Cerita Silat: Pantang Berdendam 13 - Seri Tujuh Insan Harimau
Selasa, 11 November 2014
Sebelumnya...
Ki Putih Kelabu mulai geram. Terdengar dengus nafasnya yang sesak, nafas harimau! “Puteri tuan, Pita Loka, rasanya belum patut diperisteri. Baik oleh saya, maupun oleh lelaki lain. Dia terlalu muda”, kata Gumara. “Anda hanya berkilah, Peto A/am! ” Aku ingin menguji, hingga mana batas maluku!” bunyi Ki Putih Kelabu menjadi tambah geram. “Tuan jangan tantang saya berkelahi, Ki Putih Kelabu!” ujar Gumara, “Aku tak pintar berkelahi. Aku hanya guru matematika”.
Tapi ucapan Gumara yang sabar, bukan menjadi air si cuek . Malah ucapan Gumara dianggap air mendidih yang disiramkan ke mukanya. Ki Putih Kelabu dengan secepat kilat meloncat dan tubuhnya pribadi menjelma seekor harimau.
“Pulanglah anda!” pinta Gumara.
Tetapi harimau itu menggeram dengan bengis. Dengan satu gerak mundur, beliau kemudian meloncat ke depan menerkam Gumara.
Gumara mencoba menangkis dengan tendangan sembari jatuh miring. tendangan itu agaknya begitu hebat, sehingga darah bercucuran dari tulang rusuk sang harimau.
Harimau itu tetap saja menghambur deras, menerkam Gumara. Tetapi Gumara mengibaskan lengan untuk mengelak, sehingga sang lawan tersungkur sesudah menghajar sebuah dingklik hingga hancur.
Gumara tegak tegap menanti.
Dia berharap si renta itu kapok. Dia menghirup nafas sejenak, dan hampir saja lengah.
Satu tubrukan ditangkisnya dengan tinju. Tepat mengenai dada harimau itu sebelum cakarnya mengenai muka Gumara.
Rupanya tinju itu begitu ampuh.
Terdengar bunyi hentakan nafas dari verbal harimau itu menjelang beliau jatuh tertelentang.
Gumara tidak ingin melayaninya lagi. Gumara pribadi ke kamar mandi. Dia handuki keringatnya. Keringatnya menetes lagi. Dia berhanduk lagi! Dan kemudian beliau melihat pada jam dinding. Wah, satu jam kami telah berkelahi. Tapi rupanya perkelahian sedemikian jago dan cepatnya. Keringatnya dihapusnya lagi dan dipungutnya belahan dingklik tadi, sembari melirik ke badan yang terlentang di lantai itu.
Dan badan itu bukan badan harimau iagi. Tetapi badan lelaki tua, Ki Putih Kelabu. Jidatnya berbekaslima garis yang masih menetes luka.
Rusuk bajunya robek dan darisana tampak juga darah.
Gumara kasihan juga padanya. Dalam keadaan si renta pingsan itu, Gumara mendekapkan telapak tangan pada luka di jidat dan di perut. Hingga keringlah seketika. Lalu Ki Putih Kelabu siuman dari pingsan. Dan berdiri dengan meringis. Dia memegang dadanya, Gumara berkata, “Pak, coba buka pakaian tuan. Tadi saya tinju dada tuan”. Ki Putih Kelabu membuka pakaiannya. Tampak bekas tinju Gumara membiru di dadanya. Lalu Gumara melekatkan jempol jari ke langit-langit mulut. Lumeran dari langit-langit verbal itu digosokkan Gumara ke dada yang biru itu. Ki Putih Kelabu meringis, Gumara berkata, “Tahankan sebentar”, kemudian beliau barut dengan jempol jarinya ke bekas tinju yang membiru itu.
“Aku ingin berguru padamu, Peto Alam”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Cukup puteri anda saja yang berguru matematika pada saya”, sahut Gumara.
“Di mana kau belajr ilmu macanan begitu hebatnya?” ujar Pak Tua.
“Belajar? Saya tak pernah berguru kecuali untuk menjadi guru sekolah Sekolah Menengah Pertama saja”.
“Luar biasa!” ujar Ki Putih Kelabu.
“Ah, saya cuma orang biasa saja”.
Setelah mohon maaf pada Gumara, Ki Putih Kelabu pun pulang. Dia melihat wajahnya di cermin, Bekas cakaran layaknya! Juga di perut bekas cakaran macan juga! Ha?
Dan rupanya, perkelahian seru yang satu jam malam itu, menciptakan Ki Putih Kelabu lelah sekali. Dia tidur menggeletak begitu saja bagaikan orang mati, hingga tiba waktunya subuh.
Betapa terkejutnya Pita Loka sewaktu kembali dari surau, mendapat ayahnya ketiduran. Dia kasihan melihat sang ayah bagai lelaki renta tidak diurus sepertinya!
Diciumnya kening sang ayah dengan sayang. Tapi beliau amat terkejut melihat bekas guratan luka yang mengering!
“Ayah!”
“Apa Pita?”
“Ini bekas luka?”
Lalu diguncangnya sang ayah dengan kesal. Tapi Ki Putih Kelabu pun kesal pula lantaran letihnya belum hilang.
“Ini di jidat ayah semacam bekas cakaran yang mengering, apa ayah kembali langgar dengan Ki Lebai Karat?” tanya Pita Loka.
“Bukan”, sahut Ki Putih Kelabu.
“Ayah jangan berdusta!”
“Sungguh bukan, Pita. ini cuma perkelahian dengan harimau biasa. Aku tadi malam ingin berlatih silat lagi, kemudian kuundang si Mantege”.
Setelah menyiapkan sarapan pagi dengan kopi daun (kopi daun yaitu ternikmat bagi pewaris ilmu harimau . . . maka Pita Loka menyelidiki lagi bekas luka di kening itu.
“Itu bukan bekas cakaran harimau, niscaya cakaran Ketua Harimau. Rupanya ayah ingin menerangkan diri lebih jago dari Ki Karat, ya?”
“Lagi-lagi kau sebut lagi nama Ki Karat! Kau kira ia pantas kulawan untuk menggertak dia? Untuk menerangkan padanya, bahwa bila saya menang dari Ki Karat lantas kau patut jadi isteri Gumara?”
“Ayah harimau renta yang konyol”, Pita Loka menggerutu.
“Sebentar, Pita!” ujar Ki Putih Kelabu geram.
“Aku mau menyiapkan buku-buku pelajaran”, Pita Loka tak acuh.
Ki Putih Kelabu mendatangi puterinya tercinta. Dibelainya rambut Pita Loka yang sedang berkaca di beling hias antik itu, kemudian bertanya “Kau kira kau begitu elok dari Harwati, sehingga Gumara Peto Alam dapat tergiur padamu?”
Mendengar ucapan ayahnya itu, Pita Loka berkata geram “Yang jelas, saya tidak membutuhkan pemberian ayah dalam bersaing dengan Harwati !”
Dan Pita Loka mengulangi kemba!i kejengkelannya “Ayah konyol”.
Ki Putih Kelabu meninggalkan puterinya menuju ruang tengah. Sembari tegak beliau menikmati kopi daun. Dia berkata “Semoga kau dengar, Ki Karat bukan sainganku.
Tapi pasti, Harwati sainganmu. Kau tidak mempunyai kelebihan apa-apa dari sainganmu”.
Ucapan itu didengar Pita Loka yang sedang bersisir. Gadis itu melempar sisir ke daerah tidur. Dia melangkah jantan mendekati sang ayah kemudian membalas “Harwati tidak pantas jadi tentangan saya”.
“Kau mengira Gumara mencintaimu, ya nak?” tanya sang ayah bernada sedih.
“Ya”.
“Kalau ya, potong semua kuku-kuku harimauku”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Kenapa ayah begini pesimis? Tak layak seorang satria di antara enam satria Kumayan ini untuk berkata demikian!” ujar Pita Loka.
“Kini di Kumayan bukannya enam satria lagi yang menjadi pagar kejantanan. Kini di Kumayan telah ada tujuh jagoan, anakku!”
“Tujuh?” tanya Pita Loka heran.
“Betul, tujuh. Yang ketujuh itu yaitu Gumara Peto Alam”.
Mendengar itu, Pita Loka tersenyum menyeringai. Hatinya begitu yakin dikala berkata “Tidak pernah saya dengar, satria yang pintar tinggi pantas terkena racun hingga muntah darah”.
“Itu saya tahu. Aku sudah faham mendengar laporanmu dikala Gumara muntah darah di dalam kelas. Lalu Harwati yang mengobatinya dengan ilmu warisan ayahnya yang hebat. Tapi siapa tahu itu cuma siasat saja? Untuk mengelabui anggapan enam harimau Kumayan lainnya? Baru terbukti beliau bukan satria ilmu ghaib bila beliau mati diracun!”
Pita Loka mencoba mencerca analisa ayahnya. Baru beliau berkata kemudian dengan nada niscaya “Dia lebih menyukai ilmu matematika ketimbang ilmu ghaib yang tidak masuk nalar itu. Dia bukan tampang insan yang gemar berkelahi. Dia lebih pantas untuk dicintai daripada untuk dilawan, ayah!”
“Soal begitu, saya tak usah kau ajari, anakku! Akulah yang pantas mengajari kamu. bahwa Jagoan yang menyamar lebih berbahaya daripada yang suka pamer kekuatan.
Bersambung...
Ki Putih Kelabu mulai geram. Terdengar dengus nafasnya yang sesak, nafas harimau! “Puteri tuan, Pita Loka, rasanya belum patut diperisteri. Baik oleh saya, maupun oleh lelaki lain. Dia terlalu muda”, kata Gumara. “Anda hanya berkilah, Peto A/am! ” Aku ingin menguji, hingga mana batas maluku!” bunyi Ki Putih Kelabu menjadi tambah geram. “Tuan jangan tantang saya berkelahi, Ki Putih Kelabu!” ujar Gumara, “Aku tak pintar berkelahi. Aku hanya guru matematika”.
Tapi ucapan Gumara yang sabar, bukan menjadi air si cuek . Malah ucapan Gumara dianggap air mendidih yang disiramkan ke mukanya. Ki Putih Kelabu dengan secepat kilat meloncat dan tubuhnya pribadi menjelma seekor harimau.
“Pulanglah anda!” pinta Gumara.
Tetapi harimau itu menggeram dengan bengis. Dengan satu gerak mundur, beliau kemudian meloncat ke depan menerkam Gumara.
Gumara mencoba menangkis dengan tendangan sembari jatuh miring. tendangan itu agaknya begitu hebat, sehingga darah bercucuran dari tulang rusuk sang harimau.
Harimau itu tetap saja menghambur deras, menerkam Gumara. Tetapi Gumara mengibaskan lengan untuk mengelak, sehingga sang lawan tersungkur sesudah menghajar sebuah dingklik hingga hancur.
Gumara tegak tegap menanti.
Dia berharap si renta itu kapok. Dia menghirup nafas sejenak, dan hampir saja lengah.
Satu tubrukan ditangkisnya dengan tinju. Tepat mengenai dada harimau itu sebelum cakarnya mengenai muka Gumara.
Rupanya tinju itu begitu ampuh.
Terdengar bunyi hentakan nafas dari verbal harimau itu menjelang beliau jatuh tertelentang.
Gumara tidak ingin melayaninya lagi. Gumara pribadi ke kamar mandi. Dia handuki keringatnya. Keringatnya menetes lagi. Dia berhanduk lagi! Dan kemudian beliau melihat pada jam dinding. Wah, satu jam kami telah berkelahi. Tapi rupanya perkelahian sedemikian jago dan cepatnya. Keringatnya dihapusnya lagi dan dipungutnya belahan dingklik tadi, sembari melirik ke badan yang terlentang di lantai itu.
Dan badan itu bukan badan harimau iagi. Tetapi badan lelaki tua, Ki Putih Kelabu. Jidatnya berbekaslima garis yang masih menetes luka.
Rusuk bajunya robek dan darisana tampak juga darah.
Gumara kasihan juga padanya. Dalam keadaan si renta pingsan itu, Gumara mendekapkan telapak tangan pada luka di jidat dan di perut. Hingga keringlah seketika. Lalu Ki Putih Kelabu siuman dari pingsan. Dan berdiri dengan meringis. Dia memegang dadanya, Gumara berkata, “Pak, coba buka pakaian tuan. Tadi saya tinju dada tuan”. Ki Putih Kelabu membuka pakaiannya. Tampak bekas tinju Gumara membiru di dadanya. Lalu Gumara melekatkan jempol jari ke langit-langit mulut. Lumeran dari langit-langit verbal itu digosokkan Gumara ke dada yang biru itu. Ki Putih Kelabu meringis, Gumara berkata, “Tahankan sebentar”, kemudian beliau barut dengan jempol jarinya ke bekas tinju yang membiru itu.
“Aku ingin berguru padamu, Peto Alam”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Cukup puteri anda saja yang berguru matematika pada saya”, sahut Gumara.
“Di mana kau belajr ilmu macanan begitu hebatnya?” ujar Pak Tua.
“Belajar? Saya tak pernah berguru kecuali untuk menjadi guru sekolah Sekolah Menengah Pertama saja”.
“Luar biasa!” ujar Ki Putih Kelabu.
“Ah, saya cuma orang biasa saja”.
Setelah mohon maaf pada Gumara, Ki Putih Kelabu pun pulang. Dia melihat wajahnya di cermin, Bekas cakaran layaknya! Juga di perut bekas cakaran macan juga! Ha?
Dan rupanya, perkelahian seru yang satu jam malam itu, menciptakan Ki Putih Kelabu lelah sekali. Dia tidur menggeletak begitu saja bagaikan orang mati, hingga tiba waktunya subuh.
Betapa terkejutnya Pita Loka sewaktu kembali dari surau, mendapat ayahnya ketiduran. Dia kasihan melihat sang ayah bagai lelaki renta tidak diurus sepertinya!
Diciumnya kening sang ayah dengan sayang. Tapi beliau amat terkejut melihat bekas guratan luka yang mengering!
“Ayah!”
“Apa Pita?”
“Ini bekas luka?”
Lalu diguncangnya sang ayah dengan kesal. Tapi Ki Putih Kelabu pun kesal pula lantaran letihnya belum hilang.
“Ini di jidat ayah semacam bekas cakaran yang mengering, apa ayah kembali langgar dengan Ki Lebai Karat?” tanya Pita Loka.
“Bukan”, sahut Ki Putih Kelabu.
“Ayah jangan berdusta!”
“Sungguh bukan, Pita. ini cuma perkelahian dengan harimau biasa. Aku tadi malam ingin berlatih silat lagi, kemudian kuundang si Mantege”.
Setelah menyiapkan sarapan pagi dengan kopi daun (kopi daun yaitu ternikmat bagi pewaris ilmu harimau . . . maka Pita Loka menyelidiki lagi bekas luka di kening itu.
“Itu bukan bekas cakaran harimau, niscaya cakaran Ketua Harimau. Rupanya ayah ingin menerangkan diri lebih jago dari Ki Karat, ya?”
“Lagi-lagi kau sebut lagi nama Ki Karat! Kau kira ia pantas kulawan untuk menggertak dia? Untuk menerangkan padanya, bahwa bila saya menang dari Ki Karat lantas kau patut jadi isteri Gumara?”
“Ayah harimau renta yang konyol”, Pita Loka menggerutu.
“Sebentar, Pita!” ujar Ki Putih Kelabu geram.
“Aku mau menyiapkan buku-buku pelajaran”, Pita Loka tak acuh.
Ki Putih Kelabu mendatangi puterinya tercinta. Dibelainya rambut Pita Loka yang sedang berkaca di beling hias antik itu, kemudian bertanya “Kau kira kau begitu elok dari Harwati, sehingga Gumara Peto Alam dapat tergiur padamu?”
Mendengar ucapan ayahnya itu, Pita Loka berkata geram “Yang jelas, saya tidak membutuhkan pemberian ayah dalam bersaing dengan Harwati !”
Dan Pita Loka mengulangi kemba!i kejengkelannya “Ayah konyol”.
Ki Putih Kelabu meninggalkan puterinya menuju ruang tengah. Sembari tegak beliau menikmati kopi daun. Dia berkata “Semoga kau dengar, Ki Karat bukan sainganku.
Tapi pasti, Harwati sainganmu. Kau tidak mempunyai kelebihan apa-apa dari sainganmu”.
Ucapan itu didengar Pita Loka yang sedang bersisir. Gadis itu melempar sisir ke daerah tidur. Dia melangkah jantan mendekati sang ayah kemudian membalas “Harwati tidak pantas jadi tentangan saya”.
“Kau mengira Gumara mencintaimu, ya nak?” tanya sang ayah bernada sedih.
“Ya”.
“Kalau ya, potong semua kuku-kuku harimauku”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Kenapa ayah begini pesimis? Tak layak seorang satria di antara enam satria Kumayan ini untuk berkata demikian!” ujar Pita Loka.
“Kini di Kumayan bukannya enam satria lagi yang menjadi pagar kejantanan. Kini di Kumayan telah ada tujuh jagoan, anakku!”
“Tujuh?” tanya Pita Loka heran.
“Betul, tujuh. Yang ketujuh itu yaitu Gumara Peto Alam”.
Mendengar itu, Pita Loka tersenyum menyeringai. Hatinya begitu yakin dikala berkata “Tidak pernah saya dengar, satria yang pintar tinggi pantas terkena racun hingga muntah darah”.
“Itu saya tahu. Aku sudah faham mendengar laporanmu dikala Gumara muntah darah di dalam kelas. Lalu Harwati yang mengobatinya dengan ilmu warisan ayahnya yang hebat. Tapi siapa tahu itu cuma siasat saja? Untuk mengelabui anggapan enam harimau Kumayan lainnya? Baru terbukti beliau bukan satria ilmu ghaib bila beliau mati diracun!”
Pita Loka mencoba mencerca analisa ayahnya. Baru beliau berkata kemudian dengan nada niscaya “Dia lebih menyukai ilmu matematika ketimbang ilmu ghaib yang tidak masuk nalar itu. Dia bukan tampang insan yang gemar berkelahi. Dia lebih pantas untuk dicintai daripada untuk dilawan, ayah!”
“Soal begitu, saya tak usah kau ajari, anakku! Akulah yang pantas mengajari kamu. bahwa Jagoan yang menyamar lebih berbahaya daripada yang suka pamer kekuatan.
Bersambung...