Mana Dapat Pensiun? - Cerpen Persahabatan

MANA BISA PENSIUN
Karya Indah Pradnyani

Suasana kelas akhir-akhir ini selalu lebih damai dari biasanya. Di hari-hari lain, banyak sekali macam bunyi sanggup dengan gampang didengar dari ruang guru yang hanya berjarak 5 meter, mulai dari celotehan ringan hingga tawa membahana akhir ulah lucu salah satu sobat sekelasku. Biasanya keributan itu akan diakhiri dengan pelototan dari sang guru, atau yang lebih parah, eksekusi bagi seluruh siswa. Tapi kini, semua itu tidak terjadi lagi.

Tidak, alasannya ialah kami sudah lulus.
Setelah selesai mengikuti rangkaian Ujian Nasional dan Ujian Sekolah, tidak banyak siswa kelas IX yang masih ingin berlama-lama di sekolah. Kelasku ialah salah satu pola nyata. Tiap harinya, paling banyak hanya sekitar lima belas orang yang hadir. Itu pun kebanyakan pria semua, alasannya ialah mereka berniat main game lewat laptop mereka. Katanya sih, main game begitu enaknya ramai-ramai.
“Kalau di rumah sih nggak seru.” Begitu kata Ivan sesudah kutanya mengapa ia tidak bermain di rumahnya saja.

Mana Bisa Pensiun?
Sisanya, yah, orang-orang yang tidak punya acara lain, baik di rumah maupun di sekolah. Salah satunya ya aku. Kalau saya membisu di rumah, saya niscaya kesepian alasannya ialah jam segini orang-orang rumah masih sibuk. Orangtua kerja, adik-adik sekolah. Lebih baik rasanya jikalau membisu di sekolah saja. Setidaknya masih ada teman-teman, walau memang tidak banyak.
“Hei, ngapain tidur jam segini? Masih pagi!”

Aku mengangkat wajah dari atas meja. Mungkin ia menerka saya sedang tertidur, padahal saya hanya sedang menelungkup alasannya ialah bosan.
“Aku nggak tidur kok.” Kilahku. “Aku bosan.”
“Mau nonton film lewat laptop-ku? Aku punya film bagus. Kita ajak yang lain juga.”
“Boleh aja.”

Aku bangun dari dudukku dan berjalan gontai mengikuti langkahnya. Ia memanggil beberapa sobat yang nampak sama bosannya dengan diriku. Seketika wajah mereka menjadi cerah. Aku mulai bertanya-tanya apakah tadi raut wajahku juga menyerupai itu.
“Film apa yang kau punya, Den?” Tanya salah seorang temanku.
“Hachiko.” Jawabnya sambil meletakkan laptop-nya ke atas meja. “Ada yang udah pernah nonton?”

Aku tahu film itu. Ceritanya perihal seekor anjing Akita yang sangat setia pada tuannya, sebuah cerita konkret yang terjadi di Jepang. Sudah usang saya ingin menontonnya, dan saya pernah menyampaikan hal itu padanya.
“Kenapa kau sanggup punya film Hachiko?” Tanyaku.
“Kan kau pernah bilang jikalau kau ingin menontonnya. Kamu lupa?” Ujarnya sambil tersenyum.
Aku balas tersenyum. Begitulah Denise. Ia memang sahabatku yang paling baik.
***

Malam harinya, saya tidak sanggup tidur. Aku hampir selalu kesulitan untuk tidur akhir-akhir ini. Kurasa itu alasannya ialah saya sedang banyak pikiran. Memang aneh, padahal saya gres saja lulus dan pencapaianku juga tidak sanggup dibilang tidak memuaskan. Remaja normal lainnya mungkin justru sangat antusias dalam menjalani masa-masa menyerupai ini. Masa-masa bebas dari jeratan kiprah dan ulangan.
Yang kupikirkan sebetulnya ialah mengenai teman-temanku.
Hampir separuh siswa seangkatanku menentukan melanjutkan sekolah ke kawasan yang sama, sebuah Sekolah Menengan Atas yang memang menjadi favorit di kotaku. Anehnya, saya justru tidak berminat ikut bersekolah di sana. Aku punya kecenderungan untuk tidak mengikuti tren, mungkin alasannya ialah saya memang orang yang aneh. Aku dan segelintir siswa lainnya menentukan sekolah lain, yang sanggup dikatakan sebagai favorit nomor dua. Aku sedih alasannya ialah akan berpisah dengan sahabat-sahabatku yang telah bantu-membantu menjalani tiga tahun yang penuh kenangan.
Err, mungkin juga alasannya ialah saya akan berpisah dengan Denise.

Beberapa ahad sesudah angket pemilihan sekolah dibagikan, saya benar-benar murka dan kecewa padanya. Awalnya kami sudah setuju untuk pergi ke sekolah yang sama. Aku bahagia sekali. Sudah terbayang di benakku bahwa kami akan menghabiskan tiga tahun lagi bersama-sama. Tapi, di hari pengumpulan angket, saya melihat angket miliknya tidak sama denganku. Itu ialah angket dari sekolah favorit incaran teman-temanku. Aku tidak menyangka ia sanggup setega itu membohongiku.
“Kamu bilang kau akan pergi ke sekolah yang sama denganku!”
“A, saya berubah pikiran…”
“Kenapa?”
“Orangtua dan nenekku bilang, saya sebaiknya masuk ke sekolah lain yang lebih dekat.”
“Kalau kita pisah sekolah, kita nggak sanggup sering-sering ketemu lagi, Denise! Siapa yang akan ngajarin saya matematika lagi, Den…?”
“Yah, jangan sedih begitu dong. Kita kan cuma terpisah sedikit aja. Kamu kan pintar, berguru matematika niscaya bukan hal yang sulit buat kamu…”
“Dasar pembohong!”
Tapi jikalau dipikir-pikir lagi, saya memang sangat ndeso dan egois waktu itu. Memangnya saya ini siapa, sih, sampai-sampai merasa berhak untuk mengatur sekolah mana yang harus ia masuki?
Tapi tetap saja, saya merasa sedih. Sahabat menyerupai itu tidak menyerupai sandal yang selalu ada dua. Sahabat menyerupai itu munculnya mungkin cuma sekali seabad. Sahabat yang benar-benar mengerti perihal kita. Yang murni sahabat, tidak mengharapkan lebih walaupun ia seorang cowok.

Banyak yang menerka saya jadian dengannya. Pemikiran yang bodoh, sebetulnya. Mereka yang menyampaikan hal menyerupai itu sudah terperinci tidak mengenal Denise sebaik aku. Ia memang orang yang sangat baik, tidak hanya padaku, tapi juga pada orang lain. Ia tidak pernah merasa keberatan bila ada yang meminta bantuannya untuk mengajari matematika. Karena saya tidak begitu berilmu perihal itu, otomatis saya jadi sering berguru padanya. Ia juga punya rasa humor yang bagus. Terlalu manis malah. Sewaktu kami masih duduk di kelas VII, ia sering sekali mengusiliku. Hal terakhir yang ia lakukan sebelum kami lulus ialah menyembunyikan ponselku di atas lemari besar di pojok depan kelas. Dia sudah lebih tinggi dariku, jadi ia sanggup menaruhnya di atas sana dengan gampang sementara saya harus memakai bangku untuk mendapatkannya kembali.
“Denise, kembaliin ponselku!”
“Hahaha, ambil aja sendiri. Nggak terlalu tinggi, kan?”
“Iih, kau nyebelin banget sih! Pokoknya harus kau yang ngambil!”
“Nggak mau!”
Ya ampun, betapa saya akan sangat merindukan keisengannya.
***

Kamu akan tiba ke prom?
Aku menatap layar ponselku setengah takjub. Denise yang masbodoh tiba-tiba menjadi peduli dengan pesta dansa?

Nggak tahu. Memangnya kenapa?
Ponselku bergetar tanda SMS balasannya masuk. Cepat-cepat saya membacanya.

Cuma bertanya. Apa kau akan pergi dengan Harris?
Aku tidak suka dikala ia menyebut-nyebut nama mantan pacarku. Saat ini saya benar-benar ingin melupakan dan membuang semua kenangan perihal orang itu. Aku tidak suka alasannya ialah ia beranggapan saya terlalu bersahabat dengan Denise, bahkan lebih bersahabat dibandingkan dengan dirinya. Jelas, rupanya ia pun tidak mengenal Denise sebaik aku.
Ya ampun, terperinci nggak lah. Mana berani ia mengajakku?
Ya, mana berani ia mengajakku. Teman-temanku bilang saya memutuskannya dengan cara yang agak kejam, jadi menurutku ia masih terlalu takut untuk berinteraksi denganku lagi.

Kalau gitu, mau nggak pergi ke prom bareng aku? 
Aku memandang layar ponselku tanpa berkedip. Aku takut bila sekali saja saya berkedip, formasi karakter itu akan menghilang dari layar ponselku. Lama sekali saya memandanginya, sampai-sampai mataku terasa pedih dan berair. Tanganku gemetar, hampir tidak besar lengan berkuasa mengetikkan balasannya.

Boleh aja.
Aku tidak sanggup mengetikkan apapun yang lebih panjang dari itu. Rasanya kata apapun tidak akan cukup untuk menggambarkan perasaanku.
***

“Apa?! Dia mengajakmu ke prom?!”
Baru pertama kalinya saya melihat wajah sobat baikku Sheila berubah seekspresif itu. Aku tidak sanggup merespon lebih banyak selain tersenyum lebar sambil memamerkan SMS permintaan yang dikirimkan Denise padaku kemarin malam. Sheila merebutnya dari tanganku dan mulai membacanya seolah tidak mempercayai kata-kataku barusan.
“Ya ampun, ini sudah lebih dari cukup.” Gerutunya pelan.
“Apanya yang cukup?” Tanyaku polos.
“Denise dan kamu! Ini terperinci sudah lebih dari cukup. Sampai kapan kalian akan terus saling menunggu menyerupai ini?”
“Saling menunggu? Maksudmu apa sih?”

Sheila memutar bola matanya dengan lagak dramatis.
“Sekarang saya tanya ke kau dan kau harus jawab sejujur-jujurnya. Apa alasan kau tetapkan Harris?”
Aku terdiam sejenak sambil memandang langit-langit kelasku. “Karena ia menyebalkan.”
“Nah, kenapa ia menyebalkan?”

Lagi-lagi saya harus berpikir sejenak. “Um, kurasa alasannya ialah saya tidak suka dikala ia menganggapku terlalu bersahabat dengan Denise.” Jawabku akhirnya.
“Tepat!” Sheila berseru sambil menepuk bahuku.”Itulah masalahnya. Kedekatan kalian sanggup dibilang tidak masuk akal untuk ukuran seorang sahabat.”
Aku hanya sanggup bengong heran.
Sheila melanjutkan orasinya lagi. ”Dengar ya, Denise itu menyukaimu, dan dari gerak-gerikmu, orang paling ndeso pun akan eksklusif tahu bahwa kau juga menyukainya. Menurutku, Harris tidak sepenuhnya salah mengenai penilaiannya terhadapmu.”

Sekarang ia mulai membuatku kesal. “Jadi kini kau membela Harris?”
“Tentu saja tidak! Cowok posesif juga bukan sesuatu yang layak dibanggakan. Maaf ya, tapi mungkin saja alasan sesungguhnya kau memutuskannya ialah alasannya ialah kau lebih menyukai Denise daripada dirinya.”
Aku tidak tahu mengapa, tapi perkataan Sheila seolah menembus diriku dan menciptakan lidahku kelu.
***

Malam harinya, saya tetapkan untuk membicarakan hal ini dengan ibuku. Beliau ialah orang yang paling sempurna diajak berdiskusi mengenai hal semacam ini.
“Menurut Mama, kau memang menyukai Denise. Tapi sebagai sahabat, sayang.”

Aku tidak mengerti maksudnya.
“Sayang, rasa suka itu ada banyak sekali macam. Kamu sanggup saja menyukai seseorang alasannya ialah ia orang yang baik dan menyenangkan. Bisa saja kau menyukai orang lain alasannya ialah ia sangat memperhatikanmu. Itu masuk akal saja dan kau tidak perlu khawatir apabila kau menyukai seseorang, alasannya ialah itu berarti bahwa kau tidak membencinya.” Ujar ibuku sambil tersenyum dan membelai pelan puncak kepalaku.
“Tapi saya takut, Ma. Aku takut Denise akan meninggalkanku sesudah kami pisah sekolah. Aku takut ia menemukan sahabat yang lebih baik dari diriku. Dan yang paling parah, ia menemukan seorang gadis yang sempurna untuk dijadikan pacar! Dia niscaya akan sangat berubah dan kami tidak akan menjadi sahabat lagi…”
“Sayang, sekali sahabat akan tetap sahabat! Seorang sahabat sejati tidak akan tetapkan ikatan itu, apapun yang terjadi. Kamu sanggup punya banyak teman, tapi punya banyak sahabat ialah hal yang hampir mustahil. Ingatlah itu selalu.”
***

Beberapa ahad sesudah hari pertamaku bersekolah di SMA, Denise mengajakku chatting lewat facebook.
Hai, usang tidak bertemu. Apa kabarmu? Betah dengan sekolah barumu?
Ini pertama kalinya ia menghubungiku semenjak terakhir kalinya kami bertemu di hari kelulusan.
Kabar baik. Sekolah baruku hebat! Aku bahagia sekali di sini. Bagaimana denganmu?
Aku tidak begitu senang.

Kenapa begitu?
Karena saya belum mendapat seorang sahabat sebaik dirimu.
Aku tertegun. Sesuatu yang panas dan lembap mendesak keluar dari sudut mataku. Rupanya ini;ah yang dikatakan ibuku tempo hari.
Denise, apa kita akan tetap menjadi sahabat?
Lama sekali ia menuliskan balasannya. Aku menggigiti kuku alasannya ialah gugup.
Bicara apa kamu? Mana mungkin seorang sahabat sanggup pensiun? Sahabat itu untuk seumur hidup. Pisah sekolah bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Kita akan selalu jadi sahabat, saya jamin.
Beban yang selama ini menggelayuti bahuku balasannya terlepas dan membubung tinggi ke angkasa. Aku tahu bahwa tidak ada yang perlu saya khawatirkan lagi, biarpun suatu hari nanti kami tumbuh remaja dan terpisah berkilo-kilometer jauhnya. Selamanya kami akan jadi sahabat. Benar ‘kan, Denise?

PROFIL PENULIS
Nama: Indah Pradnyani
TTL: Denpasar, 3 Oktober 1995
alamat facebook: Indah Pradnyani
alamat e-mail: indah.pradnyani@facebook.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel