Cerita Silat: Pantang Berdendam 4 - Seri Tujuh Insan Harimau
Sabtu, 04 Oktober 2014
Sebelumnya...
Yang lebih mengagetkan Gumara lagi, sebelum polisi mengajukan pertanyaan, seorang lelaki berpici memperkenalkan diri.
“Oh, Pak Direktur”.
“Ya, saya Direktur Sekolah Menengah Pertama di Kumayan sini”, kata orang yang berpici dan mengaku berjulukan Jamhur itu. Pak Yunus, yang mengurusi rumah jabatan semalam, muncul pula dengan pertanyaan “Apa anda khilaf ketika menebas leher Tohing?”
“Saya menebas leher Tohing? Ya, Tuhan, ini fitnah!” seru Gumara geram.
“Tapi semua orang menyebutkan hal itu”, ujar Pak Yunus.
Inspektur polisi menyela, “Akhirnya aturan yang menegakkan kebenaran. Boleh kami mengganggu sedikit?” Inspektur itu menunjukkan borgol. Jiwa Gumara terkoyak oleh cara begini.
“Bukti belum cukup saya membunuh Tohing, kenapa tangan saya harus diborgo!?” protes Gumara.
“Kami kuatir anda akan memotong leher yang lain atau leher kami petugas keamanan.
Tentu anda tidak menginginkan kami keraskan ?” bunyi inspektur itu lembut namun menyakitkan hati Gumara.
Gumara, masih dalam berpakaian kaos oblong dengan bercelana jean, harus mengikuti perintah petugas keamanan yang syah di kecamatan ini. Dan alasannya yaitu kejadian ini pulalah nama Gumara dalam tempoh satu hari menjadi populer di seluruh kecamatan Kumayan. Dan desa itu membangkitkan orang-orang pada seni keindahan. Sebab semua ibu-ibu, dan semua gadis-gadis, kemudian berkata “Gumara berwajah tampan”.
Ya, Gumara tampan. Dan hal ini pulalah yang menjadikan Wati memberanikan diri muncul di kantor polisi, eksklusif minta diizinkan bicara dengan Gumara. Dan di balik terali besi kamar tahanan itu, Gumara tentunya heran alasannya yaitu munculnya seorang gadis jelita berambut panjang ingin bicara dengannya.
“Katakan siapa kau sebenamya. Saya tidak ingin kau hanya menyebut Wati saja, atau Harwati saja. Kamu anak siapa?”
“Saya anak seorang yang suka menolong”, kata Wati.
“Siapa ayahmu?” tanya Gumara.
Gadis jelita itu membisu beberapa saat. Lalu ia berkata; “Ayahku yaitu seorang yang disegani di sini, yang abang datangi tadi malam”.
Gumara melongo. Lalu bertanya polos “Jadi kau puteri Ki Karat?”
“Ya Tuhan, kenapa kau bersusah payah mendatangi saya?”
“Lewat ayahku, anda sanggup bebas dari tahanan. Ini hanya fitnah dari orang yang berhati amis di sini alasannya yaitu anda ingin mengajar. Mungkin yang menciptakan ulah yaitu seorang guru renta yang akan dipensiun kemudian akan anda gantikan. Tapi, dengan dipotongnya leher Tohing semalam sekembali dari rumah kakak, si pembunuh ingin menjelekkan nama kakak!”
Gumara terperangah beberapa detik. Dia kemudian berkata “Terima kasih atas uluran tanganmu. Sampaikan salam saya untuk Bapak”.
“Jadi anda menolak uluran pinjaman keluarga kami?” tanya Wati.
“Lain kali, jikalau saya membutuhkan benar”.
“Dan kali ini abang akan menyelesaikannya sendiri?”
“Memang begitu. Hidup ini menyerupai ilmu berhitung. Jika kita mau menuntaskan sebuah hitungan, yang penting memggunakan rumusnya yang sempurna gres soal sanggup dicari dan diselesaikan. Jika minta pinjaman bapak, mungkin kami berbeda rumus”.
Tampak, Wati kesal. Dan ia tak sanggup menyembunyikan kekesalannya dengan berkata “Tahukah abang bahwa penduduk Kumayan mengagumi wajah abang yang ganteng itu? Seolah anda yaitu tuhan ketampanan di sini. Tapi mereka tak tahu, di balik ketampanan abang ini ada kekurangan. Bahkan itu cacad”
“Cacad apa?” tanya Gumara.
“Engkau sombong dan angkuh!”
“Lho, orang yang percaya dan itu memang menunjukkan kesan sombong dan angkuh! Itu kawanmu yang salah”, kata Gumara.
Gadis manis itu berdiam diri.
“Kamu pun punya kekurangan di samping kelebihanmu, dik manis. Kelebihanmu mungkin alasannya yaitu kau yang tercantik di Kumayan ini. Kekuranganmu yaitu bibirmu judes, ucapanmu nyelekit di hati lelaki,” kata Gumara,
“Terimakasih atas penghinaan tuan guru”, ujar Wati kemudian merentak berlalu meninggalkan lorong kamar tahanan.
Bersambung...
Yang lebih mengagetkan Gumara lagi, sebelum polisi mengajukan pertanyaan, seorang lelaki berpici memperkenalkan diri.
“Oh, Pak Direktur”.
“Ya, saya Direktur Sekolah Menengah Pertama di Kumayan sini”, kata orang yang berpici dan mengaku berjulukan Jamhur itu. Pak Yunus, yang mengurusi rumah jabatan semalam, muncul pula dengan pertanyaan “Apa anda khilaf ketika menebas leher Tohing?”
“Saya menebas leher Tohing? Ya, Tuhan, ini fitnah!” seru Gumara geram.
“Tapi semua orang menyebutkan hal itu”, ujar Pak Yunus.
Inspektur polisi menyela, “Akhirnya aturan yang menegakkan kebenaran. Boleh kami mengganggu sedikit?” Inspektur itu menunjukkan borgol. Jiwa Gumara terkoyak oleh cara begini.
“Bukti belum cukup saya membunuh Tohing, kenapa tangan saya harus diborgo!?” protes Gumara.
“Kami kuatir anda akan memotong leher yang lain atau leher kami petugas keamanan.
Tentu anda tidak menginginkan kami keraskan ?” bunyi inspektur itu lembut namun menyakitkan hati Gumara.
Gumara, masih dalam berpakaian kaos oblong dengan bercelana jean, harus mengikuti perintah petugas keamanan yang syah di kecamatan ini. Dan alasannya yaitu kejadian ini pulalah nama Gumara dalam tempoh satu hari menjadi populer di seluruh kecamatan Kumayan. Dan desa itu membangkitkan orang-orang pada seni keindahan. Sebab semua ibu-ibu, dan semua gadis-gadis, kemudian berkata “Gumara berwajah tampan”.
Ya, Gumara tampan. Dan hal ini pulalah yang menjadikan Wati memberanikan diri muncul di kantor polisi, eksklusif minta diizinkan bicara dengan Gumara. Dan di balik terali besi kamar tahanan itu, Gumara tentunya heran alasannya yaitu munculnya seorang gadis jelita berambut panjang ingin bicara dengannya.
“Katakan siapa kau sebenamya. Saya tidak ingin kau hanya menyebut Wati saja, atau Harwati saja. Kamu anak siapa?”
“Saya anak seorang yang suka menolong”, kata Wati.
“Siapa ayahmu?” tanya Gumara.
Gadis jelita itu membisu beberapa saat. Lalu ia berkata; “Ayahku yaitu seorang yang disegani di sini, yang abang datangi tadi malam”.
Gumara melongo. Lalu bertanya polos “Jadi kau puteri Ki Karat?”
“Ya Tuhan, kenapa kau bersusah payah mendatangi saya?”
“Lewat ayahku, anda sanggup bebas dari tahanan. Ini hanya fitnah dari orang yang berhati amis di sini alasannya yaitu anda ingin mengajar. Mungkin yang menciptakan ulah yaitu seorang guru renta yang akan dipensiun kemudian akan anda gantikan. Tapi, dengan dipotongnya leher Tohing semalam sekembali dari rumah kakak, si pembunuh ingin menjelekkan nama kakak!”
Gumara terperangah beberapa detik. Dia kemudian berkata “Terima kasih atas uluran tanganmu. Sampaikan salam saya untuk Bapak”.
“Jadi anda menolak uluran pinjaman keluarga kami?” tanya Wati.
“Lain kali, jikalau saya membutuhkan benar”.
“Dan kali ini abang akan menyelesaikannya sendiri?”
“Memang begitu. Hidup ini menyerupai ilmu berhitung. Jika kita mau menuntaskan sebuah hitungan, yang penting memggunakan rumusnya yang sempurna gres soal sanggup dicari dan diselesaikan. Jika minta pinjaman bapak, mungkin kami berbeda rumus”.
Tampak, Wati kesal. Dan ia tak sanggup menyembunyikan kekesalannya dengan berkata “Tahukah abang bahwa penduduk Kumayan mengagumi wajah abang yang ganteng itu? Seolah anda yaitu tuhan ketampanan di sini. Tapi mereka tak tahu, di balik ketampanan abang ini ada kekurangan. Bahkan itu cacad”
“Cacad apa?” tanya Gumara.
“Engkau sombong dan angkuh!”
“Lho, orang yang percaya dan itu memang menunjukkan kesan sombong dan angkuh! Itu kawanmu yang salah”, kata Gumara.
Gadis manis itu berdiam diri.
“Kamu pun punya kekurangan di samping kelebihanmu, dik manis. Kelebihanmu mungkin alasannya yaitu kau yang tercantik di Kumayan ini. Kekuranganmu yaitu bibirmu judes, ucapanmu nyelekit di hati lelaki,” kata Gumara,
“Terimakasih atas penghinaan tuan guru”, ujar Wati kemudian merentak berlalu meninggalkan lorong kamar tahanan.
Bersambung...