Cerita Silat: Pantang Berdendam 8 - Seri Tujuh Insan Harimau
Senin, 10 November 2014
Sebelumnya...
Semua perilaku dan ucapannya serba polos. Tapi bagi Lading Ganda justru kepolosan demikian tidak dikehendakinya. Dia merasa, tak pernah ada seseorang yang berani menolak ajakannya. Baru anak muda inilah! Yang pertamakali pula! Jadi, fikir tua, orang begini mesti dicoba.
Sewaktu Gumara bangun sehabis bersalaman pamitan pada Lading Ganda, sebelum ia tegak lurus berdiri, sebuah tendagan sapu menyapu pantatnya. Gumara terjungkir di permukaan batu-batu pualam di ruangan itu. Dia malahan menyerosot meluncur.
Ketika kepalanya hampir membentur dinding, untunglah ada gerak refleks sehingga bahunyalah yang menghantam dinding. Memang cukup sakit juga.
Gumara belum pernah berkelahi. Dengan siapapun, sejak kanak. Makara dia tidak tahu cara mengelakkan serangan sewaktu dia dengar ucapan Lading Ganda; “Anak Keparat!” disertai satu tendangan yang hampir mencopot kepalanya andaikan dia tak menghindari tendangan itu dengan menunduk. Semua kemampuan mengelak itu bukannya alasannya yakni dia pandai bersilat Bahkan dia sendiri tercengang sewaktu badan Pak renta melontar ke langit-langit kemudian turun cepat mau menginjaknya, namun Gumara bergulung-gulung menghindari injakan demi injakan yang gagal itu.
Malahan, saking ngeri, karenanya Gumara lari tunggang langgang meninggalkan padepokan. Dan malahan dia amat terheran-heran, mengapa dia sanggup lari sedemikian cepatnya ibarat derasnya angin limbubu.
Padahal tadi sewaktu mengikuti langkah cepat Pak renta Lading Ganda dia merasa lelah.
Kini, di depan kantor Kakanwil, Gumara sedikit pun tak merasa lelah. Dia malahan santai. Masuk menghadap. Segala pembicaraan menjadi lancar. Juga dia merasa amat lancar sewaktu menghadap Pak Camat memperkenalkan diri, terlebih lagi menghadap Pak Direktur Sekolah Menengah Pertama dan berkenalan dengan semua guru. Yang mencengangkan dia, dia cukup merasa kondusif dikala berkenalan dengan pak Tarikh, malahan dipeluk oleh guru renta itu ibarat bapak memeluk anaknya.
“Nanti jam 10.30 giliran saya mengajar, sebaiknya Pak Gumara bersama saya masuk kelas dan saya perkenalkan dengan murid-murid”, ujar Pak Tarikh. Keramahan Pak Tarikh ini pun sesungguhnya tidak menerbitkan rasa jengkelnya kepada Pak Lading Ganda. Atau mau menuduhnya si renta pendusta Tidak! Dia cuma mendapat kesan tercengang-cengang saja dari seluruh pengalaman singkat namun bertubi-tubi sejak dia memasuki wilayah Kumayan ini.
Maka, dikala sehabis diperkenalkan dan dipersilakan mengajar di Kelas I B itu, Gumara menganggap dirinya bukan sebagai guru gres di sekolah ini.
“Kalian pernah mendapat pelajaran matematika dari Pak Tarikh. Dan saya akan mengulangi sedikit dari pelajaran dasar, sekedar sebagai ulangan. Dan ini bukan berarti pelajaran dari saya berbeda dari Pak Tarikh. Maksud saya cuma menjelaskan, bahwa yang yang saya ulangi yakni semua yang pernah diajarkan Pak Tarikh”, kata Gumara. Hal itu diucapkannya satelah guru renta tadi keluar kelas.
“Jangan kira saya lebih pandai dari Pak Tarikh. Karena dia guru senior, lebih tua.
Lebih berpengalaman. Tentulah dia lebih pandai dari saya. Saya gres berpengalaman dua tahun mengajar. Itupun sebagai guru bantu. Berhubung Pak Tarikh memasuki pensiun. saya ditawari ke sini, dan saya mengajar”.
“Pak Guru”, seorang murid lelaki mengacungkan tangan,
“Yah, nama kau siapa?”
“Dalip, pak. Saya ingin menanyakan apakah betul Pak Guru ditahan polisi kemarin pagi?”
Gumara hanya tersenyum dan menjawab ramah “Itu dilema langsung yang akan menghabiskan waktu jikalau dibeberkan dikelas ini. Tapi oke saya jawab singkat Saya ditahan, itu benar. Tapi saya tadi pagi dibebaskan dari tahanan, juga benar Buktinya kini saya mengajar disini”.
Enak memang pengalaman pertama pada siang ini bagi Gumara. Tapi yang tidak enak, sesudah dia diberi sepeda oleh Direktur SMP, masih menuntun sepeda, ada bunyi teguran dari arah warung kopi “Pak Guru Gumara!”,
Gumara menoleh ke arah warung.
Bah!Ada seseorang yang nyengir. Melambai padanya. Dan dia yakni Pak Lading ganda, yang melambai berseru “Mari masuk makan siang bersamaku!”
Ajakan ini sungguh sebuah tantangan. Tak mungkin seorang guru makan di warung yang memberi kesan inilah warung preman, manusia-manusia koboi. Gumara hanya menghampir menuntun sepeda, kemudian berkata “Maaf, terimakasih”.
Lalu akan dinaikinya sepedanya itu. Tapi terdengar bunyi desis pada ban belakang.
rupanya gembos. Eh, ban depan berdesis juga.
Bersambung...
Semua perilaku dan ucapannya serba polos. Tapi bagi Lading Ganda justru kepolosan demikian tidak dikehendakinya. Dia merasa, tak pernah ada seseorang yang berani menolak ajakannya. Baru anak muda inilah! Yang pertamakali pula! Jadi, fikir tua, orang begini mesti dicoba.
Sewaktu Gumara bangun sehabis bersalaman pamitan pada Lading Ganda, sebelum ia tegak lurus berdiri, sebuah tendagan sapu menyapu pantatnya. Gumara terjungkir di permukaan batu-batu pualam di ruangan itu. Dia malahan menyerosot meluncur.
Ketika kepalanya hampir membentur dinding, untunglah ada gerak refleks sehingga bahunyalah yang menghantam dinding. Memang cukup sakit juga.
Gumara belum pernah berkelahi. Dengan siapapun, sejak kanak. Makara dia tidak tahu cara mengelakkan serangan sewaktu dia dengar ucapan Lading Ganda; “Anak Keparat!” disertai satu tendangan yang hampir mencopot kepalanya andaikan dia tak menghindari tendangan itu dengan menunduk. Semua kemampuan mengelak itu bukannya alasannya yakni dia pandai bersilat Bahkan dia sendiri tercengang sewaktu badan Pak renta melontar ke langit-langit kemudian turun cepat mau menginjaknya, namun Gumara bergulung-gulung menghindari injakan demi injakan yang gagal itu.
Malahan, saking ngeri, karenanya Gumara lari tunggang langgang meninggalkan padepokan. Dan malahan dia amat terheran-heran, mengapa dia sanggup lari sedemikian cepatnya ibarat derasnya angin limbubu.
Padahal tadi sewaktu mengikuti langkah cepat Pak renta Lading Ganda dia merasa lelah.
Kini, di depan kantor Kakanwil, Gumara sedikit pun tak merasa lelah. Dia malahan santai. Masuk menghadap. Segala pembicaraan menjadi lancar. Juga dia merasa amat lancar sewaktu menghadap Pak Camat memperkenalkan diri, terlebih lagi menghadap Pak Direktur Sekolah Menengah Pertama dan berkenalan dengan semua guru. Yang mencengangkan dia, dia cukup merasa kondusif dikala berkenalan dengan pak Tarikh, malahan dipeluk oleh guru renta itu ibarat bapak memeluk anaknya.
“Nanti jam 10.30 giliran saya mengajar, sebaiknya Pak Gumara bersama saya masuk kelas dan saya perkenalkan dengan murid-murid”, ujar Pak Tarikh. Keramahan Pak Tarikh ini pun sesungguhnya tidak menerbitkan rasa jengkelnya kepada Pak Lading Ganda. Atau mau menuduhnya si renta pendusta Tidak! Dia cuma mendapat kesan tercengang-cengang saja dari seluruh pengalaman singkat namun bertubi-tubi sejak dia memasuki wilayah Kumayan ini.
Maka, dikala sehabis diperkenalkan dan dipersilakan mengajar di Kelas I B itu, Gumara menganggap dirinya bukan sebagai guru gres di sekolah ini.
“Kalian pernah mendapat pelajaran matematika dari Pak Tarikh. Dan saya akan mengulangi sedikit dari pelajaran dasar, sekedar sebagai ulangan. Dan ini bukan berarti pelajaran dari saya berbeda dari Pak Tarikh. Maksud saya cuma menjelaskan, bahwa yang yang saya ulangi yakni semua yang pernah diajarkan Pak Tarikh”, kata Gumara. Hal itu diucapkannya satelah guru renta tadi keluar kelas.
“Jangan kira saya lebih pandai dari Pak Tarikh. Karena dia guru senior, lebih tua.
Lebih berpengalaman. Tentulah dia lebih pandai dari saya. Saya gres berpengalaman dua tahun mengajar. Itupun sebagai guru bantu. Berhubung Pak Tarikh memasuki pensiun. saya ditawari ke sini, dan saya mengajar”.
“Pak Guru”, seorang murid lelaki mengacungkan tangan,
“Yah, nama kau siapa?”
“Dalip, pak. Saya ingin menanyakan apakah betul Pak Guru ditahan polisi kemarin pagi?”
Gumara hanya tersenyum dan menjawab ramah “Itu dilema langsung yang akan menghabiskan waktu jikalau dibeberkan dikelas ini. Tapi oke saya jawab singkat Saya ditahan, itu benar. Tapi saya tadi pagi dibebaskan dari tahanan, juga benar Buktinya kini saya mengajar disini”.
Enak memang pengalaman pertama pada siang ini bagi Gumara. Tapi yang tidak enak, sesudah dia diberi sepeda oleh Direktur SMP, masih menuntun sepeda, ada bunyi teguran dari arah warung kopi “Pak Guru Gumara!”,
Gumara menoleh ke arah warung.
Bah!Ada seseorang yang nyengir. Melambai padanya. Dan dia yakni Pak Lading ganda, yang melambai berseru “Mari masuk makan siang bersamaku!”
Ajakan ini sungguh sebuah tantangan. Tak mungkin seorang guru makan di warung yang memberi kesan inilah warung preman, manusia-manusia koboi. Gumara hanya menghampir menuntun sepeda, kemudian berkata “Maaf, terimakasih”.
Lalu akan dinaikinya sepedanya itu. Tapi terdengar bunyi desis pada ban belakang.
rupanya gembos. Eh, ban depan berdesis juga.
Bersambung...