hanya bisa diam. Mengagumi argumentasi teman-teman kelasku yang pengetahuannya diatas rata-rata. Tidak sepertiku yang hanya mengerti sedikit wacana apa yang mereka bahas. Hanya anggukan-anggukan kecil yang selalu kulakukan untuk mengekspresikan bahwa saya mengerti. Serta hanya kerutan kening yang selalu kutunjukkan dikala saya tak mengerti. Suasana kelas yang gres ini membuatku semakin terbungkam. Karena saya memang tidak biasa sekelas dengan yang namanya laki-laki. Sehingga semenjak berada dikampus ini, ada rasa canggung yang selalu menghalangiku.

Yakinlah
Entah berapa orang temanku sekelas. Yang saya tahu, tidak mengecewakan banyak. Dan rata-rata mereka tahu bagaimana cara memakai internet atau alat teknologi lainnya yang sangat modern. Beda dengan saya yang serba buta terhadap teknologi. Aku mahasiswi yang paling ketinggalan jaman di kelasku. Bahkan di kampus. Tapi itu tak menyurutkan semangatku. Aku masih ingat bahwa setiap usaha niscaya dihargai oleh Allah. Artinya, kalau saya bersungguh-sungguh mau belajar, saya akan sama ibarat mereka.

Pertama kali presentasi di kelas, saya mempresentasikan kiprah bahasa inggrisku. Dengan bahasa inggris yang hanya pas-pasan, saya memberanikan diri memaparkan isi dari tugasku tersebut. Dan, Alhamdulillah saya puas dengan hasilku sendiri. Meskipun aneka macam kekurangan, bahkan saya sadari memang gres kali ini saya presentasi dengan bahasa inggris. Sedangkan presentasi yang kedua saya lakukan tanpa niat. Sebab niatku hanya untuk menghargai karyaku yang dengan sulit kubuat. Dan hasilnya, saya presentasi layaknya orang bodoh. Bahasaku ternyata tidak bisa menciptakan teman-temanku paham dengan apa yang saya maksudkan gotong royong sehingga terjadi salah paham. Dan semenjak dikala itulah saya merasa tak dihargai. Aku merasa down dan tak mau lagi berbicara dalam ruang kelas.

Sejak dikala itu saya menjadi pendiam. Aku berharap kelak, masih ada orang yang mau menghargai bahasaku yang sulit dimengerti orang lain. Entah sebab tidak sisitematis, atau mereka yang memang salah paham menangkap arah pembicaraanku. Aku lebih sering membisu dengan sifat khasku. Cuek dan dingin. Aku berpikir bahwa tak ada gunanya bersosialisasi dengan mereka yang tak bisa menghargai orang lain.

Ada satu hal yang membuatku takut untuk masuk kelas. Sejak pertama kali masuk, saya mengagumi seseorang di kelasku. Padahal, jangankan menyukai. Kenalpun gotong royong saya tidak pantas. Sebab keterbatasan dan asalku. Tapi sungguh, saya tak pernah mengharapkan perasaan itu muncul apalagi hingga mengakar. Tapi semua itu tiba secara tiba-tiba. Membuatku tergugu dan tak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali membisu dan menahan perasaan itu semoga tak subur. Menghindarinyapun tak ada cara. Sebab saya dan beliau sekelas. Selain itu, ada lagi satu hal yang membuatku tidak pantas menyuburkan perasaan itu. Karena orang tuaku. Budaya desa yang masih menempel hingga kini membuatku harus membuang hak mencintai orang lain. Karena cinta telah ditentukan oleh orang tua. Ya, saya sudah punya tunangan. Tepatnya semenjak 5 tahun yang lalu. Lagi pula, tak ada yang bisa saya andalkan buat menarik hatinya. Sebab saya hanya punya wajah pas-pasan. Otak yang juga pas-pasan.

Dia yakni seorang lelaki pendiam. Setiap beliau bicara, ibarat selalu ada senyum yang mengimbangi pembicaraannya. Selama saya melihatnya, tak pernah sekalipun kulihat beliau marah. Ada lagi yang menarik darinya. Meskipun beliau gugup dikala presentasi di depan, tapi wajahnya selalu menampakkan ketenangan. Dia memang jarang bergaul. Tapi saya yakin, beliau yakni orang yang setia kawan. Dia memang jarang bicara. Apalagi berpendapat. Tapi saya tahu beliau sangat cerdas. Aku pun menemukan kebijakan disetiap kata-katanya yang sedikit. Ada banyak kelebihan dan keindahan yang saya lihat darinya. Tapi, biarlah semua hanya menjadi wacana dalam hatiku. Biarkan semua berjalan dengan semestinya. Tanpa ada yang tahu. 

Aku selalu merindukannya dikala kuliah libur. Ada satu keinginan yang selalu ingin terkabulkan meskipun keinginan itu berada pada daerah yang salah di hatiku. Yakni, saya ingin selalu melihatnya. Ya, Cuma melihat. Tanpa mau tahu isi hatinya. Sebab itu akan membuatku sakit. Artinya, kalau beliau juga menyimpan rasa yang sama denganku, maka bukan hanya saya yang akan sakit. Diapun demikian. Karena bagaimanapun, kita takkan bisa bersatu. Dan kalau beliau tidak mempunyai rasa yang sama denganku. Aku yang akan kecewa. Sebab rasaku tak terbalas. Maka dari itu, saya tak ingin tahu perasaannya. Tapi saya meyakini satu hal. Bahwa saya ada dibagian hatinya yang lembut. Itu yang membuatku bertahan hingga dikala ini.

Aku memang telah memfonis teman-temanku tak bisa menghargai orang lain. Namun bagaimanapun, saya tetap membutuhkan mereka disetiap perjalanan hidupku. Aku sayang teman-temanku. Hanya saja saya tak mau terlalu banyak bicara dengan mereka. Karena saya tetap saja merasa beda. Hingga suatu hari, saya mencicipi bahwa mereka menganggapku benar-benar ada diantara mereka. Aku merasa menjadi pecahan dari hidup mereka.

Hari itu, 10 Oktober 2013. Aku telat masuk jam kuliah pertama hari itu. Karena tak ada satupun temanku yang memberi kabar lewat sms bahwa jam kuliah pertama dimajukan. Di kelas, saya merasa sangat terasing. Sebab saya seakan tak dianggap ada oleh mereka. Bagaimana tidak, saya yang sudah jelas-jelas ada diantara mereka, tak sekalipun disapa. Tak ada yang mengajakku bicara. Padahal hari-hari yang lalu, mereka masih biasa saja padaku. Sikap mereka yang meskipun dingin, tetap masih terasa hangat dikala mereka menyapaku. Tapi kali ini benar-benar beda. Aku semakin tergugu dengan keadaan ini. Sakit sekali rasanya terasing. Seakan hari ini tak ada kata yang patut dilontarkan dunia untukku. Meski hanya sekedar “hai”. 

Apa saya terlalu hina untuk dijadikan teman? Apa saya sudah terlanjur kurang cerdik sehingga tak ada kata sapaan seikitpun? Aku mengajak mereka berbicarapun tak mereka hiraukan. Ada apa dengan hari ini? Mungkinkah hari ini yakni hari kematianku? Atau saya sudah mati sehingga mereka tidak lagi bisa melihatku? Tidak. Kerena setiap kali saya bertemu teman-temanku dari fakultas lain, mereka tetap saja menyapaku. Lalu, apa saya telah berbuat salah pada teman-teman kelasku? Seluruh kemungkinan-kemungkinan muncul dibenakku. Membuatku semakin takut untuk melangkah lebih jauh lagi. Aku hanya termenung semenjak jam pertama usai di depan perpustakaan. Tak ada lagi semangat membaca, tak ada lagi semangat belajar. Bahkan untuk sekedar makanpun tak ada keinginan. Hingga tanpa terasa, air mataku mengalir. Mengisyaratkan kepedihan orang yang tengah terasing dari komunitasnya. Sakit sekali rasanya. Tapi sayang, tak ada yang mengerti.
“tut-tut-tut..”

Aku terkejut dengan suara hpku yang ada disaku bajuku. Ada satu pesan masuk. Dari Dien. Teman kelasku. Kubuka pesan itu dengan tergesa. Berharap mimpi yang semenjak tadi kuratapi segera berakhir. Dan ternyata benar. Dia memberiku kabar bahwa jam kedua akan segera dimulai. Aku merasa sangat bahagia. Karena bagaimanapun, masih ada satu orang yang masih mengingatku. Dari saking bahagianya, hingga saya lupa bahwa jam pertama gres saja selesai 15 menit yang lalu. Aku segera menuju ruang yang disebutkan Dien tadi. Pintu ditutup. Tapi saya tak takut untuk kembali telat masuk kelas. Karena kebahagiaanku melebihi apapun. 

Tapi tiba-tiba, dikala kubuka pintu kelas dan kutongolkan kepalaku ke dalam, ternyata tak ada siapa-siapa disitu. Sakit itu kembali memenuhi relung hatiku. Aku dikibuli. Teganya. Tapi saya tak berhenti hingga disitu. Aku berpikir, mungkin Dien salah menyebutkan nomor ruangan ibarat biasa. Kubalas sms terakhirnya dan menyampaikan bahwa ruangan yang ia sebut tadi kosong. Dan ternyata dugaanku benar. Dien salah menyebutkan nomor ruangan. Sakit itu pelan-pelan hilang. Aku segera menuju ruangan yang disebutkan Dien. Sama. Pintunya tertutup. Tapi saya yakin ini ruang yang benar. Meskipun terdengar sepi sekali di dalam. Perlahan, kutarik pintu semoga terbuka. Dan dikala itu, betapa terkejutnya saya ketika ada barang halus yang mengenai wajahku. Mataku kelilipan tak bisa dibuka. Tapi saya mendengar orang-orang bersorak dan menyanyikan lagu ulang tahun. Saat itulah saya sadar. Bahwa ternyata semua yang terjadi padaku hanyalah sandiwara mereka. Akupun gres ingat bahwa hari ini yakni hari ulang tahunku yang ke 18. Aku senang sekali. Hingga tanpa sadar, saya menangis haru. Setelah mataku pulih, saya menumpahkan segalanya dipelukan teman-temanku. Tak bisa kutulis rasanya bagaimana bahagiaku dikala itu.
“Kenapa menangis, Zie?”
“Kalian tahu, tadinya saya berpikir bahwa saya telah kehilangan kalian semua…”
“Jangan berpikir begitu. Kita semua senasib dan seperjuangan. Tak mungkin kita meninggalkan salah satu sobat kita. Kecuali beliau sendiri yang meninggalkan kita”
Aku semakn terharu. Kupeluk lagi mereka semua. Aku benar-benar merasa dihargai oleh mereka. Aku merasa menjadi pecahan dari mereka. Dan saya merasa bahwa mereka yakni keluarga keduaku.

Disela alir air mataku yang tak henti mengalir, mataku menangkap sosok yang selalu kurindukan. Dia sedang duduk santai. Tadinya mata kami bertemu. Tapi beliau mengalihkan pandangannya dengan cepat. Aku suka tingkahnya yang ibarat itu. Spontan saya tersenyum. Tapi segera kutepis senyum itu. Aku takut ada yang melihat. Dan semuanya terbongkar.
Aku segera mencuci mukaku ke kamar mandi. Saat saya sedang mengeringkan mukaku, tiba-tiba satu pesan masuk. Segera kerongoh hp disaku bajuku. Dari Kafi. Orang yang saya kagumi.
“Selamat ulang tahun, Zie…”

Aku tersenyum membaca smsnya. Kebahagiaanku tepat hari ini. Dan saya melupakan segala perbedaan antara saya dan teman-temanku. Akupun lupa untuk menahan perasaanku pada Kafi. Hingga tanpa sadar, perasaanku memuncak semenjak hari itu.
“Terima kasih Ka”
Jawabku singkat. Seperti biasa. Karena saya yakin beliau tak lagi akan membalas smsku. Tapi tiba-tiba, hpku kembali berdering.
“bisakah kau temui saya di samping kelas sekarang?”
Aku terkejut membaca pesan Kafi. Tidak biasanya. Tapi diantara keterkejutan itu, saya merasa sangat bahagia. Segera saya bergegas menuju samping kelas. Sembari mengiriminya pesan balasan.
“baiklah…”

Aku melihatnya duduk dengan verbal khasnya. Santai. Kudekati beliau dengan dada yang tak karuan.
“ada apa, Ka?”
Tanyaku sehabis berada disampingnya. Dia mengangkat mukanya dengan senyum. Namun kulihat tangannya menggigil. Mungkin beliau sedikit gugup. Tapi saya tak mempersoalkan itu. Aku hanya duduk didepaannya. Menunggu jawaban sekaligus keperluan apa yang hendak disampaikannya padaku.
“langsung saja Zie. Aku mau nanya. Mmm.. gimana perasaan kau terhadap aku?”

Pertanyaan yang sangat mengagetkan sekaligus membingungkanku. Tiba-tiba saya ingat perasaan yang seharusnya kutahan. Tapi sudah terlanjur. Aku terbuai oleh perasaanku sendiri padanya. Dan saya tak menyangka beliau akan menanyakannya sekarang. Aku sempat mengangkat wajahku untuk melihatnya. Tapi saya tak sanggup. Perasaanku tak tentu. Akhirnya, kutundukkan lagi wajahku.
“kenapa kau menanyakan itu, Ka? Apa ada yang salah dengan sikapku ke kamu?”
“tidak. Tapi saya merasa ada yang salah dengan hatiku, Zie…”
Aku semakin tak karuan. Dadaku seakan mau meledak. Kebahagiaan, dan kehawatiran bercampur baur dalam dadaku.
“Aku merasa, kalau saya sayang sama kamu…”

Air mataku jatuh. Aku tak sanggup dengan semua ini. Aku seakan dihancurkan dengan meriam. Aku seakan hampa tapi saya sesak. Perasaan itu semakin bergejolak dalam dadaku. Aku semakin dan semakin menyayanginya. Apa saya salah telah membiarkan perasaan itu tumbuh?
“kenapa menangis Zie? Apa saya salah berkata begitu? Kalau begitu, maafkan aku”
“tidak, Ka. Setiap orang berhak menyayangi. Tapi tidak denganku”
“maksudmu?”
“kau berhak menyayangiku sebab kau punya hak sendiri. Tapi saya tak punya hak membalas rasa sayangmu itu, Ka. Karena saya tak punya hak memilih”
“kau bisa menceritakannya padaku kenapa kau bilang tidak punya hak untuk memilih?”
“yang pertama, sebab saya tidak pantas untukmu. Yang kedua, saya sudah punya tunangan, Ka”
“siapa yang memilihkan tunangan untukmu?”
“orang tuaku…”

Kudengar desahannya mendengar jawabanku. Aku tahu beliau kecewa. Akupun kecewa. Tapi saya memang dilarang membiarkan ini terjadi. Cukup perasaanku saja yang menbuncah menyayanginya.
“lalu, bagaimana perasaanmu padaku, Zie?”
“Ka, kau yakni pria sempurna. Bohong kalau saya tidak menyukaimu. Tapi saya dilarang egois. Biarlah perasaan ini subur untukmu. Meskipun kita tak bisa bersatu. Aku tetap akan menjaganya untukmu, Ka. Lagi pula, masih banyak wanita yang lebih segalanya dari aku. Dan kau bisa mendapatkannya”
“aku tahu. Mudah-mudahan saya bisa mencintai orang lain…”
saya hanya bisa tersenyum untuk menguatkannya. Meskipun gotong royong hatiku terasa begitu nyilu. Bagaimana tidak, saya telah menyia-nyiakan perasaanku sendiri. Aku telah mengecewakan orang yang begitu saya sayang. Aku telah melukainya sekaligus melukai hatiku sendiri. Walaupun begitu, saya mengamini perkataan terakhirnya sebelum beliau beranjak dari hadapanku. Ya, semoga beliau menemukan orang yang lebih baik dariku.

Sudah dua ahad beliau tak pernah lagi mengirimiku pesan. Sikapnya memang tampak ibarat biasa. Namun saya tetap tak lezat hati padanya. Tapi saya tak tahu apa yang harus saya lakukan. Dalam dua ahad ini saya merasa tak lezat berada di kelas. Rasanya ingin pelajaran segera berakhir. Namun disisi lain, saya ingin melihat dan bersamanya lebih lama. Ini benar-benar suasana yang mematikan. Akupun sering tidur di kelas untuk sanggup melupakannya.

Aku tengah berjalan menuju kelas. Saat hpku berdering. Dari Kafi. Tumben. Namun saya bahagia.
“akupun akan terus menyimpan perasaan ini untukmu, Zie. Karena saya benar-benar tak bisa menepis rasa ini… sebagaimana kau akan selalu menjaga perasaanmu padaku…”

Aku terharu membacanya. Sengaja tak kubalas sebab saya telah berada dipintu kelas. Kulihat Kafi telah duduk bersandar manatapku sambil tersenyum. Aku pun membalas senyumnya yang menciptakan hatiku kembali damai.
“terima kasih. Aku tahu, perasaan kita abadi”. Ucapku pelan ditelinganya.
Dan kulihat beliau memejamkan mata. Menyebut namaku satu kali “Zie…”

SELESAI
24 Oktober 2012

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel