Cerita Silat: Pantang Berdendam 14 - Seri Tujuh Insan Harimau

 Gumara hadir di Kumayan ini bukan untuk jadi guru sekolah Cerita Silat: Pantang Berdendam 14 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Gumara hadir di Kumayan ini bukan untuk jadi guru sekolah. Tapi untuk menggenapi kami yang enam menjadi tujuh. Harap kau ketahui, angka tujuh yaitu angka keramat, menyerupai semua angka ganjil 1, 3, 5, 7. Sedangkan 8, 9, 10 pun masih bisa dibagi!” Otak matematika Pita Loka lantas menjabarkan angka itu. Senyumlah dia.
Di depan kelas, Guru Gumara sedang menandakan pelajaran “Berdasarkan pembagian terstruktur mengenai secara matematis, angka 19 merupakan yang tertinggi. Dan itu inovasi saya, bukan Wagner dan bukan Einstein. Angka 19 yaitu pilar tertinggi dari semua angka!”
Pita Loka unjuk telunjuk “Bukannya angka 7 yang tertinggi, Pak?”
“Menurut saya, bukan angka 7. Menurut penelitian saya secara pribadi, angka 7 masih mengandung unsur relativitas. Tetapi angka 19 yaitu angka konkrit yang benar- benar tertinggi dan tak bisa dibagi. Kalau kau tak percaya, Pita Loka, tanyakan saja kepada ayahmu”.
Semua murid tertawa. Mereka mentertawakan Pita Loka, lantaran selama ini Pita Loka bisa menjawab, namun kali ini beliau terbengong-bengong.
Dan beliau pun tidak sanggup menyembunyikan wajahnya yang kagum dan jatuh cinta itu, seketika beliau memberi komentar “Pak Guru lebih pintar dan sarjana dunia mana pun”.
“Aku cuma menemukan teori matematika yang kusebut tadi itu menurut ayat Kitab Suci yang berbunyi Di atas itu, ada 19. Apa maksud ayat ini kecuali sebuah teori menurut matematika? Ingatlah kalau ayat itu berbunyi dalam Bahasa Inggerisnya Over it are nineteen. Di atas itu ada sembilanbelas. Nah, kini ada baiknya kita menciptakan soal”.
“Wuuuuu”, gerutu murid di kelas, lantaran mereka kurang bahagia apabila soalan matematika dibentuk dalam kelas.
Ketika murid sibuk menjawab soal, muncul Lading Ganda ke dalam kelas. Beliau dihormati ketika masuk oleh Gumara yang bertanya “Tuan guru ingin bertemu dengan saya?”
“Ya. Saya ingin bicara sebentar, Peto Alam”, ujar Lading Ganda.
Mereka berdua menghindari kelas dan keluar. Lelaki bau tanah itu berbisik “Maukah kau menolong keluarga kami?”
“Apa yang bisa saya tolong?” tanya Gumara.
“Puteriku yang sudah bersuami, diguna-gunakan orang.
Dia kini membLiat malu keluarga kami, merangkaki dinding!” ujar Lading Ganda.
“Wah, saya bukan dukun, Tuan!” ujar Gumara.
“Jadi Tuan menolak” permohonan saya yang cukup rendah hati?” tanya Lading Ganda dengan nada ancaman.
“Kalau begitu, akan saya coba sepulang mengajar nanti”, ujar Gumara. Tetapi Harwati memperhatikan dari kelasnya dengan cermat. Dia melihat ada hal yang tidak masuk akal apabila satria semacam Lading Ganda mendatangi Gumara ketika Gumara mengajar di kelas Pita Loka.
Maka ketika ada kesempatan pada jam istirahat, Harwati mendatangi Gumara yang kebetulan sedang berdebat dengan Pita Loka. Kata Harwati pada Pita Loka “Maaf saya mengganggu pembicaraanmu dengan Pak Guru. Saya bisa bicara sebentar saja dengan Pak Guru?”
“Boleh. Tapi Pita Loka sebaiknya ikut mendengar. Sebab saya tak suka pembicaraan rahasia”, ujar Gumara.
“Ah, beliau akan mentertawakan saya, Pak”, ujar Harwati.
“Kalau begitu saya menyingkir demi sopan santun”, ujar Pita Loka yang segera menghindar.
“Adaapa sih?” tanya Gumara.
“Tadi Lading Ganda menemui bapak?” tanya Harwati.
“Ya betul.”.
“Puterinya terkena guna-guna. Tentu bapak dimintainya pertolongan”, ujar Harwati.
“Betul. Saya sudah berjanji tiba ke rumahnya”.
“Hati-hati, Pak. Itu cuma samaran. Bapak tahu, di Kumayan ini ada enam jagoan. Satu di antaranya Lading Ganda. Tiap satria di Kumayan, ingin menguji ilmu bapak. Itu tipu tipu muslihat Lading Ganda saja, pak”.
Gumara hanya tersenyum santai “Ah, kita tak bolah jelek sangka pada siapa pun.
Saya hadir di Kumayan dengan maksud baik. Sebagai guru sekolah. Kamu tak usah risau”. Mendengar penolakan sarannya itu, Harwati amat kecewa. Dan cemas!
Sehingga beliau ingin menanamkan kecerdikan baiknya lagi kepada sang guru. Maka beliau buru- buru pulang sebelum jam mencar ilmu habis hari itu. Dia khusus berjalan melewati rumah Lading Ganda. Memang kedengaran bunyi teriakan histeris orang kesurupan. Dan lantaran itu pula ada alasan baginya untuk mampir ke rumah Ki Lading Ganda, Ketika dilihatnya Pina-- Puteri sulung Lading Ganda--merangkaki dinding dengan berteriak- teriak, Harwati berkonsentrasi sejenak. Ki Lading Ganda tahu bahwa puteri Ki Lebai Karat ketika itu sedang berkonsentrasi. Tepat ketika itu Gumara memberi salam ke seisi rumah untuk masuk.
Konsentrasi Harwati tetap tak buyar dengan datangnya Gumara. Gumara pun hasilnya tahu Harwati sedang berkonsentrasi dan sedang menerima kesulitan. Gumara ingin membantu Harwati yang sedang menerima kesulitan. Diam-diam beliau menatap mata Pina yang kayak mata setan.
Tiga belas orang yang hadir tegang semuanya. Tapi semuanya tak mengetahui apa yang sedang diperbuat Gumara, lantaran semua mata memperhatikan tingkah Harwati yang begitu tegang dalam konsentrasi. Juga semua orang tak mengetahui ketika Gumara melenguh dan lenguhannya bagaikan menampar muka Pina. Dan Pina terbanting di lantai kemudian sadarkan diri.
Ketika itu pula Harwati menyebarkan jari-jarinya yang tadi tergenggam bagai tinju.
“Nah, Ki Lading Ganda sebaiknya berterimakasih kepada puteri Ki Karat. Saya kira puteri anda telah sembuh total”, ujar Gumara.
Harwati bahagia sekali, lantaran di balik kalimat gurunya ini tersembunyi kebanggaan tak langsung.
Lalu, ketika Harwati pamitan pada keluarga Lading Ganda, maka Gumara pun ikut berpamitan. Dengan alasan terburu waktu, Gumara menolak minuman kopi daun yang disediakan Lading Ganda untuknya, juga untuk Harwati.
Gumara dan Harwati jalan beriringan. Jalan itu menuju rumah Gumara. Harwati berkata “Saya cemas sekali bapak akan lebih dulu tiba di rumah Ki Lading Ganda. Maka saya segera meninggalkan kelas sebelum pelajaran selesai”.
“Kau masih saja berburuk sangka”, kata Gumara.
“Itu hal yang pasti. Bapak tahu, yang meracun bapak bergotong-royong bukannya bu Tarikh.
Bu Tarikh cuma minta rempah-rempah racun itu kepada Lading Ganda untuk beliau masukkan ke dalam makanan rantang yang diantar Pak Yunus. Tahukah bapak bahwa ayahku mati-matian melaksanakan pengobatan terhadap Bu Tarikh dalam jarak jauh sewaktu ayahku menyuruh bapak segera menemui Bu Tarikh?”
“Salam terimakasihku pada Ki Karat, ayahmu, atas dukungan dari jauh itu. Juga terimakasih padamu yang tadi sudah mendahuluiku mengobati si Pina sebelum saya kena jebakan Lading Ganda”.
Di samping jalan itu, Pita Loka memergoki Harwati dan Guru Gumara sedang melangkah berdampingan. Pita Loka bukan menghindar, tetapi menggabung. Dan pribadi saja berkata mengolok gurunya; “Wah, Pak Guru barusan saja jadi dukun menyembuhkan Ki Lading Ganda ya?”
Harwati mendongak kepada Pita Loka “Itu hanya jebakan, lantaran itu saya mendahului tiba ke rumah si Pina. Yang menciptakan si Pina histeris kayak orang asing itukan ayahnya sendiri, Pita?”
“O, jadinya kau yang dukun, Wati?” Pita Loka sinis.
“Kau jangan menyindir, Pita”, ujar Harwati.
Kemudian Gumara berhenti melangkah “Saya akan istirahat. selamat siang”. Harwati dan Pita Loka sadar bahwa mereka berdua ditinggalkan Gumara yang pribadi memasuki pekarangan rumahnya.
“Saya rasa kita berdua tak usah bersaing lagi, Wati”, ujar Pita Loka sewaktu keduanya sama melangkah meninggalkan daerah mereka tercengang tadi.
“Apa kau merasa saya menyaingi kamu?” tanya Harwati.
“Saya merasa begitu”, kata Pita Loka.
“Saya hanya menyelamatkan Pak Guru”, ujar Harwati.
“Untuk menanam kecerdikan baik kedua kalinya?”
“Ya”. sahut Harwati tegas.
“Tapi budimu tetap saja tidak dibalasnya dengan cintanya. Dia lebih menyukai ilmu matematika dari ilmu ghaibmu itu, Wati. Tapi kalau pun beliau bersimpati lantaran di kelasku akulah satria matematika, toh Pak Guru tidak juga akan jatuh cinta pada saya. Itu maka kau dan saya tidak perlu bersaing lagi. Secara singkat, Wati . . . di Kumayan ini tak ada satu insan pun yang ditakuti, dikagumi dan dicintai Pak Guru. Termasuk enam insan harimau yang hebat-hebat menyerupai ayahmu, ayah saya maupun Lading Ganda. Kita hanya kehabisan energi untuk mamperebutkan Pak Guru”.
Harwati terdiam sejenak, meski hatinya jengkel.
Dan mereka berdua tetap berjalan seiring, sekalipun dengan batin yang bertentangan.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel