Tetap Kekal Meski Terpisah - Cerpen Persahabatan Remaja
Rabu, 11 Februari 2015
TETAP ABADI MESKI TERPISAH
Karya Lintang Putri Negari
Mempunyai sahabat memang menyenangkan. Setiap hari selalu bersama sambil menceritakan banyak hal yang dialami. Kadang bercerita perihal sesuatu hal yang menyedihkan, tapi terkadang juga menceritakan hal yang menyenangkan hingga menciptakan kami tertawa bersama. Seperti itulah hubungan persahabatan yang telah kami jalin selama 3 tahun ini.
Namaku Alicia. Saat ini usiaku gres menginjak 14 tahun dan duduk di kursi kelas 3 SMP. Tak ada yang istimewa dariku. Aku hanyalah gadis biasa, bodoh, dan selalu bersikap dingin, sehingga tak mempunyai banyak sahabat alasannya hampir semua orang selalu menjauhiku. Sejak ketika itu, saya jadi sulit mempercayai orang lain. Aku selalu menganggap kalau sendirian itu lebih menyenangkan dari pada mempunyai teman, tapi ternyata anggapanku itu salah. Pada akhirnya, selama SD saya selalu merasa sangat kesepian dan iri pada orang lain alasannya mereka mempunyai banyak teman.
Tiga tahun kemudian saya bertemu dengan 4 orang gadis yang seumuran denganku. Tepatnya pada ketika upacara penerimaan murid tahun fatwa gres di Sekolah Menengah Pertama tempatku bersekolah ketika ini. Rasti, Angel, Diana, dan Tricia. Itulah nama keempat gadis itu dan kini mereka telah menjadi sahabatku. Sejak ketika itu hidupku berkembang menjadi lebih baik dan menyenangkan.
Tetap Abadi Meski Terpisah |
Hari ini masih sama ibarat biasanya. Di bawah langit yang cerah, kami berkumpul di sini, di sebuah lahan kosong yang tak jauh dari rumah kami. Tempat ini memang hanya sebuah lahan yang terabaikan dan dipenuhi rumput dan flora liar. Namun, kami selalu merasa kalau kawasan ini sangat nyaman. Biasanya yang kami lakukan di sini hanya bermain bersama sambil menceritakan banyak hal yang telah kami alami.
“Oh, ya. Bukannya satu ahad lagi Ujian Nasional, ya?” tanya Rasti memastikan.
“Hm… kurasa itu akan menjadi saat-saat yang menyiksa bagi otakku yang pelupa ini,” gumamku sambil memukul-mukul kepalaku pelan.
“Tenang saja! Kan, di setiap nomor ada pilihan jawaban. Tinggal pilih saja salah satunya. Kalau beruntung mungkin hasilnya akan memuaskan,” ujar Diana santai sambil tertawa.
“Iya, kalau beruntung. Kalau nggak beruntung, kan nanti nilainya jelek,” sahut Angel sambil menyenggol pundak Diana. Sementara Diana tak menjawab dan terus tertawa.
“Eh, tadi malam saya mimpi buruk,” kata Tricia secara tiba-tiba, sehingga menciptakan pandangan kami eksklusif tertuju padanya.
“Mimpi apa?” tanya kami kompak.
“Tapi jangan marah, ya? Soalnya mimpiku benar-benar buruk,” jawab Tricia dengan wajah yang tampak ragu.
“Udah, kisah aja!” kata Rasti tak sabar. Sepertinya ia benar-benar merasa ingin tau dengan mimpi yang dialami Tricia.
Tricia menghela nafas. Ia menatap kami satu-persatu dengan tatapan ragu. “Tadi malam…” Tricia mulai bercerita dengan bunyi kecil. Kami segera mendekatinya semoga dapat mendengarkan suaranya lebih jelas. “Tadi malam…” Tricia mengulang kalimat yang tadi telah ia ucapkan.
“Udah, cepet cerita!” gerutu Rasti yang merasa jengkel alasannya semenjak tadi Tricia hanya mengulang-ulang kalimatnya.
“Iya, iya,” jawab Tricia. “Tadi malam saya bermimpi melihat diriku sendiri, Rasti, Angel, dan Diana sedang duduk mengelilingi mayat…” Tricia tak melanjutkan kalimatnya.
“Mayat apa?” tanya Angel.
Tricia kembali menatap kami satu-persatu sambil menghela nafas. Sepertinya ia merasa sangat ragu untuk menceritakan mimpinya pada kami. “Mayat Alicia,” sambungnya dengan wajah tertunduk.
Rasti, Diana, dan Angel tampak kaget. Sementara saya hanya termangu alasannya merasa sangat terkejut dengan kisah Tricia. Apalagi di dalam mimpi Tricia, saya telah meninggal. Hal itu menciptakan jantungku tiba-tiba berdetak kencang tak terkendali.
“Sudah, damai saja! Itu kan, cuma mimpi. Makara nggak ada yang perlu dikhawatirkan,” Diana berusaha menenangkanku sambil menepuk-nepuk bahuku perlahan.
Aku menatap keempat sahabatku sambil tersenyum tipis. “Apa kalian mau berjanji?” pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari bibirku. Mereka berempat eksklusif menganggukkan kepala tanpa ragu. “Jika sehabis lulus Sekolah Menengah Pertama nanti kita berpisah, maukah kalian berjanji untuk tidak melupakan satu sama lain?” tanyaku.
Awalnya mereka terdiam, tapi kemudian mereka tersenyum kemudian mendekatiku. “Tentu saja,” jawab mereka dengan bunyi keras, sehingga menciptakan telingaku terasa sedikit sakit.
Tiba-tiba hujan turun dengan merasa derasnya. Kami merasa sedikit asing alasannya sebelumnya, langit tampak begitu cerah dan tak sedikit pun awan mendung yang terlihat. Namun kami tak memperdulikan hal itu. Kami lebih menentukan untuk berlari dengan cepat dan pulang ke rumah masing-masing semoga tidak kehujanan.
Pagi ini langit tampak begitu cerah. Namun tak secerah hatiku. Sama ibarat yang dikatakan Rasti seminggu yang lalu. Hari ini yaitu hari dimulainya Ujian Nasional. Hal itu benar-benar membuatku merasa ibarat orang gila. Apa lagi tadi pagi saya bangun kesiangan. Rasanya kepalaku ibarat mau pecah saja.
“Duh, udah jam segini lagi,” gerutuku sehabis menatap jam tanganku yang telah menyampaikan pukul tujuh kurang dua puluh menit. Dengan terburu-buru saya mempercepat lariku alasannya takut terlambat.
“Tin…. Tin….” Suara klakson kendaraan beroda empat itu terdengar sangat keras. Aku menghentikan langkahku. Aku melirik kearah bunyi itu berasal. Ternyata ketika itu sebuah kendaraan beroda empat melaju kencang menuju kearahku. Aku berusaha berlari menuju ke seberang jalan, tapi terlambat. Mobil itu telah menabrakku. Tubuhku yang terbaring lemas di tengah jalan tak dapat mencicipi apa-apa, bahkan rasa sakit sekali pun. Yang dapat kurasakan hanya pandanganku yang terasa buram hingga balasannya saya tak sadarkan diri.
Saat sadar, saya sudah terbaring di sebuah kasur yang berada dalam kamar dengan tembok yang di cat warna putih. Aroma obat terasa menusuk hidung. Sepertinya ketika ini saya sedang berada di salah satu kamar rumah sakit.
“Oh, ya. Bukannya satu ahad lagi Ujian Nasional, ya?” tanya Rasti memastikan.
“Hm… kurasa itu akan menjadi saat-saat yang menyiksa bagi otakku yang pelupa ini,” gumamku sambil memukul-mukul kepalaku pelan.
“Tenang saja! Kan, di setiap nomor ada pilihan jawaban. Tinggal pilih saja salah satunya. Kalau beruntung mungkin hasilnya akan memuaskan,” ujar Diana santai sambil tertawa.
“Iya, kalau beruntung. Kalau nggak beruntung, kan nanti nilainya jelek,” sahut Angel sambil menyenggol pundak Diana. Sementara Diana tak menjawab dan terus tertawa.
“Eh, tadi malam saya mimpi buruk,” kata Tricia secara tiba-tiba, sehingga menciptakan pandangan kami eksklusif tertuju padanya.
“Mimpi apa?” tanya kami kompak.
“Tapi jangan marah, ya? Soalnya mimpiku benar-benar buruk,” jawab Tricia dengan wajah yang tampak ragu.
“Udah, kisah aja!” kata Rasti tak sabar. Sepertinya ia benar-benar merasa ingin tau dengan mimpi yang dialami Tricia.
Tricia menghela nafas. Ia menatap kami satu-persatu dengan tatapan ragu. “Tadi malam…” Tricia mulai bercerita dengan bunyi kecil. Kami segera mendekatinya semoga dapat mendengarkan suaranya lebih jelas. “Tadi malam…” Tricia mengulang kalimat yang tadi telah ia ucapkan.
“Udah, cepet cerita!” gerutu Rasti yang merasa jengkel alasannya semenjak tadi Tricia hanya mengulang-ulang kalimatnya.
“Iya, iya,” jawab Tricia. “Tadi malam saya bermimpi melihat diriku sendiri, Rasti, Angel, dan Diana sedang duduk mengelilingi mayat…” Tricia tak melanjutkan kalimatnya.
“Mayat apa?” tanya Angel.
Tricia kembali menatap kami satu-persatu sambil menghela nafas. Sepertinya ia merasa sangat ragu untuk menceritakan mimpinya pada kami. “Mayat Alicia,” sambungnya dengan wajah tertunduk.
Rasti, Diana, dan Angel tampak kaget. Sementara saya hanya termangu alasannya merasa sangat terkejut dengan kisah Tricia. Apalagi di dalam mimpi Tricia, saya telah meninggal. Hal itu menciptakan jantungku tiba-tiba berdetak kencang tak terkendali.
“Sudah, damai saja! Itu kan, cuma mimpi. Makara nggak ada yang perlu dikhawatirkan,” Diana berusaha menenangkanku sambil menepuk-nepuk bahuku perlahan.
Aku menatap keempat sahabatku sambil tersenyum tipis. “Apa kalian mau berjanji?” pertanyaan itu tiba-tiba saja keluar dari bibirku. Mereka berempat eksklusif menganggukkan kepala tanpa ragu. “Jika sehabis lulus Sekolah Menengah Pertama nanti kita berpisah, maukah kalian berjanji untuk tidak melupakan satu sama lain?” tanyaku.
Awalnya mereka terdiam, tapi kemudian mereka tersenyum kemudian mendekatiku. “Tentu saja,” jawab mereka dengan bunyi keras, sehingga menciptakan telingaku terasa sedikit sakit.
Tiba-tiba hujan turun dengan merasa derasnya. Kami merasa sedikit asing alasannya sebelumnya, langit tampak begitu cerah dan tak sedikit pun awan mendung yang terlihat. Namun kami tak memperdulikan hal itu. Kami lebih menentukan untuk berlari dengan cepat dan pulang ke rumah masing-masing semoga tidak kehujanan.
Pagi ini langit tampak begitu cerah. Namun tak secerah hatiku. Sama ibarat yang dikatakan Rasti seminggu yang lalu. Hari ini yaitu hari dimulainya Ujian Nasional. Hal itu benar-benar membuatku merasa ibarat orang gila. Apa lagi tadi pagi saya bangun kesiangan. Rasanya kepalaku ibarat mau pecah saja.
“Duh, udah jam segini lagi,” gerutuku sehabis menatap jam tanganku yang telah menyampaikan pukul tujuh kurang dua puluh menit. Dengan terburu-buru saya mempercepat lariku alasannya takut terlambat.
“Tin…. Tin….” Suara klakson kendaraan beroda empat itu terdengar sangat keras. Aku menghentikan langkahku. Aku melirik kearah bunyi itu berasal. Ternyata ketika itu sebuah kendaraan beroda empat melaju kencang menuju kearahku. Aku berusaha berlari menuju ke seberang jalan, tapi terlambat. Mobil itu telah menabrakku. Tubuhku yang terbaring lemas di tengah jalan tak dapat mencicipi apa-apa, bahkan rasa sakit sekali pun. Yang dapat kurasakan hanya pandanganku yang terasa buram hingga balasannya saya tak sadarkan diri.
Saat sadar, saya sudah terbaring di sebuah kasur yang berada dalam kamar dengan tembok yang di cat warna putih. Aroma obat terasa menusuk hidung. Sepertinya ketika ini saya sedang berada di salah satu kamar rumah sakit.
Aku melihat di sekelilingku. Kulihat Ayah dan Ibu sedang duduk di sebelahku sambil menangis. Aku bertanya kenapa mereka menangis, tapi mereka tak menjawab dan terus menangis. sudah berkali-kali saya bertanya, tapi mereka tetap tak menjawab. Karena merasa jengkel, saya pun segera berdiri kemudian turun dari kasur.
Aku berbalik untuk menatap mereka. Namun sempurna di ketika itu juga saya eksklusif kaget. Kakiku terasa kaku dan tak dapat di gunakan untuk berjalan. Bagaimana tidak? Saat ini, saya melihat tubuhku sendiri yang masih terbaring di kasur dengan beberapa peralatan medis yang dipasang dokter untuk membantuku bernafas. Kucoba untuk bertanya pada Ibu lagi sambil menggenggam tangannya, tapi hal yang buruk membuatku semakin terkejut. Saat saya mencoba menyentuh tangan Ibu, tanganku menembus tangan Ibu begitu saja.
“Kenapa kamu tidak mati saja? Tidak ada untungnya hidup dalam keadaan koma. Mungkin pada balasannya kamu juga akan mati sepertiku,” ujar seorang laki-laki dari sudut ruangan. Tubuhnya terlihat tak pernah diurus. Ia membiarkan rambutnya panjang hingga bahu. Bahkan pakaian yang ia gunakan hanyalah baju berwarna hitam dan panjang yang telah lusuh.
“S-siapa k-kau? D-dan apa maksudmu tadi?” tanyaku sambil menatapnya ketakutan.
“Aku yaitu orang yang meninggal di kamar ini dua bulan lalu. Tepatnya sehabis saya koma hampir setahun,” jawabnya.
“A-apa? Itu berarti kamu hantu?” tanyaku dengan bunyi keras alasannya merasa kaget.
“Tidak usah kaget ibarat itu. Bukankah kini kamu juga hantu?” laki-laki itu malah balik bertanya.
“A-apa?” saya tersentak kaget mendengar ucapan laki-laki itu.
“Kau tak percaya? Coba lihat dirimu sekarang! Tubuhmu dengan mudahnya menembus benda padat, berkeliaran ke sana-sini tanpa disadari orang lain, bunyi yang tak dapat di dengar oleh siapa pun, dan seragam berlumuran darah yang kamu kenakan sekarang. Apa itu belum membuktikan bahwa kamu kini telah menjadi hantu?” laki-laki itu berusaha meyakinkanku kalau saya benar-benar telah menjadi hantu.
Berkali-kali saya membantah apa yang dikatakan laki-laki itu, tapi ia terus menyampaikan kalau saya tidak punya banyak keinginan untuk tetap hidup. Setelah kami berdebat cukup lama, balasannya laki-laki itu pergi dan menghilang dalam sekejap. Sementara saya hanya duduk tersipuh di lantai. Yang dapat kulakukan ketika ini hanyalah menangis.
Waktu terus berlalu. Hari pun semakin siang. Aku menatap jam yang tergantung di dinding. Jarum jam telah menyampaikan pukul 12.45. Meski begitu, keadaan masih belum berubah. Ayah dan Ibu masih duduk di samping tubuhku yang terbaring lemah sambil terus menangis tanpa henti. Hal itu membuatku sedikit khawatir alasannya melihat mata mereka yang sembab.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Saat kulihat, ternyata yang membuka pintu itu yaitu Tricia, Rasti, Diana, dan Angel. Wajah mereka tampak sangat kaget ketika melihat tubuhku yang sedang terbaring di kasur. Tepat ketika itu juga, tiba-tiba Angel jatuh pingsan, sehingga ia harus dibawa ke ruangan lain. Karena merasa cemas, saya pun mengikuti ke kawasan dimana Angel dibawa. Sementara Rasti, masih berada di dalam kamar tempatku dirawat.
“Diana, bukankah ini sedikit ibarat dengan mimpi yang kuceritakan pada kalian seminggu lalu?” tanya Tricia dengan wajah yang terlihat takut.
“Entahlah, mungkin kamu benar,” jawab Diana.
“Lalu apa Alicia akan meninggal?” tanya Tricia lagi.
“Aku tak tahu. Lebih baik kini terus berdoa semoga Alicia dapat sembuh dan berkumpul bersama kita lagi,” jawab Diana. Ia memeluk Tricia untuk membuatnya tenang.
Aku berusaha mengingat mimpi yang diceritakan Tricia seminggu lalu. Beberapa ketika kemudian, saya mulai mengingat kisah Tricia. Ya, ia bilang kalau di malam sebelumnya, ia sempat bermimpi melihatku yang sudah terbaring tak bernyawa. Aku terus berpikir kalau mimpi itu mungkin yaitu suatu pertanda. Namun, saya berusaha untuk melupakannya alasannya kini semuanya sudah terlanjur terjadi dan tak ada yang dapat kulakukan. Akhirnya dengan perasaan sedikit putus asa, saya melangkahkan kaki meninggalkan ruangan itu.
“Kenapa berwajah kusut ibarat itu?” tanya seorang perempuan dari arah samping.
Aku melirik kearah perempuan itu. Wajahnya terlihat sangat pucat. Sepertinya ia juga bukan manusia. “Kau siapa?” tanyaku sedikit sinis alasannya ketika ini, saya merasa sedang tidak ingin bicara.
“Namaku Vani. Aku memang roh, tapi saya belum mati,” jawabnya.
Aku menatapnya tajam. “Kau bilang, kamu belum mati?” tanyaku bingung. Aku merasa itu yaitu hal yang sangat tak mungkin sehabis melihat kulitnya yang pucat ibarat orang yang sudah mati.
“Ya, sama sepertimu. Saat ini tubuhku sedang terbaring koma sehabis mengalami kecelakaan empat bulan yang lalu,” jawabnya santai.
“Lalu apa kamu masih dapat hidup?” tanyaku sedikit berharap untuk mendapat jawaban yang akan membuatku mempunyai sedikit keinginan untuk hidup lagi.
“Ya, mungkin jikalau saya masih diberi kesempatan untuk hidup,” jawab Vani sambil beranjak pergi meninggalkanku.
“Setidaknya saya masih punya keinginan untuk hidup. Makara kini lebih baik saya menjalani hidupku sebagai hantu,” gumamku sambil menghela nafas dengan sedikit senyum yang terpancar dari wajahku.
7 bulan kemudian…
Aku berdiri di sini. Di depan gerbang Sekolah Menengah Pertama tempatku bersekolah. Murid gres telah diterima. Sementara semua murid kelas 9 telah meninggalkan sekolah ini dan saling berpisah menuju Sekolah Menengan Atas favorit yang telah mereka pilih. Sering kali saya merasa iri ketika melihat teman-teman sekelasku dulu telah memakai seragam SMA. Namun sayang, tubuhku masih terbaring lemah di rumah sakit.
Seiring berjalannya waktu, kini semuanya telah berubah. Setelah lulus dari SMP, ternyata Rasti, Angel, Diana, dan Tricia menentukan untuk bersekolah di Sekolah Menengan Atas yang berbeda. Akibatnya, lama-kelamaan mereka mulai melupakan satu sama lain. Bahkan, saya yang kini sedang koma. Padahal dulu mereka sering tiba ke rumah sakit untuk menjenguk dan membantu Ibu merawatku. Namun semenjak lulus SMP, mereka tidak pernah tiba lagi. Hal itu membuatku merasa tidak tenang. Aku ingin ibarat dulu lagi. Tidak ibarat kami yang kini saling melupakan.
Hampir setiap hari saya duduk di halaman rumah sakit. Yang saya lakukan hanya membisu dan menatap langit sambil menunggu hingga arwahku dapat masuk ke dalam tubuhku dan hidup lagi sebagai manusia. Namun hari ini saya tidak hanya duduk dan diam, tapi juga sibuk memikirkan persoalan perihal keempat sahabatku.
“Hei, lagi mikir apa?” tanya Vani yang tiba-tiba muncul dan duduk di sampingku. Kehadirannya yang secara tiba-tiba itu membuatku sedikit kaget.
“Ini perihal sahabat-sahabatku,” jawabku lesu.
“Oh, empat gadis yang dulu sering tiba untuk menjengukmu?” tebak Vani. Aku menganggukkan kepala. “Apa terjadi suatu hal yang buruk pada mereka?” tanya Vani lagi. Aku hanya menggeleng dengan wajah kusut. “Lalu?” Vani tampak bingung.
“Akhir-akhir ini saya merasa kalau hubungan diantara kami sudah tidak ibarat dulu lagi. Bahkan, saya sering berpikir kalau mereka telah melupakan satu sama lain. Hal itu membuatku merasa tidak damai dan takut jikalau suatu ketika nanti, mereka benar-benar akan melupakan persahabatan yang telah kami jalin selama tiga tahun. Aku ingin melaksanakan sesuatu, tapi saya tidak dapat alasannya ketika ini, wujudku ketika ini hanya arwah yang tak dapat dilihat. Bahkan, suaraku pun tak dapat didengar,” jawabku dengan wajah tertunduk. Tanpa terasa air mata mulai mengalir di pipiku. Setelah sadar, saya pun segera menghapus air mataku.
“Tenang saja! Kau masih dapat berkomunikasi dengan mereka, kok,” ujar Vani. Aku melirik kearahnya. Kulihat, ia sedang menatapku dengan senyum yang tersirat di wajahnya.
“Bagaimana caranya?” tanyaku penasaran.
“Kau, kan hantu. Makara kamu dapat menampakkan diri atau merasuki badan orang lain,” terang Vani.
“Apa kamu yakin?” tanyaku sedikit berharap.
“Seratus persen saya yakin,” jawab Vani sambil tersenyum sebelum balasannya menghilang.
Hampir seharian saya memikirkan ucapan Vani tadi siang. Ada sedikit rasa cemas dalam hatiku. Bagaimana kalau saya gagal melaksanakan komunikasi dengan mereka? Namun dalam hatiku, saya merasa harus mencobanya. Walau mungkin pada balasannya akan gagal, tapi setidaknya saya harus mencoba untuk mengetahui hasilnya.
Setelah mencari tahu dimana kawasan sahabat-sahabatku bersekolah, saya memutuskan untuk mencoba berkomunikasi dengan Angel lebih dulu. Pagi-pagi sekali saya sudah berada di depan gerbang. Tak kulihat satu pun murid yang beraktivitas. Mungkin alasannya kini masih terlalu pagi. Namun sehabis menunggu beberapa lama, balasannya saya melihat segerombolan murid mulai berdatangan dan memasuki area sekolah. Di tengah-tengah gerombolan itu, balasannya saya menemukan Angel. Tanpa berpikir panjang, saya pun segera berjalan mengikutinya alasannya takut kalau nantinya akan kehilangan jejaknya. Setelah menemukan waktu yang tepat, barulah saya akan mencoba melaksanakan komunikasi dengan Angel.
Waktu terus berlalu. Saat ini pelajaran sedang berlangsung di kelas Angel. Aku menatap jam dinding yang telah menyampaikan pukul 10.30. Sudah berjam-jam saya menunggu, tapi belum juga menemukan waktu yang sempurna untuk melaksanakan komunikasi dengan Angel. Hal itu membuatku merasa ingin mengalah saja.
Bel berbunyi menandakan waktunya bagi para murid untuk istirahat. Sebagian murid menentukan keluar dari kelas. Kebanyakan dari mereka terlihat menuju kantin. Begitu juga dengan Angel. Dengan segera saya mengikutinya yang sedang berjalan bersama teman-temannya menuju kantin.
Seperti saran Vani. Saat Angel sedang asyik menyantap makanannya di sebuah meja yang ada di kantin, saya masuk ke dalam badan seorang gadis yang sedang berjalan menuju meja Angel sambil membawa segelas minuman di tangannya. Setelah berhasil masuk, saya pun menumpahkan sedikit minuman itu ke baju Angel alasannya saya yakin, Angel akan pergi ke toilet untuk membersihkan tumpahan minuman itu.
Ternyata perkiraanku benar. Bersama seorang temannya, Angel bergegas meninggalkan kantin untuk menuju toilet. Saat sampai, untunglah sahabat Angel tidak ikut masuk, jadi saya dapat lebih gampang berkomunikasi dengan Angel.
Saat di dalam toilet, kulihat Angel sedang sibuk membersihkan tumpahan minuman itu dengan air yang mengalir dari sebuah keran. Segera saya berdiri di belakangnya. Tiba-tiba dadaku terasa berdebar. Rasanya gugup sekali. Aku pun menghela nafas untuk menghilangkan rasa gugup itu.
“Angel, masih ingatkah kamu padaku?” tanyaku dari arah belakang. Angel menoleh ke belakang. Tepat di ketika itu, ia ibarat akan berteriak, tapi tak bisa. Sepertinya Angel ketakutan alasannya ia mungkin melihat sosokku. “Jangan takut. Aku Alicia, sahabatmu yang sedang koma,” kataku mencoba menenangkannya semoga Angel tak merasa semakin takut dan balasannya membuatnya berteriak hingga menciptakan keributan.
“Aku tak mengenalmu! Jangan ganggu aku!” kata Angel yang ketakutan. Mendengar hal itu, saya merasa sangat kecewa. Akhirnya, saya pun memutuskan untuk pergi.
Hari semakin malam. Aku berdiri di kamar tempatku di rawat. Kulihat tubuhku masih terbaring dan tak dapat melaksanakan apa-apa. Sementara Ibu, sedang tertidur di sebuah kursi yang berada tak jauh dari kawasan tidurku. Tiba-tiba saya teringat ucapan laki-laki yang kutemui ketika pertama kali saya dirawat di sini. Benar juga apa katanya. Bukankah saya memang lebih baik mati saja dari pada harus hidup dalam keadaan ibarat ini?
“Lagi-lagi wajahmu kusut begitu,” ujar Vani yang gres saja muncul dan kini sedang berdiri sambil menatapku.
“Sepertinya saya tidak akan berhasil menciptakan teman-temanku ingat padaku. Aku rasa mereka benar-benar telah melupakanku,” jawabku.
“Kau gres mencoba sekali, kan?” tanya Vani. Aku menganggukkan kepala. “Kalau begitu coba saja lagi. Jika hanya mencoba sekali, mana mungkin eksklusif berhasil,” ujarnya.
Aku berpikir sejenak. “Kurasa kamu benar. Besok saya akan mencoba lagi,” jawabku sambil tersenyum pada Vani.
“Semoga berhasil,” ucap Vani sebelum pergi.
Hari-hari berikutnya, saya kembali mencoba melaksanakan komunikasi dengan sahabat-sahabatku yang lain. Setelah Angel, saya mencoba melakukannya bersama Rasti, kemudian Diana,dan yang terakhir, saya mencoba melakukannya dengan Tricia. Namun, hasilnya sama ibarat ketika saya menemui Angel. Mereka juga telah melupakanku. Entah cara apa lagi yang harus kucoba. Tapi yang jelas, kini saya benar-benar telah menyerah.
Siang yang tenang. Aku menelusuri lorong rumah sakit yang sepi untuk menuju kamar dimana Vani dirawat, alasannya semenjak tadi saya mencarinya, tapi belum juga menemukannya. Makara kupikir mungkin ketika ini ia sedang berada di kamarnya. Namun ketika hingga di kamarnya, saya juga tak menemukannya. Bahkan saya tak melihat badan Vani di kasur.
“Apa ia sudah sadar dan dipindahkan ke ruangan lain?” pikirku.
“Kau mencari siapa?” tanya seorang perempuan berambut panjang yang tiba-tiba muncul. Aku menoleh kearahnya yang ketika itu sedang berdiri di sudut ruangan. Jika dilihat dari kakinya yang tidak menyentuh lantai, tampaknya ia juga bukan manusia.
“Apa gadis yang dirawat di ruangan ini sudah dipindahkan ke ruangan lain?” tanyaku.
“Oh, tadi siang ia meninggal. Makara mungkin sekarang, arwahnya sudah tidak di sini lagi,” jawab perempuan berambut panjang itu.
Aku tersentak kaget mendengar jawaban perempuan itu. Rasanya saya tak percaya kalau Vani sudah meninggal.
“Kau baik-baik saja?” tanya perempuan itu sambil menatapku. Aku tak menjawab pertanyaannya dan lebih menentukan untuk pergi meninggalkan ruangan itu.
Di bawah langit yang cerah, saya duduk sendiri di sini. Di lahan kosong kawasan dimana saya dan sahabat-sahabatku dulu sering berkumpul untuk bermain bersama dan saling bertukar cerita. Tapi sekarang, tak ada lagi sahabat yang dapat kuajak bertukar cerita. Mereka semua telah melupakanku. Padahal ketika ini ada banyak hal yang ingin kuceritakan pada mereka.
“Bagaimana jikalau nasibku akan sama ibarat Vani?” pikirku sambil menatap langit. Tanpa terasa saya meneteskan air mata. Namun kini saya tak lagi menghapusnya. Aku membiarkan air mataku mengalir bebas di pipiku alasannya saya merasa lebih damai ketika menangis.
“Alicia?” bunyi itu terdengar dari arah belakang. Saat kutoleh, saya benar-benar terkejut. Ternyata orang yang memanggilku itu yaitu Angel. Tidak hanya itu, tapi di sampingnya juga ada Rasti, Diana, dan Tricia yang sedang berdiri sambil tersenyum padaku.
“K-kalian mengingatku?” tanyaku yang merasa sagat keget sambil menatap mereka penuh harap.
Tiba-tiba mereka memelukku. Walau tak dapat saling menyentuh alasannya kami berbeda, tapi saya masih dapat mencicipi rasa hangat ketika berada dalam pelukan keempat sahabat yang sangat kusayangi. Saat itu saya benar-benar merasa senang. Walau masih menjadi arwah, tapi ketika berada dalam pelukan mereka, saya merasa ibarat telah hidup kembali sebagai manusia.
“Maafkan kami yang sudah melupakanmu,” ujar Rasti. Bisa kurasakan air matanya yang jatuh sempurna di bahuku.
“Padahal kami sudah berjanji untuk tidak melupakan satu sama lain, tapi kami melupakan kesepakatan itu. Bahkan, kami juga melupakanmu yang ketika ini sedang koma di rumah sakit,” sambung Angel.
“Maaf juga dikarenakan telah membuatmu hingga harus berusaha keras hanya untuk menciptakan kami kembali mengingat persahabatan ini,” ujar Diana.
“Sekarang kami sadar kalau persahabatan yang indah ini dihentikan dilupakan,” kata Tricia.
Aku tak dapat menyampaikan apa-apa. Yang kulakukan hanya memeluk mereka sambil menangis. Rasanya saya tidak ingin kehilangan saat-saat indah ibarat ini. Apa lagi ketika ini saya merasa kalau mungkin sebentar lagi saya akan mati. Tapi yang jelas, saya sangat berharap semoga persahabatan kami tetap infinit meski kami terpisah sangat jauh.
Tiba-tiba cahaya menyilaukan muncul dan mengelilingi tubuhku. Hal itu menciptakan Rasti, Angel, Tricia dan Diana harus melepaskan tubuhku. Lama-lama tubuhku juga berkembang menjadi butiran-butiran cahaya yang semakin usang terus menjauh dari sahabat-sahabatku dan terbang menuju langit. Aku rasa tampaknya saya akan mati sekarang. Namun sebelum menghilang, saya sempat tersenyum kepada keempat sahabatku. Sambil menangis, mereka pun membalas senyumanku.
Kini semua menjadi gelap. Tak ada sedikit pun cahaya yang menerangi, sehingga saya tak dapat melihat apa pun yang ada di sekelilingku. Apa mungkin saya sudah mati?
“Selamat ya, alasannya kamu telah berhasil menciptakan teman-teman yang kamu sayangi kembali mengingatmu,” bunyi itu terdengar tak asing lagi bagiku.
“Vani?” saya mencoba menebak pemilik bunyi itu, tapi tak mendapat jawaban.
Tiba-tiba saya merasa ibarat ada seseorang menggenggam tanganku. Aku juga merasa ada air mata yang menetes sempurna di pipiku. Aku tak tau siapa pemilik tangan mau pun air mata itu, tapi yang jelas, saya merasa sangat galau ketika berada dalam kegelapan ini.
“Kamu sudah sadar, Alicia?” dapat kudengar bunyi Ibu dengan jelas.
Aku membuka mata. Semua kegelapan yang tadi kurasakan telah tergantikan oleh cahaya lampu yang menerangi ruangan yang terasa tak asing lagi bagiku. Ya, saya ingat! Ini yaitu ruangan kawasan dimana saya dirawat selama hampir 8 bulan. Meski terasa pusing, tapi saya mencoba melirik ke sekelilingku. Kulihat Ayah dan Ibuku sedang duduk sambil menggenggam tanganku. Bahkan di belakang mereka, saya melihat Rasti, Angel, Tricia, dan Diana sedang berdiri sambil menatapku. Air mata mengalir deras di pipi mereka.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Aku melihat seorang dokter bersama suster yang mendampinginya datang. Dengan sigap, dokter itu menyelidiki keadaanku. Setelah selesai, tiba-tiba dokter itu tersenyum. Aku tak tahu apa arti dari senyuman dokter itu, tapi saya sangat berharap semoga dokter itu memberi isu yang menyenangkan.
“Sepertinya putri anda akan sembuh dalam beberapa hari lagi,” kata dokter itu sehabis selesai menyelidiki keadaanku. Berita itu disambut senyum senang dari keluarga dan sahabat-sahabatku. Begitu juga saya yang tak kalah senang.
5 hari kemudian, saya telah diijinkan keluar dari rumah sakit ini. Karena masih belum dapat berjalan, terpaksa saya harus memakai sebuah kursi roda. Di gerbang, saya melihat Rasti, Angel, Tricia, dan Diana sedang menungguku. Setelah melihatku, mereka segera berlari menuju kearahku kemudian menggantikan Ibuku untuk mendorong kursi rodaku menuju mobil. Kurasa sehabis ini akan menjadi lebih menyenangkan lagi.
Setelah benar-benar sembuh, saya kembali bersekolah dan harus mengulang semester kelas 3 di Sekolah Menengah Pertama tempatku bersekolah dulu. Meski terasa sepi alasannya harus bersekolah tanpa sahabat-sahabatku, tapi saya tetap merasa senang alasannya masih dapat menemui mereka di lahan kosong yang sering kami gunakan untuk berkumpul bersama. Selain itu, saya juga merasa sangat berterima kasih pada Tuhan dikarenakan telah memberiku kesempatan kedua untuk hidup.
TAMAT