Mahabarata Episode 19: Pertarungan Melawan Jarasandha

 Syahdan di Kerajaan Magadha ketika itu memerintah Brihadratha yang termashyur Mahabarata Episode 19: Pertarungan Melawan Jarasandha
Sebelumnya...
Syahdan di Kerajaan Magadha ketika itu memerintah Brihadratha yang termashyur. Raja itu memiliki tiga pasukan perang yang populer gagah berani. Raja Briha- dratha menikah dengan putri kembar Raja Kasi dan ber- sumpah akan selalu bersikap adil kepada kedua istrinya. Sayang, walaupun sudah usang menikah, mereka belum dikaruniai anak. Ketika merasa sudah tua, ia menyerah- kan tampuk pemerintahan kepada para menterinya kemudian pergi ke hutan bersama kedua istrinya untuk bertapa. Sebelum mulai bertapa, ia pergi ke pertapaan Resi Kau- sika, keturunan Gautama, untuk mengadukan kesedihan- nya alasannya tidak dikaruniai anak. “Wahai Resi yang mulia, saya tidak punya anak seorang pun. Aku telah menye- rahkan pemerintahan kerajaanku kepada orang lain untuk pergi bertapa. Tolonglah aku, berilah saya anak.”
Resi Kausika merasa iba dan menjawab, “Ambillah ini dan berikan kepada istrimu. Permohonanmu akan dikabul- kan.” Sambil berkata demikian, ia menyerahkan sebutir mangga yang kebetulan jatuh di pangkuannya.
Brihadratha membelah mangga dukungan resi itu menjadi dua kemudian memberikannya kepada kedua istrinya dengan adil. Beberapa waktu kemudian kedua istrinya mengandung dan pada waktunya keduanya melahirkan. Tetapi alangkah sedihnya Brihadratha alasannya mereka melahirkan bayi absurd yang angker alasannya berkaki, bermata, dan bertelinga satu, sementara badan, muka dan kepalanya hanya setengah. Dengan perasaan sedih bercampur ngeri, Brihadratha menyuruh kedua istrinya membungkus bayi-bayi itu dengan kain dan membuangnya jauh-jauh. Kedua bayi dibuang ke gundukan sampah di pinggir kota.
Menjelang senja, pada ketika sandyakala, ada raksasa wanita lewat di situ. Ia mencium anyir daging insan dalam onggokan sampah. Diaduk-aduknya gundukan itu dan ia menemukan bungkusan kain berisi dua potong tubuh bayi. Dia mengamati dan menyambung-nyambung potongan-potongan tubuh itu sampai menjadi satu tubuh bayi insan yang utuh. Raksasa wanita itu senang sekali melihat tubuh itu mulai berdenyut dan bergerak. Ia tidak berniat membunuh makhluk mungil itu.
Ia menyamar sebagai seorang wanita renta kemudian pergi menghadap Brihadratha untuk mempersembahkan bayi itu. “Bayi ini putra Tuanku. Ambillah dan rawatlah dia,” katanya.
Brihadratha dan kedua istrinya mendapatkan bayi itu dengan senang hati. Bayi yang diberi nama Jarasandha itu dirawat dan diasuh dengan penuh kasih sayang sampai tumbuh besar dan menjadi perjaka perkasa lagi sakti mandraguna.
Sementara itu Pandawa memerintah di Indraprastha dengan segala kebesaran dan penuh kebahagiaan. Para penasihat kerajaan menyarankan semoga Yudhistira melak- sanakan upacara rajasuya kemudian memakai gelar Maha- rajadiraja Sesembahan Agung. Mendengar saran-saran itu, Yudhistira ingin bertemu dengan Krishna untuk meminta nasihat. Krishna, yang mendengar bahwa Yudhistira ingin menemuinya, segera menyiapkan keretanya dan berangkat ke Indraprastha.
Yudhistira berkata, “Saudara-saudaraku dan para pena- sihatku menyarankan semoga saya melaksanakan rajasuya, tetapi mirip engkau ketahui, hanya raja yang dihormati dan dicintai rakyatnya yang sanggup melaksanakan upacara itu dan memperoleh gelar Maharajadiraja. Aku minta nasihat- mu. Engkau raja yang adil dan bijaksana. Engkau niscaya takkan menawarkan nasihat hanya untuk menyenangkan hatiku. Aku percaya kepadamu, nasihatmu akan kuterima alasannya saya yakin itu benar dan berguna.”
Krishna menjawab, “Itu benar. Karena itu, engkau tidak bisa menjadi Maharajadiraja selama Jarasandha, pangeran Magadha yang perkasa, masih hidup dan belum ditak- lukkan. Jarasandha telah menundukkan banyak raja dan menjajah mereka. Semua kesatria, termasuk Raja Sisupala yang disegani, takut akan keperkasaannya dan mengalah kepadanya.
“Apakah engkau belum mendengar ihwal Kangsa, putra Raja Ugrasena? Setelah ia menjadi menantu dan sekutu Jarasandha, saya dan rakyatku menyerang dia. Setelah bertempur selama tiga tahun, saya terpaksa mengakui kekalahanku. Aku tinggalkan Madhura, pindah ke Dwaraka. Di sana saya membangun ibukota gres dan kini kami hidup tenang dan sejahtera. Duryodhana, Karna, dan raja-raja lain mungkin tidak keberatan akan upacara itu, tetapi Jarasandha niscaya akan menentangmu. Satu-satunya jalan yakni menaklukkan dia, sekaligus membebaskan raja-raja yang ia tawan atau negeri-negeri yang ia rebut. Itu artinya, kita harus mengajak mereka untuk bersatu dan bersekutu dengan kita.”
Yudhistira berkata, “Aku sependapat. Aku yakni salah seorang dari raja-raja yang memerintah dengan baik, adil dan menempuh jalan hidup senang tanpa mengumbar nafsu. Karena gembira akan hasil yang telah dicapainya, seorang raja garang untuk menjadi Maharajadiraja. Mengapa seorang raja tak bisa puas dan senang dengan kerajaannya? Sebaiknya saya lupakan saja nafsu untuk menjadi Maharajadiraja. Gelar itu tidak menarik bagiku. Saudara-saudaraku dan rakyatkulah yang menginginkan- nya. Engkau saja takut pada Jarasandha, apalagi kami. Apa yang bisa kita lakukan?”
Bhima, yang membenci tabiat lemah dan cepat puas diri, berkata, “Ambisi yakni kebajikan teragung seorang raja. Apa gunanya menjadi orang berpengaruh kalau tidak tahu kekuatan sendiri? Aku tak tahan hidup dengan membatasi diriku, bermalas-malasan, dan cepat puas diri. Barang- siapa sanggup menanggalkan kelemahan, dan secara sempurna mempergunakan siasat kekuasaan, niscaya akan bisa menaklukkan mereka yang lebih berpengaruh sekalipun. Kekuatan yang disertai siasat niscaya berhasil. Apa yang tidak sanggup dilakukan dengan adonan kekuatan ragaku, kebijaksa- naan Krishna dan keterampilan Arjuna? Kita niscaya sanggup mengalahkan Jarasandha jikalau kita bertiga bersatu dan mengatur siasat tanpa ragu-ragu dan cemas.”
Kemudian Krishna bercerita, “Jarasandha harus dibas- mi, alasannya ia memang menghendaki demikian. Dengan adikara ia menawan 86 raja. Ia merencanakan mengorbankan 100 raja untuk upacara persembahyangan. Karena itu ia menangkap 14 raja lagi. Jika Bhima dan Arjuna setuju, saya akan menyertai mereka. Bersama-sama kita basmi Jarasandha dengan siasat, kemudian kita lepaskan semua raja yang ia tawan.”
Yudhistira tidak senang mendengar nasihat itu. Ia berkata, “Itu berarti mengorbankan Bhima dan Arjuna, dua adik kesayanganku, hanya demi kepuasan memperoleh gelar Maharajadiraja. Aku tidak mau mengirim mereka untuk kiprah berbahaya ini. Lebih baik kita lupakan saja planning ini.”
Arjuna berkata, “Apa gunanya kita terlahir sebagai keturunan kesatria perkasa jikalau tak pernah melaksanakan perbuatan jantan? Seorang kesatria takkan masyhur jikalau tak pernah memperlihatkan kesaktiannya. Semangat yakni induk segala keberhasilan. Nasib baik akan berpihak pada kita jikalau kita lakukan kiprah dan kewajiban dengan sung- guh-sungguh. Orang berpengaruh bisa gagal jikalau segan menggu- nakan kesaktian dan senjata yang dimilikinya. Sebagian besar kegagalan terjadi alasannya seseorang mengabaikan kekuatannya sendiri. Kita tahu kekuatan kita dan kita tidak takut untuk menggunakannya sebaik mungkin.
“Kenapa engkau merasa seakan-akan kita tidak mampu?
Kelak jikalau kita sudah tua, akan tiba waktunya bagi kita untuk mengenakan jubah suci, masuk ke hutan pergi bertapa dan berpuasa untuk tujuan keagamaan. Sekarang kita masih muda. Kita harus mengisi hidup dengan tinda- kan-tindakan perwira sesuai dengan tradisi keturunan kita.”
Krishna senang mendengar kata-kata Arjuna. Ia menanggapi, “Apa lagi yang harus dikatakan Arjuna, putra Dewi Kunti dan keturunan wangsa Bharata? Kematian akan tiba bagi setiap orang; tak peduli ia pendekar atau pengecut. Tetapi kewajiban agung para kesatria yakni mengabdi pada bangsa dan keyakinannya serta menak- lukkan musuh dalam perang demi memperjuangkan kebe- naran.”
Akhirnya Yudhistira bisa mendapatkan pendapat bahwa melenyapkan Jarasandha merupakan kewajiban mereka sebagai kesatria. Setelah tercapai kata sepakat, Krishna berkata, “Hidimba, Hamsa, Kangsa dan sekutu lain Jara- sandha sudah mati. Sekarang inilah ketika terbaik untuk menggempur dia. Kita tak perlu bertempur habis-habisan bersama para prajurit untuk menaklukkan dia. Kita tan- tang ia untuk berperang tanding, dengan atau tanpa senjata.”
Kemudian mereka menyusun siasat. Mereka menyamar sebagai pertapa pengembara yang mengenakan jubah dari kulit kayu. Tangan mereka memegang rumput darbha suci sesuai tradisi jaman dahulu. Sampai di Magadha, mereka eksklusif menuju istana Jarasandha.
Waktu itu Jarasandha menerima firasat buruk. Ia gelisah. Pikirannya tidak tenang. Karena itu ia meminta semoga para pendita mendoakan keselamatannya. Sementara itu, ia sendiri tekun berpuasa dan bersamadi. Krishna, Bhima dan Arjuna yang menyamar sebagai pendita memasuki istana tanpa bersenjata. Jarasandha mendapatkan mereka dengan baik, lebih-lebih sesudah melihat perilaku dan perbawa mereka yang memperlihatkan bahwa mereka berasal dari keturunan terhormat. Bhima dan Arjuna tidak menanggapi tegur sapa Jarasandha semoga mereka tidak terpaksa berbohong.
Krishnalah yang berbicara atas nama mereka bertiga, “Mereka berdua sedang ber-tapa brata dan tapa bisu yakni laris semadi mereka. Lewat tengah malam barulah mereka diperkenankan bicara.”
Setelah menjamu tamunya di balairung, Jarasandha kembali ke istananya.
Lewat tengah malam Jarasandha tiba ke balai peris- tirahatan ketiga tamunya untuk bercakap-cakap dengan mereka. Ia curiga ketika melihat lecet-lecet bekas tali busur di tangan ketiga pendita itu, lebih-lebih ketika mem- perhatikan wajah mereka yang memperlihatkan gejala bahwa mereka yakni kesatria.
Memang Jarasandha populer alasannya kekuatan raganya yang luar biasa. Tetapi, ia dilahirkan dengan dua bab tubuh terpisah. Barangsiapa bisa menghantam dan mem- belah badannya menjadi dua, ia akan bisa melenyap- kan kekuatan Jarasandha. Ibarat sapu lidi yang lepas ikatannya, lidi-lidinya akan tercerai berai dan sapu itu menjadi tidak berguna. Atau menyerupai sebuah negeri yang rakyatnya bertikai, negeri itu akan runtuh terpecah belah.
Tiba-tiba Jarasandha menegur ketiga pendita itu, meminta mereka berterus terang. Mau tak mau Krishna menjawab terus terang, “Kami yakni musuhmu. Kami tiba kemari untuk menantangmu bertanding kini juga. Silakan pilih salah satu di antara kami.” Kemudian mereka memperkenalkan diri masing-masing.
Jarasandha berkata lantang, “Krishna, engkau penge- cut! Arjuna masih bocah, tapi Bhima populer akan keper- kasaannya. Aku pilih dia. Aku akan bertarung melawan dia.”
Karena Bhima tidak bersenjata, Jarasandha oke untuk bertarung tanpa senjata. Mereka sama-sama kuat. Tiga belas hari lamanya mereka bertarung tanpa henti, tanpa beristirahat sama sekali. Pada hari keempat belas, Jarasandha mulai memperlihatkan gejala kecapaian.
Krishna memberi instruksi kepada Bhima bahwa sekarang- lah ketika yang sempurna untuk membanting Jarasandha ke tanah. Bhima kemudian memusatkan tenaganya, menyambar sa- tu kaki Jarasandha, mengangkat musuhnya tinggi-tinggi, memutar-mutar tubuhnya dengan kencang, kemudian dengan sekuat tenaga menghempaskannya ke tanah sampai badan- nya terbelah menjadi dua. Matilah Jarasandha yang per- kasa.
Bhima menarik napas lega, kemudian berteriak lantang menyerukan kemenangannya.
Tapi ... tiba-tiba kedua belahan tubuh Jarasandha bersambung lagi, utuh dan lebih kuat. Seketika itu juga Jarasandha bangun dan menyerang Bhima dengan cepat. Bhima terpana, tak tahu apa yang harus diperbuatnya. Krishna memberi instruksi lagi. Kali ini ia mengacungkan sebatang jerami. Jerami itu dibelahnya menjadi dua kemudian masing-masing belahan dibuang ke arah berlawanan. Bhima mengerti.
Sekali lagi ia mengerahkan tenaga. Menyambar kedua kaki musuhnya, mengangkatnya tinggi-tinggi, memutarnya bagai baling-baling, kemudian membantingnya dengan keras. Sekali lagi tubuh Jarasandha terbelah dua. Dengan tangkas, sebelum kedua belahan itu sempat bertaut lagi, Bhima mengambilnya dengan kedua tangannya kemudian melemparkannya jauh-jauh ke arah berlawanan. Sekarang Jarasandha benar-benar menemui ajalnya.
Usai bertarung, Krishna, Arjuna, dan Bhima membebas- kan semua tawanan Jarasandha. Para raja itu kembali ke kerajaan masing-masing. Sebelum kembali ke Indrapras- tha, ketiga kesatria itu menobatkan putra Jarasandha sebagai Raja Magadha.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel