Cerita Silat: Diam-Diam Kitab Tujuh 11 - Seri Tujuh Insan Harimau
Kamis, 25 Desember 2014
Sebelumnya...
Padahal saya telah memilikinya. Telah saya tumpas Ki Pita Loka, dan telah kusimpan Kitab Tujuh itu. Jika kalian berdua ingin mendapat tuah Kitab Tujuh, dan belajar kepadaku, syaratnya sedarhana”.
“Apa?” tanya Ki Harwati terkena pesona.
“Sederhana. Kalian berdua, bersama aku, menuju Desa Kumayan. Kita habisi nyawa enam harimau yang bercokol disana , kita rubah tata hidup orang di Kumayan. Dan kita bertiga gres syah menjadi orang-orang sakti. Tahukah kalian, bahwa panghalang semua ilmu sakti itu hanya satu orang, yaitu Ki Pita Loka. Sedangkan ia sudah saya bunuh di Lembah Tujuh Bidadari dalam perang tanding yang dahsyat. Kalau kalian tidak percaya, mari kita lewati kuburannya”.
Ki Rotan kini ikut terpesona. Langkahnya jadi besar mengikuti langkah Ki Dasa Laksana yang seleboran kayak orang mabok itu. Ketika hingga ke satu lembah, ia menunjuk tujuh pancang kuburan.
Ki Harwati tercengang. Enam kuburan berisi enam cuilan tangan dan satu kuburan lagi tidak.
“Yang tidak sempat saya potong tangannya hanya satu ini, Ki Pita Loka. Tahukah kalian, mengapa Ki Pita Loka gagal mendapat Kitab Tujuh? Ini, enam cowok remaja, pria-pria muda yang belajar padanya. semuanya ia ambil bujangnya melalui perkosaan halus. Dia kena laknat tujuh bidadari. Dan kampungnya Desa Kumayan pun dilaknat para guru, lantaran ia anak Ki Putih Kelabu, salah satu dari harimau yang tujuh yang disegani, yang kini jumlahnya jadi enam lantaran matinya Ki Tunggal. Jadi, kalian berdua harus berterimakasih dipertemukan dengan saya.
Ayoh melanjutkan perjalanan. Kita ke Kumayan. Kita goncang desa enam harimau itu. Kita bunuh satu persatu orang-orang yang disegani, sehingga seluruh penduduk jadi kecut. Dan kita bertiga akan ditakuti!”
Semangat Ki Harwati, begitu juga Ki Rotan, berkobar. Dan ketika mereka menemukan seorang lelaki utas bersama isterinya, Ki Dasa Laksana memanggil mereka. Ternyata mereka orang utas asal Kumayan. Ki Dasa Laksana dalam sekelebatan memenggal lengan lelaki utas itu. Isterinya melolong ketakutan.
“Jangan kuatir. Kami bertiga cuma butuh tumbal lengan suamimu ini. Kalian berdua tidak akan kami bunuh. Pulang damai ke Kumayan, beritahu pada penduduk, bahwa tiga satria pimpinan Ki Harwati akan menyerang desa kalian, kecuali jikalau penduduk bertekuk lutut.”
GUMARA barusan saja melepas lelah di Bukit Kumayan sesudah melalui perjalanan panjang. Dia kuatir, kembalinya ke Kumayan akan dielu-elukan penduduk secara berkelebihan. Pakaiannya yang compang camping merisaukannya dan pastilah akan dianggap keanehan.
Dan apabila ia pribadi kembali ke rumahnya yang masih terikat kontrak sewa itu, pastilah juga ia akan berpergokan dengan salah seorang tukang ronda. Dan mungkin pula rumahnya itu sudah dikontrakkan lagi kepada orang lain lantaran sanggup saja dirinya dianggap “hilang”, dan setiap perkataan hilang akan punya dua makna. Hilang mati, atau hilang sebagai insan biasa yang akan berubah menjadi menjadi insan istimewa, Jika anggapan yang terakhir ini timbul, ia akan dikira nanti sudah menjadi “Dukun Sakti”
Tapi pakaian kumal dan compang camping ini harus segera diganti sebelum ia dipergoki satu orang penduduk Kumayan. Dia tiba-tiba ingat pada mantera “ilmu silap mata” yang pernah diwariskan ayahnya sebelum Ki Karat itu wafat;
Ada lantaran saya ada
Aku ada lantaran ada
Aku tiada lantaran ada
Sembilan liang lima pancar
Lima pancar sembilan liang
Aku ada lantaran sinar
Tiada sinar saya menghilang!
Lang kata berbilang
Aku hilang dalam Lang
Karena keyakinannya pada ilmu hilang itu, diamalkannya membaca mantera itu. Seketika itu juga berubah menjadi seekor harimau. Dan di atas punggung harimau itulah kini Gumara berada Amalan mantera itu terus saja ia ucapkan. Dan ia telah tiba memasuki pekarangan rumah. Ternyata rumah itu sudah berpenghuni. Gumara memutar pegangan pintu, kemudian pintu terbuka tanpa suara. Gumara melihat seorang lelaki tidur diambin. Lelaki itu tidur nyenyak. Gumara masuk ke kamar. Dan ia melihat kopornya masih utuh.
Dia ambil sepasang baju dan celana, kemudian ia menukarnya di kamar mandi. Dia ganti sepatunya. Lalu ia buang pakaian lama dan sepatu usangnya yang lusuh dan koyak.
Kemudian ia keluar rumah sesudah bersisir rapi. Setiba di luar rumah ia diciumi harimau yang jadi tunggangannya tadi.
Tanda harimau itu berpamitan dengan dia. Harimau itu menggelicik memasuki kebun jeruk. Dan menghilang.
Amalan mantera ia akhiri dengan usiran halus, kemudian ia coba memutar pegangan pintu rumah itu. Pintu tak sanggup lagi dibuka ibarat tadi Gumara puas, lantaran kini ia kembali menjadi insan ragawi, nyata, dan terlihat orang. Barulah ia mengetuk pintu.
Lelaki yang tadi tidur diambin bambu kemudian melihat jam tangan . Tengah malam Ketukan itu didengarnya lagi. Lalu lelaki itu agak kecut bertanya: “Siapa di luar? Ada yang mengetuk?”
“Saya”.
“Siapa?!” agak merinding lelaki tadi berseru gemetar.
“Saya. Guru Gumara”, ujar Gumara.
Lelaki tadi agak gentar sejenak. Dia ditugaskan menjadi Guru Matematika di Kumayan lantaran alasan bahwa Guru Gumara telah meninggal dunia. Kini ada orang mengaku berjulukan Gumara? Orang mati hidup lagi?
Didengarnya lagi ketukan pintu.
Lelaki itu tambah kecut, kendati suaranya lantang membentak: “Siapa di luar!”
“Saya. Guru Gumara”. sahut Gumara.
Lelaki itu jadi ketakutan. Kisah mengenai Guru Gumara sudah hampir jadi dongeng, termasuk kisah Harwati dan Pita Loka di tempat Kumayan ini.
“Apa saya tidak salah dengar?” tanya lelaki itu gugup.
“Bukalah dulu pintu ini”, ujar Gumara.
“Tidak, tidak! Saya tidak berani! Saya dengar Bapak sudah ... mati!”. Gumara bersitenang beberapa saat. Dia tahu dirinya sedang diintip. Dia dihentikan menciptakan orang lain takut.
“Bukalah. Aku masih hidup. Yang bicara pada anda kini ini manusia. Bukan roh.
Tapi Gumara, guru Sekolah Menengah Pertama Kumayan”, ujar Gumara dangan nada meyakinkan.
Lelaki itu membuka pintu. Wajahnya berair kuyup oleh keringat dingin, pucat dan masih curiga. Gumara masuk dan berkata: “Jangan takut. Aku bukan mahluk halus,kan ?
Siapa namamu? Apa pekerjaanmu?”
“Silahkan duduk, Pak Gumara. Nama saya Alif. Pekerjaan saya guru matematika yang menggantikan bapak selama Bapak menghilang”, dan Alif pun jadi ramah. Bahkan menunjukkan Gumara makan. Tapi Gumara sedang mengamalkan puasa yang mesti dilakukannya siang malam bagi pencucian diri.
ALIF merupakan insan pertama yang tak sanggup menyembunyikan kegembiraannya lantaran hadirnya Guru Gumara di desa Kumayan.
Setelah disediakannya tempat tidur bagi tamunya, dan dipersilahkannya Gumara beristirahat, maka guru matematika itu pertamakali memberanikan diri ke luar rumah di tengah malam itu.
Yang ia datangi yakni Ki Putih Kelabu, dan pribadi memberitakan kedatangan Gumara.
Ki Putih Kelabu terdongak demi mendengar kedatangan Gumara.
“Beritakan juga pada Ki Lading Ganda dan semua satria di Kumayan ini, nak Alif”. kata Ki Putih Kelabu.
“Sudah lama penduduk Kumayan gusar. Baiklah, akan saya hubungi semua orang”, ujar Guru matematika itu dengan langkah girang meninggalkan rumah satria Kelabu itu.
Risaunya hati Ki Putih Kelabu terhadap menghilangnya putrinya yang gres kembali, Ki Pita Loka —— bukannya kerisauannya yang besar. Tetapi yang sungguh merisaukannya yakni sebelas orang anak dewasa yang kembali ke Kumayan dalam keadaan tangan buntung.
Justru kepergian Ki Pita Loka dengan enam anak dewasa buntung lainnya itu ibarat diberitakan 11 anak yang pulang, yakni kabar baik. Dia yakin Ki Pita Loka bukan pergi sembarang pergi.
Ia niscaya pergi untuk suatu maksud besar.
Bersambung...
Padahal saya telah memilikinya. Telah saya tumpas Ki Pita Loka, dan telah kusimpan Kitab Tujuh itu. Jika kalian berdua ingin mendapat tuah Kitab Tujuh, dan belajar kepadaku, syaratnya sedarhana”.
“Apa?” tanya Ki Harwati terkena pesona.
“Sederhana. Kalian berdua, bersama aku, menuju Desa Kumayan. Kita habisi nyawa enam harimau yang bercokol disana , kita rubah tata hidup orang di Kumayan. Dan kita bertiga gres syah menjadi orang-orang sakti. Tahukah kalian, bahwa panghalang semua ilmu sakti itu hanya satu orang, yaitu Ki Pita Loka. Sedangkan ia sudah saya bunuh di Lembah Tujuh Bidadari dalam perang tanding yang dahsyat. Kalau kalian tidak percaya, mari kita lewati kuburannya”.
Ki Rotan kini ikut terpesona. Langkahnya jadi besar mengikuti langkah Ki Dasa Laksana yang seleboran kayak orang mabok itu. Ketika hingga ke satu lembah, ia menunjuk tujuh pancang kuburan.
Ki Harwati tercengang. Enam kuburan berisi enam cuilan tangan dan satu kuburan lagi tidak.
“Yang tidak sempat saya potong tangannya hanya satu ini, Ki Pita Loka. Tahukah kalian, mengapa Ki Pita Loka gagal mendapat Kitab Tujuh? Ini, enam cowok remaja, pria-pria muda yang belajar padanya. semuanya ia ambil bujangnya melalui perkosaan halus. Dia kena laknat tujuh bidadari. Dan kampungnya Desa Kumayan pun dilaknat para guru, lantaran ia anak Ki Putih Kelabu, salah satu dari harimau yang tujuh yang disegani, yang kini jumlahnya jadi enam lantaran matinya Ki Tunggal. Jadi, kalian berdua harus berterimakasih dipertemukan dengan saya.
Ayoh melanjutkan perjalanan. Kita ke Kumayan. Kita goncang desa enam harimau itu. Kita bunuh satu persatu orang-orang yang disegani, sehingga seluruh penduduk jadi kecut. Dan kita bertiga akan ditakuti!”
Semangat Ki Harwati, begitu juga Ki Rotan, berkobar. Dan ketika mereka menemukan seorang lelaki utas bersama isterinya, Ki Dasa Laksana memanggil mereka. Ternyata mereka orang utas asal Kumayan. Ki Dasa Laksana dalam sekelebatan memenggal lengan lelaki utas itu. Isterinya melolong ketakutan.
“Jangan kuatir. Kami bertiga cuma butuh tumbal lengan suamimu ini. Kalian berdua tidak akan kami bunuh. Pulang damai ke Kumayan, beritahu pada penduduk, bahwa tiga satria pimpinan Ki Harwati akan menyerang desa kalian, kecuali jikalau penduduk bertekuk lutut.”
GUMARA barusan saja melepas lelah di Bukit Kumayan sesudah melalui perjalanan panjang. Dia kuatir, kembalinya ke Kumayan akan dielu-elukan penduduk secara berkelebihan. Pakaiannya yang compang camping merisaukannya dan pastilah akan dianggap keanehan.
Dan apabila ia pribadi kembali ke rumahnya yang masih terikat kontrak sewa itu, pastilah juga ia akan berpergokan dengan salah seorang tukang ronda. Dan mungkin pula rumahnya itu sudah dikontrakkan lagi kepada orang lain lantaran sanggup saja dirinya dianggap “hilang”, dan setiap perkataan hilang akan punya dua makna. Hilang mati, atau hilang sebagai insan biasa yang akan berubah menjadi menjadi insan istimewa, Jika anggapan yang terakhir ini timbul, ia akan dikira nanti sudah menjadi “Dukun Sakti”
Tapi pakaian kumal dan compang camping ini harus segera diganti sebelum ia dipergoki satu orang penduduk Kumayan. Dia tiba-tiba ingat pada mantera “ilmu silap mata” yang pernah diwariskan ayahnya sebelum Ki Karat itu wafat;
Ada lantaran saya ada
Aku ada lantaran ada
Aku tiada lantaran ada
Sembilan liang lima pancar
Lima pancar sembilan liang
Aku ada lantaran sinar
Tiada sinar saya menghilang!
Lang kata berbilang
Aku hilang dalam Lang
Karena keyakinannya pada ilmu hilang itu, diamalkannya membaca mantera itu. Seketika itu juga berubah menjadi seekor harimau. Dan di atas punggung harimau itulah kini Gumara berada Amalan mantera itu terus saja ia ucapkan. Dan ia telah tiba memasuki pekarangan rumah. Ternyata rumah itu sudah berpenghuni. Gumara memutar pegangan pintu, kemudian pintu terbuka tanpa suara. Gumara melihat seorang lelaki tidur diambin. Lelaki itu tidur nyenyak. Gumara masuk ke kamar. Dan ia melihat kopornya masih utuh.
Dia ambil sepasang baju dan celana, kemudian ia menukarnya di kamar mandi. Dia ganti sepatunya. Lalu ia buang pakaian lama dan sepatu usangnya yang lusuh dan koyak.
Kemudian ia keluar rumah sesudah bersisir rapi. Setiba di luar rumah ia diciumi harimau yang jadi tunggangannya tadi.
Tanda harimau itu berpamitan dengan dia. Harimau itu menggelicik memasuki kebun jeruk. Dan menghilang.
Amalan mantera ia akhiri dengan usiran halus, kemudian ia coba memutar pegangan pintu rumah itu. Pintu tak sanggup lagi dibuka ibarat tadi Gumara puas, lantaran kini ia kembali menjadi insan ragawi, nyata, dan terlihat orang. Barulah ia mengetuk pintu.
Lelaki yang tadi tidur diambin bambu kemudian melihat jam tangan . Tengah malam Ketukan itu didengarnya lagi. Lalu lelaki itu agak kecut bertanya: “Siapa di luar? Ada yang mengetuk?”
“Saya”.
“Siapa?!” agak merinding lelaki tadi berseru gemetar.
“Saya. Guru Gumara”, ujar Gumara.
Lelaki tadi agak gentar sejenak. Dia ditugaskan menjadi Guru Matematika di Kumayan lantaran alasan bahwa Guru Gumara telah meninggal dunia. Kini ada orang mengaku berjulukan Gumara? Orang mati hidup lagi?
Didengarnya lagi ketukan pintu.
Lelaki itu tambah kecut, kendati suaranya lantang membentak: “Siapa di luar!”
“Saya. Guru Gumara”. sahut Gumara.
Lelaki itu jadi ketakutan. Kisah mengenai Guru Gumara sudah hampir jadi dongeng, termasuk kisah Harwati dan Pita Loka di tempat Kumayan ini.
“Apa saya tidak salah dengar?” tanya lelaki itu gugup.
“Bukalah dulu pintu ini”, ujar Gumara.
“Tidak, tidak! Saya tidak berani! Saya dengar Bapak sudah ... mati!”. Gumara bersitenang beberapa saat. Dia tahu dirinya sedang diintip. Dia dihentikan menciptakan orang lain takut.
“Bukalah. Aku masih hidup. Yang bicara pada anda kini ini manusia. Bukan roh.
Tapi Gumara, guru Sekolah Menengah Pertama Kumayan”, ujar Gumara dangan nada meyakinkan.
Lelaki itu membuka pintu. Wajahnya berair kuyup oleh keringat dingin, pucat dan masih curiga. Gumara masuk dan berkata: “Jangan takut. Aku bukan mahluk halus,kan ?
Siapa namamu? Apa pekerjaanmu?”
“Silahkan duduk, Pak Gumara. Nama saya Alif. Pekerjaan saya guru matematika yang menggantikan bapak selama Bapak menghilang”, dan Alif pun jadi ramah. Bahkan menunjukkan Gumara makan. Tapi Gumara sedang mengamalkan puasa yang mesti dilakukannya siang malam bagi pencucian diri.
ALIF merupakan insan pertama yang tak sanggup menyembunyikan kegembiraannya lantaran hadirnya Guru Gumara di desa Kumayan.
Setelah disediakannya tempat tidur bagi tamunya, dan dipersilahkannya Gumara beristirahat, maka guru matematika itu pertamakali memberanikan diri ke luar rumah di tengah malam itu.
Yang ia datangi yakni Ki Putih Kelabu, dan pribadi memberitakan kedatangan Gumara.
Ki Putih Kelabu terdongak demi mendengar kedatangan Gumara.
“Beritakan juga pada Ki Lading Ganda dan semua satria di Kumayan ini, nak Alif”. kata Ki Putih Kelabu.
“Sudah lama penduduk Kumayan gusar. Baiklah, akan saya hubungi semua orang”, ujar Guru matematika itu dengan langkah girang meninggalkan rumah satria Kelabu itu.
Risaunya hati Ki Putih Kelabu terhadap menghilangnya putrinya yang gres kembali, Ki Pita Loka —— bukannya kerisauannya yang besar. Tetapi yang sungguh merisaukannya yakni sebelas orang anak dewasa yang kembali ke Kumayan dalam keadaan tangan buntung.
Justru kepergian Ki Pita Loka dengan enam anak dewasa buntung lainnya itu ibarat diberitakan 11 anak yang pulang, yakni kabar baik. Dia yakin Ki Pita Loka bukan pergi sembarang pergi.
Ia niscaya pergi untuk suatu maksud besar.
Bersambung...