Aku, Ia Dan Mama - Cerpen Remaja
Jumat, 30 Januari 2015
AKU, DIA DAN MAMA
Karya Geibs Kojongian
Pagi yang cerah dan kicauan burung merdu membangunkan Geneva dari tidur malamnya. Gea! Itulah nama panggilan untuk gadis yang berjulukan lengkap Geneva Aurora ini. Gea yang berusia 16 tahun ini eksklusif berdiri dari daerah tidurnya dan bersiap menuju ke Sekolah Menengan Atas Pelita Harapan. Selain mempersiapkan diri, Gea juga mempersiapkan mentalnya, sebab ia tahu banyak tantangan yang telah menunggunya di sekolah.
Langkah Gea begitu berat keluar dari rumah. Hari ini genap satu ahad mamanya menetap di penjara, setelah terbukti melaksanakan korupsi di perusahaan daerah Geysita, mama Gea bekerja.
Sekitar 15 menit menempuh perjalanan, karenanya Gea tiba di sekolah yang menjadi neraka baginya beberapa hari ini. Ia turun dari kendaraan beroda empat dan memandang gedung elite di depannya. Perlahan Gea melangkah memasuki gerbang sekolah, sambil bertanya pada dirinya, apa ia masih layak berada di sekolah itu?
*****
Aku, Dia dan Mama |
Gea duduk termenung di taman sekolah yang menjadi sahabatnya akhir-akhir ini. Gea berusaha pulih dari duduk kasus yang menimpanya. Tapi, duduk kasus itu terlalu berat dan membuatnya sangat terpukul. Di tambah lagi semua teman-temannya yang menjauh darinya.
“Tuhan, kenapa Engkau berikan cobaan seberat ini padaku? Aku sudah tidak berpengaruh Tuhan…” Rintih Gea dalam hatinya. Air matanya jatuh bercucuran. Di tengah tangisnya, seseorang tiba menghampirinya.
“Jangan menangis. Tuhan menawarkan cobaan tidak melebihi kemampuan manusia.” Ucap orang itu.
“Kak Evan? Kenapa abang di sini? Mau mengejek ku?” Tanya Gea dengan ketus.
“Tidak. Kakak di sini mau mendengar dongeng mu. Kakak tahu kau butuh teman. Kakak bersedia untuk...” Jawab Evan tenang.
“Sudahlah! Jangan berpura-pura. Aku tahu maksud kakak. Kakak ke sini untuk mendengar dongeng ku kemudian pergi menyebarkannya kepada semua orang.” Sela Gea. Gea tidak percaya dengan apa yang dikatakan Evan. Karena selama ini ia dan Evan tidak mempunyai relasi lebih dari abang dan adik di sekolah.
“Gea, abang ikhlas ingin menjadi sahabat mu. Kakak tidak berniat untuk menceritakan perasaan mu pada bawah umur yang lain.Anggapan mu perihal abang tidak benar.”
Entah apa yang menciptakan Gea mendapatkan alasan dari Evan itu. Gea menceritakan bagaimana kehidupannya kini ini. Gea merasa ia harus menceritakan semuanya.
*****
2 ahad telah berlalu. Kini Gea sudah mulai berdiri lagi. Gea sudah mulai bisa mendapatkan semuanya. Menerima kepergian mama dan teman-temannya. Bangkitnya Gea tidak lepas dari Evan yang benar-benar menjadi temannya.
Pertemuan di taman 2 ahad yang kemudian yaitu awal perasaan tak masuk akal yang dirasakan Gea. Tanpa Gea pungkiri perasaan sayangnya pada Evan bukan lagi sebagai abang beradik. Namun, Gea tidak berani mengungkapkannya sebab ia tak mau menghancurkan relasi yang bisa menciptakan ia berdiri menyerupai kini ini.
“Kak Evan mana ya?” Ucap Gea pada dirinya sendiri sambil mencari Evan. Dari lantai 2 Gea berusaha menemukan Evan, namun hasilnya nihil. Gea kemudian berjalan menuju tangga, tapi 2 orang abang kelas tiba menghampirinya.
“Ehem…” Sindir salah seorang abang kelas.
“Permisi kak. Gea mau lewat.” Ucap Gea dengan hati-hati.
“Kalau tidak bisa bagaimana?”
“Tapi kak…”
“Ah, sudahlah jangan membantah. Sadar kau masih kelas 10. Dasar anak koruptor!”
Gea melongo mendengar perkataan abang kelasnya itu. Hatinya kembali tertusuk. Biasanya dalam situasi menyerupai ini Evan selalu membantunya. Tapi, dikala ini ia harus berjuang sendiri. Belum hilang bekas perkataan tadi, Gea kembali mendengar kalimat yang sangat menyakitkan.
“Anak koruptor, asal kau tahu, kau itu parasit! Memangnya kau pikir Evan suka dengan mu?! Mimpi!”
Kalimat itu menciptakan Gea tak bisa lagi berdiri di daerah itu. Tanpa menunggu lama, Gea eksklusif menerobos ke dua orang itu dan berlari ke taman sekolah. Sesampainya di taman, tangisnya eksklusif pecah!
“Ya Tuhan, bantu aku… bantu aku!!!” Rintih Gea dalam tangis.
“Gea? Ada apa dengan mu? Gea?” Tanya Evan yang tiba-tiba datang.
“Kak Evan, lebih baik abang tinggalkan Gea sendiri. Aku selalu merepotkan kak Evan selama ini. Maafkan aku.”
“Kenapa kau berkata menyerupai itu? Gea tidak pernah merepotkan kakak.”
“Sudahlah, Gea sudah mendengarnya kak.”
“Mendengar apa?”
“Kak Evan sebetulnya tidak suka dengan ku. Selama ini saya mungkin menyerupai benalu dalam hidup kak Evan. Menumpang untuk mendapatkan kebahagiaan...”
“Sssssttttt! Itu tidak benar Gea. Kakak ikhlas menjadi sahabat mu.” Sela Evan sambil menarik Gea dalam dekapannya. Berusaha menawarkan pelukan paling nyaman untuk Gea. Gea menangis dalam pelukan Evan. Evan membiarkan Gea menangis mencurahkan sakit hatinya. Suasana dikala itu terasa sunyi, hanya terdengar bunyi tangisan Gea dan hembusan angin.
*****
Hari ini tanggal 18 Oktober. Hari ini yaitu hari ulang tahun ibu Geysita. Sepulang sekolah Gea eksklusif menuju toko yang menjual makanan ringan elok tart. Sesampainya di toko, Gea dikejutkan oleh Evan yang ada di sana.
“Kak Evan???” Kata Gea dengan heran.
“Oh, abang tadinya ingin membeli makanan ringan elok untuk nanti malam kumpul-kumpul dengan teman-teman, tapi nanti saja. Kakak boleh temani kau menjenguk mama kamu?”
“Em, boleh kak. Tapi…” Gea menggantung perkataannya, sebab ia merasa tidak yummy pada Evan.
“Tenang saja. Tidak apa-apa kok.” Sela Evan seakan mengerti maksud Gea.
*****
“Bu Geysita, ada yang ingin bertemu dengan Anda.” Ucap pak polisi sambil membuka pintu penjara.
“Oh iya. Terima kasih pak.” Ucap Geysita berterima kasih sambil berjalan keluar. Ibu Geysita berjalan menuju ruang kunjungan. Ketika ia masuk terdengar bunyi Gea yang mulai bernyanyi dengan makanan ringan elok di tangannya dan lilin berangka 50 tahun yang berdiri tegak di atas kue. Dan lebih terkejut lagi dikala melihat orang yang menemani Gea dikala itu.
“Apa yang ku berikan untuk mama untuk mama tersayang
Tak ku miliki sesuatu berharga untuk mama tercinta
Hanya ini ku nyanyikan senandung dari hatiku untuk mama
Hanya sebuah lagu sederhana lagu cinta ku untuk mama…”
“Ayo ma, make a wish kemudian tiup lilinnya.” Pinta Gea selesai ia menyanyi dengan bunyi yang mulai bergetar. Mamanya menuruti perkataan Gea.
“Happy Birthday ma. Semoga mama bisa melewati semua ini, lebih kuat, dan jadilah mama yang tegar. Gea selalu sayang mama.” Kata Gea sehabis mamanya meniup lilin.
“Gea… Terima kasih sayang. Terima kasih selalu mengasihi mama… Terima kasih mau mendapatkan kekurangan mama. Mama minta maaf sebab selama ini sudah menciptakan hidup mu susah. Maaf jika selama ini mama tidak bisa membahagiakan mu, nak. Tapi, Gea harus tahu dalam setiap doa mama, ada nama Gea. Lanjutkan sekolah mu ya sayang. Gapai keinginan mu. Jangan menyerah.” Pesan mamanya sambil terisak.
“Iya ma… Itu pasti. Mama, kenalkan ini kak Evan. Dia abang kelas Gea ma. Kak Evan yang menemani Gea selama mama di sini. Dan ini bunga melati putih untuk mama. Ini dari Gea dan kak Evan.”
“Selamat ulang tahun tante. Semoga umur panjang dan sehat selalu.” Ucap Evan
Mendengar Ucapan Evan menciptakan air mata ibu Geysita semakin deras mengalir. Tak lupa ia berpesan pada Evan untuk menjaga Gea menyerupai adiknya sendiri.
Di tengah pembicaraan mereka tiba-tiba datanglah seorang polisi.
“Permisi bu, jam kunjungannya sudah habis. Adik-adik mohon untuk keluar.”
Dengan berat hati mereka berpisah. Ibu Geysita berjalan menuju ruang tahanan sedangakan Gea dan Evan berjalan keluar gedung itu.
*****
Semakin hari Gea dan Evan semakin dekat. Semakin banyak hal yang ia lalui bersama Evan maka semakin dalam perasaannya. Kadang Gea memperlihatkan perhatian yang lebih pada Evan, namun Evan seakan tak menyadari hal itu.
Suatu dikala ketika Gea tidak bisa lagi membendung rasa sayangnya, Gea berniat mengungkapkan perasaanya pada Evan.
“Kak, jalan-jalan yuk?” Tanya Gea dikala sedang makan bersama Evan di kantin sekolah.
“Maksud kamu?”
“Ya, jalan-jalan nanti malam. Terserah kemana saja. Bagaimana?”
“Boleh juga. Kalau begitu abang jemput kau ya?”
“Baiklah kak.”
*****
“Pokoknya saya harus tampil menarik di depan kak Evan.” Ucap Gea sambil menatap dirinya di cermin. Kali ini Gea menciptakan penampilannya lain dari biasanya dan ia yakin Evan akan tertarik melihatnya.
Beberapa dikala kemudian terdengar mesin kendaraan beroda empat di depan rumah. Gea melihat keluar dari jendela kamarnya untuk memastikan bahwa itu yaitu Evan. Dan ternyata benar. Gea eksklusif turun dan berpamitan pada pamannya yang menemaninya di rumah selama ini.
“Om, Gea pergi dulu ya?”
“Iya, hati-hati ya. Jangan pulang terlalu malam.”
“Iya om.”
Setelah berpamitan Gea eksklusif keluar. Memang benar jika Evan terpana melihat penampilannya hari ini. Namun, Evan bertanya-tanya, kenapa Gea berpenampilan lain dari biasanya?
“Sudah siap?” tanya Evan dengan sebaris senyum.
“Sudah kak.” Jawab Gea dengan senyum pula.
“Ya sudah. Ayo naik.” Ucap Evan sambil membuka pintu mobil.
Evan menancap gas. Membawa Gea ke suatu tempat.
“Kita mau kemana kak?”
“Ke suatu daerah yang indah.” Jawab Evan dengan senyum sambil memandang ke depan. Mendengar tanggapan Evan, Gea membisu saja.
Sekitar 20 menit karenanya mereka hingga di sebuah bukit. Pemandangan di daerah itu sangat indah, suasananya pun sangat tenang.
“Wow. Sungguh indah!” Ucap Gea yang mengagumi semua yang ada di bukit itu.
“Ini daerah ku melepas keluh kesah. Di dikala saya ada masalah, daerah ini selalu menjadi sahabat ku. Anginnya yang bertiup lembut seakan mendengar semua dongeng ku. Kalau kau mau dongeng semua duduk kasus mu, dongeng saja. Tempat ini niscaya akan setia mendengarnya.”
Evan berjalan menuju dingklik yang ada di bukit itu. Gea pun mengikutinya. Gea eksklusif duduk di samping Evan dan mulai bercerita.
“Saat mama pergi, saya bagaikan anak kecil yang jatuh di sumur yang dalam. Takut, menangis, dan tak tahu bagaimana memanjat ke atas. Beberapa hari menyerupai itu. Dan Tuhan mengirimkan malaikat-Nya untuk mengangkat aku. Ia menjulurkan tali untuk ku memanjat. Dan karenanya saya bisa keluar dari sumur itu. Aku sakit, tak bisa berdiri walau sudah keluar dari daerah itu. Malaikat itu dengan ikhlas menemani ku, mambantu ku supaya bisa sembuh dan bisa berdiri lagi. Dia ada dikala dunia menjauhi ku. Aku sangat mengasihi malaikat ku itu. Tiap hari saya memikirkannya, hingga perasaan sayang yang lebih mulai tumbuh hingga sekarang. Awalnya saya bisa menyimpannya. Tapi, ternyata saya tak sekuat itu. Aku tak bisa lagi membendung rasa cinta ku itu.” Gea menutup ceritanya. Evan kaget dengan dongeng Gea. Dia tak menyangka jika ketulusannya menciptakan Gea jatuh hati padanya.
“Ge… Gea?” Kata Evan yang masih kaget.
“Bagaimana perasaan kak Evan pada ku?” Tanya Gea sambil memandang Evan.
“Gea, abang minta maaf…” Ucap Evan tertatih. Air mata Gea mulai keluar.
“Gea, abang memang sayang pada mu. Tapi hanya sebagai adik. Ada satu hal yang tak kau tahu adik ku.”
“Apa?”
“Se… sebetulnya kau itu adik ku… Kamu dan saya abang beradik. Dulu mama dan papa bercerai dikala kau gres lahir. Aku dibawa papa, dan kau dibawa mama. Saat saya kelas 1 Sekolah Menengan Atas papa meninggal. Dan seakarang saya tinggal di rumah om kita. Setahun yang kemudian saya bertemu dengan mama. Dia meminta ku untuk menjaga mu. Menjaga mu dari jauh. Mungkin tanpa kau tahu, selama kurang lebih 1 tahun ini, saya selalu memerhatikan mu…”
“Ja… jadi, kau itu abang ku?”
“Iya. Kau tahu arti Geneva di nama mu?”
“Apa?”
“Nama mu adonan nama kita berdua. Gea dan Evan. Dan saya pernah berjanji ketika saya besar, saya akan menjaga mu.”
“Kak, Gea mungkin bisa kehilangan abang sebagai teman. Tapi… Gea tidak bisa kehilangan kak Evan sebagai abang kandung Gea. Sekarang Gea tahu jika di dunia ini Gea tak sendiri. Gea masih punya abang yang selalu ada untuk Gea. Kak, bisakah abang mengantarku ke makam papa?”
“Bisa! Sangat bisa. Ayo kita pergi.”
Mereka berdua eksklusif beranjak dari bukit itu, dan pergi menuju makam papa mereka. Hari itu perasaan Gea begitu lega. Lega sebab ternyata Evan bukan sahabat atau pacar yang hanya bisa dimiliki sementara, tapi abang yang dimilikinya untuk selamanya.
*****
“Tuhan, kenapa Engkau berikan cobaan seberat ini padaku? Aku sudah tidak berpengaruh Tuhan…” Rintih Gea dalam hatinya. Air matanya jatuh bercucuran. Di tengah tangisnya, seseorang tiba menghampirinya.
“Jangan menangis. Tuhan menawarkan cobaan tidak melebihi kemampuan manusia.” Ucap orang itu.
“Kak Evan? Kenapa abang di sini? Mau mengejek ku?” Tanya Gea dengan ketus.
“Tidak. Kakak di sini mau mendengar dongeng mu. Kakak tahu kau butuh teman. Kakak bersedia untuk...” Jawab Evan tenang.
“Sudahlah! Jangan berpura-pura. Aku tahu maksud kakak. Kakak ke sini untuk mendengar dongeng ku kemudian pergi menyebarkannya kepada semua orang.” Sela Gea. Gea tidak percaya dengan apa yang dikatakan Evan. Karena selama ini ia dan Evan tidak mempunyai relasi lebih dari abang dan adik di sekolah.
“Gea, abang ikhlas ingin menjadi sahabat mu. Kakak tidak berniat untuk menceritakan perasaan mu pada bawah umur yang lain.Anggapan mu perihal abang tidak benar.”
Entah apa yang menciptakan Gea mendapatkan alasan dari Evan itu. Gea menceritakan bagaimana kehidupannya kini ini. Gea merasa ia harus menceritakan semuanya.
*****
2 ahad telah berlalu. Kini Gea sudah mulai berdiri lagi. Gea sudah mulai bisa mendapatkan semuanya. Menerima kepergian mama dan teman-temannya. Bangkitnya Gea tidak lepas dari Evan yang benar-benar menjadi temannya.
Pertemuan di taman 2 ahad yang kemudian yaitu awal perasaan tak masuk akal yang dirasakan Gea. Tanpa Gea pungkiri perasaan sayangnya pada Evan bukan lagi sebagai abang beradik. Namun, Gea tidak berani mengungkapkannya sebab ia tak mau menghancurkan relasi yang bisa menciptakan ia berdiri menyerupai kini ini.
“Kak Evan mana ya?” Ucap Gea pada dirinya sendiri sambil mencari Evan. Dari lantai 2 Gea berusaha menemukan Evan, namun hasilnya nihil. Gea kemudian berjalan menuju tangga, tapi 2 orang abang kelas tiba menghampirinya.
“Ehem…” Sindir salah seorang abang kelas.
“Permisi kak. Gea mau lewat.” Ucap Gea dengan hati-hati.
“Kalau tidak bisa bagaimana?”
“Tapi kak…”
“Ah, sudahlah jangan membantah. Sadar kau masih kelas 10. Dasar anak koruptor!”
Gea melongo mendengar perkataan abang kelasnya itu. Hatinya kembali tertusuk. Biasanya dalam situasi menyerupai ini Evan selalu membantunya. Tapi, dikala ini ia harus berjuang sendiri. Belum hilang bekas perkataan tadi, Gea kembali mendengar kalimat yang sangat menyakitkan.
“Anak koruptor, asal kau tahu, kau itu parasit! Memangnya kau pikir Evan suka dengan mu?! Mimpi!”
Kalimat itu menciptakan Gea tak bisa lagi berdiri di daerah itu. Tanpa menunggu lama, Gea eksklusif menerobos ke dua orang itu dan berlari ke taman sekolah. Sesampainya di taman, tangisnya eksklusif pecah!
“Ya Tuhan, bantu aku… bantu aku!!!” Rintih Gea dalam tangis.
“Gea? Ada apa dengan mu? Gea?” Tanya Evan yang tiba-tiba datang.
“Kak Evan, lebih baik abang tinggalkan Gea sendiri. Aku selalu merepotkan kak Evan selama ini. Maafkan aku.”
“Kenapa kau berkata menyerupai itu? Gea tidak pernah merepotkan kakak.”
“Sudahlah, Gea sudah mendengarnya kak.”
“Mendengar apa?”
“Kak Evan sebetulnya tidak suka dengan ku. Selama ini saya mungkin menyerupai benalu dalam hidup kak Evan. Menumpang untuk mendapatkan kebahagiaan...”
“Sssssttttt! Itu tidak benar Gea. Kakak ikhlas menjadi sahabat mu.” Sela Evan sambil menarik Gea dalam dekapannya. Berusaha menawarkan pelukan paling nyaman untuk Gea. Gea menangis dalam pelukan Evan. Evan membiarkan Gea menangis mencurahkan sakit hatinya. Suasana dikala itu terasa sunyi, hanya terdengar bunyi tangisan Gea dan hembusan angin.
*****
Hari ini tanggal 18 Oktober. Hari ini yaitu hari ulang tahun ibu Geysita. Sepulang sekolah Gea eksklusif menuju toko yang menjual makanan ringan elok tart. Sesampainya di toko, Gea dikejutkan oleh Evan yang ada di sana.
“Kak Evan???” Kata Gea dengan heran.
“Oh, abang tadinya ingin membeli makanan ringan elok untuk nanti malam kumpul-kumpul dengan teman-teman, tapi nanti saja. Kakak boleh temani kau menjenguk mama kamu?”
“Em, boleh kak. Tapi…” Gea menggantung perkataannya, sebab ia merasa tidak yummy pada Evan.
“Tenang saja. Tidak apa-apa kok.” Sela Evan seakan mengerti maksud Gea.
*****
“Bu Geysita, ada yang ingin bertemu dengan Anda.” Ucap pak polisi sambil membuka pintu penjara.
“Oh iya. Terima kasih pak.” Ucap Geysita berterima kasih sambil berjalan keluar. Ibu Geysita berjalan menuju ruang kunjungan. Ketika ia masuk terdengar bunyi Gea yang mulai bernyanyi dengan makanan ringan elok di tangannya dan lilin berangka 50 tahun yang berdiri tegak di atas kue. Dan lebih terkejut lagi dikala melihat orang yang menemani Gea dikala itu.
“Apa yang ku berikan untuk mama untuk mama tersayang
Tak ku miliki sesuatu berharga untuk mama tercinta
Hanya ini ku nyanyikan senandung dari hatiku untuk mama
Hanya sebuah lagu sederhana lagu cinta ku untuk mama…”
“Ayo ma, make a wish kemudian tiup lilinnya.” Pinta Gea selesai ia menyanyi dengan bunyi yang mulai bergetar. Mamanya menuruti perkataan Gea.
“Happy Birthday ma. Semoga mama bisa melewati semua ini, lebih kuat, dan jadilah mama yang tegar. Gea selalu sayang mama.” Kata Gea sehabis mamanya meniup lilin.
“Gea… Terima kasih sayang. Terima kasih selalu mengasihi mama… Terima kasih mau mendapatkan kekurangan mama. Mama minta maaf sebab selama ini sudah menciptakan hidup mu susah. Maaf jika selama ini mama tidak bisa membahagiakan mu, nak. Tapi, Gea harus tahu dalam setiap doa mama, ada nama Gea. Lanjutkan sekolah mu ya sayang. Gapai keinginan mu. Jangan menyerah.” Pesan mamanya sambil terisak.
“Iya ma… Itu pasti. Mama, kenalkan ini kak Evan. Dia abang kelas Gea ma. Kak Evan yang menemani Gea selama mama di sini. Dan ini bunga melati putih untuk mama. Ini dari Gea dan kak Evan.”
“Selamat ulang tahun tante. Semoga umur panjang dan sehat selalu.” Ucap Evan
Mendengar Ucapan Evan menciptakan air mata ibu Geysita semakin deras mengalir. Tak lupa ia berpesan pada Evan untuk menjaga Gea menyerupai adiknya sendiri.
Di tengah pembicaraan mereka tiba-tiba datanglah seorang polisi.
“Permisi bu, jam kunjungannya sudah habis. Adik-adik mohon untuk keluar.”
Dengan berat hati mereka berpisah. Ibu Geysita berjalan menuju ruang tahanan sedangakan Gea dan Evan berjalan keluar gedung itu.
*****
Semakin hari Gea dan Evan semakin dekat. Semakin banyak hal yang ia lalui bersama Evan maka semakin dalam perasaannya. Kadang Gea memperlihatkan perhatian yang lebih pada Evan, namun Evan seakan tak menyadari hal itu.
Suatu dikala ketika Gea tidak bisa lagi membendung rasa sayangnya, Gea berniat mengungkapkan perasaanya pada Evan.
“Kak, jalan-jalan yuk?” Tanya Gea dikala sedang makan bersama Evan di kantin sekolah.
“Maksud kamu?”
“Ya, jalan-jalan nanti malam. Terserah kemana saja. Bagaimana?”
“Boleh juga. Kalau begitu abang jemput kau ya?”
“Baiklah kak.”
*****
“Pokoknya saya harus tampil menarik di depan kak Evan.” Ucap Gea sambil menatap dirinya di cermin. Kali ini Gea menciptakan penampilannya lain dari biasanya dan ia yakin Evan akan tertarik melihatnya.
Beberapa dikala kemudian terdengar mesin kendaraan beroda empat di depan rumah. Gea melihat keluar dari jendela kamarnya untuk memastikan bahwa itu yaitu Evan. Dan ternyata benar. Gea eksklusif turun dan berpamitan pada pamannya yang menemaninya di rumah selama ini.
“Om, Gea pergi dulu ya?”
“Iya, hati-hati ya. Jangan pulang terlalu malam.”
“Iya om.”
Setelah berpamitan Gea eksklusif keluar. Memang benar jika Evan terpana melihat penampilannya hari ini. Namun, Evan bertanya-tanya, kenapa Gea berpenampilan lain dari biasanya?
“Sudah siap?” tanya Evan dengan sebaris senyum.
“Sudah kak.” Jawab Gea dengan senyum pula.
“Ya sudah. Ayo naik.” Ucap Evan sambil membuka pintu mobil.
Evan menancap gas. Membawa Gea ke suatu tempat.
“Kita mau kemana kak?”
“Ke suatu daerah yang indah.” Jawab Evan dengan senyum sambil memandang ke depan. Mendengar tanggapan Evan, Gea membisu saja.
Sekitar 20 menit karenanya mereka hingga di sebuah bukit. Pemandangan di daerah itu sangat indah, suasananya pun sangat tenang.
“Wow. Sungguh indah!” Ucap Gea yang mengagumi semua yang ada di bukit itu.
“Ini daerah ku melepas keluh kesah. Di dikala saya ada masalah, daerah ini selalu menjadi sahabat ku. Anginnya yang bertiup lembut seakan mendengar semua dongeng ku. Kalau kau mau dongeng semua duduk kasus mu, dongeng saja. Tempat ini niscaya akan setia mendengarnya.”
Evan berjalan menuju dingklik yang ada di bukit itu. Gea pun mengikutinya. Gea eksklusif duduk di samping Evan dan mulai bercerita.
“Saat mama pergi, saya bagaikan anak kecil yang jatuh di sumur yang dalam. Takut, menangis, dan tak tahu bagaimana memanjat ke atas. Beberapa hari menyerupai itu. Dan Tuhan mengirimkan malaikat-Nya untuk mengangkat aku. Ia menjulurkan tali untuk ku memanjat. Dan karenanya saya bisa keluar dari sumur itu. Aku sakit, tak bisa berdiri walau sudah keluar dari daerah itu. Malaikat itu dengan ikhlas menemani ku, mambantu ku supaya bisa sembuh dan bisa berdiri lagi. Dia ada dikala dunia menjauhi ku. Aku sangat mengasihi malaikat ku itu. Tiap hari saya memikirkannya, hingga perasaan sayang yang lebih mulai tumbuh hingga sekarang. Awalnya saya bisa menyimpannya. Tapi, ternyata saya tak sekuat itu. Aku tak bisa lagi membendung rasa cinta ku itu.” Gea menutup ceritanya. Evan kaget dengan dongeng Gea. Dia tak menyangka jika ketulusannya menciptakan Gea jatuh hati padanya.
“Ge… Gea?” Kata Evan yang masih kaget.
“Bagaimana perasaan kak Evan pada ku?” Tanya Gea sambil memandang Evan.
“Gea, abang minta maaf…” Ucap Evan tertatih. Air mata Gea mulai keluar.
“Gea, abang memang sayang pada mu. Tapi hanya sebagai adik. Ada satu hal yang tak kau tahu adik ku.”
“Apa?”
“Se… sebetulnya kau itu adik ku… Kamu dan saya abang beradik. Dulu mama dan papa bercerai dikala kau gres lahir. Aku dibawa papa, dan kau dibawa mama. Saat saya kelas 1 Sekolah Menengan Atas papa meninggal. Dan seakarang saya tinggal di rumah om kita. Setahun yang kemudian saya bertemu dengan mama. Dia meminta ku untuk menjaga mu. Menjaga mu dari jauh. Mungkin tanpa kau tahu, selama kurang lebih 1 tahun ini, saya selalu memerhatikan mu…”
“Ja… jadi, kau itu abang ku?”
“Iya. Kau tahu arti Geneva di nama mu?”
“Apa?”
“Nama mu adonan nama kita berdua. Gea dan Evan. Dan saya pernah berjanji ketika saya besar, saya akan menjaga mu.”
“Kak, Gea mungkin bisa kehilangan abang sebagai teman. Tapi… Gea tidak bisa kehilangan kak Evan sebagai abang kandung Gea. Sekarang Gea tahu jika di dunia ini Gea tak sendiri. Gea masih punya abang yang selalu ada untuk Gea. Kak, bisakah abang mengantarku ke makam papa?”
“Bisa! Sangat bisa. Ayo kita pergi.”
Mereka berdua eksklusif beranjak dari bukit itu, dan pergi menuju makam papa mereka. Hari itu perasaan Gea begitu lega. Lega sebab ternyata Evan bukan sahabat atau pacar yang hanya bisa dimiliki sementara, tapi abang yang dimilikinya untuk selamanya.
*****
PROFIL PENULIS
Nama : Geibs Kojongian
TTL : Kotamobagu, 28 Sep 1995
Umur : 17 Tahun
Facebook. : Geibs Biverly Kojongan
TTL : Kotamobagu, 28 Sep 1995
Umur : 17 Tahun
Facebook. : Geibs Biverly Kojongan