Cerita Silat: Pantang Berdendam 15 - Seri Tujuh Insan Harimau
Selasa, 11 November 2014
Sebelumnya...
Mereka membelok ke kanan bersama. Jalan kecil ini kelak akan hingga di rumah Pita Loka. Namun Harwati harus melewatinya sebelum ia menuju jalan pintas ke rumahnya. “Berdasarkan logika sehat, Pak Guru tiba ke Kumayan demi karirnya sebagai guru. Karir itu memerlukan menjaga nama baik semoga terhindar dari fitnah. Tapi kau dan saya cukup sehat pula tergila-gila pada Pak Gumara. itu hal yang wajar. Namun sesudah saya fikir secara sehat, kita berdua bukan tergila-giia. Kita berdua bergotong-royong gila. Mencintai pak guru itukan gila? Sedangkan tadi kita berdua tidak diajaknya mampir”.
“Itu lantaran kau muncul. Jika tadi kau tidak muncul sebagai orang ketiga, secara sehat Pak Guru akan mengajak saya untuk mampir. Itu masuk akal saja, alasannya yaitu saya telah menolong ia dari jebakan Lading Ganda. Kini terang olehmu bahwa kau salah duga. Kau menganggap saya ini tentangan kamu. Padahal saya tidak punya tentangan seorang gadis pun dalam merebut hati Pak Guru”.
“Kau ingin mampir ke rumahku?” tanya Pita Loka setiba di depan rumah.
“Terimakasih. Dan renungi ucapan terakhirku tadi” ujar Harwati.
Setiba di rumah, Pita Loka benar-benar merenungi ucapan Harwati. Namun ia kesannya berkata sendiri “Tolol ia mengira menanam akal itu sebagai perbuatan konkrit. cuma perbuatan abstrak, dan Pak Guru tidak kagum pada hal-hal abstrak”. Ki Putih Kelabu yang mendengar Pita Loka bicara sendirian kemudian nyeleluk “Kau sanggup jadi gila, anakku!”
Pita Loka tersadar dan merasa malu. Namun ia cepat menjawab “Saya sanggup jadi gila? Saya rasa tidak”,
“Barusan saja saya duduk di warung. Orang-orang mengagumi Harwati, lantaran ia barusan saja membela Gumara Peto Alam sebelum si Peto Alam terjebak dengan pancingan yang dibentuk Lading Ganda”.
“Lalu ayah kira itu akal baik?”
“Budi baik! Budi baik mengatasi harta kekayaan. Budi baik mengatasi orang-orang arif berotak encer sepertimu. Kau sudah ketinggalan dua langkah dari Harwati, kendati kau mengira kau cantik!”
Pita Loka merasa dilukai ayahnya.
“Lalu ayah besar hati jikalau saya gagal memikat Gumara Peto Alam yang mahir itu? Lalu ayah besar hati jikalau Harwati yang lebih berhasil dari saya?”
“Aku malah jadi sedih!” Ki Putih Kelabu menghentakkan kaki ke lantai papan rumahnya,” Selain duka saya malu! Malu kalau semua orang tahu bahwa puteri Ki Putih Kelabu kalah bersaing dengan puteri Ki Lebai Karat, Malu ini bagiku hanya sanggup ditebus dengan nyawa”.
“Saya juga malu jikalau ada orang yang tahu bahwa ayah beradu kekuatan dengan Ki Lebai Karat demi supaya saya menang dalam persaingan. Saya juga malu pada bekas luka cakaran di jidat ayah, dicakar oleh Ketua Harimau yang tak sanggup ayah tandingi”.
“Hei dengar, Pita Loka!” ujar Ki Putih Kelabu dengan nada sedih, Dia duduk di dingklik goyang, dan suaranya pun luruh “Jangan kaget, apabila bekas cakaran ini bukannya bekas kuku Ki Karat. Ini bekas cakaran Gumara!”
“Ayah! Jangan memfitnah!” seru Pita Loka.
“Aku tak menggemari fitnah. Harap saja kau rahasiakan hal ini. Demi cintaku padamu, harus kuceritakan hal ini kepadamu. Demi cintaku padamu, justru akulah yang menginginkan Gumara jadi suamimu. Demi keturunan darah keluarga kita akan berkembangbiak, beranak pinak. Tengah malam saya datangi dia. Aku secara jantan meminta kepadanya, semoga ia sudi memperisterimu. Tapi harap kau jangan sedih, ia menolak saranku itu!”
Pita Loka terdongak kaget.
“Aku sedih, demi cintaku padamu, Aku malu, demi kehormatanku sebagai ayah, Lalu saya keluarkan semua ilmuku. Kami berkelahi. Namun ia menang. Jadi, saya telah kalah dua kali, anakku!” Pita Loka melihat ayahnya meneteskan airmata. Tanpa ia sadari, betapa pun ia coba bertahan, airmatanya pun ikut berhamburan,
“Ayah salah langkah”, ujar Pita Loka dengan pilu.
“Memang saya salah langkah”.
“Tanpa sadar, ayah telah menjegal saya”, kata Pita Loka.
“Yah, ini terpaksa kau ketahui. Aku harus mengajarmu jujur, terus terang dan hal ini kupupuk dalam jiwamu semenjak kecil. Kini kau dan ayahmu sama duka dan sama malu!”
Pita Loka melompat menyambar badan ayahnya, memeluknya “Jangan berkecil hati, ayah. Memang saya pun jadi duka dan malu lantaran tindakan ayah yang tergesa-gesa. Saya akan berusaha untuk menjadi pemenang dalam persaingan merebut hati Pak Gumara”.
“Tidak perlu lagi. Persaingan itu sudah tak ada lagi. Dengan perbuatanku yang salah langkah itu, persaingan itu musnah sudah, Dan kini, Harwati yang merupakan satu- satunya pemenang”.
“Tidak, ayah”, bantah Pita Loka, “Jalan apa pun akan saya tempuh untuk menebus duka dan malu ini, Jalan apa pun!”
“Lalu apa rencanamu?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Kini saya meyakini yang ghaib. Di atas segala yang konkrit dan nyata, ada keghaiban yang tersembuyi, yang mesti dicari mata hati manusia. Saya akan meninggalkan cara konkrit, demi duka dan malu ini”.
Alangkah gembiranya sang ayah.
“Kau akan mencari guru penakluk?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Ya”.
“Alangkah senangnya hatiku! Kucoba mengajarkan, demi mewarisi ilmuku padamu, kau tolak selama ini! Kini kau sendiri menyatakan padaku akan berguru. Boleh ayah tahu kepada siapa kau akan berguru?” “
“Yang terang bukan kepada Pak Gumara Peto Alam. Ayah bilang, Peto Alam yaitu harimau yang ketujuh di Kumayan. Tapi saya akan mencar ilmu kepada Harimau Yang ke -19”.
Mendengar angka yang abnormal itu, Ki Putih Kelabu kuatir puterinya sudah menjadi gila. Sebaliknya, Gumara kini merasa dirinya lebih kondusif dari dulu. Kalau ibunya bercerita wacana desa Kumayan begitu mengerikan, kini Gumara tidak melihat kengerian itu.
Tapi ia pun sadar, bahwa ia bergotong-royong dicintai oleh dua gadis anggun di Kumayan ini. Namun tujuan Gumara ke sini bukan untuk bercinta. Semata-mata memenuhi khayalannya di masa kanak, kemudian ingin bertemu dengan Ketua Para Harimau Kumayan, dan kebetulan ditugaskan mengajar matematika ke sini.
Gumara mempunyai kesan,kota kecil kecamatan ini sesungguhnya mempunyai bibit- bibit insan unggul dalam llmu Fisika dan llmu Matematika. Dia berharap, salah seorang daripada hibrida itu sanggup melanjutkan ilmu kekota semoga ia menjadi sarjana dan ilmuwan. Dia telah menguji ketajaman otak hibrida ini. Pendeknya semua soal sanggup dijawab tangkas oleh Pita Loka.
Dan suatu hari di depan kelas Gumara bertanya pada Pita Loka yang barusan menuntaskan soalan dalam waktulima menit dari waktu setengah jam yang disediakan.
“Setamat SMP, ke mana kau akan melanjutan pelajaran?” tanya Gumara.
“Kawin”, ujar murid lelaki. Ini menciptakan seisi kelas ketawa terkakah. Pita Loka biasanya tersipu-sipu malu tapi setuju. Kini ia berubah banyak. Dia yang gemar bercanda dan suka mendebat, menjelma pendiam. Hal itu pun diketahui oleh Gumara.
“Kamu pendiam sekarang, Pita Loka”, ujar Gumara.
“Patah hati, Pak”, kata murid-murid lelaki. Seisi kelas tertawa terkakah-kakah lagi.
Segera saja Gumara ingat pada kedatangan Pak Putih Kelabu dulu, Yang menyuruhnya melamar puterinya itu. Yang ditolaknya. Yang menyebabkan uji langgar tenaga. Yang mungkin saja hal itu diceritakannya pada Pita Loka, sehingga kelincahan Pita Loka yang dulu memikat, kini lenyap.
Hal ini pun diketahui oleh Hura Gatali, sekalipun hanya reka-rekaan saja. Hura Gatali yang bertubuh kekar itu, yang pernah dianggap pendekar muda sesudah berhasil membunuh seekor ular sanca yang panjanguya 15 meter itu, kini mencoba mendekati Pita Loka. Dicegatnya Pita Loka sepulang dari sekolah.
“Boleh saya temani kau pulang?” tanya Hura Gatali.
“Tidak”.
“Wah, mentang-mentang kau anggun ya, saya ini kau kira pengemis cinta!”
“Masa bodoh!” balas Pita Loka.
“Memang sobat kecantikan yaitu judes dan angkuh”, ujar Hura Gatali.
Pita Loka berhenti sejenak. Ingin saja diludahinya perjaka iseng itu. Lalu ia melanjutkan melangkah. Dan Hura Gatali melanjutkan menggoda.
“Percuma kau mengharapkan cinta Pak Gurumu. Semua orang tahu, bahwa Pak Gurumu lebih suka pada Harwati. Makara sebaiknya kau dengan saya saja”, ujar Hura Gatali menggoda.
Pita Loka menghentikan langkah. Dia menatap Hura Gatali. Kali ini bukan muka Hura Gatali yang diludahinya. Tapi tanah bumi yang ia ludahi sembari memaki
“ Lelaki tak tahu sopan santun!”
Dan Pita Loka melangkah bergegas pergi. Dan Hura Gatali termenung malu. Wajahnya merah padam hingga Pita Loka hilang di simpang jalan.
Bersambung...
Mereka membelok ke kanan bersama. Jalan kecil ini kelak akan hingga di rumah Pita Loka. Namun Harwati harus melewatinya sebelum ia menuju jalan pintas ke rumahnya. “Berdasarkan logika sehat, Pak Guru tiba ke Kumayan demi karirnya sebagai guru. Karir itu memerlukan menjaga nama baik semoga terhindar dari fitnah. Tapi kau dan saya cukup sehat pula tergila-gila pada Pak Gumara. itu hal yang wajar. Namun sesudah saya fikir secara sehat, kita berdua bukan tergila-giia. Kita berdua bergotong-royong gila. Mencintai pak guru itukan gila? Sedangkan tadi kita berdua tidak diajaknya mampir”.
“Itu lantaran kau muncul. Jika tadi kau tidak muncul sebagai orang ketiga, secara sehat Pak Guru akan mengajak saya untuk mampir. Itu masuk akal saja, alasannya yaitu saya telah menolong ia dari jebakan Lading Ganda. Kini terang olehmu bahwa kau salah duga. Kau menganggap saya ini tentangan kamu. Padahal saya tidak punya tentangan seorang gadis pun dalam merebut hati Pak Guru”.
“Kau ingin mampir ke rumahku?” tanya Pita Loka setiba di depan rumah.
“Terimakasih. Dan renungi ucapan terakhirku tadi” ujar Harwati.
Setiba di rumah, Pita Loka benar-benar merenungi ucapan Harwati. Namun ia kesannya berkata sendiri “Tolol ia mengira menanam akal itu sebagai perbuatan konkrit. cuma perbuatan abstrak, dan Pak Guru tidak kagum pada hal-hal abstrak”. Ki Putih Kelabu yang mendengar Pita Loka bicara sendirian kemudian nyeleluk “Kau sanggup jadi gila, anakku!”
Pita Loka tersadar dan merasa malu. Namun ia cepat menjawab “Saya sanggup jadi gila? Saya rasa tidak”,
“Barusan saja saya duduk di warung. Orang-orang mengagumi Harwati, lantaran ia barusan saja membela Gumara Peto Alam sebelum si Peto Alam terjebak dengan pancingan yang dibentuk Lading Ganda”.
“Lalu ayah kira itu akal baik?”
“Budi baik! Budi baik mengatasi harta kekayaan. Budi baik mengatasi orang-orang arif berotak encer sepertimu. Kau sudah ketinggalan dua langkah dari Harwati, kendati kau mengira kau cantik!”
Pita Loka merasa dilukai ayahnya.
“Lalu ayah besar hati jikalau saya gagal memikat Gumara Peto Alam yang mahir itu? Lalu ayah besar hati jikalau Harwati yang lebih berhasil dari saya?”
“Aku malah jadi sedih!” Ki Putih Kelabu menghentakkan kaki ke lantai papan rumahnya,” Selain duka saya malu! Malu kalau semua orang tahu bahwa puteri Ki Putih Kelabu kalah bersaing dengan puteri Ki Lebai Karat, Malu ini bagiku hanya sanggup ditebus dengan nyawa”.
“Saya juga malu jikalau ada orang yang tahu bahwa ayah beradu kekuatan dengan Ki Lebai Karat demi supaya saya menang dalam persaingan. Saya juga malu pada bekas luka cakaran di jidat ayah, dicakar oleh Ketua Harimau yang tak sanggup ayah tandingi”.
“Hei dengar, Pita Loka!” ujar Ki Putih Kelabu dengan nada sedih, Dia duduk di dingklik goyang, dan suaranya pun luruh “Jangan kaget, apabila bekas cakaran ini bukannya bekas kuku Ki Karat. Ini bekas cakaran Gumara!”
“Ayah! Jangan memfitnah!” seru Pita Loka.
“Aku tak menggemari fitnah. Harap saja kau rahasiakan hal ini. Demi cintaku padamu, harus kuceritakan hal ini kepadamu. Demi cintaku padamu, justru akulah yang menginginkan Gumara jadi suamimu. Demi keturunan darah keluarga kita akan berkembangbiak, beranak pinak. Tengah malam saya datangi dia. Aku secara jantan meminta kepadanya, semoga ia sudi memperisterimu. Tapi harap kau jangan sedih, ia menolak saranku itu!”
Pita Loka terdongak kaget.
“Aku sedih, demi cintaku padamu, Aku malu, demi kehormatanku sebagai ayah, Lalu saya keluarkan semua ilmuku. Kami berkelahi. Namun ia menang. Jadi, saya telah kalah dua kali, anakku!” Pita Loka melihat ayahnya meneteskan airmata. Tanpa ia sadari, betapa pun ia coba bertahan, airmatanya pun ikut berhamburan,
“Ayah salah langkah”, ujar Pita Loka dengan pilu.
“Memang saya salah langkah”.
“Tanpa sadar, ayah telah menjegal saya”, kata Pita Loka.
“Yah, ini terpaksa kau ketahui. Aku harus mengajarmu jujur, terus terang dan hal ini kupupuk dalam jiwamu semenjak kecil. Kini kau dan ayahmu sama duka dan sama malu!”
Pita Loka melompat menyambar badan ayahnya, memeluknya “Jangan berkecil hati, ayah. Memang saya pun jadi duka dan malu lantaran tindakan ayah yang tergesa-gesa. Saya akan berusaha untuk menjadi pemenang dalam persaingan merebut hati Pak Gumara”.
“Tidak perlu lagi. Persaingan itu sudah tak ada lagi. Dengan perbuatanku yang salah langkah itu, persaingan itu musnah sudah, Dan kini, Harwati yang merupakan satu- satunya pemenang”.
“Tidak, ayah”, bantah Pita Loka, “Jalan apa pun akan saya tempuh untuk menebus duka dan malu ini, Jalan apa pun!”
“Lalu apa rencanamu?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Kini saya meyakini yang ghaib. Di atas segala yang konkrit dan nyata, ada keghaiban yang tersembuyi, yang mesti dicari mata hati manusia. Saya akan meninggalkan cara konkrit, demi duka dan malu ini”.
Alangkah gembiranya sang ayah.
“Kau akan mencari guru penakluk?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Ya”.
“Alangkah senangnya hatiku! Kucoba mengajarkan, demi mewarisi ilmuku padamu, kau tolak selama ini! Kini kau sendiri menyatakan padaku akan berguru. Boleh ayah tahu kepada siapa kau akan berguru?” “
“Yang terang bukan kepada Pak Gumara Peto Alam. Ayah bilang, Peto Alam yaitu harimau yang ketujuh di Kumayan. Tapi saya akan mencar ilmu kepada Harimau Yang ke -19”.
Mendengar angka yang abnormal itu, Ki Putih Kelabu kuatir puterinya sudah menjadi gila. Sebaliknya, Gumara kini merasa dirinya lebih kondusif dari dulu. Kalau ibunya bercerita wacana desa Kumayan begitu mengerikan, kini Gumara tidak melihat kengerian itu.
Tapi ia pun sadar, bahwa ia bergotong-royong dicintai oleh dua gadis anggun di Kumayan ini. Namun tujuan Gumara ke sini bukan untuk bercinta. Semata-mata memenuhi khayalannya di masa kanak, kemudian ingin bertemu dengan Ketua Para Harimau Kumayan, dan kebetulan ditugaskan mengajar matematika ke sini.
Gumara mempunyai kesan,kota kecil kecamatan ini sesungguhnya mempunyai bibit- bibit insan unggul dalam llmu Fisika dan llmu Matematika. Dia berharap, salah seorang daripada hibrida itu sanggup melanjutkan ilmu kekota semoga ia menjadi sarjana dan ilmuwan. Dia telah menguji ketajaman otak hibrida ini. Pendeknya semua soal sanggup dijawab tangkas oleh Pita Loka.
Dan suatu hari di depan kelas Gumara bertanya pada Pita Loka yang barusan menuntaskan soalan dalam waktulima menit dari waktu setengah jam yang disediakan.
“Setamat SMP, ke mana kau akan melanjutan pelajaran?” tanya Gumara.
“Kawin”, ujar murid lelaki. Ini menciptakan seisi kelas ketawa terkakah. Pita Loka biasanya tersipu-sipu malu tapi setuju. Kini ia berubah banyak. Dia yang gemar bercanda dan suka mendebat, menjelma pendiam. Hal itu pun diketahui oleh Gumara.
“Kamu pendiam sekarang, Pita Loka”, ujar Gumara.
“Patah hati, Pak”, kata murid-murid lelaki. Seisi kelas tertawa terkakah-kakah lagi.
Segera saja Gumara ingat pada kedatangan Pak Putih Kelabu dulu, Yang menyuruhnya melamar puterinya itu. Yang ditolaknya. Yang menyebabkan uji langgar tenaga. Yang mungkin saja hal itu diceritakannya pada Pita Loka, sehingga kelincahan Pita Loka yang dulu memikat, kini lenyap.
Hal ini pun diketahui oleh Hura Gatali, sekalipun hanya reka-rekaan saja. Hura Gatali yang bertubuh kekar itu, yang pernah dianggap pendekar muda sesudah berhasil membunuh seekor ular sanca yang panjanguya 15 meter itu, kini mencoba mendekati Pita Loka. Dicegatnya Pita Loka sepulang dari sekolah.
“Boleh saya temani kau pulang?” tanya Hura Gatali.
“Tidak”.
“Wah, mentang-mentang kau anggun ya, saya ini kau kira pengemis cinta!”
“Masa bodoh!” balas Pita Loka.
“Memang sobat kecantikan yaitu judes dan angkuh”, ujar Hura Gatali.
Pita Loka berhenti sejenak. Ingin saja diludahinya perjaka iseng itu. Lalu ia melanjutkan melangkah. Dan Hura Gatali melanjutkan menggoda.
“Percuma kau mengharapkan cinta Pak Gurumu. Semua orang tahu, bahwa Pak Gurumu lebih suka pada Harwati. Makara sebaiknya kau dengan saya saja”, ujar Hura Gatali menggoda.
Pita Loka menghentikan langkah. Dia menatap Hura Gatali. Kali ini bukan muka Hura Gatali yang diludahinya. Tapi tanah bumi yang ia ludahi sembari memaki
“ Lelaki tak tahu sopan santun!”
Dan Pita Loka melangkah bergegas pergi. Dan Hura Gatali termenung malu. Wajahnya merah padam hingga Pita Loka hilang di simpang jalan.
Bersambung...