Cerita Silat: Pantang Berdendam 10 - Seri Tujuh Insan Harimau
Senin, 10 November 2014
Sebelumnya...
Yang agak absurd pada perasaan Gumara ketika itu ialah kopiah yang dikenakan orangtua itu. Warnanya mengingatkan kemungkinan itu. Kopiah itu berwama putih dan berwama kelabu, Jangan-jangan, dialah Tuan Guru Putih Kelabu. Setiba di rumah, Gumara masih mencoba mengingat kopiah orangtua tadi. Dan secara tiba-tiba saja terjadi kejutan.
Pintu terdengar diketuk. Gumara hening dan membuka pintu. Terdengar salam dan dilihatnya ada orang membungkukkan badan begitu hormatnya “Maafkan saya tadi jikalau kurang sopan meminta api rokok, Tuan Gumara”.
“Bapak tentu Tuan Guru Putih Kelabu”, ujar Gumara seraya mempersilahkan masuk.
“Benar”, sahut orangtua itu melangkah sopan.
“Tapi begitu secepat kilat secara mendadak Bapak sudah di sini.
Dengan kendaraan apa Bapak ke sini?” tanya Gumara masih heran.
“Katakanlah dengan angin”, ujar sang Guru.
Gumara bukan orangnya yang sok merahasiakan rasa terkajut. Nafasnya terhempas dan bibirnya menanya “Berkendaraan angin Pak Guru ke sini? Wah, ilmu anda amat tinggi sekali?”
“Anak muda salah, Yang tiba menghadap bekerjsama ilmunya rendah. Saya mendatangi anda, itu berarti ilmu andalah yang tinggi!”
“Ha? Ilmu saya? Saya cuma Guru Ilmu Matematika, Tuan Guru!”
“Itu bukti ilmu anda tinggi. Anda merendah hingga ke bawah bumi, sehingga saya tak sanggup mengenali anda. Tapi semoga saya jangan merasa terjerumus mengagumi anda, saya nyatakan apa maksud saya menemui Guru Gumara sekarang?”
“Silahkan, Tuan Guru”, ujar Gumara amat sopan.
“Begini! Saya dengar tuan menjadi guru di sini. Di sekolah daerah anda mengajar, di situ ada anak wanita saya. Dia masih gadis mentah. Belum punya kematangan.
Karena anda gurunya disana , saya mohon anda melindungi Pita Loka dari segala kemungkinan!” Gumara terpelongo beberapa detik.
“Jadi Pita Loka itu puteri Tuan Guru?” tanya Gumara.
“Betul. Dia bandel, jikalau berkata melukai orang. Kaprikornus ada kemungkinan anakku itu dijahati orang. Sebelum hal itu terjadi, mohon proteksi anda, Tuan Guru Gumara”. Begitu santun dan hormatnya orangtua itu, hingga Gumara terlena di ambang pintu sewaktu melepasnya. Tapi terlena itu mendadak bermetamorfosis terpelongo ketika orangtua itu dalam sekejap mata hilang berbentuk asap putih kelabu Secepat angin beliung.
Dan sewaktu mengajar di depan kelas, Gumara lebih dahulu bertanya “Siapa di antara kalian di kelas ini yang paling gemar pada matematika?”
“Wah, itu pertanyaan bohong”, kata seorang murid.
Dan waktu Gumara melihat murid itu, temyata bunyi terperinci itu dari Pita Loka.
“Kamu yang berjulukan Pita Loka?” tanya Gumara,
“Sudah gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya pula”, jawab murid itu. Memang mulutnya culas dan judes. Gumara hanya tersenyum. Lalu ia mencatat nama murid-murid yang mengakibatkan pelajaran matematika sebagai mata pelajaran favorit.
Tapi Pita Loka tidak mengacukan telunjuknya.
Sekedar menguji sejauh mana kemampuan murid di sini terhadap mata pelajaran matematika, Gumara membuatlima soal di papan tulis.
“Wuwwww”, gerutu murid sekelas.
Gumara membalik pada mereka, bertanya “Kenapa berteriak wuuu?”
“Guru gres jangan kejam, Pak!”
“Lho, koq saya dibilang kejam?” Gumara bertanya tertawa.
“Soalnyalima , sulit-sulit lagi”, ujar Pita Loka.
“Buat yang pintar tidak ada yang sulit”.
“Buat yang udik menyerupai saya, tentu itu sulit, Pak”, ujar Pita Loka.
Gumara tertawa menyengir sejenak, kemudian tidak dilayaninya lagi ocehan murid itu.
Ketika semua murid menyerahkan jawaban soal, hanya Pita Loka yang menyerahkan kertas tanpa jawaban soal. Yang ditulis cuma salinan soal dari papan tulis belaka. Malahan, sesudah salinan soal no. 5, Pita Loka menulis kalimat
KARENA GURU LEBIH PANDAI DARI MURID, SEBAIKNYA LIMA SOAL INI DIJAWAB OLEH PAK GURU SAJA. Pita Loka ...
Gumara ternyata bukan guru sembarangan. Setelah membaca itu, ia peragakan kertas itu ke hadapan murid-murid itu, disertai tanya “Siapa Pita Loka yang cukup sok ini?”
“Saya, Pak Guru” jawab gadis itu.
“Oh kamu, ya. Saya minta kau beristirahat di luar kelas saja”, ucap Gumara cukup lembut, tapi tegas.
Seketika kelas pun hening. Wajah Pita Loka merah padam alasannya dlanggapnya dirinya dipermalukan guru gres itu. Tapi ia pun cukup tabah, Dia merentak berdiri, kemudian melangkah dengan masgul meninggalkan kelas. Seperginya, Gumara berkata penuh wibawa “Harap kau ketahui, setiap pekerjaan bersama, butuh pimpinan.
Begitupun belajar, ialah pekerjaan bersama. Guru, dalam hal ini saya, jadi pimpinan.
Kaprikornus setiap yang membuat hilangnya wibawa dalam satu pekerjaan bersama, dianggap melanggar konsensus, dan ia berhak mendapatkan perintah semoga minggir. Jelas oleh kalian?”
Murid-murid semuanya terdiam.
Murid-murid kelas yang melongo itu mendadak menjerit. Karena mereka melihat Pak Guru Gumara muntah. Lalu bergumpal darah pun turut dimuntahnya.
“Pak Guru muntah darah!” teriak di antara mereka. Pita Loka mendengar juga bunyi itu. Lalu ia menjenguk ke dalam. Bahkan ia juga mendengar bunyi sumbang dalam kelasnya “Wah, Pak Guru dikerjain oleh Pita Loka”. Mendadak saja bunyi gumam dugaan itu terhenti alasannya terdengar bentakan seorang gadis yang gres masuk ke kelas itu, dari kelas lain “Kalian jangan menyebar fitnah!”
“Hai, Harwati!” seru Pita Loka yang meloncat masuk kelas.
Pak Guru Gumara masih mengurut dadanya yang dirasanya terbakar, untuk mengurangi darah yang meleleh dari bibirnya.
“Saya jadi terkena fitnah, Wati”, kata Pita Loka. Tetapi Harwati rupanya tidak menjawab. Dia sedang berkonsentrasi dengan menyerap saringan napas, Tiap serapan yang dilakukannya, Gumara merasa napasnya teratur. Dan panas yang memperabukan dada berkurang. Harwati terus bagai orang bersemedi dengan kedua tangan bersilang di dada.
Rupanya Harwati membuat baskom absurd antara pernapasan Gumara dengan pernapasannya. Lalu, puncaknya yang menegangkan semua orang, ialah perilaku Harwati yang hening meniupkan napasnya keluar mulut. Terciptalah pemandangan absurd mengagumkan. Dari mulutnya keluarlah gelembung-gelembung merah jambu bagai gelembung sabun. Tiap gelembung itu menabrak dinding dan pecah disana , tampaklah bercik merah muda itu menjadi semacam percikan darah.
Pada puncak yang paling menegangkan, ketika Harwati menghembuskan gelembung terakhir, bukan gelembung lagi yang terlempar dari mulutnya. Melainkan segumpal darah beku.
Baru sesudah itu ia berkata; “Tolong berikan padaku segelas air putih”. Beberapa murid bersibuk diri mendapatkan segelas air putih dari warung depan sekotah. Lalu Harwati berkumur-kumur dengan air itu. Setelah itu barulah ada gema pembicaraan dari murid ke murid, guru ke guru, dan juga Kepala Sekolah.
Pita Loka terkagum-kagum, kemudian duduk di bangkunya, Gumara berkata pada Wati, “Terimakasih atas bantuanmu, Dadaku kini lapang”.
Betapa gembira hati Harwati oleh ucapan itu. Wajahnya tak sanggup menyembunyikan rasa besar hati dan bahagia. Matanya melirik pada Pak Guru Gumara dengan lirikan getaranasmara , Lalu
“Kembalilah kau ke kelasmu”, ujar Gumara.
Harwati kembali ke kelasnya. Gumara kembali bangkit menghadapi muridnya. Dia menatap pada Pita Loka. Kelas tegang sejenak, begitu pun Pita Loka.
“Bapak curiga pada saya?” Pita Loka bertanya dengan nada cemas.
“Kamu begitu manis, tak mungkin melaksanakan hal yang kecil”, jawab Gumara.
Mendengar itu Pita Loka tersenyum ceria . Dia mengacukan telunjuk. Gumara heran. Bertanya “Mau apa kamu, Pita Loka?” tanya sang guru,
“Saya mohon sanggup menjawablima soal Bapak di papan tulis”, ujar Pita Loka.
Gumara tercengang. Dia melihat ke papan tulis di mana terteralima soal yang dibuatnya untuk seluruh murid, tapi yang tak dikerjakan Pita Loka.
“Silahkan ke depan”, ujar Gumara.
Pita Loka mengambil sebatang kapur tulis. Dengan cepat dikerjakan satu demi satu soal matematika itu. Seluruhnya diselesaikannya dalamlima menit saja, Gumara tercengang dan berseru “Wah, kau anak genius!”
“Semua soal betul jawabannya”, tambah sang guru dengan nada kagum. Mendengar kebanggaan itu, Pita Loka kelihatan berbinar-binar matanya. Dan dengan malu-malu ia berkata bernada renyai, “Tapi sepandai-pandai saya, tentu lebih pintar Pak Guru”.
“Ayahmu Tuan Guru Putih Kelabu, ya?” tanya Gumara.
“Koq Bapak tahu?” tanya Pita Loka senang.
“Saya tahu”, ujar sang guru.
Murid yang elok itu tampak senang sembari memperbaiki cuilan depan rambutnya.
Karena diperhatikan seluruh biji mata di kelas, gadis inipun jadi salah tingkah. Lalu ia berkata “Maafkan kesalahan saya tadi hingga saya diusir. Tapi Pak. alasannya kebetulan Bapak saya Ki Putih Kelabu, harap Bapak dan teman-teman sokelas ini jangan lagi meragukan bahwa muntah darah Bapak tadi alasannya perbuatan saya. Saya memang berilmu. Tapi ilmu matematika. Ilmu akal. Bukan ilmu akal-akalan”.
“Percayalah, Bapak dan teman-temanmu tak mencurigaimu, Pita Loka dan selanjutnya marilah kita lanjutkan pelajaran dengan rumus baru”, ujar Gumara. Lalu ketika jam istirahat tiba, muncullah pembicaraan di emper-emper sekolah itu pertaruhan dan spekulasi.
“Aku bertaruh, Pita Loka yang nantinya jadi isteri Pak Gumara”, ujar seorang gadis.
“O, tak mungkin. Harwati yang akan jadi tunangannya”.
“Apa alasanmu, Rika?”
“Alasanku menurut budi baik. OrangIndonesia itu, betapapun tinggi derajat atau kesombongannya, masih bertolak pada budi baik. Dan orangIndonesia termasuk penduduk bumi yang suka membalas budi. Bukankah ketika Pak Gumara muntah darah, yang menolongnya sembuh ialah Harwati? Tentu Pak Gumara suatu ketika akan membalas budi itu, dan yang terkekal ialah melamarnya?”
Setelah Rika menjelaskan alasannya, temannya Dina menangkis pula “Tapi taruhlah Pak Gumara ingin membalas budi. Apakah harus selalu dengan Cinta?”
“Pembalasan budi yang terbaik ialah menentukan tanggapan yang terbaik dari semua yang baik. Yang terbaik risikonya ialah jalinan kasih melalui cinta”, ujar Rika.
“Tapi Pak Gumara sepertinya jenis lelaki yang berbeda”, kata Dina.
“Berbeda bagaimana?” tanya Rika.
“Istimewa. Kulihat ia tidak begitu kagum dengan pengobatan Harwati. Reaksi wajahnya wajar-wajar saja. Tetapi ketika dilihatnya Pita Loka menyelesaikanlima soal dalamlima menit saja, wajah Pak Gumara bersinar berbinar-binar. Kagum dan tercengang. Ini bisa membuat bibitasmara ”.
Bersambung...
Yang agak absurd pada perasaan Gumara ketika itu ialah kopiah yang dikenakan orangtua itu. Warnanya mengingatkan kemungkinan itu. Kopiah itu berwama putih dan berwama kelabu, Jangan-jangan, dialah Tuan Guru Putih Kelabu. Setiba di rumah, Gumara masih mencoba mengingat kopiah orangtua tadi. Dan secara tiba-tiba saja terjadi kejutan.
Pintu terdengar diketuk. Gumara hening dan membuka pintu. Terdengar salam dan dilihatnya ada orang membungkukkan badan begitu hormatnya “Maafkan saya tadi jikalau kurang sopan meminta api rokok, Tuan Gumara”.
“Bapak tentu Tuan Guru Putih Kelabu”, ujar Gumara seraya mempersilahkan masuk.
“Benar”, sahut orangtua itu melangkah sopan.
“Tapi begitu secepat kilat secara mendadak Bapak sudah di sini.
Dengan kendaraan apa Bapak ke sini?” tanya Gumara masih heran.
“Katakanlah dengan angin”, ujar sang Guru.
Gumara bukan orangnya yang sok merahasiakan rasa terkajut. Nafasnya terhempas dan bibirnya menanya “Berkendaraan angin Pak Guru ke sini? Wah, ilmu anda amat tinggi sekali?”
“Anak muda salah, Yang tiba menghadap bekerjsama ilmunya rendah. Saya mendatangi anda, itu berarti ilmu andalah yang tinggi!”
“Ha? Ilmu saya? Saya cuma Guru Ilmu Matematika, Tuan Guru!”
“Itu bukti ilmu anda tinggi. Anda merendah hingga ke bawah bumi, sehingga saya tak sanggup mengenali anda. Tapi semoga saya jangan merasa terjerumus mengagumi anda, saya nyatakan apa maksud saya menemui Guru Gumara sekarang?”
“Silahkan, Tuan Guru”, ujar Gumara amat sopan.
“Begini! Saya dengar tuan menjadi guru di sini. Di sekolah daerah anda mengajar, di situ ada anak wanita saya. Dia masih gadis mentah. Belum punya kematangan.
Karena anda gurunya disana , saya mohon anda melindungi Pita Loka dari segala kemungkinan!” Gumara terpelongo beberapa detik.
“Jadi Pita Loka itu puteri Tuan Guru?” tanya Gumara.
“Betul. Dia bandel, jikalau berkata melukai orang. Kaprikornus ada kemungkinan anakku itu dijahati orang. Sebelum hal itu terjadi, mohon proteksi anda, Tuan Guru Gumara”. Begitu santun dan hormatnya orangtua itu, hingga Gumara terlena di ambang pintu sewaktu melepasnya. Tapi terlena itu mendadak bermetamorfosis terpelongo ketika orangtua itu dalam sekejap mata hilang berbentuk asap putih kelabu Secepat angin beliung.
Dan sewaktu mengajar di depan kelas, Gumara lebih dahulu bertanya “Siapa di antara kalian di kelas ini yang paling gemar pada matematika?”
“Wah, itu pertanyaan bohong”, kata seorang murid.
Dan waktu Gumara melihat murid itu, temyata bunyi terperinci itu dari Pita Loka.
“Kamu yang berjulukan Pita Loka?” tanya Gumara,
“Sudah gaharu cendana pula, sudah tahu bertanya pula”, jawab murid itu. Memang mulutnya culas dan judes. Gumara hanya tersenyum. Lalu ia mencatat nama murid-murid yang mengakibatkan pelajaran matematika sebagai mata pelajaran favorit.
Tapi Pita Loka tidak mengacukan telunjuknya.
Sekedar menguji sejauh mana kemampuan murid di sini terhadap mata pelajaran matematika, Gumara membuatlima soal di papan tulis.
“Wuwwww”, gerutu murid sekelas.
Gumara membalik pada mereka, bertanya “Kenapa berteriak wuuu?”
“Guru gres jangan kejam, Pak!”
“Lho, koq saya dibilang kejam?” Gumara bertanya tertawa.
“Soalnyalima , sulit-sulit lagi”, ujar Pita Loka.
“Buat yang pintar tidak ada yang sulit”.
“Buat yang udik menyerupai saya, tentu itu sulit, Pak”, ujar Pita Loka.
Gumara tertawa menyengir sejenak, kemudian tidak dilayaninya lagi ocehan murid itu.
Ketika semua murid menyerahkan jawaban soal, hanya Pita Loka yang menyerahkan kertas tanpa jawaban soal. Yang ditulis cuma salinan soal dari papan tulis belaka. Malahan, sesudah salinan soal no. 5, Pita Loka menulis kalimat
KARENA GURU LEBIH PANDAI DARI MURID, SEBAIKNYA LIMA SOAL INI DIJAWAB OLEH PAK GURU SAJA. Pita Loka ...
Gumara ternyata bukan guru sembarangan. Setelah membaca itu, ia peragakan kertas itu ke hadapan murid-murid itu, disertai tanya “Siapa Pita Loka yang cukup sok ini?”
“Saya, Pak Guru” jawab gadis itu.
“Oh kamu, ya. Saya minta kau beristirahat di luar kelas saja”, ucap Gumara cukup lembut, tapi tegas.
Seketika kelas pun hening. Wajah Pita Loka merah padam alasannya dlanggapnya dirinya dipermalukan guru gres itu. Tapi ia pun cukup tabah, Dia merentak berdiri, kemudian melangkah dengan masgul meninggalkan kelas. Seperginya, Gumara berkata penuh wibawa “Harap kau ketahui, setiap pekerjaan bersama, butuh pimpinan.
Begitupun belajar, ialah pekerjaan bersama. Guru, dalam hal ini saya, jadi pimpinan.
Kaprikornus setiap yang membuat hilangnya wibawa dalam satu pekerjaan bersama, dianggap melanggar konsensus, dan ia berhak mendapatkan perintah semoga minggir. Jelas oleh kalian?”
Murid-murid semuanya terdiam.
Murid-murid kelas yang melongo itu mendadak menjerit. Karena mereka melihat Pak Guru Gumara muntah. Lalu bergumpal darah pun turut dimuntahnya.
“Pak Guru muntah darah!” teriak di antara mereka. Pita Loka mendengar juga bunyi itu. Lalu ia menjenguk ke dalam. Bahkan ia juga mendengar bunyi sumbang dalam kelasnya “Wah, Pak Guru dikerjain oleh Pita Loka”. Mendadak saja bunyi gumam dugaan itu terhenti alasannya terdengar bentakan seorang gadis yang gres masuk ke kelas itu, dari kelas lain “Kalian jangan menyebar fitnah!”
“Hai, Harwati!” seru Pita Loka yang meloncat masuk kelas.
Pak Guru Gumara masih mengurut dadanya yang dirasanya terbakar, untuk mengurangi darah yang meleleh dari bibirnya.
“Saya jadi terkena fitnah, Wati”, kata Pita Loka. Tetapi Harwati rupanya tidak menjawab. Dia sedang berkonsentrasi dengan menyerap saringan napas, Tiap serapan yang dilakukannya, Gumara merasa napasnya teratur. Dan panas yang memperabukan dada berkurang. Harwati terus bagai orang bersemedi dengan kedua tangan bersilang di dada.
Rupanya Harwati membuat baskom absurd antara pernapasan Gumara dengan pernapasannya. Lalu, puncaknya yang menegangkan semua orang, ialah perilaku Harwati yang hening meniupkan napasnya keluar mulut. Terciptalah pemandangan absurd mengagumkan. Dari mulutnya keluarlah gelembung-gelembung merah jambu bagai gelembung sabun. Tiap gelembung itu menabrak dinding dan pecah disana , tampaklah bercik merah muda itu menjadi semacam percikan darah.
Pada puncak yang paling menegangkan, ketika Harwati menghembuskan gelembung terakhir, bukan gelembung lagi yang terlempar dari mulutnya. Melainkan segumpal darah beku.
Baru sesudah itu ia berkata; “Tolong berikan padaku segelas air putih”. Beberapa murid bersibuk diri mendapatkan segelas air putih dari warung depan sekotah. Lalu Harwati berkumur-kumur dengan air itu. Setelah itu barulah ada gema pembicaraan dari murid ke murid, guru ke guru, dan juga Kepala Sekolah.
Pita Loka terkagum-kagum, kemudian duduk di bangkunya, Gumara berkata pada Wati, “Terimakasih atas bantuanmu, Dadaku kini lapang”.
Betapa gembira hati Harwati oleh ucapan itu. Wajahnya tak sanggup menyembunyikan rasa besar hati dan bahagia. Matanya melirik pada Pak Guru Gumara dengan lirikan getaranasmara , Lalu
“Kembalilah kau ke kelasmu”, ujar Gumara.
Harwati kembali ke kelasnya. Gumara kembali bangkit menghadapi muridnya. Dia menatap pada Pita Loka. Kelas tegang sejenak, begitu pun Pita Loka.
“Bapak curiga pada saya?” Pita Loka bertanya dengan nada cemas.
“Kamu begitu manis, tak mungkin melaksanakan hal yang kecil”, jawab Gumara.
Mendengar itu Pita Loka tersenyum ceria . Dia mengacukan telunjuk. Gumara heran. Bertanya “Mau apa kamu, Pita Loka?” tanya sang guru,
“Saya mohon sanggup menjawablima soal Bapak di papan tulis”, ujar Pita Loka.
Gumara tercengang. Dia melihat ke papan tulis di mana terteralima soal yang dibuatnya untuk seluruh murid, tapi yang tak dikerjakan Pita Loka.
“Silahkan ke depan”, ujar Gumara.
Pita Loka mengambil sebatang kapur tulis. Dengan cepat dikerjakan satu demi satu soal matematika itu. Seluruhnya diselesaikannya dalamlima menit saja, Gumara tercengang dan berseru “Wah, kau anak genius!”
“Semua soal betul jawabannya”, tambah sang guru dengan nada kagum. Mendengar kebanggaan itu, Pita Loka kelihatan berbinar-binar matanya. Dan dengan malu-malu ia berkata bernada renyai, “Tapi sepandai-pandai saya, tentu lebih pintar Pak Guru”.
“Ayahmu Tuan Guru Putih Kelabu, ya?” tanya Gumara.
“Koq Bapak tahu?” tanya Pita Loka senang.
“Saya tahu”, ujar sang guru.
Murid yang elok itu tampak senang sembari memperbaiki cuilan depan rambutnya.
Karena diperhatikan seluruh biji mata di kelas, gadis inipun jadi salah tingkah. Lalu ia berkata “Maafkan kesalahan saya tadi hingga saya diusir. Tapi Pak. alasannya kebetulan Bapak saya Ki Putih Kelabu, harap Bapak dan teman-teman sokelas ini jangan lagi meragukan bahwa muntah darah Bapak tadi alasannya perbuatan saya. Saya memang berilmu. Tapi ilmu matematika. Ilmu akal. Bukan ilmu akal-akalan”.
“Percayalah, Bapak dan teman-temanmu tak mencurigaimu, Pita Loka dan selanjutnya marilah kita lanjutkan pelajaran dengan rumus baru”, ujar Gumara. Lalu ketika jam istirahat tiba, muncullah pembicaraan di emper-emper sekolah itu pertaruhan dan spekulasi.
“Aku bertaruh, Pita Loka yang nantinya jadi isteri Pak Gumara”, ujar seorang gadis.
“O, tak mungkin. Harwati yang akan jadi tunangannya”.
“Apa alasanmu, Rika?”
“Alasanku menurut budi baik. OrangIndonesia itu, betapapun tinggi derajat atau kesombongannya, masih bertolak pada budi baik. Dan orangIndonesia termasuk penduduk bumi yang suka membalas budi. Bukankah ketika Pak Gumara muntah darah, yang menolongnya sembuh ialah Harwati? Tentu Pak Gumara suatu ketika akan membalas budi itu, dan yang terkekal ialah melamarnya?”
Setelah Rika menjelaskan alasannya, temannya Dina menangkis pula “Tapi taruhlah Pak Gumara ingin membalas budi. Apakah harus selalu dengan Cinta?”
“Pembalasan budi yang terbaik ialah menentukan tanggapan yang terbaik dari semua yang baik. Yang terbaik risikonya ialah jalinan kasih melalui cinta”, ujar Rika.
“Tapi Pak Gumara sepertinya jenis lelaki yang berbeda”, kata Dina.
“Berbeda bagaimana?” tanya Rika.
“Istimewa. Kulihat ia tidak begitu kagum dengan pengobatan Harwati. Reaksi wajahnya wajar-wajar saja. Tetapi ketika dilihatnya Pita Loka menyelesaikanlima soal dalamlima menit saja, wajah Pak Gumara bersinar berbinar-binar. Kagum dan tercengang. Ini bisa membuat bibitasmara ”.
Bersambung...