Cerita Silat: Pantang Berdendam 18 - Seri Tujuh Insan Harimau
Selasa, 11 November 2014
Sebelumnya...
Tekad Pita Loka semakin berkobar, dikala suatu pagi dia pergoki Harwati barusan saja ke luar dari rumah Guru Gumara. Kobaran itu tak lain dan tak bukan yakni tujuan untuk mencar ilmu kepada Harimau Tunggal yang kawasan pertapaannya yakni di BukitTunggal. Pita Loka merasa pedih hatinya lantaran dia telah dipotong kompas oleh Harwati secara kurang jujur. Hatinya berkata “Suatu ketika, saya akan membalas dendam.”
Karena cemburu butanya itu, setiba Harwati di sekolah, Pita Loka mencegatnya. Matanya bemyala, nafasnya sesak. Dia tidak lagi memakai nalar sehat yang dia agungkan selama ini. Dia pribadi main todong tanya “Hai, semenjak subuh atau semenjak semalam kau di rumah Guru Gumara ?”
Harwati tahu apa maksud pertanyaan itu. Karena itu dia cuma berkilah, sekedar memanaskan hati Pita Loka, dengan jawaban; “Itu diam-diam pribadi.”
“Kau sudah melaksanakan persaingan tak jujur, Wati”, ujar Pita Loka.
“Itu masuk akal saja,kan ? Kurasa, saya sah yang pertama jatuh cinta dengan pandangan pertamaku. Kaprikornus saya berhak menghalangi siapapun untuk menyayangi dia, dengan cara apapun. Kejujuran dalam bercinta hanya bagi dua insan yang bercinta saja, kepada siapapun di luar yang berdua, boleh saja kita berdusta. Dusta itu halal demi eratnya pertalian hidup.”
“O, begitu falsafahmu ya?” Pita Loka mulai panas.
“Kau jangan coba laga tenaga denganku. Injak dulu olehmu bara panas dengan telapak kaki telanjang, nanti gres kau berhak melawanku”, ujar Harwati.
Ucapan Harwati semakin memperteguh tekad Pita Loka untuk mendapatkan gelar Harimau. Gumara tak berhak untuk mendapatkan gelar Harimau Yang Ketujuh, lantaran dia bukan orang aseli Kumayan, fikirnya. Aku akan mendahului dia sebelum penduduk Kumayan menobatkannya sebagai harimau terakhir di negeri ini.
“Berani kau menginjak bara api?” tanya Harwati menantang.
Pertengkaran itu akrab pagar. Kebetulan ada orang merokok di warung. Harwati meminjam rokok orang itu dan mendemonstrasikan ilmunya. Te!apak kakinya yang higienis kemerahan itu, disundutnya dengan api di ujung rokok. Perlahan, perlahan, dan dengan perlahan api itu padam. Harwati pribadi berkata “Lihat, api padam, tapi tak ada bekas melepuh atau memar di permukaan telapak kakiku. Kau mau coba menyerupai yang kulakukan tadi?”
Pita Loka jadi malu, kuatir dia akan gagal.
Dengan murung tanpa sepatah kata pun, dia masuk kelas. Dalam kelas, pelajaran guru-guru lain, diperhatikan dengan tekun. Terutama dikala ibu Wamiri mengajar mata pelajaran Sejarah. Pita Loka bertanya “Apakah ibu pernah mendengar nama Harimau Tungga!?”
“Siapa itu, Pita ?”
“Dia seorang hero besar. Apa tercatat dalam sejarah, Bu?”
“Kita kurang mengenalnya. Mungkin dia hero kecil, hero lokal”.
“Memang seorang Pahlawan, tidak selalu mesti terkenal. Ketika patroli Belanda akan menyerbu desa Kumayan, hero tak dikenal Harimau Tunggal membiarkan tank- tank musuh itu lewat, Lalu dirubahnya pandangan mata Belanda itu, sehingga semuanya Jatuh masuk tebing. Ketika itu orang berfikir cuma suatu kecelakaan, Bu Guru. Dan Harimau Tunggal tidak menceritakan kisah kepahlawanan itu kecuali pada ayah saya. Maka ia tak dikenal, dia dianggap sebagai hero lokal. Padahal 20 tank musuh yang masuk jurang, Bu!”
“Terimakasih atas keteranganmu, Pita. Tapi ada pertanyaan lain sejalan dengan mata pelajaran yang barusan ibu berikan pada kalian?”
“Adalagi, Bu”, ujar Pita Loka.
“Silahkan, Pita!”
“Guru tidak pernah disebut oleh sejarah, Karena itu sanggup saja seorang Hitler yang tak bermoral diejek-ejek oleh sejarah. Tapi guru yang tak bermoral tak pernah diejek oleh Sejarahkan Bu?”
“Siapa guru yang tak bermoral, Pita?” tanya Bu Wamiri.
“Yaitu guru yang bermain cinta dengan murid perempuan”, ujar Pita Loka.
Seisi kelas tertawa berderai, dikira Pita Loka melucu. Padahal wajah Pita Loka tetap saja geram. Dan dia tetap saja berwajah geram sewaktu Guru Gumara memasuki kelas. Seperti biasa, dia mengembalikan buku-buku PR yang sudah dia periksa.
Pita Loka mendapatkan buku PR-nya, dan tentu sanggup angka 10. Kemudian, menyerupai biasa,Gumara berkata, “Kalian akan bapak berikan rumus baru.”
“Lagi-lagi rumus”, Pita Loka menggerutu.
“Siapa yang menggerutu itu?” tanya Gumara ramah.
Ketika dia menoleh mau melihat yang mengacungkan tangan, Gumara kaget. Sebab selama ini Pita Loka paling getol dengan urusan rumus.
“Hai, koq kau tiba-tiba menyerupai anti matematika?” tanya Gumara.
“Karena matematika tunduk pada rumus, maka matematika tidak mengenal moral.
Kaprikornus saya berpendapat, matematika yakni musuh manusia”, ujar Pita Loka. Gumara tenang, kemudian berkata “Kalau tak suka, silahkan ke luar.”
Pita Loka bukannya murung diusir dari dalam kelas. Malahan dia santai ke luar kelas.
Dan Gumara dengan hening melanjutkan mengajar.
Tapi lebih dulu dia memberi komentar “Saya kagum pada orang pintar. Tapi saya tidak suka pada orang kebelinger. Orang pinter sering kebelinger. Tahu kau apa arti kebelinger? Inilah rumusnya.”
Lalu Guru Gunnara menulis rumus matematikanya di papan tulis;
0 = 0
Barulah dia mengajar rumus yang dia janjikan tadi. Hal ini tidak dibicarakannya kepada Dewan Guru yang biasanya duduk ngobrol pada jam istirahat. Tetapi keesokan harinya, dikala Guru Gumara memasuki kelas, dia melihat ada goresan pena di papan tulis
MATEMATIKA = TANPA MORAL
TANPA MORAL = MUSUH MANUSIA
MATEMATIKA = MUSUH MANUSIA
MUSUH MANUSIA = NOL (0)
MATEMATIKA = NOL (0)
NOL = NOL
0 = 0
Belum pernah Gumara murka dengan wajah merah padam. Kali ini wajahnya merah padam. Dia pribadi menuding PitaLoka “Kamu yang menciptakan rumus konyol itu?”
“Betul, pak. Apa hukumannya kali ini?” tanya Pita Loka.
“Saya akan mengusulkan pada Dewan Guru supaya kau dipecat. Ini kelas, bukan ruang sidang DPR, mengerti ?”
“Saya tidak mengerti”, ujar Pita Loka, “Kalau matematika saya mengerti Pak. Tapi mengerti bukan berarti setuju.”
“Kalau kau tidak oke dengan kurikulum, silahkan minta berhenti.” kata Gumara.
“Saya tak akan minta berhenti. Saya lebih suka dipecat”, ujar Pita Loka.
Gumara menahan geram. Lalu dengan hening dia berkata “Keluar kamu.”
Tapi dengan hening pula Pita Loka ke luar kelas. Juga dengan hening dikala dia menerimasurat pemecatan dari Kepala Sekolah yang disepakati oleh Dewan Guru.Surat itu diserahkannya pada ayahnya. Ki Putih Kelabu hanya menggeleng-gelengkan kepala “Aku tahu. yang kau benci bukan ilmu matematikanya. Tapi Gumara, guru matematikanya.
“Kenapa kau berubah picik?” Pita Loka tahu ayahnya marah, sekalipun berkata lembut. Tapi semula dia kira, pemecatannya itu menciptakan ayahnya berpihak padanya.
Bukan pada Gumara, Maka dengan hati yang luluh, Pita Loka lari ke kamar, dan membanting diri ke kasur.
“Yang menciptakan kau merasa begini, yakni soal jodoh. Soal yang ghaib, yang cuma Tuhan Maha Tahu. Ayah tidak menyangka, kau begini abnormal menyayangi Gumara.
Bersambung...
Tekad Pita Loka semakin berkobar, dikala suatu pagi dia pergoki Harwati barusan saja ke luar dari rumah Guru Gumara. Kobaran itu tak lain dan tak bukan yakni tujuan untuk mencar ilmu kepada Harimau Tunggal yang kawasan pertapaannya yakni di BukitTunggal. Pita Loka merasa pedih hatinya lantaran dia telah dipotong kompas oleh Harwati secara kurang jujur. Hatinya berkata “Suatu ketika, saya akan membalas dendam.”
Karena cemburu butanya itu, setiba Harwati di sekolah, Pita Loka mencegatnya. Matanya bemyala, nafasnya sesak. Dia tidak lagi memakai nalar sehat yang dia agungkan selama ini. Dia pribadi main todong tanya “Hai, semenjak subuh atau semenjak semalam kau di rumah Guru Gumara ?”
Harwati tahu apa maksud pertanyaan itu. Karena itu dia cuma berkilah, sekedar memanaskan hati Pita Loka, dengan jawaban; “Itu diam-diam pribadi.”
“Kau sudah melaksanakan persaingan tak jujur, Wati”, ujar Pita Loka.
“Itu masuk akal saja,kan ? Kurasa, saya sah yang pertama jatuh cinta dengan pandangan pertamaku. Kaprikornus saya berhak menghalangi siapapun untuk menyayangi dia, dengan cara apapun. Kejujuran dalam bercinta hanya bagi dua insan yang bercinta saja, kepada siapapun di luar yang berdua, boleh saja kita berdusta. Dusta itu halal demi eratnya pertalian hidup.”
“O, begitu falsafahmu ya?” Pita Loka mulai panas.
“Kau jangan coba laga tenaga denganku. Injak dulu olehmu bara panas dengan telapak kaki telanjang, nanti gres kau berhak melawanku”, ujar Harwati.
Ucapan Harwati semakin memperteguh tekad Pita Loka untuk mendapatkan gelar Harimau. Gumara tak berhak untuk mendapatkan gelar Harimau Yang Ketujuh, lantaran dia bukan orang aseli Kumayan, fikirnya. Aku akan mendahului dia sebelum penduduk Kumayan menobatkannya sebagai harimau terakhir di negeri ini.
“Berani kau menginjak bara api?” tanya Harwati menantang.
Pertengkaran itu akrab pagar. Kebetulan ada orang merokok di warung. Harwati meminjam rokok orang itu dan mendemonstrasikan ilmunya. Te!apak kakinya yang higienis kemerahan itu, disundutnya dengan api di ujung rokok. Perlahan, perlahan, dan dengan perlahan api itu padam. Harwati pribadi berkata “Lihat, api padam, tapi tak ada bekas melepuh atau memar di permukaan telapak kakiku. Kau mau coba menyerupai yang kulakukan tadi?”
Pita Loka jadi malu, kuatir dia akan gagal.
Dengan murung tanpa sepatah kata pun, dia masuk kelas. Dalam kelas, pelajaran guru-guru lain, diperhatikan dengan tekun. Terutama dikala ibu Wamiri mengajar mata pelajaran Sejarah. Pita Loka bertanya “Apakah ibu pernah mendengar nama Harimau Tungga!?”
“Siapa itu, Pita ?”
“Dia seorang hero besar. Apa tercatat dalam sejarah, Bu?”
“Kita kurang mengenalnya. Mungkin dia hero kecil, hero lokal”.
“Memang seorang Pahlawan, tidak selalu mesti terkenal. Ketika patroli Belanda akan menyerbu desa Kumayan, hero tak dikenal Harimau Tunggal membiarkan tank- tank musuh itu lewat, Lalu dirubahnya pandangan mata Belanda itu, sehingga semuanya Jatuh masuk tebing. Ketika itu orang berfikir cuma suatu kecelakaan, Bu Guru. Dan Harimau Tunggal tidak menceritakan kisah kepahlawanan itu kecuali pada ayah saya. Maka ia tak dikenal, dia dianggap sebagai hero lokal. Padahal 20 tank musuh yang masuk jurang, Bu!”
“Terimakasih atas keteranganmu, Pita. Tapi ada pertanyaan lain sejalan dengan mata pelajaran yang barusan ibu berikan pada kalian?”
“Adalagi, Bu”, ujar Pita Loka.
“Silahkan, Pita!”
“Guru tidak pernah disebut oleh sejarah, Karena itu sanggup saja seorang Hitler yang tak bermoral diejek-ejek oleh sejarah. Tapi guru yang tak bermoral tak pernah diejek oleh Sejarahkan Bu?”
“Siapa guru yang tak bermoral, Pita?” tanya Bu Wamiri.
“Yaitu guru yang bermain cinta dengan murid perempuan”, ujar Pita Loka.
Seisi kelas tertawa berderai, dikira Pita Loka melucu. Padahal wajah Pita Loka tetap saja geram. Dan dia tetap saja berwajah geram sewaktu Guru Gumara memasuki kelas. Seperti biasa, dia mengembalikan buku-buku PR yang sudah dia periksa.
Pita Loka mendapatkan buku PR-nya, dan tentu sanggup angka 10. Kemudian, menyerupai biasa,Gumara berkata, “Kalian akan bapak berikan rumus baru.”
“Lagi-lagi rumus”, Pita Loka menggerutu.
“Siapa yang menggerutu itu?” tanya Gumara ramah.
Ketika dia menoleh mau melihat yang mengacungkan tangan, Gumara kaget. Sebab selama ini Pita Loka paling getol dengan urusan rumus.
“Hai, koq kau tiba-tiba menyerupai anti matematika?” tanya Gumara.
“Karena matematika tunduk pada rumus, maka matematika tidak mengenal moral.
Kaprikornus saya berpendapat, matematika yakni musuh manusia”, ujar Pita Loka. Gumara tenang, kemudian berkata “Kalau tak suka, silahkan ke luar.”
Pita Loka bukannya murung diusir dari dalam kelas. Malahan dia santai ke luar kelas.
Dan Gumara dengan hening melanjutkan mengajar.
Tapi lebih dulu dia memberi komentar “Saya kagum pada orang pintar. Tapi saya tidak suka pada orang kebelinger. Orang pinter sering kebelinger. Tahu kau apa arti kebelinger? Inilah rumusnya.”
Lalu Guru Gunnara menulis rumus matematikanya di papan tulis;
0 = 0
Barulah dia mengajar rumus yang dia janjikan tadi. Hal ini tidak dibicarakannya kepada Dewan Guru yang biasanya duduk ngobrol pada jam istirahat. Tetapi keesokan harinya, dikala Guru Gumara memasuki kelas, dia melihat ada goresan pena di papan tulis
MATEMATIKA = TANPA MORAL
TANPA MORAL = MUSUH MANUSIA
MATEMATIKA = MUSUH MANUSIA
MUSUH MANUSIA = NOL (0)
MATEMATIKA = NOL (0)
NOL = NOL
0 = 0
Belum pernah Gumara murka dengan wajah merah padam. Kali ini wajahnya merah padam. Dia pribadi menuding PitaLoka “Kamu yang menciptakan rumus konyol itu?”
“Betul, pak. Apa hukumannya kali ini?” tanya Pita Loka.
“Saya akan mengusulkan pada Dewan Guru supaya kau dipecat. Ini kelas, bukan ruang sidang DPR, mengerti ?”
“Saya tidak mengerti”, ujar Pita Loka, “Kalau matematika saya mengerti Pak. Tapi mengerti bukan berarti setuju.”
“Kalau kau tidak oke dengan kurikulum, silahkan minta berhenti.” kata Gumara.
“Saya tak akan minta berhenti. Saya lebih suka dipecat”, ujar Pita Loka.
Gumara menahan geram. Lalu dengan hening dia berkata “Keluar kamu.”
Tapi dengan hening pula Pita Loka ke luar kelas. Juga dengan hening dikala dia menerimasurat pemecatan dari Kepala Sekolah yang disepakati oleh Dewan Guru.Surat itu diserahkannya pada ayahnya. Ki Putih Kelabu hanya menggeleng-gelengkan kepala “Aku tahu. yang kau benci bukan ilmu matematikanya. Tapi Gumara, guru matematikanya.
“Kenapa kau berubah picik?” Pita Loka tahu ayahnya marah, sekalipun berkata lembut. Tapi semula dia kira, pemecatannya itu menciptakan ayahnya berpihak padanya.
Bukan pada Gumara, Maka dengan hati yang luluh, Pita Loka lari ke kamar, dan membanting diri ke kasur.
“Yang menciptakan kau merasa begini, yakni soal jodoh. Soal yang ghaib, yang cuma Tuhan Maha Tahu. Ayah tidak menyangka, kau begini abnormal menyayangi Gumara.
Bersambung...