Cerita Silat: Pantang Berdendam 11 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Beberapa cewek bertepuk tangan atas analisa Dina Cerita Silat: Pantang Berdendam 11 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Beberapa cewek bertepuk tangan atas analisa Dina. Rika sediri pun terecengang. Memang penduduk Kumayan telah diwarisi perilaku budaya yang merupakan paduan tehnologi dan cara berfikir maju bersamaan dengan tradisi kuno yang dipelihara, termasuk ilmu-ilmu ghaib. Remajanya paling suka menganalisa sesuatu secara rasional, namun tetap pula menghargai yang tradisional tapi yang belum terpecahkan oleh tehnologi dan ilmu mutakhir, menyerupai ilmu-ilmu ghaib dan soal paranormal.
Rika kemudian berdebat; “Aku melihat, dan mendengar sendiri, bahwa Harwati menaruh cinta pertama lewat pandangan pertama pada Pak Gumara”.
“Lalu kau bikin kesimpulan Harwati sanggup menarik simpati?”
Dina mendebat, dan melanjutkan debatnya “Lalu dengan demikian kau beranggapan bahwa Harwati dengan gampang sanggup mencantol Pak Gumara?”
“Hai, saya koq jadi materi gunjingan?” mendadak muncul saja Harwati ke kelompok itu bersama Pita Loka.
“Kurasa akulah yang sanggup mencantol Pak Guru”, ujar Pita Loka. Ucapan Pita Loka ini mengagetkan Harwati. Telinganya merah padam seakan disengat kala. Harwati melirik pada Pita Loka dan berkata “Kamu memang yang tercantik, Pita Loka. Tetapi dalam soal cantol menyantol itu ada faktor nasib”.
“Wah Nasib? Apa itu ada rumusnya?” tanya Pita Loka.
“Rumusnya di tangan Tuhan”, jawab Harwati.
“Jawabmu itu tidak ilmiah”, kata Pita Loka.
“Tapi cantol menyantol dan sejenisnya yang berjulukan cinta itu “kanmasuk dalam pembagian terstruktur mengenai jodoh”, ucap Harwati.
“Jadi kau akan memojokkan saya, yang pada balasannya tiba kita pada dogma, bahwa jodoh, langkah, rejeki dan final hidup ada di tangan Tuhan?” debat Pita Loka.
Dina dan Rika memperhatikan dengan tekun perdebatan itu, terlebih murid lain yang ber-IQ rendah. Tampaknya Harwati terdesak, kemudian berkata “Di atas kertas memang kau yang paling menerima simpati Pak Guru. Karena kau Jagoan matematika.
Karena kau cantik. Karena kau puteri Tuan Guru Terpandang, Putih Kelabu yang bijak bestari. Tetapi dari fihakku sudah terekam sejarah, Yaitu kepada siapa pertama kali Pak Guru menghadap insan di Kumayan ini. Ya, semua tahu beliau menghadap Ki Karat, kendati beliau dijuluki Harimau Komersil dari yang iri hati. Bukankah kau sendiri saat kita bertengkar dulu menyebutku dengan ajukan Puteri Harimau Komersil? Ingat?”
“Wah, sorry. Ini bukan debat sehat lagi. Unsur emosi sudah terlibat. Makara saya mundur dari pembicaraan”, kata Pita Loka kemudian meninggalkan teman-teman gadis sebaya, masuk ke dalam kelas.
“Aku pendukungmu”, ujar Rika memegang pundak Harwati,
“Dan saya pendukung Pita Loka”, kata Dina.
“Wajar, lantaran di kelasmu engkau juara matematika juga”, tuding Harwati dengan tertawa renyai.
Setelah itu kelompok itu membubarkan diri alasannya yaitu lonceng masuk kelas sudah berbunyi. Tetapi di dalam kelas, Harwati tampak begitu gelisah. Seakan hatinya tak sabaran lagi menanti Pak Gumara masuk mengajar di kelasnya.
Gumara memasuki kelas Harwati dengan senyum yang lega. Tentu hal ini menciptakan Harwati senang, Tetapi beliau benar-benar merasa risau lantaran sudah niscaya Pak Gumara terkena racun.
Kebetulan Pak Gumara memperlihatkan soalan matematika yang musti diselesaikan dalam kelas. Makara Pak Gumara harus berkeliling dari bangku-kebangku. Untuk memperhatikan apa yang diperbuat setiap murid. Pada giliran Pak Gumara hingga ke dingklik Harwati, Harwati bertanya “Apa sehabis maghrib Bapak ada waktu ke mmah saya?” Gumara agak kaget. Dia bertanya “Untuk keperluan apa?”
“Ya, siapa tahu ada yang sanggup Bapak bicarakan dengan Ayahku”, ujar Harwati. Gumara segera faham. Harwati yaitu puteri Lebai Karat, seorang guru yang disegani di Kumayan.
“Saya rasa, saya memang perlu datang”, ujar Gumara.
“Terimakasih, Pak”, ujar gadis itu.
Gumara pulang dari mengajar dengan pikiran tenang, Ketika Yunus tiba membawa kuliner rantang, Gumara bertanya; “Pak Yunus. Saya ingin bertanya. Sebagai penduduk gres di Kumayan ini, apa kedatangan saya melukai hati Pak Tarikh?”
“Melukai hati?” tanya Pak Yunus heran.
“Lebih baik Pak Yunus tidak menyembunyikan sesuatu. Tiap Pak Yunus membawa kuliner ke sini, apakah Bapak tak pernah curiga?”
“Curiga bagaimana?” tanya Yunus.
“Bahwa kuliner itu berisi racun?” tanya Gumara.
Mata Gumara dengan tajam menatap pada Pak Yunus.
“Anda mungkin belum mengenal saya”, ujar Gumara.
“Jangan tuduh saya menjadi mediator si pemberi racun. Saya cuma membawa kuliner rantang. Tapi tak pernah berfikir bahwa kuliner yang saya bawa ini diberi racun oleh ibu atau Pak Tarikh”.
“Tadi siang saya muntah darah di depan kelas”, ujar Gumara.
Yunus terdiam, tapi beliau ketakutan.
“Kalau begitu sebaiknya kuliner yang saya bawa ini jangan Pak Guru makan lagi”, kata Yunus,“Wah, itu tindakan tidak terpuji”, Ujar Gumara.
“Daripada anda mati terkena racun? Bukankah itu perbuatan tolol ?” “Biarkan kuliner rantang ini dikirimi terus. Tapi ... “, Gumara mengambil rantang demi rantang. Lalu beliau berkata “Mari ikuti saya!”
Pak Yunus mengikuti Gumara menuju kamar mandi. Dan beliau terpelongo saat Gumara membuang kuliner itu. Terlebih kaget lagi saat Gumara didengarnya berkata geram “Makanan dari setan, sebaiknya untuk setan”.
Lalu kuliner yang sudah ditumpah ke lantai kamar mandi itu disiram Gumara “Siapa yang belum kenal siapa Gumara Peto Alam mestilah menganggap beliau leceh. Tapi saya pernah digelari ibuku sipahit pengecap ”.
Dengan meludahi bekas-bekas kuliner itu, Gumara berkata geram; “Kembali pada yang mengirimkan”
Ia meludah lagi “Semoga pahit terus lidahku!”
Ucapan Gumara bagaikan angin taufan yang sanggup merubuhkan raksasa dalam sedetik. Pada detik itu pula, Bu Tarikh jatuh terpeleset di kamar mandi. Dia bagaikan orang kemasukan. Dia menggelepar. Pak Tarikh datang. Lalu menggotong isterinya masuk ke kamar tidur.
Wanita itu mengigau “Aku melihat raja harimau saat masuk kamar mandi!”
“Ha?” Tarikh melotot
“Raja Harimau!” teriak bu Tarikh.
“Tentu kau lagi diteluh oleh si Lebai Karat!”
“Bukan! Bukan Lebai Karat!”
“Siapa? Lading Ganda?” desak Tarikh.
“Harimau yang tidak kukenal di sini. Harimau perkasa!”
Pak Tarikh mencoba memikirkan sesuatu.
Tiba-tiba beliau melotot melihat isterinya muntah darah.
Lelaki itu serentak berteriak “Kau muntah darah! Kau diracun orang!”
Wanita itu menangis terus, dan menggugu-gugu. Lalu dalam keadaan tak sadarkan diri beliau berkata “Tolong panggilkan Guru Peto Alam”.
“Siapa itu? Siapa Guru Peto Alam?” tanya Pak Tarikh.
“Yang mengajar matematika, guru baru!”
“Gumara?” tanya Tarikh lebih tercengang.
“Cepat panggilkan sebelum saya mati. Dialah harimau raksasa itu! Cepat, cepat, cepattttt!”,
Darah kental terus meleleh, sementara Pak Tarikh dengan naik sepeda cepat menuju rumah Gumara. Ia cuma menemukan Pak Yunus yang berada di rumah itu.
“Dia sedang pergi”, kata Yunus.
“Kemana?”
“Entah”.
Pak Tarikh jadi kebingungan.
Ki Lebai Karat menatap tajam pada mata Gumara “Anda sebaiknya segera pulang. Aku tahu, ada seseorang yang membutuhkan kau, Peto Alam.
“Membutuhkan saya, Pak?”
“Ya. Dia dalam keadaan sekarat”.
“Siapa dia?” tanya Gumara heran.
“Seorang wanita”.
“Wanita?”
“Jika kau tidak segera menemuinya, beliau akan mati”, ujar Ki Karat.
Gumara damai bertanya “Katakan pada saya nama perempuan itu !”
“Kau tau”.
“Tidak, Pak. Demi Tuhan saya tak kenal”.
Ki Lebai Karat hanya tersenyum ramah. Lalu dibelainya kepala Gumara seraya berkata; “Peto Alam. Kau cepat saja meninggalkan kawasan ini, Isteri si Tarikh sedang sekarat membutuhkan kau. Kukatakan untuk kedua kalinya, jikalau kau tak segera menolongnya, beliau mati. Nanti kau berdosa, nak!”
Harwati berada di pintu, berusaha mencegat Gumara sewaktu Gumara akan keluar.
Tapi tak sempat beliau mengucapkan sepotong katapun. Malah beliau ternganga melihat Gumara meloncat dan berlari secepat kilat bagaikan angin limbubu!
Dan bagaikan angin limbubu tampaknya Gumara menerjang pohon-pohon kecil yang berpatahan. Konsentrasi Gumara yang ahli telah mengalahkan seluruh jurang kecil maupun sungai kecil yang beliau lompati, demi tertolongnya nyawa Bu Tarikh.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel