Cerita Silat: Pantang Berdendam 9 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Sepeda itu terpaksa dituntun oleh Gumara Cerita Silat: Pantang Berdendam 9 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Sepeda itu terpaksa dituntun oleh Gumara. Tentu saja, mendorong sepeda yang kedua-dua bannya kempis, buat seorang guru baru, memalukan. Apa lagi beliau tak tahu di mana daerah tukang tambal ban. Tapi Gumara punya cukup peralatan yang dibawanya ke Kumayan ini, bahkan hingga jarum pentul sekalipun. Dia berniat akan menambal ban itu sendiri di rumah.
Memang kadangkala beliau menjadi orang asing dengan menuntun sepeda begitu. Namun beliau berharap, orang yang menontonnya itu bukan alasannya ialah mau menonton guru gres yang menuntun sepeda, melainkan hanya ingin mengenal seorang penduduk gres saja.
Tapi menjelang beliau berbelok ke gang rumahnya, beliau disapa seseorang. Orang itu menggunakan dastar, berkain sarung dililit ke leher, berpakaian hitam-hitam, bersandal jepit terbuat dari kulit Kayaknya orang ini hero silat Sapa orang ini cukup ramah
“Dua ban kempes ya guru muda?”
“Betul”, sahut Gumara.
“Mampir ke rumah saya, guru!”
“Terimakasih”.
“Kalau begitu ke ladang saya!”
“Lain kali saja, Pak”.
Orang itu ramah memperkenalkan dirinya “Saya Ki Limbubu”.
“Saya Gumara”.
“Saya sudah tahu. Tapi memang asing dua ban kempes sekaligus. Apa anda melindas tumpukan beling?” tanya Ki Limbubu.
“Tidak”, sahut Gumara, “Dua-dua ban ini kempis dalam jarak semenit sebelum saya naiki”.
“Kalau begitu kempisnya bukan alasannya ialah paku atau kaca kaca. Ini tentunya dikempiskan oleh kuku-kuku yang tajam”, ujar Ki Limbubu.
Gumara tak paham kata-kata itu. Atau beliau kurang perhatian alasannya ialah merasa perut lapar, Apalagi beliau tak yummy kalau Pak Yunus yang mengantarkan kuliner rantangan harus menunggu usang di depan rumahnya. Maka beliau pun mengangguk hormat menandakan pamitan.
Maka, dikala beliau tiba di pekarangan, beliau pun menyatakan maaf pada Pak Yunus. Lalu beliau tak lupa menceritakan bertemu Ki Limbubu.
“Dia juga insan harimau”, kata Pak Yunus.
“Oh ya”, Gumara agak heran, kemudian “Pantas beliau mengambil istilah kuku dikala beliau meragukan penyebab kempisnya ban sepeda saya”.
“Di sini kita tak boleh melukai hati seseorang”, kata Pak Yunus. Ucapan ini menciptakan Gumara tak sanggup menghabiskan kuliner rantangnya. Kini beliau tatap lagi rantang yang masih ada isi itu. Melintas perasaan ganjil yang membuatnya me rinding. Yaitu kenangan pada ucapan Pak Lading Ganda soal peringatan akan diracun.
Lalu Gumara pun ingat pesan ibu, biar di Kumayan menghindari diri daripada makan di warung. Ah, Gumara pada karenanya menanakan lagi pesan ibu biar beliau selalu berbaik sangka. Adalah jelek sangka kalau menduga kuliner rantang itu berisi racun.
Tetapi dikala beliau lihat sepedanya yang belum beliau tambal itu, Jika betul dugaan Ki Limbubu bahwa kempisnya ban alasannya ialah torehan kuku, bagaimana mungkin harus terus berbaik sangka?
Gumara buru-buru menanggalkan ban sepeda itu. Dan menyelidiki ban dalamnya.
Tampaknya, melihat koyaknya amat lebar, mungkin saja yang mengoyak ban itu ialah harimau suruhan lewat kukunya. Tapi, fikir Gumara lagi, daripada beliau berburuk sangka, lebih baik ditambalnya saja ban sepeda itu. Dan beliau pun mulai menambal. Setelah selesai dua-duanya ditambalnya, kemudian dipompanya, beliau sandarkan kembali sepeda itu pada tiang lunas rumah. Kemudian beliau mencuci pakaian. Dan senja pun tiba dengan cepat. Menjelang malam, muncul Pak Yunus membawa rantang. Beliau heran kuliner tak dihabisi Gumara.
“Kurang yummy masakannya?” tanya Pak Yunus.
“Siapa yang memasak?”
“Isteri Pak Tarikh”, sahut Pak Yunus.
Seketika itu juga darah berdesir di dada Gumara. Namun dengan keberanian dan keyakinan pada mujizad kata bismillah, Gumara melahap juga kuliner rantang kuliner Bu Tarikh. Dia merasa tak diliputi firasat buruk. Tetapi pada hari kelima , bukan saja firasat jelek yang dirasakan Gumara setelah makan malam. Gumara muntah. Dan gumpalan-gumpalan darah segar berhamburan dari mulutnya. Bahkan dadanya sesak. Ketika itu Gumara harus memutuskan, apakah beliau mesti ke Puskesmas ataukah mendatangi Pak Lading Ganda. Gumara tak ingin pula berburuk sangka. Dia cepat naik sepeda menuju Puskesmas. Dia menerima suntikan. Dan darah pun terhenti keluar dari mulutnya.
“Jangan menduga anda diracun orang, Pak Guru”, ujar dokter muda Kadir.
“Saya ke sini ialah bukti saya tak curiga. Kalau tidak, saya tentu ke dukun”, kata Gumara.
“Namun, kemungkinan anda diracun orang iseng pun ada”, ujar dr. Kadir.
Mendengar ucapan dr. Kadir itu pun wajah Gumara tidak berubah. Seolah-olah beliau memang tidak diracun seseorang pun. Lalu beliau pamitan pada Dokter muda itu seraya berkata “Terimakasih, dokter. Anda muda, saya pun muda. Anda bertugas di sini berbakti untuk Peri Kemanusiaan. Saya pun mengajar di Kumayan ini atas keikhlasan yang bertolak dari dasar Peri kemanusiaan jua. Tapi, sebelum saya pamit saya ingin bertanya, apakah anda bertugas di sini sudah cukup lama?”
“Cukupanlah. Tiga tahun persis di bulan depan”.
“Pernahkah Anda diracun orang di sini?”
“Ya, pernah sekali”
“Lalu apa cara Anda mengatasi, dr, Kadir?”
“Saya terpaksa berguru”, ujar dr. Kadir.
“Siapa guru anda?”
“Tuan Putih Kelabu”, ucap sang dokter agak gugup.
“O, dia. Dia termasuk Tujuh Manusia Harimau di sini, bukan?”
Dokter” muda itu tercengang.
“Pak Guru mengetahuinya?” tanyanya.
“Ya”.
“Tetapi di Kumayan ini, termasuk guru saya Putih Kelabu itu, cuma ada Enam Harimau”, kemudian dokter muda itu bertanya “ dari mana ada keterangan di Kumayan ini ada Harimau Tujuh? Buktinya, pancuran Pemandian Umum di sini pun cuma Enam Pancuran”.
Gumara tersenyum lembut, kemudian bertanya “Sulitkah untuk berguru pada Sang Guru Putih Kelabu?”
“Jika anda rajin membaca, kedalaman ilmunya berdasarkan Kitab. Dan beliau tidak pernah mengandalkan kekuatan fisik. Dia lebih cenderung pada dunia obat-obatan”.
Dr. Kadir kemudian menambahkan “Murid anda ada yang anak syah Tuan Putih Kalabu kalau saya tak salah duga”.
“Siapa nama murid saya itu?” tanya Gumara ingin tahu.
Tampaknya sang dokter agak berat menyebut nama itu. Dia cuma berkata “Pokoknya yang tercantik di kelas, yang namanya aneh”.
Dengan segera Gumara sanggup Mengingatnya “O, nama itu memang aneh. Pita Loka. Rambutnya pun bagus. Memang diakah anak kandung Tuan Guru Putih Kelabu?”
“Betul. Tapi maaf kalau saya terpaksa menyebutkan, bahwa si Pita Loka Konon kabarnya sudah ditaksir orang”.
“Ditaksir orang? Maksud pak dokter sudah bertunangan?” tanya Gumara seolah bernapsu.
“Begitulah berdasarkan indera pendengaran saya”,”, jawab sang dokter.
“Oh, kalau perempuan belum bersuami, apalagi belum bertunangan, itu masih berupa bunga di kebun yang kalau Tuhan kehendaki sanggup saja dipetik. Tapi harap tuan muda ketahui, saya bukanlah type lelaki yang gampang jatuh cinta. Oh, sudah banyak dialog kita. Makara sekedar mencegah keracunan, suntikan tadi sudah cukup, bukan?”
“Sudah cukup”, sahut dokter muda itu.
“Terima kasih alasannya ialah anda menolak pembayaran”, ujar Gumara kemudian melambai hormat dan berlalu menuju rumahnya.
Dan dalam perjalanan pulang ke rumahnya itu, beliau dicegat seorang bau tanah di tengah jalan.
“Maaf, Bapak ingin bicara dengan saya?” tanya Gumara sopan, “Saya mau minta api.”
Gumara buru-buru menunjukkan korek api gas. Setelah menyulut, sebelum sempat Gumara orangtua itu berlalu.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel