Yang Terbingkai Menjadi Bangkai - Cerpen Murung
Rabu, 18 Maret 2015
YANG TERBINGKAI MENJADI BANGKAI
Karya Daviatul Umam el-S
Pagi ini, dengan tegar saya terus berjalan menjelajahi trotoar. Membawa sepotong kayu kecil dipakui gerincing sambil bernyanyi di depan warung, toko, serta orang-orang yang sedang asyik ngobrol bersama. Rasa aib tak boleh kupakai demi mendapatkan rejeki yang halal. Aku menjalaninya dalam wajah kegirangan. Syukurlah, gres beberapa menit telah kudapati uang Rp. 7000. Tuhan benar-benar maha penyayang. Semakin mendorongku untuk lebih semangat bekerja.
Tak lama kemudian... mataku terpanggil lampu kemudian lintas tengah berwarna merah. Kendaraan-kendaraan yang ingin melewatinya berhenti semua. Kuhampiri kendaraan beroda empat hitam bertuliskan Avanza di belakangnya. Lalu kunyanyikan lagu-lagu sendu disamping kanan beling depannya seraya kugoncangkan sesuatu yang kubawa dengan kocak. Tiba-tiba, dibukalah beling itu oleh pengemudinya.
“Subhanallah...,” ucapku dalam hati. Baru kali ini saya melihat makhluk tampan. Ditambah senyuman yang menjadi bumbu di wajahnya. Semakin menawan untuk kupandang. Sungguh aib diriku ketika ini. Menerima uang darinya sebanyak Rp. 200.000.
“Maaf, Pak. Uang ini terlalu banyak,” ujarku sambil mengulurkan uang tersebut.
“Sudah, gak apa-apa. Ambil saja!,” tanggapnya, santun.
“Tapi...” lampu kemudian lintas telah berganti hijau. Sehingga beling mobilnya sudah tertutup kembali dan melanjutkan perjalanan. Membuat perkataanku terpotong tak terarah.
***
Yang Terbingkai Menjadi Bangkai |
Di rumah, saya menceritakan pengalamanku sama bapak diwaktu saya bekerja siang tadi, walaupaun sebentar. Tapi, saya kecewa. Bapak hanya tertawa terbahak-bahak setalah mendengarkan semua yang kuceritakan. Padahal... saya ingin disanjung lantaran sudah mendapatkan uang banyak.
“Ah, bapak ini mengecewakan Rina.”
“Lho!, emangnya ada yang salah dengan bapak?.”
“Nggak, sih. Tapi, kenapa bapak tertawa?.”
“Aduh... kirain kenapa. Bapak tertawa, lantaran bapak besar hati punya anak ibarat kamu. Baru mulai bekerja, sudah membawa uang sebanyak itu. Kamu benar-benar hebat!.”
“Alhamdulillah, pak. Itupun berkat pria itu. Kok sanggup ya?, beliau pribadi memperlihatkan uang sebanyak itu kepada Rina.”
“Mungkin, beliau mencintaimu, nak.”
“I...h..., bapak ini ada-ada saja. Sudahlah, jangan diungkit-ungkit lagi. Lebih baik, kita istirahat dulu yuk, pak. Rina capek. Besok kan mau kerja lagi.”
“Benar, bapak juga capek, nih.”
***
Keesokan harinya, ibarat kemarin saya kembali kerja. Terus mengamen di tempat-tempat ibarat kemarin pula. Tanpa terasa, uang yang kupegang sudah berjumlah Rp. 15.000. cukup puas untuk memenuhi kebutuhan hidup kami dalam dua hari.
“Ya Allah, terimakasih Engkau telah menurunkan rejeki pada kami.”
Tak kusangka, kendaraan beroda empat itu berhenti seketika di dekatku. Gimana ini?. Aku harus menghindar. Iya, saya harus lari. Rasa maluku akan bertambah, kalau beliau memberiku uang lagi. Tapi, gimana dengan cinta ini?. Ah, tidak mungkin bagiku untuk memilikinya. Dia orang kaya. Sementara aku, hanya pengamen jalanan tak punya ibu. Hidup dengan seorang bapak ditimbun kefakiran. Mendingan, saya cepat-cepat lari.
“Hei...!, kenapa lari?.” Sejenak kuberhenti. Dia memanggilku. Apa yang akan kulakukan?. Aku merasa tidak yummy padanya. Dia sudah memberiku uang banyak.
“Tunggu...!.” Aku kasihan. Lebih baik kutunggu saja, sekedar menghargainya.
“Kamu kok lari, sih?,” tanyanya dengan nafas tersendat-sendat.
“Maaf, pak,” jawabku, singkat dan gugup.
“Tolong, jangan panggil saya dengan sebutan itu. Namaku Jaka. Panggil saja, Jaka. Bisa kan!.”
“I...iya, Jaka.”
“Nah, gitu dong!. O,iya. Kalau boleh tahu, nama kau siapa?.”
“Rina.”
“O...h, Rina.” Setelah itu, beberapa detik beliau menghentikan perkataannya. Sambil kemudian mengeluarkan dompet dari saku celana pensilnya.
“Ini ada sedikit uang untuk bekalmu,” ujarnya, menyodorkan tiga lembar uang padaku. Berjumlah Rp. 300.000.
“Bukannya saya tidak mau, nerima uang darimu. Tapi, uang yang kau berikan kemarin itu sudah terlalu banyak untuk kuterima,” tambahku, menolak.
“Anggap saja, uang ini kenang-kenangan dariku. Terimalah!, saya mohon.” Dia menawar tanggapanku. Terpaksa saya menerimanya dengan menampakkan wajah seri. Walau bergotong-royong rasa aib semakin menyetubuhiku.
“Terimakasih. Semoga Tuhan menggantinya yang lebih besar padamu. Kalau gitu, saya pamit pulang dulu, ya!.”
“Sebentar, Rin. Ada yang perlu kubicarakan sama kamu.”
“Apa?.”
“Emmm...”
“Cepat!. Aku terburu-buru.” Ucapku, mendesak.
“Aku mencintaimu.” Singkat serta cepat, kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Pura-pura ku tak peduli akan itu. Segeralah saya pulang memakai kecepatan kaki.
***
Usai langkahku menginjak beranda rumah, kembali kuceritakan insiden yang kualami barusan. Sekarang, bapak tertawa lagi. Tapi, saya sudah tahu apa maksudnya. Pasti bapak membanggakanku.
“Permisi...” Aneh, Jaka kok sanggup tahu arah menuju rumah ini?. Padahal, saya tak pernah memberitahukannya. Dan mau apa beliau kesini?.
“Iya. Kemari, nak!.” Bapak mempersilahkannya. Jaka pun masuk dan pribadi duduk di lantai tak beralas, di depan bapak. Kemudian, beliau memperkenalkan dirinya sambil berjabatan tangan dengan bapak.
“Dialah yang memberi uang sebanyak itu kepada Rina, pak,” saya mempertunjukkan kebaikannya.
“O...h, ternyata ini orang yang kau maksud mulai kemarin!,” seru bapak untuk meyakinkan dirinya.
“Benar, pak,” tambahku. Begitu bapak sudah mengerti, dengan sangat bapak mengucapkan terimakasih padanya. Namun, Jaka hanya menjawab dengan senyuman.
Beberapa menit kemudian...
“Ngomong-ngomong, kedatangan saya kemari untuk...” Ada keraguan di mata Jaka dalam mengungkapkan perkataannya.
“Untuk apa?. Silahkan, jangan ragu-ragu,” balas bapak.
“Begini, pak. Saya bermaksud untuk melamar Rina.” Jantungku berdansa ketika mendengar bunyi itu.
“Ya, iya. Tapi, maaf. Bapak tidak sanggup berpihak dalam hal tersebut. Semua balasan ada di tangan Rina,” bapak mengelak, memasrahkannya padaku.
“Akupun juga minta maaf. Aku tidak sanggup pula berpihak dalam hidupmu.” Kendati saya sangat mencintainya, kurasa tidak secepat ini saya harus jadi istrinya.
“Maksudmu?.” Dia kebingungan, hingga mengerutkan dahinya.
“Aku benar-benar minta maaf, Jak. Aku hanya ingin hidup bersama bapak tanpa terhalangi siapapun. Alangkah baiknya, kita temenan saja.”
“Aku mohon, Rin. Terimalah aku!. Apapun akan kuberikan, kalau itu merupakan persyaratan. Atau uang yang kuberikan masih kurang?. Demi kamu, akan kutambah, Rin.”
“Sekali lagi saya minta maaf. Aku tidak butuh persyaratan. Dan, saya bukan barang.Yang sanggup dibeli dan ditawar. Cepat pergi!. Kau fikir, kau sanggup menguasai segalanya dengan uang!. Kalau kau gak rela, akan kukembalikan kini juga.”
“Gak perlu, Rin. Aku akan pergi dari sini.” Berakhirlah percakapan kami sehabis beliau melontarkan kata-kata itu. Perlahan beliau keluar dari beranda, sehingga langkah demi langkahnya telah tak terlihat. Sedangkan bapak hanya membisu, menggeleng-gelengkan kepala.
***
Tanpa terasa lama, waktu menghipnotisku telah menjadi satu ahad hingga sekarang. Heran, dalam ahad ini, Jaka tak pernah muncul di mataku. Apa beliau murka akan semua perkataanku?. Baru ketika ini, saya merindukan sosok itu. Rindu yang mendalam. Tapi, kehadirannya sudah kutolak. Sudahlah, tak usah kufikirkan perasaanku ini. Yang harus kufikirkan perihal kelakuannya. Sejak beliau terbit di hadapanku, wajahnya memperlihatkan banyak kebaikan. Namun, kenyataan tiba-tiba saja bertandang dalam kepastian. Mentang dirinya kaya, beliau berbuat seenaknya dengan uang. Ah..., malas saya mengingatnya.
“Nak Rina!.” Bersama colekan tangan di pundakku, bunyi itu terbias dari belakang. Segeralah saya menoleh dengan kaget.
“Nenek!, kirain siapa. Ada apa, nek?.” Ternyata nek Sambi, seorang nenek bertempat tinggal di sebelah timur rumahku. Rasa kaget tertelan oleh wajahnya.
“Cepat pulang, nak!. Keadaan di rumahmu dalam keadaan gawat,” jawab nek Sambi, penuh keresahan.
Tak banyak pertanyaan, hatiku ditemani penasaran. Kulempar alat ngamen yang kupegang. Secepat mungkin saya harus menyaksikan keadaan di rumah.
“Kenapa riuh, dan banyak orang?,” ucapku lirih, ketika jejakku menempati bersahabat pagar antara lorong dan rumah. Lalu, kuhampiri bapak yang terlihat kebingungan menghadapi orang-orang itu.
“Astaghfirullah!,” saya terkejut. Di depan mereka, ada Jaka dan dua brewok disamping kanan serta kirinya.
“Lihat, bapak-bapak, ibu-ibu!. Gadis inilah yang mengikat akad dusta. Saya dimintai uang banyak olehnya, sebagai syarat untuk saya kawini. Tapi, sehabis saya memenuhi persyaratan itu, beliau akal-akalan tidak ingat akan janjinya. Dan menolak lamaran saya. Lebih parahnya lagi, uang yang saya berikan sudah habis dimakan!.” Seperti orang berdakwah, Jaka menyaringkan bunyi kepada mereka.
“Ah, bapak ini mengecewakan Rina.”
“Lho!, emangnya ada yang salah dengan bapak?.”
“Nggak, sih. Tapi, kenapa bapak tertawa?.”
“Aduh... kirain kenapa. Bapak tertawa, lantaran bapak besar hati punya anak ibarat kamu. Baru mulai bekerja, sudah membawa uang sebanyak itu. Kamu benar-benar hebat!.”
“Alhamdulillah, pak. Itupun berkat pria itu. Kok sanggup ya?, beliau pribadi memperlihatkan uang sebanyak itu kepada Rina.”
“Mungkin, beliau mencintaimu, nak.”
“I...h..., bapak ini ada-ada saja. Sudahlah, jangan diungkit-ungkit lagi. Lebih baik, kita istirahat dulu yuk, pak. Rina capek. Besok kan mau kerja lagi.”
“Benar, bapak juga capek, nih.”
***
Keesokan harinya, ibarat kemarin saya kembali kerja. Terus mengamen di tempat-tempat ibarat kemarin pula. Tanpa terasa, uang yang kupegang sudah berjumlah Rp. 15.000. cukup puas untuk memenuhi kebutuhan hidup kami dalam dua hari.
“Ya Allah, terimakasih Engkau telah menurunkan rejeki pada kami.”
Tak kusangka, kendaraan beroda empat itu berhenti seketika di dekatku. Gimana ini?. Aku harus menghindar. Iya, saya harus lari. Rasa maluku akan bertambah, kalau beliau memberiku uang lagi. Tapi, gimana dengan cinta ini?. Ah, tidak mungkin bagiku untuk memilikinya. Dia orang kaya. Sementara aku, hanya pengamen jalanan tak punya ibu. Hidup dengan seorang bapak ditimbun kefakiran. Mendingan, saya cepat-cepat lari.
“Hei...!, kenapa lari?.” Sejenak kuberhenti. Dia memanggilku. Apa yang akan kulakukan?. Aku merasa tidak yummy padanya. Dia sudah memberiku uang banyak.
“Tunggu...!.” Aku kasihan. Lebih baik kutunggu saja, sekedar menghargainya.
“Kamu kok lari, sih?,” tanyanya dengan nafas tersendat-sendat.
“Maaf, pak,” jawabku, singkat dan gugup.
“Tolong, jangan panggil saya dengan sebutan itu. Namaku Jaka. Panggil saja, Jaka. Bisa kan!.”
“I...iya, Jaka.”
“Nah, gitu dong!. O,iya. Kalau boleh tahu, nama kau siapa?.”
“Rina.”
“O...h, Rina.” Setelah itu, beberapa detik beliau menghentikan perkataannya. Sambil kemudian mengeluarkan dompet dari saku celana pensilnya.
“Ini ada sedikit uang untuk bekalmu,” ujarnya, menyodorkan tiga lembar uang padaku. Berjumlah Rp. 300.000.
“Bukannya saya tidak mau, nerima uang darimu. Tapi, uang yang kau berikan kemarin itu sudah terlalu banyak untuk kuterima,” tambahku, menolak.
“Anggap saja, uang ini kenang-kenangan dariku. Terimalah!, saya mohon.” Dia menawar tanggapanku. Terpaksa saya menerimanya dengan menampakkan wajah seri. Walau bergotong-royong rasa aib semakin menyetubuhiku.
“Terimakasih. Semoga Tuhan menggantinya yang lebih besar padamu. Kalau gitu, saya pamit pulang dulu, ya!.”
“Sebentar, Rin. Ada yang perlu kubicarakan sama kamu.”
“Apa?.”
“Emmm...”
“Cepat!. Aku terburu-buru.” Ucapku, mendesak.
“Aku mencintaimu.” Singkat serta cepat, kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Pura-pura ku tak peduli akan itu. Segeralah saya pulang memakai kecepatan kaki.
***
Usai langkahku menginjak beranda rumah, kembali kuceritakan insiden yang kualami barusan. Sekarang, bapak tertawa lagi. Tapi, saya sudah tahu apa maksudnya. Pasti bapak membanggakanku.
“Permisi...” Aneh, Jaka kok sanggup tahu arah menuju rumah ini?. Padahal, saya tak pernah memberitahukannya. Dan mau apa beliau kesini?.
“Iya. Kemari, nak!.” Bapak mempersilahkannya. Jaka pun masuk dan pribadi duduk di lantai tak beralas, di depan bapak. Kemudian, beliau memperkenalkan dirinya sambil berjabatan tangan dengan bapak.
“Dialah yang memberi uang sebanyak itu kepada Rina, pak,” saya mempertunjukkan kebaikannya.
“O...h, ternyata ini orang yang kau maksud mulai kemarin!,” seru bapak untuk meyakinkan dirinya.
“Benar, pak,” tambahku. Begitu bapak sudah mengerti, dengan sangat bapak mengucapkan terimakasih padanya. Namun, Jaka hanya menjawab dengan senyuman.
Beberapa menit kemudian...
“Ngomong-ngomong, kedatangan saya kemari untuk...” Ada keraguan di mata Jaka dalam mengungkapkan perkataannya.
“Untuk apa?. Silahkan, jangan ragu-ragu,” balas bapak.
“Begini, pak. Saya bermaksud untuk melamar Rina.” Jantungku berdansa ketika mendengar bunyi itu.
“Ya, iya. Tapi, maaf. Bapak tidak sanggup berpihak dalam hal tersebut. Semua balasan ada di tangan Rina,” bapak mengelak, memasrahkannya padaku.
“Akupun juga minta maaf. Aku tidak sanggup pula berpihak dalam hidupmu.” Kendati saya sangat mencintainya, kurasa tidak secepat ini saya harus jadi istrinya.
“Maksudmu?.” Dia kebingungan, hingga mengerutkan dahinya.
“Aku benar-benar minta maaf, Jak. Aku hanya ingin hidup bersama bapak tanpa terhalangi siapapun. Alangkah baiknya, kita temenan saja.”
“Aku mohon, Rin. Terimalah aku!. Apapun akan kuberikan, kalau itu merupakan persyaratan. Atau uang yang kuberikan masih kurang?. Demi kamu, akan kutambah, Rin.”
“Sekali lagi saya minta maaf. Aku tidak butuh persyaratan. Dan, saya bukan barang.Yang sanggup dibeli dan ditawar. Cepat pergi!. Kau fikir, kau sanggup menguasai segalanya dengan uang!. Kalau kau gak rela, akan kukembalikan kini juga.”
“Gak perlu, Rin. Aku akan pergi dari sini.” Berakhirlah percakapan kami sehabis beliau melontarkan kata-kata itu. Perlahan beliau keluar dari beranda, sehingga langkah demi langkahnya telah tak terlihat. Sedangkan bapak hanya membisu, menggeleng-gelengkan kepala.
***
Tanpa terasa lama, waktu menghipnotisku telah menjadi satu ahad hingga sekarang. Heran, dalam ahad ini, Jaka tak pernah muncul di mataku. Apa beliau murka akan semua perkataanku?. Baru ketika ini, saya merindukan sosok itu. Rindu yang mendalam. Tapi, kehadirannya sudah kutolak. Sudahlah, tak usah kufikirkan perasaanku ini. Yang harus kufikirkan perihal kelakuannya. Sejak beliau terbit di hadapanku, wajahnya memperlihatkan banyak kebaikan. Namun, kenyataan tiba-tiba saja bertandang dalam kepastian. Mentang dirinya kaya, beliau berbuat seenaknya dengan uang. Ah..., malas saya mengingatnya.
“Nak Rina!.” Bersama colekan tangan di pundakku, bunyi itu terbias dari belakang. Segeralah saya menoleh dengan kaget.
“Nenek!, kirain siapa. Ada apa, nek?.” Ternyata nek Sambi, seorang nenek bertempat tinggal di sebelah timur rumahku. Rasa kaget tertelan oleh wajahnya.
“Cepat pulang, nak!. Keadaan di rumahmu dalam keadaan gawat,” jawab nek Sambi, penuh keresahan.
Tak banyak pertanyaan, hatiku ditemani penasaran. Kulempar alat ngamen yang kupegang. Secepat mungkin saya harus menyaksikan keadaan di rumah.
“Kenapa riuh, dan banyak orang?,” ucapku lirih, ketika jejakku menempati bersahabat pagar antara lorong dan rumah. Lalu, kuhampiri bapak yang terlihat kebingungan menghadapi orang-orang itu.
“Astaghfirullah!,” saya terkejut. Di depan mereka, ada Jaka dan dua brewok disamping kanan serta kirinya.
“Lihat, bapak-bapak, ibu-ibu!. Gadis inilah yang mengikat akad dusta. Saya dimintai uang banyak olehnya, sebagai syarat untuk saya kawini. Tapi, sehabis saya memenuhi persyaratan itu, beliau akal-akalan tidak ingat akan janjinya. Dan menolak lamaran saya. Lebih parahnya lagi, uang yang saya berikan sudah habis dimakan!.” Seperti orang berdakwah, Jaka menyaringkan bunyi kepada mereka.
Akhirnya, mereka bersorak-sorak, tanda mengejek pada kami.
“Diam, diam...!,” saya berteriak. Terdiamlah mereka.
“Dia bohong!. Aku tak pernah melaksanakan akad itu,” saya melanjutkan teriakan, sekuat tenaga.
“Sudah, jangan sembunyikan lagi rahasiamu. Sekarang, cepat kembalikan uangku!. Kalau tidak, saya dan anak buahku ini akan mengusir kalian secara paksa.” Jaka semakin membentak.
“Nak, kenapa kau tega memfitnah Rina ibarat ini?. Maaf, kalau perbuatannya tidak ibarat apa yang kau inginkan. Kasihanilah kami, nak. Uangmu sudah kami pakai untuk makan dan juga bayar hutang. Dimana kami akan bertempat tinggal?, kalau kami terusir dari sini!.” Seraya berlutut serta menangis, bapak minta dispensasi pada Jaka di hadapannya. Sia-sia, sama sekali beliau tak menghiraukan.
“Sudah, pak. Bangun!. Ayo kita pergi dari sini. Tidak ada gunanya bapak mengemis-ngemis pada orang licik ibarat dia.” Tak tega diriku melihatnya, dijadikan budak oleh Jaka. Kubangkitkan tubuhnya alun-alun. Kemudian, kami pergi menggendong kegalauan dan kesedihan. Diiringi sorakan serta olok-olokan mereka yang tak tahu alur insiden sesungguhnya.
22-April-2012.
“Diam, diam...!,” saya berteriak. Terdiamlah mereka.
“Dia bohong!. Aku tak pernah melaksanakan akad itu,” saya melanjutkan teriakan, sekuat tenaga.
“Sudah, jangan sembunyikan lagi rahasiamu. Sekarang, cepat kembalikan uangku!. Kalau tidak, saya dan anak buahku ini akan mengusir kalian secara paksa.” Jaka semakin membentak.
“Nak, kenapa kau tega memfitnah Rina ibarat ini?. Maaf, kalau perbuatannya tidak ibarat apa yang kau inginkan. Kasihanilah kami, nak. Uangmu sudah kami pakai untuk makan dan juga bayar hutang. Dimana kami akan bertempat tinggal?, kalau kami terusir dari sini!.” Seraya berlutut serta menangis, bapak minta dispensasi pada Jaka di hadapannya. Sia-sia, sama sekali beliau tak menghiraukan.
“Sudah, pak. Bangun!. Ayo kita pergi dari sini. Tidak ada gunanya bapak mengemis-ngemis pada orang licik ibarat dia.” Tak tega diriku melihatnya, dijadikan budak oleh Jaka. Kubangkitkan tubuhnya alun-alun. Kemudian, kami pergi menggendong kegalauan dan kesedihan. Diiringi sorakan serta olok-olokan mereka yang tak tahu alur insiden sesungguhnya.
22-April-2012.
PROFIL PENULIS
Pemuda yang berkelahiran di Sumenep, 18-September-1996. Kini tercatat sebagai santri PP. Annuqayah tempat Lubangsa blok D/05, Guluk-guluk, Sumenep, Madura, JATIM. Aktif di Sanggar ANDALAS dan Teater Nanggala. Rumah asal Pulau Poteran, Sumenep, Madura.