Cerita Silat: Pantang Berdendam 7 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Sebelum langkahnya berbelok di simpang jalan yang menuju Kantor Kakanwil Cerita Silat: Pantang Berdendam 7 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Sebelum langkahnya berbelok di simpang jalan yang menuju Kantor Kakanwil, terdengar seorang menegur “Nak Gumara”.Gumara menoleh. Kaget sekali dia. Tapi juga bahagia sekali. Sebab orang yang menegurnya itu ialah seseorang kawasan Dia seharusnya berterimakasih. Dialah Pak Lading Ganda.
“Mau ke mana?” tanya Lading Ganda.
“Pagi ini saya harus laporan pada Pak Kakanwil”.
“Mari mampir ke padepokan saya dulu”, ujar Lading Ganda.
Gumara ragu. Lalu Pak renta itu berkata “Jika kau berkeberatan, lain waktu saja”,
“Wah, kalau saya berkeberatan, saya jadi insan tak berbudi, pak”.
“Nah katau begitu silahkan mampir”, ujar si renta itu.
Gumara memindahkan letak map ketangan kiri, Dia mengikuti langkah lelaki renta itu. Jalan orang renta itu begitu cepat. Kaprikornus Gumara harus mengepit map lebih berpengaruh dan melangkah lebih cepat.
Tapi...
Jarak ke padepokan pak renta ini sepertinya jauh. Keringat sudah mulai terasa di sekitar ketiak dan krah baju, Namun Gumara harus melangkah lebih cepat lagi, alasannya Lading Ganda setiap disusul sepertinya malah mempercepat. Dan lantaran lelaki renta itu beberapa meter di depan Gumara, Gumara mencicipi ada wangi bangkai dari arah depan.
Ibunya dulu pernah berkata semasa beliau kecil, bahwa orang yang mempunyai ilmu penjelmaan harimau mempunyai pula wangi bangkai, walaupun pada saat-saat tertentu saja.
Tapi perjuangan Gumara untuk menyusul pak renta yang bersicepat itu jadinya berhasil. Dan ada kesan mengejutkan ketika beliau mengikuti masuk pekarangan padepokan itu. Yaitu satu badan melintas di depan Gumara, bagai gres terlempar. Tubuh berbaju hitam-hitam itu terlempar sungguhan, menerjang rumpun pohon nenas. Dan pohon nenas itu terbongkar sampal akar-akamya.
“Mereka muridku. Mereka latihan. Jangan kaget”, kata Pak Lading Ganda. Hanya tiga orang sedang berlatih. Gumara terpaksa mencopot sepatu. ini mengikuti Pak Lading yang mencopot sandalnya.
“Mari masuk”, ujar Lading Ganda.
Gumara agak ragu, sehingga orangtua tadi mengulangi undangan masuknya. Lalu Gumara melewati pendopo latihan itu. Dan masuk lewat pintu tak berdaun itu.
Ada ruangan lebar di dalam. Ditiap sudut ada pot-pot berisi menyan yang dalam keadaan berasap. Tapi baunya tak menyengat, alasannya cukup semerbak bagi hidung Gumara.
Pak Lading Ganda sudah bersila. Ujarnya; “Silahkan bersila saja di hadapanku”. Gumara “menaruh map di pahanya ketika bersila. Tapi Pak Lading memungut map itu seraya berkata “Yang di dalam ini semua tidak begitu penting di bandingkan persahabatan di antara kita”.
“Tentu, pak”
“Jika kau ke Kumayan cuma mau menjadi Guru di Sekolah Menengah Pertama itu, tentu ada seseorang yanq berkecil hati”, kata Pak Lading,
“Kenapa begitu, pak?” tanya Gumara.
“Yah.Ada guru renta yang harus kau gantikan”, kata Pak renta itu.
“Wah soal itu saya kurang tahu. Yang jelas saya diharapkan mengajarkan ilmu matematika dan fisika di Kumayan ini”, kata Gumara.
“Hidup ini jangan hingga mengecilkan hati orang lain. Sebelum kau datang, Pak Tarikh sudah bersedih hati. Sebab dialah yang akan minggir dan kau maju sebagai penggantinya. Nah, sebelum kau mati konyol diracun si Tarikh, ada baiknya ikuti nasehatku!”
Gumara, betapapun harus berterimakasih, betapapun harus menghormati Pak Lading yang berbudi ini, beliau merasa harus terlebih dahulu menghormati kiprah yang dibebankan padanya.
“Atau kau akan bersedia mati diracun?” tanya Pak Lading Ganda.
“Tapi saya belum mengerti maksud Bapak”, kata Gumara.
“Mudah saja. Mari kita bakar saja map ini, yang saya tahu berisisurat perintah kiprah mengajar di Kumayan sini, di Sekolah Menengah Pertama sini. Kau tahu, saya membutuhkan murid, dan itu ialah kau. Sebab kau seorang bibit unggul”, kata Lading Ganda. Suaranya berusaha menekan, mempengaruhi, dan ingin menaklukkan Gumara secara tuntas. Justru cara beginilah yang tak disukai Gumara, betapapun beliau berhutang kebijaksanaan pada lelaki renta ini.
Lalu Gumara berusaha tak menyinggungnya. Yaitu menampilkan perilaku tanpa kata. Yaitu cuma mengambil map itu, seraya berkata “Terima kasih atas undangan Bapak. Ajakan itu mulia. Cuma, itu lebih baik lain kali saja”.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel