Maaf Dan Terimakasih - Cerpen Persahabatan Sedih

Maaf dan Terimakasih - Cerpen Persahabatan Sedih

Karya Nita
 "Hmm," terllihat seorang wanita menggeliat di atas ranjangnya. Ia merubah posisinya menjadi duduk. Ia menghela napas panjang dan memandang jendela besar di sebelah kiri ranjangnya. Gelap. Hanya ada bintang dan bulan yang menghiasi malam kelamnya. Terdengar bunyi air yang bersentuhan dengan tanah secara teratur. Melodi yang tenang dan menenangkan. Ia melirik jam digital yang terdapat di sebelahnya. "Haah, saya berdiri tengah malam lagi," gumamnya sehabis melihat jam yang menunjukan pukul 02.36. Sudah menjadi kebiasaannya beberapa hari terakhir untuk berdiri larut malam. Ia tidak mempermasalahkannya lagi dan mulai berjalan kearah jendela untuk duduk disana. Menyingkirkan tirainya dan membukanya. Memandang hujan yang turun dengan derasnya. Juga semilir angin yang menghantam wajahnya.

Ia memejamkan matanya, berusaha untuk menikmati keseluruhannya. Memori-memori itu terlintas dibenaknya lagi. Musik. Senyumannya. Kejadian yang dramatis dibawah hujan yang lebat. Dimana semua orang lebih menentukan untuk berlindung daripada melawan dinginnya angin. Air mata yang menyatu dengan air hujan. Mengalir dan terjatuh di tanah. Janji yang terucap yang bahkan ia tak tahu bagaimana melaksanakannya.
Maaf dan Terimakasih
***
9 tahun lalu...

Terlihat dua orang anak gadis yang sedang memakan makan siangnya di bawah pohon besar. Mereka asyik bercengkrama dan sesekali tertawa. Senyum selalu menghiasi wajah kedua gadis itu. Pohon besar itu ialah saksi bisu keakraban mereka. BUKK!! Sebuah bola menghantam salah satu dari gadis itu.
"Terra, kau gak apa-apakan? Siapa yang nendang bola ini?!" teriak gadis berambut panjang. "Aku gak apa-apa kok, Sher. Santai aja. Paling mereka gak sengaja." jawab orang yang berjulukan Terra dengan senyum. "Iya. Makanya kalo main bola hati-hati dong!" Shera memperlihatkan tatapan tajam kepada sekelompok anak pria itu sebelum melempar bolanya kearah mereka. Shera kembali duduk disamping Terra. Bekal mereka telah habis, namun mereka masih ingin duduk dibawah pohon itu.
"Mm, Ter, kau mau jadi apa kalo kau sudah besar nanti?" tanya Shera. Matanya memandang langit yang berawan seolah-olah membayangkan apa yang akan ia lakukan ketika ia sudah dewasa.
"Entahlah," jawab Terra yang juga sedang memandang langit. "Dulu saya pernah bermimpi akan menjadi penyanyi sebab saya suka sekali bernyanyi." lanjut Terra. "Kamu sanggup bernyanyi? Coba dong, kau nyanyi! Aku belum pernah dengar!" Kata Shera antusias sambil menatap Terra.
"Eh? Aku..aku hanya suka bernyanyi. Bukan berarti suaraku bagus." Shera menyerngitkan alisnya. "Tak apa! Aku hanya ingin dengar! Aku tidak akan mentertawakanmu! Aku juga ingin menjadi violinist terkenal! Nanti jikalau sudah besar, kita berduet ya!" ajak Shera bersemangat. Terra tersenyum dan mengangguk kecil. "Janji?" Tanya Shera sambil menunjukan kelingkingnya. "Iya. Aku...janji," balas Terra sambil mengaitkan kelingking mereka.

***
Ia mencicipi pundaknya di goyangkan oleh seseorang dan terdengar kurang jelas bunyi orang tersebut. "-Ra, ayo bangun. Hari sudah siang, nih! Ter.., Terra," Terra menyerngitkan dahinya dan perlahan membuka kelopak matanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan mulai berdiri dari daerah duduknya. "Mm, Raysha. Jam berapa sekarang?" tanya Terra. "Jam 7! Sana mandi, terus kita eksklusif ke Festival Paskah Beethoven." ujar Raysha sambil menyenggol pundak Terra lagi. "Iya..iya," Terra berjalan pelan menuju kamar mandi.
Setelah mengenakan pakaian yang menurutnya cukup pantas, ia berjalan keluar menemui Raysha yang sedang sarapan. "Wah, kau cukup manis mengenakan pakaian itu," puji Raysha yang tak ditanggap oleh Terra. Mereka melanjutkan sarapan dengan keheningan dan beberapa perkataan dari Raysha. "Ayo," ajak Terra yang diikuti Raysha.
Tak usang sehabis mereka hingga di Istana Kerajaan dan Balai Konser Philharmonic, Festival Paskah Beethoven dimulai. Terdengar lagu-lagu klasik populer yang dimainkan oleh 30 musisi dari banyak sekali kepingan dunia.
"Ah, Sorry," ucap Raysha ketika tak sengaja menyenggol orang disana. "Never mind," balas orang itu. "Ray, ada a..pa?" ucapan Terra terhenti ketika ia melihat siapa yang berada di dekat Raysha ketika ini. "Oh, Terra. Tadi saya gak sengaja nyenggol orang ini." Perkataan Rayshapun diacuhkannya.

Mata Terra terbelalak lebar. "Shera?" tanya Terra pelan. Orang yang disebut sebagai Shera menyerngitkan alisnya menandakan beliau resah dan heran. "Kamu berasal dari Indonesia?" Tanya orang itu senang. Senyum muncul di wajahnya yang manis itu. "Kamu...tidak ingat aku?" tanya Terra sedih. "Apa maksudmu? Aku memang tak mengenalimu. Mungkinkah kau berpikir saya Shera?" tanya orang itu balik. Wajahnya bermetamorfosis sedih. Terra terlihat makin resah dengan perkataan gadis itu. 'Bukannya beliau memang Shera?' Batinnya. Raysha yang tak tahu apa-apa hanya membisu memperhatikan mereka berdua.
"Aku..saudara kembarnya," jawab orang itu pelan. Terra gres akan menyampaikan sesuatu hingga gadis itu kembali berbicara. "Kau niscaya bertanya kenapa beliau tidak memberitahumu? Dulu orangtua kami bercerai. Shera diasuh oleh ayah kami dan saya diasuh oleh ibu. Oh ya, saya belum mempekenalkan diri. Aku Sahla," Orang yang berjulukan Sahla mencoba untuk tersenyum. Ia mengulurkan tangannya dan dijabat oleh Terra. "Terra," jawab Terra singkat. Ia memaksakan dirinya tersenyum.
"Shera...sudah meninggal." dan Terra tak sanggup menahan rasa keterkejutannya. Beberapa tetes air mata meleleh melewati pipinya itu. Ia bahkan belum menepati janjinya untuk berduet bersama Shera. Dan beliau belum meminta maaf pada Shera. Memori-memori akan perpisahannya dengan Shera kembali memenuhi pikirannya.

***
6 tahun yang lalu...

Di aula sebuah sekolah terlihat sangat ramai hari ini. Aula Sekolah Menengah Pertama Benih Harapan, daerah Terra dan Shera bersekolah sedang mengadakan acara. Acara perpisahan sekaligus kelulusan angkatan 29 di Sekolah Menengah Pertama Benih Harapan. Semua orang bau tanah yang tiba tersenyum haru melihat anaknya telah lulus dari SMP. Terra melihat teman-teman seangkatannya sedang berbicara dekat dengan orang bau tanah mereka. Sejujurnya, ia iri. Orang tuanya bahkan lebih menentukan mengurus perusahaan mereka di luar negeri daripada mengunjungi program kelulusannya. Duk.. Seseorang menyentuh bahunya keras. Ia tahu itu ialah kebiasaan Shera. Ia berbalik dan melihat Shera menatapnya dengan senyum tulus. "Jangan terus memandang mereka menyerupai itu. Orang tuamu niscaya mempunyai alasan berpengaruh untuk itu. Aku dengar kau peringkat 4 seangkatan loh..." Shera selal tahu bagaimana cara menghibur Terra. Ia menarik hati Terra terus-terusan membuatnya malu.
"Baiklah anak-anak, kita hingga pada program kita selanjutnya. Acara Unjuk Bakat setiap kelas!" Dan terdengar sorak dan tepuk tangan meriah dari para murid. "Ssstt.. Kemarin ketika kau tidak masuk, kami sekelas disuruh menentukan siapa yang akan mengikuti program unjuk talenta ini. Karena tidak ada yang mau, saya mengusulkan kau sebagai penyanyi dan mereka semua setuju." bisik Shera kepada Terra. Terra mencicipi jantungnya berdebar grogi dan keringat cuek mengucur dipelipisnya. "A..Apa?" lirih Terra. "Dan selanjutnya dari kelas 9.3!" seru pembawa acara. "Terra! Terra! Terra! Terra! Terra!" seluruh murid dari kelasnya menyorakan namanya. Tak terkecuali Shera. Terra di dirong maju oleh Shera keatas panggung. Ia melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju panggung dengan bergetar.
"Baiklah Shera, disini tertulis kau akan bernyanyi. Apa yang akan kau nyanyikan?" Tanya si pembawa acara. "Aku..aku..aku akan bernyanyi...emm. Twinkle Twinkle Little Star!" ujar Terra ragu. "Kenapa menentukan lagu itu?" tanya si pembawa program lagi. "Karena..karena.. lagu itu mengingatkan kita pada masa kecil. Kaprikornus kita tidak akan melupakan masa kecil kita walau sudah beranjak dewasa." ujar Terra ragu lagi. "Baiklah mari kita mulai! 1! 2! 3!" banyak sekali alat musik mulai berbunyi. Namun, Terra tak kunjung bernyanyi. Ia menggenggam mic itu dengan erat. Sampai musik berhentipun ia tak kunjung bernyanyi. Semua menatap heran padanya. Terutama Shera. Ia memberanikan diri untuk berbicara. "Aku..aku..aku tidak bisa!" ucap Terra sedih. Air mata mulai mengucur di wajahnya. "Terra.." gumam Shera. Terra segera menjatuhkan mic itu dan berlari keluar dari aula sekolahnya.

Karena musik yang terlalu keras didalam, ia tak tahu bahwa keadaan diluar sedang hujan. Dengan nekat, beliau menerobos derasnya hujan. "Terra!" seru seseorang. Terra berhenti dan berbalik. Disana Shera berjalan menuju dirinya tanpa membawa payung. Nekat menerobos hujan menyerupai Terra. "Kenapa? Kenapa kau tidak memperlihatkan bakatmu Terra?" hujan membasahi keduanya. "Karena..aku tak bisa! Aku tak sanggup bernyanyi!" ucap Terra pasrah. "Kau sanggup bernyanyi. 
Tapi kau tak mau menunjukannya." balas Shera. "Sejak awal kau ingin bernyanyi. Hatimu berkata kau ingin bernyanyi. Hanya saja, kau terlalu takut untuk mencobanya. Terlalu tak percaya diri! Kau menghancurkan keparcayaan kami. Tak sanggup diandalkan." ucap Shera tajam. "Dari awal saya tak mau melakukannya! Kalian memintaku tanpa meminta persetujuanku! Aku...Aku takut! Aku..tak bisa..Aku tak sanggup melakukannya." balas Terra. "Kalau begitu...aku juga tak bisa...Aku juga tak sanggup berteman denganmu..Aku tak sanggup berteman dengan seorang pecundang!" Kalimat terakhir Shera sangat menyakiti hatinya. Tangisannya pecah bersamaan dengan Shera yang melangkah menjauhinya. Air matanya bahkan tak sanggup dibedakan dengan air hujan. Ia terus berdiri disana menatap pintu gerbang sekolahannya. Tak ada yang menemuinya lagi. Tak ada. Hanya hujan yang menemaninya menangis. Dan angin yang berhembus seiring dengan mendinginnya hati Terra.
***

Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan gres menyadari bahwa kini beliau berada di kamarnya. "Kau sudah bangun?" Tanya Raysha pelan. Ia mengangguk lemah dan berharap apa yang gres saja dialaminya tadi hanya mimpi. "Apa tadi...aku pingsan?" Tanya Terra. Raysha tersenyum lembut dan mengangguk. "Berarti semuanya benar-benar terjadi. Apa yang dikatakannya ketika saya pingsan tadi?" Raysha menunduk sebentar dan menjawab, "Baiklah jikalau kau ingin tahu. Sahla bilang Shera meninggal 6 tahun yang lalu." Mata Terra kembali melebar. Berarti..."Ia meninggal ketika sehari sehabis kelulusannya. Dia ingin memberikanmu surat sebagai tanda seruan maafnya. Tapi, beliau lebih menentukan menyelamatkan seorang anak kecil yang berada di tengah jalan raya. Ia ingin memperlihatkan ini untukmu," Raysha menyodokan selembar amplop putih yang telah kusut dan agak kotor.
'Hi, Terra. Aku tahu ucapanku kemarin terlalu berlebihan. Aku hanya ingin menumbuhkan rasa percaya dirimu. Aku memang salah. Seharusnya saya meminta pendapatmu dulu sebelum bertindak. Aku pernah mendengar rekaman suaramu di HP mu. Suaramu bagus, Terra! Sangat bagus! Kenapa kau tidak bernyanyi saja sih.

Tahu tidak, semua murid di kelas kita merasa bersalah loh, denganmu! Aku harap kau mau memaafkan mereka dan juga aku. Aku sengaja mengucapkan maafku melalui surat ini sebab saya masih aib bertemu denganmu kerana tragedi kemarin. Aku merasa tidak pantas dimaafkan. Hehehe... maafkan saya dan yang lainnya ya? :)'

Terra meneteskan air mata dalam diam. Tak terdengar isak tangisnya. 'Andaikan kau tahu Shera, saya sudah memaafkanmu bahkan saya berterima kasih padamu. Setelah tragedi itu, saya bermetamorfosis gadis yang pemberani dan percaya diri. Terima kasih ya... Aku juga minta maaf sebab dulu tidak sanggup mengemban amanah dan telah menciptakan kalian malu. Kau tahu...sekarang saya sudah menjadi penyanyi populer dan satu lagi. Aku minta maaf sebab tidak sanggup melaksanak kesepakatan kita..' Dan Terra tersenyum tulus. Senyum nrimo yang pertama kali ini ia berikan.

The End
PROFIL PENULIS
Hey...
Aku lahir tanggal 25 Nov 2000
Panggil saya NIta
Ini cerpen pertamaku.
Bagaimana berdasarkan kalian?
Tolong sampaikan evaluasi kalian dengan memperlihatkan Comment kalian terhadap kisah ini ^^
Have a nice day

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel