Cerita Silat: Pantang Berdendam 12 - Seri Tujuh Insan Harimau

 perempuan yang tak sadar dan muntah darah itu berteriak Cerita Silat: Pantang Berdendam 12 - Seri Tujuh Manusia Harimau
Sebelumnya...
Aneh sekali, ketika Gumara memasuki rumah Tarikh, perempuan yang tak sadar dan muntah darah itu berteriak, bagai mengenalnya “Peto Alam, tolong hentikan muntahku”. Gumara heran, dan tak tahu menahu bagaimana caranya. Sebab beliau bukan dukun. Dia cuma memekap lisan perempuan itu. Lalu perempuan itu menggelepar. Tetapi kemudian sesudah Gumara melihat perempuan itu sudah sadarkan diri, pekapan telapak tangannya pada lisan Bu Tarikh dilepasnya.
Darah tak keluar lagi. Bu Tarikh kemudian duduk bersimpuh. Dia melihat Gumara berdiri, tapi dijambanya kaki lelaki muda itu, seraya bersembah; “Ampuni kesalahan saya. Hampir saja saya mati konyol, Peto Alam”.
Semua yang menyaksikan insiden itu tercengang. Mereka bergumam. Tapi Gumara kemudian berkata; “Tolong buatkan masakan yang lebih lezat besok ya Bu Tarikh?” Pak Tarikh kemudian menoleh pada isterinya.Ada bahasa diam-diam antara kedua suami isteri itu, tanpa berkata sepatahpun.
Seperginya Gumara, Pak Tarikh memberitahu pada tetangga-tetangga yang menengok insiden menakutkan tadi “Maaf, mungkin kalian semua sudah lelah, dan isteriku pun lelah”.
Semua tamu pulang. Sepulangnya mereka Pak Tarikh berkata pada isterinya,
“Ternyata kau lebih dulu dari saya”.
“Aku menyesal telah meracuni dia”, kata Bu Tarikh.
“Sekarang tahulah kita, beliau bukan sembarang manusia. Jangan-jangan beliau mempunyai ilmu Harimau Juga”, kata Pak Tarikh.
Sementara itu Gumara telah tiba di rumah.
Pak Yunus bertanya “Sempat bertemu dengan Lebai Karat?”
“Sempat”, sahut Gumara membuka jacketriya.
“Lalu, besok masakan rantang kita minta pada orang lain?”
“Jangan. Itu akan menyinggung perasaan. Tetap saja minta masakan rantang dari Bu Tarikh”.
Yunus terdiam sesaat, kemudian beliau pamitan.
Dan Gumara kemudian menggeletak di balai-balai. Kedua telapak tangannya dijadikan bantalan. Ketika itu beliau seakan berbicara dengan dirinya sendiri “Aku tiba ke Kumayan ini untuk kebaikan. Kenapa saya disambut dengan kejahatan berturut-turut”.
Dan pagi harinya Gumara kaget sekali mendengar bunyi ketukan pintu yang agak keras. Ketika beliau buka, dilihatnya Pita Loka yang anggun sudah bangun di depan pintu. Gadis itu bertanya “Pagi ini Bapak tidak mengajar?”
“Pagi ini tidak”, ujar Gumara.
“Jam berapa Bapak mengajar?”
“Jam sepuluh”.
Dan barusan saja Pita Loka akan pamit, muncul pula Harwati. Harwati menyapa Pita Loka. kemudian beliau bertanya pada Gumara; “Berhasilkah pak Guru tadi malam?”
“Berhasil. Tapi saya bukan dukun. Aku hanya menuruti perintah Ayahmu saja, Wati”.
Ucapan itu menjadi tanda tanya bagi Pita Loka, yang masih sempat mendengar seraya keluar dari pekarangan. Maka ditunggunya Harwati di pekarangan. Tetapi hingga bersahabat lonceng masuk kelas pelajaran pertama berbunyi, Pita Loka belum melihat Harwati muncul. Perasaan cemburunya pun berkobar.
Dan rupanya, persaingan antara Harwati dan Pita Loka tidak sanggup dirahasiakan lagi. Bahkan hal ini hingga ke indera pendengaran Ki Putih Kelabu, ayah Pita Loka. Ayah yang bijak itu memanggil Pita Loka ketika gadis ini pulang dari sekolah.
“Saya bangga dan lantaran itu ingin bicara denganmu, nak”, ujar sang Ayah.
“Gembira lantaran apa, Ayah? Dan bicara perihal apa?” tanya Pita Loka.
“Saya bangga lantaran mendengar kau jatuh hati pada Guru Gumara”.
“Hmmm”.
“Dan saya ingin bicara perihal itu, nak.”
Sang Ayah memilin-milin Jenggotnya. Dia bergotong-royong gemetaran. Tapi beliau memaksakan diri juga untuk berkata “Segembira-gembira seorang ayah, tetapi kalau ada sesuatu yang kurang wajar, perlu dikatakan juga, Pita Loka”
“Katakan saja. Jangan bicara bertele-tele”, kata Pita Loka.
“Kau . . . akan sia-sia, Pita Loka!”
“Saya akan berhasil. Berhasil menyantol Pak Guru Gumara”, ujar gadis itu dengan nada ketus.
“Nanti kau akan kecewa”, kata Ki Putih Kelabu.
“Dari sudut apa ayah berkesimpulan begitu?”
“Dari sudut ilmuku, tentu”.
“Ilmu ayah itu tidak rasional. Tapi alasan saya niscaya masuk akal. Pak Gumara akan terpikat pada saya, lantaran saya menyenangi ilmu Matematika. Dan beliau selalu kagum kalau ada soal saya cepat menjawabnya”.
“Itu sajakah alasanmu?” tanya Ki Putih Kelabu.
“Alasan lain yaitu lantaran saya lebih anggun dari Harwati. Semua teman bilang begitu”.
“Tapi saya tetap gembira, lantaran kau selalu punya keyakinan teguh berdasarkan otak encermu itu. Namun ada kenyataan lain yang tidak sanggup kau bantah. Tahukah kau, semenjak beliau berada di Kumayan ini tidak seorang pun guru-guru yang beliau datangi rumahnya, kecuali Ki Lebai Karat?
Dia guru besar, memang itu wajar. Tapi saya tahu, Harwati lebih gesit mengajak Gumara ke rumahnya dengan alasan bekerjasama dengan ayahnya. Dalam matematika kau memang hebat, tapi dalam hal siasat Harwati lebih hebat”, Pita Loka hanya tersenyum sinis. Lalu berkata gagah “Saya tidak sudi numpang bercinta dengan nama besar ayahku. Harwati menumpang dengan nama besar Ki Lebai Karat.
Saya ingin berjuang sendirian, tanpa bantuan. Tapi Harwati juga berjuang mau merebut Gumara dengan derma ayah”,
“Dan beliau akan menang”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Huh! Pak Guru tidak pernah kagum pada seseorang yang nebeng dengan kebesaran ayahnya. Dia kagum padaku, saya yakini itu!” ujar Pita Loka tandas. Hal ini menciptakan Ki Putih Kelabu penasaran. Tengah malam beliau duduk bersila menyatukan konsentrasi. Lalu beliau berubah menjadi menjadi seekor harimau. Dan beliau menyelinap keluar rumah secara rahasia. Keluar masuk kebun jeruk dan kebun pisang, di tengah malam itu Ki Putih Kelabu hingga juga ke pekarangan rumah Gumara.
Gumara sedang tidur pulas, Tapi kepulasannya terganggu oleh suatu kedaluwarsa yang amis. Bau bangkai! Dia memeriksa keadaan sekeliling.
Lalu beliau membuka pintu.
Gumara tersentak sejenak begitu melihat seekor harimau bersimpuh sempurna di depan tangga rumahnya ia tahu, itu bukan harimau sejati, tapi harimau jadi-jadian. Dan ia yakin, ini salah seekor dari harimau-harimau Kumayan yang sakti. Ia berkata pada harimau itu dalam bahasa insan “Silahkan bertamu, tuan. Tapi kalau tuan memasuki rumahku ini, harap tuan berubah menjadi jadi insan biasa saja”. Gumara sengaja meninggalkan pintu masuk ke dalam, kemudian beliau duduk menanti. Lalu kedengaran pintu berciut. Gumara mendongak menatap, Tampak olehnya lelaki bau tanah berjenggot dan Gumara amat kagum melihat kebersihan wajah lelaki bau tanah itu. “Anda belum mengenal siapa saya”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Saya mengenal tuan, Bukankah tuan yaitu Ki Putih Kelabu, ayah Pita Loka yang terpelajar matematika?”
“Betul”.
“Tentu ada keperluan penting maka tuan di tengah malam ke sini”.
“Betul. Saya ingin membicarakan sesuatu. Sesuatu yang penting bagi diri saya, keluarga saya maupun keturunan saya”, ujar Ki Putih Kelabu.
“Saya kira ada baiknya tuan bicara terus terang”, kata Gumara.
“Baiklah. Kami dari keturunan baik-baik dan lantaran itu ingin menjalin darah dengan keturunan yang baik pula. Maksud saya, sebelum didahului orang lain, ada baiknya saya mendahului. Secara ringkas, saya ingin semoga nak Gumara Peto Alam segera saja bertunangan dengan anak saya Pita Loka. Saya kuatir, saya mempunyai tentangan berat, puteri Ki Lebai Karat yang konon menaruh hati pada anda”.
Gumara mencoba tersenyum. Kendati senyumnya pahit. Dan kepahitan senyum itu dirasakan oleh Ki Putih Kelabu. Orangtua itu mulai merasa tak lezat badan. Dia menjadi rikuh. Apalagi Gumara hanya berdiam diri saja.
Ki Putih Kelabu mencoba menatap mata Gumara. Dia mencoba mengukur hingga di mana ilmu ghaib yang dimiliki Gumara.
Dan dengan memberanikan diri, Ki Putih Kelabu bertanya “Anda menolak?”
Gumara hanya berdiam diri. Dia mencoba tersenyum lagi. Tapi pahit lagi! Dan Ki Putih Kelabu seketika menjadi malu. Dia bertanya dengan menahan malu “Jadi anda telah ada pilihan?”
“Belum!”
“Anda jangan berdustal”
“Jangan marah, pak. Kita baik-baik saja. Saya tidak berdusta, dan saya memang belum ada pilihan”, kata Gumara, tenang.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel