Cerita Silat: Diam-Diam Kitab Tujuh 8 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Ki Harwati menghentakkan kakinya kebumi dua kali Cerita Silat: Rahasia Kitab Tujuh 8 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Bentakan itu sungguh bringas. Bagai singa betina lapar, Ki Harwati menghentakkan kakinya kebumi dua kali, kemudian berkata: “Selamat tinggal, budak!”
“Kau terlalu durhaka, adikku”, ujar Gumara dengan nada pedih. Hatinya terluka.
Dia melihat betapa cepatnya langkah Harwati menyusupi ilalang dalam hujan gerimis itu, tanpa sanggup dicegah. Gumara masih berdiri terpaku dengan hati geram dan penuh kekuatiran.
KI ROTAN yang juga merasa mendapat inspirasi untuk mempunyai Kitab Tujuh, mengapungkan diri di atas sungai. Karena ia menyesuaikan dirinya dengan takwil mimpi malam sebelumnya, bahwa banjir akan tiba, sementara ini dibiarkan dirinya mengapung, kadang ia menyangkut pada akar kayu di tebing sungai itu. Ya. sungai Selawi akan mengalami banjir besar.
Menjelang tengah hari, Ki Rotan yang mengapung itu merasa gembira. Mimpinya mulai menawarkan bukti! Tendangan arus dibawah tubuhnya yang mengapung mulai terasa keras. Sementara kupingnya mendengar bunyi gemuruh di sebelah mudiksana !Tanda di hulu sungai Selawi sudah mulai banjir besar”
“Mimpiku menjadi kenyataan!” ia berseru ketika tendangan arus sungai bertambah keras. Dan matanya melihat jelas, di arah hulusana , sungai Selawi mulai bergulung-gulung bagai tikar raksasa yang dibuka. Ia seperti sudah separoh sadar saking gembira! Ia seakan siap untuk ditelan gelombang sungai Selawi yang dahsyat itu !
Mendadak di dengarnya bunyi teriak keras dari atas tebing.” Hai lelaki! Cepat ketepi!”.
Suara itu bunyi seoraing wanita. Dan perempuan itu tampaknya gadis yang masih perawan.
“Aku Ratu Senik. memperingatkan tuan!” seru bunyi itu. Nama itu dikenal oleh Ki Rotan. Dia menjadi bimbang.
Dia kemudian manggepakan kakinya, hingga ia ke tepi. Lalu cepat ia raih akar pohon tebing, dan cepat memanjat ke atas tebing. Separuh panjatan, air sungai Selawi menggerutu menghantam tebing kiri dan kanan, membuat bunyi berdengus mengerikan.
Dan Ki Rotan selamat dari telanan sungai bah itu . . .
Ketika Ki Rotan merangkak terus ke atas, perempuan tadi sudah ibarat menyambut kedatangannya. Ketika ia memperbaiki rambutnya, Ki Rotan pun melirik dengan sorot birahi padanya. Dan mata perempuan itu tunduk dan Ki Rotan pun berkata: “Sebutkan nama tuan sekali lagi!”
“Namaku Ratu Senik”, ucapnya.
Ketika berbicara sekalimat singkat itu, tampaklah gigi perempuan itu telah dikikir rata, bukti bahwa ia telah menikah.
“Anda seorang janda?” tanya Ki Rotan.
“Ya”.
“Kalau begitu anda yaitu janda Guru Besar guru semua guru?”
“Betul, Saya ini janda Ki Tunggal harimau pertama di daerah seratus bukit dan dua puluhlima sungai”, kata Ki Ratu Senik. Birahi Ki Rotan kemudian semakin menyala, alasannya dalam mimpinya yang ia sanggup semalam berdasar inspirasi yang ia terima yaitu kalimat terpenting. “Jika engkau berhasil meniduri janda Guru Besar, segera ilmu itu akan menitis lewat ia kepada anda. Dan anda akan mendapat Kitab Tujuh ibarat anda menanti jatuhnya anai-anai sesudah menikmati lampu terang”.
“Tapi tuan Ratu tidak memegang tongkat”, kata Ki Rotan.
“Tuan ragu?” tanya Ratu Senik.
“Bukan ragu. Tiap guru senantiasa ditemani tongkat, mengingat harus berjalan jauh”.
“Saya bukan guru. Saya hanya pewaris ilmu dan suamiku yang telah hingga ajal.
Menurut suamiku, musuhku bukan satria pria. Tapi satria wanita”.
Ki Rotan makin yakin, apalagi bumi yang ia pijak dikala itu yaitu bumi pertapaan Ki Tunggal, yang syah kebenarannya!
Mulailah Ki Rotan digelimangi nafsu untuk tidur dengan perempuan itu. Seluruh otot tubuhnya jadi kejang dan tegang.
Lalu ia berkata: “Saya kuatir malam ini turun hujan lebat, dan saya tidak punya tempat berteduh”.
“Kenapa tuan cemas?” Mari ke gubukku. Disana saya sanggup menyelimuti anda dengan kain berlapis-lapis”, kata Ki Senik.
“Ketika saya tuan selimuti, tuan tentu kedinginan”, kata Ki Rotan. Wanita itu tarsenyum akrab, dan dari pelipis matanya tampak urat kegarangan bagai seekor cacing hidup dilapis kulit kuning dan licinnya. Wanita itu memberi arahan biar Ki Rotan mengikuti ia menuju pondok pertapaan almarhum Ki Tunggal yang terbukti lagi syah dan benarnya. Pondok padepokan itu seluruhnya terbuat dari daun nipah.
Dan bila Ki Rotan masih ragu, janda itu sendiri pun bimbang mengajak masuk. Nah, waktu hujan turun menjelang senja, waktu itulah Ki Rotan yang sedang berdiri bagaikan patung mendengar tutur anggun janda itu: “Nanti tuan sakit terkena hujan lebat yang akan turun. Masuklah, tak baik usang berpatung diri di pintu?”
Ki ROTAN pun masuk. Satu obor kecil yang cahayanya terpelihara, membuat sinarnya membuat suasana merangsang. Hujan tobat pun menyebabkan bunyiannya menggelorakan dada. Sementara selingan angin seperti menghembus-hembuskan nafasnya ke dalam paru-paru Ki Rotan. Petir dan geledek silih berganti ketika malam tiba. Dan janda itu pun menyodorkan makanan umbi dan minuman nira.
“Makanan apa ini?” tanya Ki Rotan memancing.
“Makanan istimewa, yang selalu saya hidangkan pada suamiku menjelang waktu tidur tiba,”ujar Ki Senik
“Ho-ho!”
“Ini umbi pasak bumi. Dan ini nira Tapanuli yang sanggup merangsang lelaki”.
“Aha ... !” Ki Rotan tertawa dan ia menoleh ke arah janda itu dengan mata jelalatan.
“Saya tahu siapa anda”, kata Ki Senik.
“Seluruhnya perihal diriku?”
“Suamiku telah menceritakannya. Anda yaitu lelaki yang gagal memperkosa wanita, termasuk murid anda Ki Harwati. Padahal perkosaan itu yaitu perbuatan zina yang selalu membatalkan peningkatan derajatmu”, ujar janda itu.
Ki Rotan berubah jadi kecut hati. Tapi kata-kata berikutnya dari lisan kecil janda itu segera menghiburnya. “Kecuali apabila suka sama suka, malaikat pun menjadi saksi syahnya suatu hubungan”.
“Anda kuatir akan saya perkosa?” tanya Ki Rotan bimbang, memancing. “Jika tuan berniat memperkosa saya, saya kuatir ilmu anda akan menjadi bambu buta. Itu yaitu sifat tergesa yang melawan kodrat alam. Yang sanggup dibenarkan apabila suka sama suka kemudian menjadilah dua mahluk lain jenis sebagai suami-isteri”, kata Ki Senik yang ucapan itu segera membangkitkan rangsangan. Ketika Ki Rotan beranjak duduk ingin membelai kepala Ki Senik, janda itu berkata. .. Kekuatan anda mutunya akan di bawah kadar suamiku almarhum jikalau tuan tidak makan umbi pasak bumi masakanku dan meminum nira pembangkit tenaga”. Dan ia pun bersabar hati mengikuti saran janda itu. Dan ia mendapat kehormatan disuapi makan malam, dan diminumkan nira itu. Tapi di waktu telah kenyang dia, ia berkata: “ Bolehkah tanya tidur sekarang?
Mataku sudah berat sekarang”. “Sebelum tuan masuk selimut terlebih dulu wajib menyatakan ikrar, biar semua yang tuan perbuat pada saya akan saya jalin dengan apa yang saya persembahkan. Dan menjadi syah jikalau tujuh malaikat mendengarkan ikrar tuan”.
Janda itu mengulurkan tangan, yang telapaknya dipegang oleh Ki Rotan. Lalu janda itu menuntut kata-kata ikrar dimaksud: “Saya. Ki Rotan, dengan saksi tujuh malaikat, mengawini Ki Ratu Senik, janda Ki Tunggal yang merupakan Guru dari segala Guru di seratus bukit ini yang dikawal oleh selawe sungai, dan menjadikannya isteri syah saya, sehingga tidur dan makan dengan ia bukan lagi merupakan perzinaan”.
Kata-kata ikrar yang diikuti Ki Rotan itu cukup fasih sehingga Ki Rotan pribadi saja menerkam badan janda itu tanpa menunggu diselimuti.
“Sungguh tuan ini seorang lelaki sempurna”“, demikian kebanggaan Ki Senik sehabis ia mandi keramas dengan tujuh kembang pilihan.
“Tapi saya harus mengembara lagi”, kata Ki Rotan.
“Mencari Kitab Tujuh. “
“Ya”.
“Keinginan tuan dituntut oleh kesabaran. Tuan tak beda dengan Ki Harwati, yang kemarin pagi mendatangiku ke sini, memaksa saya untuk menawarkan Kitab Perjalanan untuk mendapat peta persembunyian Kitab Tujuh.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel