Cerita Silat: Pantang Berdendam 16 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Di situ masih tersisa air ludah Pita Loka Cerita Silat: Pantang Berdendam 16 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Hura Gatali geram. Dilihatnya tanah bumi itu. Di situ masih tersisa air ludah Pita Loka. Niat jahat pun memperangkap batinnya. Dikoreknya tanah yang terkena ludah Pita Loka. Lalu dibungkusnya tanah itu dengan sapu-tangan, Dan dengan langkah dendam, Hura Gatali eksklusif menuju rumah Ki Lading Ganda.
“Saya mengalah sekarang, Ki Lading Ganda”, ujar Hura Gatali.
“O, saya faham. Kamu mengalah untuk berguru ilmu pada saya lantaran kau membutuhkan sesuatu. Dulu, ketika jadi pahlawan Kumayan lantaran berhasil membunuh ular sanca raksasa, saya sendiri menganjurkan padamu untuk mempertinggi keberanianmu dengan berguru padaku. Kini kau menyerah, tentu ada sebabnya”.
“Ya, tentu ada sebabnya. Saya mengalah untuk berguru dengan tuan, tapi dengan syarat semoga tuan berikan bukti kepandaian tuan padaku lebih dulu”, ujar Hura Gatati seraya mengeluarkan saputangan pembungkus tanah yang berisi bekas ludah Pita Loka. Digelarkannya saputangan yang berisi tanah berair itu. Dan berkatalah perjaka itu “Selagi ludahnya belum kering, saya minta anda kerjakan puteri Ki Putih Kelabu. Namanya Pita Loka, ia hina saya dan ia ludahi bumi. Tak ada aib paling besar selain penghinaan ini. Karena ludah ini tiba dari mulut, dapatkah anda rusak mulutnya yang anggun itu?”
Ki Lading Ganda tersenyum senang. Dia suruh Hura Gatali menghampirinya. Setelah
Hura Gatali mendekat, dibelainya kepala perjaka ganteng itu, Dia berbisik; “Sekarang saya senang. Karena semua anak harimau di desa Kumayan ini wanita termasuk semua anakku, kini ada yang akan mewarisi ilmuku. Aku yakin sanggup merusak ekspresi yang anggun itu menjadi buruk!”
Malam itu juga, Hura Gatali diminta untuk menyaksikan pekerjaan itu. Ki Lading Ganda duduk bersila di kamar kawasan ia selalu bersemedi. Hura Gatali di sampingnya. Lalu Ki Lading Ganda mencabut dua goloknya sekaligus mengadu mata golok itu sehingga terdengar suara disertai kilatan api. Dan golok itu seketika itu juga dari dua menjadi satu. Kalau tadi mata golok itu cuma satu, kini mata golok itu menjadi berganda, muka dan belakang, tapi gagangnya pun menjadi kembar.
Golok dua yang menjadi satu itu pun ditaruh Lading Ganda di atas tikar. Lalu ia berkata pada Hura Gatali “Taruh buah pepaya itu di depan golokku ini, Hura”.
Hura menaruh buah pepaya itu.
“Jika pepaya ini kepala si Pita Loka anak si Putih Kelabu anak si Virgo Saga anak si Peto Gaharu . . . coba kau tunjuk saja di mana ekspresi Pita Loka!” Hura Gatali menunjuk kira-kira kawasan ekspresi Pita Loka.
“Rupanya dari ekspresi ini keluar ludah penghinaan Pita Loka kepada Hura Gatali”, ujar sang guru seraya memungut tanah bekas ludah Pita Loka dari saputangan, kemudian memolesnya pada buah pepaya yang ditunjuk Hura Gatali tadi.
Ujung golok kemudian ditusuknya sedikit pada tepi bibir imajiner itu, dan getah pepaya itu mulai menyembul. Lalu keluar.
“Beginilah balasannya ekspresi Pita Loka yang menghinamu”, ujar sang guru. Hura Gatali bahagia seketika.
“Itu semacam koreng bernanah ya tuan?” tanya Hura Gatali.
“Dan tidak akan sembuh”, ujar Ki Lading Ganda.
“Tapi kalau ayahnya Ki Putih Kelabu kemudian minta pertolongan Ki Lebai Karat, bagaimana pak?” tanya Hura Gatali.
“Dia takkan mau, itu merusak gengsi. Mereka berdua merasa sama akil tinggi”, ujar Ki Lading Ganda. Lalu, pundak Hura Gatali ditepuknya.
“Kapan saya bisa melihat buktinya, bahwa ekspresi Pita Loka berkoreng dan bernanah ini, pak?” tanya perjaka ganteng itu.
“Besok pagi mampir saja ke rumahnya. Cari alasan untuk bertemu muka. Dan kau berhak menghina mulutnya yang korengan dan bernanah itu”, ujar sang guru.
Ketika Hura Gatali tergesa hendak pergi, Ki Lading Ganda menyergap tangannya,
“Kapan kau akan berguru padaku?”
“Jika ilmu bapak sudah saya saksikan”, sahut Hura Gatali.
“Memang kau calon jagoan”, kata Ki Lading Ganda, “Sebab setiap pendekar senantiasa punya kesan arogan yang tolong-menolong harga diri!”
Pada ketika yang sama di tengah malam itu, Pita Loka merintih kesakitan. Dia merasa mulutnya gatal. Ketika dirabanya mulutnya, terasa melendung bagai bisul. Cepat Pita Loka melompat menuju beling hias antik. Dan dilihatnya wajahnya di beling itu. Melihat lendungan bisul di sekitar mulutnya, Pita Loka bukan menjerit. Dia hanya menahankan rasa gatal itu, dan seketika itu juga tahu siapa yang mengerjakan ini.
Dia bersitenang sejenak. Rasa gatal ia lawan. Rasa takut ia singkirkan. Dan ketika sebuah koreng (bisul) itu pecah, benjol pun keluar. Pita Loka kembali ke kaca. Dia lihat benjol anyir itu menetes sedikit demi sedikit. Dan ketika pagi ayahnya bangun, Pita Loka bukannya mengadu pada sang ayah. Dia tunggu hingga reaksi ayah muncul.
Betul. Ayahnya terpana sejenak melihat ekspresi anaknya yang dihiasi koreng bernanah.
“Aku tahu siapa yang membuatku. Tapi kuharap, jangan ayah membantuku”, ujar Pita Loka.
“Bagaimana kau ini, Pita? Aku sudah sanggup menerka, bahwa ini diperbuat oleh si Hura Gatali bin DangSamar bin Abdi Kumat bin Taja Gugu. Dan ia niscaya minta kepandaian si Lading Ganda, lantaran Lading Ganda bersimpati pada anak muda itu ketika berhasil membunuh ular sanca tempohari. Nah, masihkah kau keras kepala tidak minta bantuanku?”
“Saya sanggup mengatasinya sendiri”, ujar Pita Loka. Setelah melayani ayahnya sarapan pagi, Pita Loka pergi ke rumah dr. Kadir. Dokter itu belum bangun. Begitu ia berdiri dan melihat ekspresi Pita Loka, sang dokter risau.
“Saya minta pak dokter menyuntikkan obat antibiotik”, kata Pita Loka.
“Ini bukan koreng biasa”, kata sang dokter.
“Persetan dengan ilmu setan, Pendeknya saya minta dokter menyuntik saya dengan obat anti biotik beserta obatnya”, segera Pita Loka menaruhkan uang di atas meja.
Setelah Pita Loka disuntik, kemudian dokter memperlihatkan kapsul anti biotik pada Pita Loka seraya berkata “Semoga cepat sembuh”.
Pita Loka ketika keluar dari pekarangan rumah dokter menjadi tontonan tetangga. Mereka saling berbisik, “Kenapa ia tidak berobat pada ayahnya saja? Bukankah itu gampang disembuhkan?”
Setiba di rumah, Pita Loka kembali dibujuk ayahnya, Tapi Pita Loka menolak.
Pita Loka teramat tenang. Rasa gatal ditahannya. Dia mencoba penyakit ilmu teluh ini sanggup diatasi secara nalar sehat saja. Namun tekadang ia termakan untuk berguru ilmu sakti pada seorang guru yang jauh melebihi enam harimau Kumayan tersohor.
Cuma ketika ia digoda untuk itu, hatinya bertanya “Tapi apa ilmu sakti begini di zaman moderen bisa melawan bom kimia?”
Lalu ia persiapkan buku-buku sekolahnya. Ketika akan berangkat, Ki Putih Kelabu menegurnya, “Pita, coba kau menghadap pada ayah”.
Pita Loka berbalik dan menghadap. Sang ayah tampak begitu sedihnya melihat puterinya yang anggun berubah jadi buruk.
“Kenapa kau masih akan ke sekolah, padahal mukamu . . . . “
“ . . . Mukaku jelek? Ah, kecantikan dan keburukan itu pun relatif. Seorang gadis anggun sehabis usianya bau tanah pun jadi jelek”, sahut Pita Loka, “Saya akan berangkat sekolah sekarang!”
“Pita!”
“Ya ayah?”
“Apa nanti pembicaraan orang-orang mengenai kau?”
“Justru itu yang saya harapkan. Mereka membicarakan saya. Dan mereka tahu, saya tidak minta proteksi ayah. Lalu berobat pada dokter Kadir”, kata Pita Loka.
“Itu akan membuatku jadi malu”. kata Ki Putih Kelabu “Setidaknya mereka menganggap ilmuku lebih rendah dari ilmu si Lading Ganda, sehingga tidak bisa mengobati teluhan dia”.
“Biarlah tiap orang Kumayan membicarakan itu, Agar mereka yakin, saya tidak bersedia mendapatkan warisan ilmu ayahku”, kata Pita Loka.
Susah bagi Ki Putih Kelabu untuk murka pada puterinya. Karena ia amat begitu sayang.
Setiba di sekolah, Pita Loka jadi tontonan murid -murid. Dia santai saja. Tapi Harwati memegang kedua bahunya “Hai, kau diteluh seseorang!”
“Ya”.
“Minta bantuanlah pada ayahmu!” ujar Harwati.
“Aku tidak membutuhkan proteksi siapa pun”.
“Atau kau sedia kalau saya yang membantumu?” tanya Harwati.
Pita Loka tersenyum “Alangkah luhurnya budimu, Wati!”
“Kau bersedia kuobati,sekarang juga?” tanya Harwati.
“Aku menghormati kesucian hatimu, Tersentuh hati nuranimu melihat temanmu menderita teluh musuh. Alangkah baiknya kau, Harwati”, ujar Pita Loka.
“Tapi kau menolak kuobati?” tanya Harwati.
“Ya”.
Ketika Pita Loka memasuki kelas, semua biji mata tertuju pada ekspresi Pita Loka. Dan hari itu tidak ada jam pelajaran matematika. Tapi ketika jam pelajaran ilmu Fisika dan Pak Guru Gumara memasuki kelas, murid-murid berkata “Pak, obatilah ekspresi Pita Loka”.
Barulah Gumara sempat melihat gadis manis yang kini sekitar bibirnya ditumbuhi koreng. Wajahnya tenang. Tanpa kelihatan satu reaksi mengasihani. Ia seolah-olah sedang diuji seluruh kelas untuk bersikap.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel