Semuanya Hanya Untuk Ayah - Cerpen Sedih

SEMUANYA HANYA UNTUK AYAH
Karya Nining Septia

Pagi yang cerah di hari minggu. Ku tatap langit yang begitu cerah dengan dihiasi awan yang begitu putih ibarat putih salju, dan dihiasi oleh kicauan burung yang menambah pagi ini semakin indah. Apalagi saya sanggup menikmati hari ini dengan Ayah di taman belakang rumah. Karena saya terlalu sibuk oleh urusan sekolah ku tiap hari yang menciptakan ku jarang sekali menikmati indah nya dunia bersama Ayah walau pun Ayah hanya sanggup menemani ku sembari duduk diatas dingklik rodanya.
“Dinda hari ini kau gak latihan apa?” tanya ayah tiba-tiba.
“Enggak Yah hari ini libur, capek masa tiap hari saya latihan terus. Aku kan mau nemani Ayah juga. Masa bik Inah terus sih yang nemani ayah sedangkan saya anak semata wayang Ayah jarang ngurusin Ayah.” jawab ku sembari terus mendorong dingklik roda Ayah mengelilingi halaman belakang rumah.

Ayah ku terkena penyakit setruk, tangan kiri nya sudah tidak berfungsi lagi. Selain itu Ayah terjangkit penyakit diabetes. Aku yaitu anak semata wayang. Bunda ku telah meninggal semenjak saya kelas 1 Sekolah Menengan Atas akhir kecelakaan. Aku yaitu anak piatu, maka dari itu saya sangat sayang sama Ayah walau saya jarang dirumah gara-gara sibuk mempersiakan ujian yang sudah di lambang pintu. Dan biasanya setiap hari mingggu saya selalu latihan piano dan bulu tangkis.
“Enggak apa-apa kok sayang. Ayah ngerti kau tuh harus konsen belajar. Kamu gak usah pikirin Ayah yah?”

Semuanya Hanya Untuk Ayah
Aku pun menghentikan dingklik roda. “Ayah maafin Dinda ya..Dinda memang bukan anak yang baik untuk Ayah.” Kata ku sembari menunduk dan berurai air mata.
“Enggak Dinda, Ayah cukup besar hati sama kamu. Kamu anak yang baik,pintar,rajin dan berprestasi..” ucap Ayah sembari mengelus kepala ku.
“Dinda sayang Ayah.” Kataku sembari memeluk tubuh Ayah. “iya sayang ayah juga.”
“oh iya Ayah besok Dinda akan mengikuti perlombaan piano tingkat kota Yah. Doakan Dinda ya yah.” kataku sembari melepaskan pelukan Ayah.
“iya sayang niscaya Ayah doakan kau menan,. Ayah yakin kau niscaya sanggup jadi yang terbaik. Menang lah demi Ayah ya.” pinta Ayah pada ku.
“iya Yah, Insaallah.” kata ku sembari meneteskan air mata.
Keesokan harinya sesudah pulang sekolah saya eksklusif bergegas menuju ketempat pertandingan bersama Ayah dan bik Inah pembantu ku. Bik Inah bagi ku ibarat ibu kandung ku maka setiap ada pertandingan saya selalu mengajak dia.

Setibanya di kawasan pertandingan ternyata yang ikut lomba tidak mengecewakan banyak. Wajar aja sih ini perlombaan tingkat kota. Aku menerima nomor urut 56 sedangkan yang mengikuti perlombaan sebanyak 80 orang. Belum tiba giliran ku tampil tiba-tiba muka ayah pucat dan badanya bergemetar. Aku yang melihat tragedi itu eksklusif panik dan menangis alasannya tiba-tiba Ayah tidak sanggup bicara.
“Ayah kenapa yah.? Bik telvon rumah sakit yah pesan ambulan cepat.” perintah ku pada bik Inah. Tak usang kemudian ambulan datang, dan Ayah dimasukan kedalam ambulan. Aku pun masuk kedalam ambulan itu meninggalkan program itu. Aneh tiba-tiba Ayah sanggup bicara walaupun terbata-bata.
“Din..da..mau..kemana..bi..ar..ayah..ditemani..bik Inah..ka..mu..harus ikut..perlom..baan ini,,ayah..yakin..kamu bisa..bawa..pu..lang..piala itu..untuk..Ayah..yah..”
“iya yah niscaya yah doain Dinda, Dinda sayang Ayah supaya Ayah cepat sembuh..Dinda akan membawa piala itu untuk Ayah.. Dinda kesepakatan Yah.” kataku sembari terus menangis. Tapi air mataku tak ada gunanya. Ambulan itu terus berjalan meninggalkan ku, Dan saya pun kembali memasuki ruangan itu kebetulan nama ku dipanggil. Aku pun eksklusif tampil dengan terus berurai air mata memikirkan keadaan ayah dan brusaha tetap menampilkan yang terbaik alasannya saya yakin saya sanggup membawa piala itu untuk Ayah.

1 jam telah berlalu saya belum sanggup kabar wacana keadaan Ayah alasannya dari tadi bik Inah tidak sanggup dihubungi. Dan itu semua makin menciptakan ku cemas dan binggung bagai anak ayam yang kehilangan induknya. Tiba-tiba ku mendengar nama ku dipanggil oleh dewan juri. Aku tidak sadar jikalau pengumuman pemenang perlombaan telah dimulai.
“ Dinda Khairunissa.” Teriak juri itu penuh semangat disertai tepuk tanggan para penonton dan para paserta lomba itu. Dan betapa terkejutnya saya ternyata saya menjadi juara 1. sesudah mendapatkan piala itu saya pun eksklusif minta izin kepada dewan juri untuk pulang lebih dulu. Dan itu menciptakan para juri heran dan binggung.

Tanpa pikir panjang lagi saya eksklusif kerumah sakit. Setibanya di rumah sakit saya kemudian menanyakan ruangan Ayah pada resepsionis dirumah sakit itu. Setelah mengetahui ruanganya saya pun eksklusif berlari sambil meneteskan air mata. Dan saat tiba di UGD betapa terkejutnya saya saat melihat tidak ada Ayah disitu. Tapi saat ku membalikan tubuh saya melihat bik Inah sedang menangis.
“Bibik...” panggil ku sembari berlari menghampiri bik Inah. “ non Dinda..”
“Bibik kenapa nangis? gimana keadaan Ayah? Ayah baik-baik aja kan bik?” tanya ku pada bik Inah.
“Non harus sabar yah.. Ayah non Dinda kembali kepada-NYA.” Jawab bik inah dengan ragu.
“Apaaa? gak mungkin bik, Ayah gak mungkin meninggal? kini ayah dimana bik?” tanya ku sembari menangis histeris.
“Dikamar jenazah non.” Aku yang mendengar balasan bik Inah eksklusif berlari dan diikuti oleh bik inah dari belakang.
“Ayaaaahhhhhhhhh....”seru ku sembari membuka epilog wajah Ayah, Ayah jangan tinggalin Dinda sendiri Ayah, Dinda udah nepati kesepakatan dinda untuk pulang bawa piala ini Ayah.” kata ku sembari memeluk tubuh Ayah yang sudah tak bernyawa lagi.
“Non harus sabar yah, ini mungkin cobaan untuk non.”
“Iya makasih bik.” Kataku sembari mengecup kening ayah dengan lembut dan kasih sayang.

PROFIL PENULIS
Nama : Nining Septia
Panggilan : Tya
Follow twitter : @fanatyaniac_tya
Add fb : Yha Prasetya Fauzie
WhatsApp : 083181967445
Sekolah : Sekolah Menengah kejuruan N 3 PADANG
Cita-cita : Akuntan dan Jurnalistik

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel