Cerita Silat: Pantang Berdendam 17 - Seri Tujuh Insan Harimau

Saya sudah pergi berobat pada dokter Kadir Cerita Silat: Pantang Berdendam 17 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
“Saya sudah pergi berobat pada dokter Kadir, pak. Sudah disuntik”, kata Pita Loka. “Kenapa tidak berobat pada ayahmu sendiri?” tanya Parlindungan. “Ayahku bukan seorang dokter”, sahut Pita Loka yang. menciptakan seluruh kelas heboh tertawa.
Tetapi, seharian mengajar itu, Guru Gumara risau. Dia kuatir apabila dia obati Pita Loka, akan muncul dua macam isyu. Isyu pertama adalah, dia akan dianggap dukun sakti. Isyu kedua, mungkin dia dianggap menyayangi Pita Loka.
Ketika Pita Loka pulang ke rumah, ayahnya tak didapatinya. Tapi jelas, ayah sepertinya sudah makan siang,Ada bekas gejala sudah makan siangnya ayah.
Tapi kemana pula ayah pergi? Pita Loka menduga, ayah akan menempuh jalan sendiri, demi cintanya padaku, mencoba mengembalikan sakit teluh ini kepada pengirimnya.
Sehabis makan siang, Harwati muncul. Dia berkata ramah Ayoh ikut saya ke rumahku.
“Aku tahu kau risau melihat keadaanku. Dan kau akan minta pertolongan ayahmu, alasannya yaitu dia Ketua Harimau Kumayan. Terimakasih atas simpatimu. Aku sanggup sembuh sendiri”. Harwati pamit pada Pita Loka. Setiba di rumahnya, tragedi yang dialami Pita Loka diceritakannya pada ayahnya.
Ki Lebai Karat menjawab singkat “Kalau memang Pita Loka itu turunan syah Ki Putih Kelabu, dia akan sembuh sendiri”.
“Apa perilaku ayah jikalau terjadi pertarungan antara dua harimau?”
“Maksudmu pertarungan Ki Putih Kelabu dan Ki Lading Ganda?” tanya Ki Karat.
“Jadi ayah mengetahui, teluh itu dibentuk oleh Lading Ganda?”
“Ya, jikalau pun terjadi pertarungan, itu biasa di antara kami”.
Matahari mulai menggelincir. Tetapi dua lelaki renta itu masih saja bertarung semenjak waktu asyar tadi. Kaprikornus sudah dua jam lebih dua satria itu beradu tenaga. Tubuh mereka sudah bercampur tanah lumpur. Sebagian lagi menyelip daun-daunan.
Memang, Bukit Anggun konon daerah berkelahinya harimau-harimau Kumayan.
Sebagian sisi bukit itu berlumpur daerah turunnya bangau-bangau. Kini, menjelang magrib, Ki Putih Kelabu dan Ki Lading Ganda masih saja bertarung. Pertarungan itu mungkin jadi usang lantaran tanpa senjata. Juga mereka sudah berjanji secara satria, bahwa mereka satu sama lain tidak akan berubah menjadi menjadi harimau.
Kini, nafas kedua lelaki renta itu mulai sama sesak.
Tanaman liar berupa pohonan kecil setinggi tubuh umumnya sudah rusak, Biarpun lelah, kedua satria itu tak seorangpun yang mau mengusulkan dihentikannya perkelahian itu. Dengan sempoyongan, Ki Putih Kelabu maju lagi menuju Ki Lading Ganda yang juga melangkah sempoyongan.
Ki Putih Kelabu mengambil napas dalam-dalam, kemudian menghantamkan tinjunya ke dada Ki Lading Ganda. Lading Ganda terlambat mengelak. Dia terpelanting jungkir balik hingga ke lumpur. Lain Ki Putth Kelabu menghampirinya. Ketika Ki Lading Ganda merasa sulit untuk ke luar dari lumpur, waktu itulah Ki Putih Kelabu menghantam leher Ki Lading Ganda dengan ujung kakinya, Namun dia sendiri berteriak kesakitan dan jatuh terhempas di tepi lumpur.
Ki Putih Kelabu berusaha bangkit. Hampir tegak, dia jatuh lagi.
Ki Lading Ganda pun berusaha untuk bangun sekeluarnya dari lumpur. Tapi dia tidak berdaya, kemudian jatuh pula.
Kini kedua satria itu sama menelentang dalam jarak akrab dalam lelah dan sesak napas. Mata mereka menatap langit. Ki Putih Kelabu berkata dengan napas sepotong sepotong “Kau belum juga mau menyerah?”
“Belum”.
“Bangsat kau!”teriak Ki Putih Kelabu.
Langit semakin merah jingga, membuktikan malam akan tiba. Ki Putih Kelabu berusaha sekuat tenaga untuk berdiri. Begitu dia berdiri, sehabis tiga langkah dia berjalan, dilangkah keempat dia berteriak seraya mencuatkan tubuhnya ke udara, kemudian kedua kakinya menghentak ke perut Ki Lading Ganda.
“Adddduuuuuh!” teriak Lading Ganda menahankan nyeri perutnya.
“Mampus kau!” seru Ki Putih Kelabu.
Serentak dengan itu, sehabis mengumpulkan tenaga, Lading Ganda bangun yang pribadi mengejar dan menubruk tubuh Ki Putih Kelabu dengan sabetan gasingan. Ki Putih Kelabu tegak teguh berdiri, kemudian sehabis itu dia jatuh tersungkur. Ketika dia menelentang untuk bangkit, dari pandangan matanya di udara ada dua kaki yang mau menghentak perutnya. Cepat dia berkelit berguling dan didengarnya bunyi teriakan,
“Aduh kakiku patah!”
Memang kaki Ki Lading Ganda patah seketika.
Ki Putih Kelabu hanya menatapnya saja dengan menyeringai, kemudian dia berucap “Patah kakimu sudah cukup bagiku.”
Lalu Ki Putih Kelabu pulang dengan hati yang sudah puas. Sewaktu dia melintasi rumah Gumara, ia berfikir sejenak. Perlukah saya mampir? Dia merasa perlu.
Begitu dia mengetuk pintu dan terbuka, tampaklah olehnya Gumara tercengang, Gumara bertanya “Kenapa bapak mandi lumpur dan darah ?”
“Aku ingin pulang dalam keadaan bersih,bolehkah saya numpang mandi di sini?”
“Tentu.”
“Boleh saya memetik daun sirih di pekaranganmu itu . .sementara itu saya minta tolong dengan sembah 10 jari semoga kau sudi menjerang air panas?”
“Tentu, tuan Guru”, ujar Gumara dengan nada hormat. Gumara segera menjerang air panas, sementara Ki Putih Kelabu memetik daun sirih. Setelah penuh dua kantong baju Cina, sirih itu dibawa masuk. Dan pribadi saja dimasukkan ke jerangan air. Dia membuka pakaiannya, kecuali celana dalam. Gumara masuk ke kamar.
Tapi dia tak menyaksikan bagaimana Ki Putih Kelabu berbuat sesuatu di depan tungku. Dia berkonsentrasi dengan mantera — Panas api panas matahari panas kau tungku panas kau tungku panas matahari —.
Jerangan air berisi daun sirih itu menggelegak mendidih. Lalu dia cuci luka-luka di tubuhnya dengan airpanas bercampur daun sirih yang jadi hancur macam bubur. Baru kemudian dia mandikan seluruh tubuhnya. Tiba-tiba Ki Putih Kelabu mendengar bunyi Gumara “Pak, ini pakaian untuk salin, pakaian Cina saya dan celana batik saya.
Semoga muat di tubuh bapak.”
Aduh betapa senangnya hati si renta dengan penghormatan itu. Apalagi baju Cina maupun celana batik itu begitu pas. Dia ke luar dari kamar mandi dia berkata “Pita Loka mengira saya barusan kembali dari pesta.”
Setiba Ki Putih Kelabu di rumahnya. dia mengharapkan dipuji oleh Pita Loka lantaran berpakaian rapi. Tapi sekonyong yang muncul malah pertanyaan “Di mana ayah berkelahi dengan Ki Lading Ganda ?”
Sembari duduk menghempas, Ki Putih Kelabu terpaksa mengaku; “Kami bakuhantam di Bukit Anggun”
“Ayah menang?”
“Dia patah kaki. Aku tentu menang.”
“Ayah menang, tapi ayah tidak menaklukkan dia. Dia tidak menyerah, bukan?”
“Betul.”
“Lalu . ,. .. baju Cina yang rapi ini tentulah ayah pinjam pada Guru Gumara”, ujar Pita Loka.
“Dari mana kau tahu, heh?”
“Dari abjad G di kantong”.
Ki Putih Kelabu pribadi duduk bersila pada tikar permadaniBagdad , menyantap makan malam.
“Masih gatal koreng teluh kau itu?”
“Tidak lagi, ayah.”
“Besok akan sembuh. Percayalah. Biarpun dia tidak menyerah, patah kaki itu bukti kekalahannya. Kami harimau yang berenam di Kumayan ini. seburuk-buruk laris kami, masih menghargai kelebihan lawan. Dengan patah kaki, sekarang pun dia mengakui kelebihanku daripadanya. Pengakuan itu mengurangi mantera-manteranya sewaktu dia menteluh kau.
Kurasa besok pagi dikala kau bangun, kau dapati wajahmu sudah bagus kembali!”
Pita Loka terharu. Sewaktu dia menunggui ayahnya yang makan dengan lahap, airmata gadis jelita itu pun berluruhan. Lalu airmata itu disaksikan Ki Putih Kelabu.
Tak ada bicara di antara keduanya. Tapi luruhnya airmata sang ayah, membuktikan, jalinan kasih antara anak dan ayah maupun sebaliknya amat indah. Seindah angin yang menyanyi sembari mengipas keringat Ki Putih Kelabu yang balasannya kekenyangan makan.
Malam itu Pita Loka menyukuri nikmat kehidupan
“Ya Tuhan, saya bersyukur punya ayah menyerupai Ki Putih Kelabu yang selalu sayang padaku. Hanya padamu jua saya bersyukur dan memohon kesembuhan.”
Lalu dia memicingkan mata, tertidur pulas. Paginya dikala dia membuka mata, pertama teringat kembali ucapan ayahnya bahwa wajahnya akan sembuh. Ketika dia meraba lisan dan sekitarnya, dia tak merasa ada bentolan-bentolan koreng teluh.
Cepat dia melompat menuju beling hias. Dan dia berucap lagi dengan berlinangan airmata, “Terimakasih padaMu Tuhanku, saya kausembuhkan.”
Ketika sarapan pagi, sang ayah berkata “Kini sudah waktunya kau menyediakan diri berguru pada ayahmu.”
“Usulan yang baik. Tapi lebih baik lagi jikalau ayah mengusulkan supaya saya berguru pada Harimau Ke Sembilan Belas, bukan Harimau ke Dua ayahku sendiri.”
“Tapi si Wati berguru juga pada Ki Karat”, ujar sang ayah.
“Dia berbeda dengan saya”, kata Pita Loka.
Dan Harwati pun kaget dikala Pita Loka memasuki pekarangan sekolahnya dalam keadaan bagus kembali.
“Ini hasil kerja keras ayahmu membela anak. Kudengar dia berbakuhantam selama tiga jam di Bukit Anggun melawan Ki Lading Ganda”, ujar Harwati.
“Benar. Dan ayah menang.”
“Tadi pagi dikala kutemui di jalan, Ki Lading Ganda kakinya pincang,”
“Itu hasil pekelahian seru itu”, ujar Pita Loka, “Tapi ajuan ayah semoga saya mewarisi ilmunya, saya tolak. Aku ingin jadi penerbang pesawat jet, bukan jadi harimau. Beda dengan kau, yang mencar ilmu mantap dari ayahmu, Sudah sejauh mana ilmu yang kau sanggup ?”
Harwati gembira menjawab, “Taruhlah tumpukan bara panas, saya akan berjalan di atasnya dengan telapak telanjang.”
“Itu Ilmu Nabi Ibrahim”, kata Pita Loka.
“Adabaiknya kau mencar ilmu pada ayahmu”, anjur Harwati.
“Aku ingin mencar ilmu ilmu harimau pada Guru Gumara”, kata Pita Loka.
Seketika itu juga Harwati ternganga, kemudian bertanya “Sudah kau kemukakan maksudmu?”
“Tidak, saya hanya sekedar mengujimu saja, kau cemburu atau tidak pada ucapanku.”
“Aku cemburu”, kata Harwati.
“Apa alasan cemburumu padaku?”
“Kurasa dia lebih sayang kepadamu”, kata Harwati.
Pita Loka kaget “Jangan kau bohong.”
“Buktinya kemarin sore dia minta ayahku semoga menyembuhkan sakit terkena teluh yang kau derita. Dia sendiri meminta pada ayahku, apakah itu bukannya bukti bahwa dia lebih cinta padamu daripada pada saya?”
Pita Loka melongo.
Dan rupanya, ucapan Harwati itu telah melecut kembali semangat Pita Loka untuk memenangkan persaingan. Ketika bubaran sekolah, Pita Loka menyamperi Guru Gumara dan berkata “Bapak tidak pulang naik sepedakan ?”
“Ya, betul.Ada apa?”
“Boleh saya berjalan pulang seiring dengan bapak?” tanya Pita Loka,
“Boleh saja”, sahut Gumara.
Harwati meneliti dari jarak jauh sewaktu Guru Gumara berjalan seiring dengan Pita Loka. Dia ingin melihat simpulan perjalanan itu.
Ketika membelok ke jalan kecil, Harwati juga ikut membuntut dari jarak jauh. Pita Loka dengan gugup berkata “Pak, besar terimakasihku pada Bapak, yang membuang waktu meringankan langkah ke rumah Guru Lebai Karat semoga saya yang terkena teluh diobati beliau.”
“Saya?” Gumara terheran.
“Jadi bukannya kemarin sore bapak kesana ?”
“Saya ada di rumah memperbaiki sepedaku yang suka dicakar kuku”, kata Guru Gumara.
“O,maafkan. Kaprikornus bapak bukan kesana ”, kata Pita Loka.
“Untuk apa saya kesana . Saya tidak akan kedukun selagi ilmu kedokteran sanggup menolong diriku. Ketika saya muntah darah, saya ke dokter Kadir, murid ayahmu itu.” Pita Loka sulit untuk menyembunyikan malu mukanya. Dia tahu Harwati membuntuti dari belakang tadi. Rupanya dia ingin melihatku malumuka.
“Baiklah pak, kita pisah di sini”, ujar Pita Loka.
Pita Loka melangkah berbalik semoga dia sanggup bertemu dengan Harwati. Begitu dia berpapasan, Pita Loka pribadi menuding “Kamu . . . . si bagus busuk!”
Pada malam itu juga, mengingat betapa dongkolnya dia pada Harwati, Pita Loka ingin berbicara resmi dengan ayahnya.
“Ayah, katakan padaku, siapa Guru Ayah?” Ki Putih Kelabu tentu saja gembira.
“Kau ingin belajar?”
“Saya ingin belajar. Tapi tidak menuntut ilmu pada ayah, Katakan padaku Guru Ayah.”
“Guruku Harimau Tunggal”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Guru dari enam harimau di Kumayan ini ?”
“Benar”.
“Tapi sehabis mendapat ilmu dari Harimau Tunggal, kemudian kalian yang berenam membuatkan ilmunya sendiri-sendiri.”
“Begitulah jalan yang kami tempuh”, kata Ki Putih Kelabu.
“Tunjukkan padaku di mana Harimau Tunggal berada”, kata Pita Loka.
“Kenapa?”
“Bukankah di Kumayan gres ada enam harimau? Aku akan menjadi Harimau Yang Ketujuh ”, ujar Pita Loka.
Mendengar ucapan puterinya itu, Ki Putih Kelabu bukan bersemangat. Tetapi dia meratapi “Sayang kau terlambat, nak. Harimau yang ke Tujuh itu sudah hadir dan hidup di Kumayan ini.”
“Siapa?”
“Kau sudah tahu”.
“Siapa, ayah?” Pita Loka agak memaksa.
“Guru matematikamu itu. Guru Gumara Peto Alam”, ujar sang ayah.
Pita Loka tertawa mencemooh “Tidak mungkin. Dia tak meyakini ilmu yang ghaib- ghaib. Sama halnya dengan saya sebelum saya terperangkap dua tiga kali untuk membuktikan ilmu kasatmata lebih tinggi dari ilmu tak nyata.”
Putih Kelabu dalam kesulitan. Dia kenal benar puterinya ini keras kepala. Tapi perilaku keras kepala ini cukup sebagai modal.
“Lewatilah Bukit Anggun. Jika datang dibukit itu, kau pandang ke timur. Di situ ada satu bukit lagi, namanya Bukit Kerambil. Disana ada guru yang khusus mengajarkan silat kera. Lalu kau lewati lembah di bawahnya untuk hingga kepada Bukit Cangang, di mana di situ kau akan menemukan ahli-ahli sihir yang membikin orang tercengang-cengang. Semua bukit itu ada anaknya, kecuali sebuah bukit terakhir, Bukit Tunggal. Disana ada sebuah guha. Di situ ada seorang lelaki renta pertapa. Beliaulah Harimau Tunggal. Tapi .....………. apakah kau sanggup, menempuh jarak itu dengan syarat berpuasa siang malam? Seluruhnya 40 hari gres kau akan datang disana . Beliau tentu akan gembira apabila kau minta diajari ilmu harimau, untuk pemanis Harimau Yang Enam di Kumayan. Beliau sudah usang berharap memiliki murid wanita, tapi tak ada yang ke sini, Apakah kau berani sendirian ?”
“Berani”, ujar Pita Loka dengan mantap.
“Bagaimana dengan sekolahmu?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Sekolah untuk mendidik orang jadi pandai, tapi bukan mendidik bagaimana mengatasi dibikin malu orang.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel