Cerita Silat: Belakang Layar Kitab Tujuh 10 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Lalu terus saja dibelainya badan isterinya supaya perempuan itu ketagihan dengan rasa birahi d Cerita Silat: Rahasia Kitab Tujuh 10 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Lalu terus saja dibelainya badan isterinya supaya perempuan itu ketagihan dengan rasa birahi dan memanglah usahanya mendekati hasil. Ki Senik meronta dengan dengus nafasnya yang deras, memeluk Ki Rotan secara membabi buta, tapi Ki Rotan mendorong badan isterinya sehingga jatuh lagi ke sampingnya.
“Berikan satu diam-diam itu”, kata Ki Rotan.
“Tapi penuhi keinginankul” kata Ki Senik.
“Tentu”.
“Kau sertakan saya ikut kesana ?” tanya Ki Senik.
“Itu soal mudah. Sebutkan dulu rahasianya!”
“Rahasianya di ... Lembah Tujuh Bidadari”. ujar Ki Senik yang terus menerkam badan suaminya dan menyerangnya dengan beringas hingga tercapailah kebutuhan indahnya akan persetubuhan.
Sepuas apa yang beliau butuhi itu, dengan bermandi peluh beliau pun tergelimpang di samping suaminya bagai seorang yang pingsan. Dia barusan terjaga dari tidur pulasnya, dikala cahaya matahari memasuki celah dinding nipah. Tapi dikala beliau meraih pakaiannya, segera beliau sadari, bahwa kenikmatannya semalam sudah dikhianati oleh sumpah yang dilanggar, beliau meraba perutnya, dan yakin bahwa beliau akan hamil sebagai akhir kepuasannya semalam. Ah, dikala beliau mencari-cari suaminya, Ki Rotan sudah tak ada lagi. Ki Rotan sudah meninggalkan Bukit Tunggal, bahkan sudah terlibat dengan pergumulan menyeberangi sungai Selawi yang airnya buas akhir banjir.
KI ROTAN gotong royong sudah hampir sanggup meraih akar pohon ganjuling, namun beliau lepas lagi. Lalu tubuhnya membentur satu kerikil besar, terbanting lagi ke kiri dan ke kanan.
Di luar dugaan, Ki Harwati ternyata mengalami tragedi alam banjir sungai Selawi, lebih jago lagi dan yang dialami oleh Ki Rotan. Dia selama dua hari satu malam terombang - ambing dihempaskan arus sungai Selawi, lantaran kesalahan menempuh jalan sesudah beliau pergi meninggalkan Ki Senik menuju mudik. Dia yang merasa dirinya bisa meniti arus sungai, mendadak sontak diserbu oleh banjir raksasa dari arah hulu sungai itu.
Dikiranya gampang melawan arus mendadak. Dan beliau hampir saja tanggelam hanya lantaran ular piransa yang membelit keningnya copot dari lilitan kepalanya. Dia lebih mengutamakan mencari ular sebesar telunjuk jari itu ketimbang berusaha menyelamatkan diri.
Dan seluruhnya berurusan dengan nasibmalang atau melintang. Dia tersangkut pada akar pohon gading hijau yang akarnya mencengkeram sungai. Lalu tak bisa lepas lagi menyerupai masuk perangkap. Ketika itu pulalah, sesudah beberapa jam dalam perangkap akar tanpa daya, beliau melihat satu sosok terlempar membentur kerikil tebing ke kiri dan ke kanan. Ki Harwati berteriak: “Tolong .....! Tolong!”.
Ki Rotan segera mencoba mengendalikan diri dari hempasan arus sungai Selawi yang mengamuk itu, menuju bunyi minta tolong itu. Usahanya berhasil. Dan beliau tercengang dikala memegang akar pohon gading hijau yang tampaknya memenjarakan Ki Harwati.
“Ki Rotan, tolong cabut pedangku, dan tebaslah akar pohon gading hijau ini!”, ujar Ki Harwati dengan nafas terengah mau manyerah.
“Aku bisa saja mengeluarkan kau dari penjara tragedi alam ini. Tapi kau harus bersedia bersamaku mencari Lembah Tujuh Bidadari”, kata Ki Rotan.
“Kini, bahkan diriku sendiri pun seutuhnya kusediakan memberinya pada tuan, tidak menolak lagi menyerupai dulu, asal saya terlepas dari cengkeraman akar pohon gading hijau ini. Tolong cabutkan pedang saktiku ini, tuan Guru”.
“Baik, baik, Jika kau berkelahi janjimu, kau akan celaka”, kata Ki Rotan.
Dengan susah payah, Ki Rotan berusaha mencabut pedang Turki itu dari sarangnya yang terjepit di pinggang Ki Harwati. Tetapi rupanya mencabut pedang sakti begitu tidak semudah mencabut pisau di pinggang tukang mangga.
Begitu semangatnya Ki Rotan berusaha untuk mencabut, sementara Ki Harwati pun sudah meronta-ronta dengan lebih bersemangat untuk membebaskan diri, segera sesudah ..... pedang itu tercabut maka bergemuruhlah air yang mendadak tiba dari arah hulu, banjir yang lebih besar sehingga pohon gading hijau di tepi tebing itu tumbang.
Satu kilatan kelihatan, yakni kilatan mata pedang yang terpelanting entah ke mana.
Sementara itu pula Ki Harwati terseret bersama-sama akar pohon yang hanyut menuju hilir, disertai oleh bunyi gegap gempita. Ki Rotan sendiri lebih mengutamakan keselamatan dirinya daripada beliau sendiri tenggelam.
Dia terseret labih cepat ketimbang Ki Harwati yang masih terkena cengkeraman akar pohon raksasa itu. Tapi dalam berusaha menyelamatkan nyawanya, Ki Harwati pun sanggup membebaskan dirinya dari cengkeraman akar. Hanya lantaran suatu kebetulan pohon itu membelintang dan Ki Harwati tetap diseret arus kemudian lepas. Dia berenang kian kemari untuk mencari keselamatan. Sampai kesudahannya beliau melihat tangan menggapai-gapai di tengah sungai lebih kehilirsana , tak lain tangan Ki Rotan yang mohon pertolongan.
Banjir sungai Selawi yang bentuknya bagai bulat ular itu, telah menantikan nasib dua pahlawan lain jenis ini berkali-kali saling tolong menolong. Dan kedua-duanya berhasil selamat dengan saling berpegangan sewaktu arus menyeret mereka ke cabang sungai yang ke kiri. Ketika itu hari senja, sewaktu Ki Harwati tanpa sengaja berseru: “Lihatlah pelangi di langit itu! Aku sudah mnemukan daerah yang mesti dituju!”
Tampak memang Bukit Segundul sebagai petunjuk di sebelah Bukit Api. Di belahannya itulah Lembah Tujuh Bidadari. Namun dalam kegembiraan itu Ki Harwati menyesali: “Sayang senjata saktiku dua-duanya lenyap lantaran tragedi alam ini”.
“Jangan berdukacita, Guru Muda. Saya siap mengawal tuan untuk hingga ke daerah itu. Bukankah yang tuan maksud, di daerah lengkung pelangi jatuh itu terletak Lembah Tujuh Bidadari, dan disana pula bersemayam Kitab Tujuh?”.
Ki Harwati terdongak kaget. Sebelum beliau bertanya:”Jangan dikira hanya tuan Guru saja yang mengetahui diam-diam itu. Istriku janda pahlawan besar Ki Tunggal. Satu diantara kita akan menjadi pemilik Kitab Tujuh itu. Hal itu tak perlu anda rahasiakan lagi”, kata Ki Rotan, yang menciptakan Ki Harwati tambah melongo.
AKHIRNYA, Ki Harwati terpukau oleh ramalan - ramalan yang diucapkan Ki Rotan sehingga beliau berkata: “Sekiranya saya ikuti apa yang dituturkan kakakku Gumara, mungkin segalanya dengan gampang saya petik”, kemudian meneruskan langkah.
“Itu tetap saja sulit, lantaran satu pekerjaan besar lebih baik dilakukan dua orang daripada satu orang” ujar Ki Rotan yang gotong royong meniru ucapan Ki Senik.
Mereka melanjutkan langkah sembari terus bicara.
“Bagaimana caranya?”, tanya Ki Harwati.
“Bukankah kau berjanji akan menyerahkan dirimu seutuh tubuhmu bila kau selamat dari tragedi sungai Selawi?” usik Ki Rotan.
“Itulah kelemahan tuan, Tuan Guru”, kata Ki Harwati.
“Dan kelemahanmu saya tahu pula. Kau pahlawan serakah. Kau yakinilah, bahwa bukan kau yang akan mendapat Kitab Tujuh itu”, kata Ki Rotan.
Mendengar ucapan itu, langkah Ki Harwati terhenti.
Ki Rotan merasa terancam ancaman bila Ki Harwati mengamuk. Lalu beliau merasa butuh teman dan ditempuhnya cara bijaksana dan damai.
“Kita dari dulu selalu berkait dengan hutang budi. Jangan hingga kau tersinggung oleh ucapanku. Perjalanan kita masih jauh, setidaknya turun naik jurang sebanyak lekukan enam kali lagi. Mari kita tidak bicara sepatah kata pun. Kita menuju jatuhnya pelangi sekarang...”
Dan alangkah terkejutnya Ki Harwati maupun Ki Rotan, lantaran warna lengkung pelangi itu hilang seketika itu juga, kendati gerimis dan cahaya matahari masih ada.
Keduanya kehilangan pedoman, saling bertanya: “Di mana kita?” Ki Rotan melihat satu jalan lurus. Ki Harwati juga melihat jalan lurus itu. Keduanya kehilangan akal, hingga muncul seseorang dari balik sebuah bukit ilalang. Orang itu melangkah bagaikan orang mabuk, dari arah Bukit Anggun.
Ketawanya membelah angkasa, langkahnya sempoyongan.
“Kalian berdua tentu tak lupa siapa saya”, kata orang itu.
“Ki Dasa Laksana!” seru Ki Harwati serentak dengan Ki Rotan.
“Kalian berdua tersesat. Dan butuh saya tentunya”, kata Ki Dasa Laksana.
“Betul, kau penolong kami”, kata Ki Harwati. “Jangan tuan guru muda”, kata Ki Rotan memperingatkan, “Janda Ki Tunggal yang saya kawini sudah meyakinkan diriku, bahwa ilmu Ki Dasa ini ialah ilmu Setan dengan iblis sebagai Penghulunya.
Jika kita dengar apa yang diucapkannya, kita malah tidak mendapat apa yang kita cari”.
“Aku potong pembicaraanmu, tikus renta bangka! Aku tahu apa yang kalian cari.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel