Cerpen: Si Miskin Bersekolah
Jumat, 10 Oktober 2014
Peluh menetes deras di tubuh kurus sebagai saksi lelah raga. Mata lebam merah bara emosi sebagai saksi jiwa nestapa kerendahan. Baju lusuh, rumah renta sederhana, dan orang renta di masa pensiunan yang tak terurus glamor dari anak hasil didikanya, sebagai saksi betapa kemiskinan mewariskan kemiskinan. Dan itu hanya dilema pendidikan, yang harus telunjuk itu menuduh untuk menawarkan sebaris pertanyaan “kenapa?” pada istana kekuasaan pendidikan.
“Sudah pulang? Bagaimana jualannya?” seorang ibu yang sudah hampir setengah kurun dalam umur bertanya padaku yang gres saja pulang berjualan buah mangga di pasar.
Aku diam. Lalu menengguk sejernih air terkontaminasi bacin kimia kota. Melihat kursi di meja. Duduk bersebelahan dengan ibuku?Ibu Samirah. Termangu seorang ibu menunggu jawaban sembari biji tasbih berputar tak henti seolah mengambarkan putaran kehidupan.
Keheningan lebih terasa di ketika malam tiba. Di ruangan ini. Ditemani nyanyain jangkrik dalam memuji Tuhannya. Keheningan seakan menjernihkan pikiran yang kalut tersangkut masalah hidup daratan kota.
Aku lepaskan nafas dengan nada emosi, seakan ingin berusaha lepaskan kerendahan hidup. Walau kepasrahan masih saja menjadi tameng jiwa. Tenangkan segera bara di hati.
“Ibu mengetahunya. Ibu lebih berpengalaman.”
“Ya sudah. Yang sabar saja. Ibu mengerti. Istirahatlah, Nak,” ibuku mengetahui dari jawabanku.
“Ayah sudah minum obat?” tanyaku.
“Sudah,” singkat jawab ibu. Lalu komat-kamit verbal ibu lanjutkan kembali.
Aku menidurkan kepalanya di atas meja yang ada di dekatku. Dalam pejamkan mata, pikiran terbang mencari lembaran-lembaran kenangan untuk dibaca kembali sebagai perenungan. Aku menunda untuk terlelap tidur.
****
Aku hanya seorang anak miskin yang bertubuh kurus. Tak terbiayai daging dan susu sebab sudah jadi hak anak kaya, katanya. Aku ber- bapak tani musiman, dalam bantu garap tanah majikan. Aku ber-ibu penjual kebutuhan rumah tangga di pinggir keramaian kota.
Setingkat SD saya dalam jenjang pendidikan. Berumur delapan tahun memulai menduduki dingklik sekolah. Orang renta berkeinginan saya dalam kehormatan, di ketika kemiskinan mencemooh kemajuan. Aku turuti mereka. Dan saya belum mencicipi penderitaan mereka yang papa.
“Kau harus sekolah, Nak. Biar hidupmu berakal cari rezeki. Tidak ibarat Ayah.” kata ayahku waktu itu.
“Biar kau jadi orang mulia, Nak,” kata Ibu.
“Baik, Ayah, Ibu?” kataku dengan nada tak mengerti.
Aku berangkat berdikari dalam langkah. Membawa kalimat harapan orang tuaku walau tak mengerti maknanya. Mentari tersenyum hangat menyambut langkah juangku. Buku catatan dan baju seragam hanya hadiah tetangga sebelah. Untunglah. Tak punya buku cetak hasil penerbit yang terjual mahal di ketika banyak buku ialah jalan impian tercapai. Tak apalah. Aku dengan harap, tetap berlanjut dalam langkah meraih mimpi orang tuaku. Dan saya sangat bangga.
“Aku harus jadi orang yang berakal mencari rezeki, kata Ayah. Aku harus jadi orang mulia, kata Ibu. Asiiik,” gumamku sembari membayang kebahagiaan.
Ruang sekolah terlihat dekat. Aku berdiri mematung, memandang keasingan pergaulan. Dan saya disambut Pak Guru, “Pagi, Nak... Ayo masuk.”
“Gak?” kataku.
Orang tuamu nanti marah. Orang renta pesen apa, Nak? Hayoo… Pasti pesan biar kamu… pin-terrr.
“Iyah. Ayahku pesan, supaya aku… berakal mencari rezeki. Ibuku juga pesan, biar aku, jadi, orang mulia…”
“Kalau begitu, yuk masuk.”
Aku pun masuk. Aku mengalungkan di leher sang pendidik berisikan instruksi impian; seakan instruksi impian itu menyuruh pendidik supaya tak diam dalam beban berat sang miskin menggapai impian. Tetap memperhati impian yang berkilau-kilau.
Dalam ruang kelas, saya terduduk diam bertingkah sekecil anak. Menatap kosong goresan-goresan goresan pena keterangan sembari mencatat mengikut gesekan sang pendidik. Tiap gesekan goresan pena bergotong-royong sebuah tanda tanya dalam pencapaian impian. Aku pun dalam dengar pada kata guru yang terlontar keluar, menyebar di sekumpulan pelajar. Aku termangu, tetap dalam lugu. Aku masih tak mengerti. Dan tetap bermain tingkah anak kecil.
Sesekali melihat beberapa teman: di depannya, di belakangnya, atau di sampingnya. Mereka berpenampilan bagus, bersih, dan rapih. Di bangkunya, bersanding pula buku seukuran mahal. Aku tetap tak punya kuasa, hanya harap mereka sanggup memberiku buku.
Aku tengok ke samping. Gadis berwajah manis, berambut lurus, dan berhidung mancung melirikku. Segera saya berikan sebait kata, “Di beliin Mamah?”
“Apanya?”
“Buku."
Ia mengangguk sembari pancarkan senyum manisnya.
Dalam hati, saya memendam semangat haru biru. Dan dalam hati, tersimpan jua hati kemiskinan yang siap menghunus pedang, membunuh semangat.
****
“Tio... Bangun, Nak. Tidur lah kau dikamarmu….”
“Aku tidak tidur, Bu… saya cuma sedang mengenang masa kecilku dulu… Aku begitu lugu ya, Bu. saya mencar ilmu dengan rajin. Tapi saya tidak mengerti ilmu itu harus dimanfaatin bagaimana? Dan saya pun tak memikirkan hal tersebut.”
“Kau menyesal sekolah, Nak?”
“Sempat begitu… Orang renta berjuang mati-matian mencari duit untuk membelikan segala keperluan sekolah. Tapi, tetap saja nasibku begini, Bu. Selama dua belas tahun hanya menerima suguhan pengetahuan yang mengawang. Aku bisa berjualan dari ilmu ibu… walau di pandang sederhana.”
Aku bercita-cita ingin mengerti ilmu Ekonomi supaya bisa menyebarkan perjuangan Ibu. Pun, bisa ilmu Biologi biar bisa menyebarkan pertanian. Tapi terhalang oleh banyak ilmu yang harus saya jalani. Seharusnya saya tidak sekolah, dan tetap mencar ilmu kedua ilmu itu.
Aku bekerja di pabrik sepatu sesudah setahun menganggur. Aku bekerja menjadi pegawai rendahan. Berbulan-bulan bekerja. Setelah itu masa kontrak habis. Lalu saya tidak bisa berkutik apa-apa. Ilmuku ikut menganggur bersamaku.
“Masuklah ke kamarmu,” ibu menghentikan pembicaraan. Menyuruh masuk ke kamar.
Aku menuruti seruan ibu. Kuhembuskan nafas sesaat. Aku berdiri dengan memikul beban hidup. Berjalan melewati kamar adik kembar perempuanku yang tidur bersama, seakan mendengar candaannya. Keduanya masih Sekolah Menengan Atas yang kini diasuh dan membantu di rumah orang kaya. Aku jadi teringat adik pria pertama yang telah tiada.
Aku masuk. Aku rebahkan badan. Tiga tahun, saya sendiri dalam kamar. Aku lirik di atas meja. Buku kelam catatan pengetahuan diam membisu. Dan terbayang kisahnya.
****
Waktu terus berjalan mengikuti aturan keseimbangan. Kelulusan menyambut hatiku. Aku tumbuh keremajaan. Aku dalam berbangga ria, orang renta tak sia-sia.
Aku berniat masuk pada tingkat SMP. Kemiskinan tetap bertarung denganku. Tapi tetap menantang kembali berlanjut dalam menuntut pendidikan, yang katanya, “pendidikan ialah duduk mematung bartahun- tahun dalam sekolah”. Dan orang renta hanya lepaskan sedikit biaya. Aku bejalan dalam kemandirian. Sembari mengubah nasib di alam jalan raya. Dan enggan impian kembali terkalungkan.
“Kau butuh kerjaan? Tanya gadis yang berwajah manis. Anisa namanya. Ia seorang anak supir angkutan umum.”
“Iya, kataku?”
Gadis itu hanya menanyakan. Ia sahabat semenjak SD. Aku berkata padanya, kalau saya ingin berjualan. Aku ingin jadi tukang asongan. Ia pun memberi uang untuk membeli keperluan dagangnya.
“Tempat ini ramai. Tempat berhentinya mobil. Tempat para penjual. Tapi kau harus berani menghadapi keramaian.”
Sehabis sekolah saya berjualan. Dari siang hingga sore. Tak seberapa untung yang saya dapat, walau penjualan tidak mengecewakan laku. Malam saya luangkan untuk mencar ilmu ilmu yang masih belum diketahui kegunaannya. Belajar hanya disambut uap kantuk, dan kelelahan raga. Aku lakukan setiap hari.
Pikiran di luar kesadaran pun datang. Apa gampang masuk tak ada pembatas. Aku pun tak berdaya mendapatkan kejadian-kejadian dalam hidupku.
Seringkali godaan sahabat hadir. Dan itu di ketika saya kelas dua. Aku pun menimbang-nimbang mana yang akan saya lakukan. Pikiran buruk tampaknya lebih menguasai. Aku berpikir, mengapa saya mempelajari ini? Untuk apa? Toh saya bisa bekerja. Akhirnya godaan dunia remaja tiba menemani.
“Nah gitu dong,” kata sahabat yang mengajakku.
“Tapi saya tidak lezat sama orang tua.”
Ah.. lo. Emang gue anak buangan? Gue juga punya bonyok. Tapi gue biasa-biasa saja.
Orang tuaku sudah tunjukkan wajah murka. Ia terus-menerus menasehati dengan penuh amarah.
“Kau tumbuh remaja malah makin liar saja hidupmu!” Kata Ayah.
“Ibu tahu… kau masih menikmati dunia remajamu. Tapi luangkan waktumu untuk belajar,” ibu tetap tunjukkan nada halus penuh kesabaran padaku.
“Bu, lagian apa sih yang bisa diandalin dari pelajaran sekolah? Aku pun berjualan tidak pakai ilmu dari sekolah.”
“Manfaat ilmu itu nanti. Sekarang ini, kau belajarlah dulu.”
“Bu… tapi butuh uang sekarang. Aku bekerja demi membantu kesulitan Ibu dan kedua anak Ibu…belum lagi kini Ayah gampang sakit, tak besar lengan berkuasa kerja….”
“Tapi buktimu mana? Hidupmu malah liar. Kau mau jadi anak durhaka? ohok, ohok,” kata ayah sembari batuk tanggapan tanda-tanda TBC.
“Ahh…lagian saya aib sama teman-teman. Aku dianggap kurang pergaulan.” “Terserah kau,” kata Ayah.
“Ya, Allah,” kata ibu sembari melenguh.
Saat masih SD, saya begitu penurut. Aku mau belajar. Aku pun sering menerima peringkat kelas walau di atas lima; peringkat itu masih belum diketahui apa manfaatnya.
Aku pun berkeliaran di gelap malam. Tinggalkan pengetahuan. Awalku merasa berat. Tapi saya malah menutup mata wacana belajar. Ditemani gadis yang selalu setia mendampingiku. Ia pun ikut bersamaku. Awalnya ia merasa canggung dengan perubahan sikapku. Tapi kini, ia malah yang sering memulai mengajakku main di malam gelap bersama sahabat lainnya.
Uang hasil penjualan lenyap terpengaruhi kehidupan remaja. Kini, bukan hanya meninggalkan belajar. Tapi uang untuk membeli buku pun tak ada. Untung saja, Anisa sering membantu keuangan dalam membelikan buku.
Hasrat cinta menggelora! Masa puber untukku. Dipancing pula hasil tontonan kotor yang tak layak di tonton. Tak ragu lagi, gadis itu yang menjadi daerah hasrat cintaku. Ia pun sudah usang menyukai sebab ketampananku. Aku bercinta dengannya. Menikmati keindahan-keindahan cinta remaja. Sampai nafsu menguasai. Di malam sepi… di rumahnya, saya melaksanakan berbuatan keji. Dua tubuh menyatu dalam satu kasur. Sampai puncaknya. Tak puas, saya pun melaksanakan kembali. Lagi, lagi dan lagi. Sampai ia kandungkan buah cinta.
Anisa ungkapkan masalah kehamilan dengan penuh derai air mata. Aku pun terkejut. Aku tak mendapatkan keadaan ini. Ia berkeluh kesah wacana perlakuan ayahnya.
“Apa? Kau hamil? Siapa yang menghamili?” Kata Ayah Anisa yang berwajah orisinil Indonesia. Anisa diam.
“Anak sialan,” tamparan ayah Anisa menciptakan Anisa makin diam. Dan hanya tangisan yang ia berikan.
“Jawab Anisa!” Apa pacarmu yang menghamilimu? Dasar anak haram! Ayahnya mendorong Anisa dan menyampaikan kata yang menyakitkan.
Tak ada Ibu yang mendampingi Anisa. Ibunya sedang pergi ke rumah orang tuanya. Anisa menangis sendiri. Pun tetap tak menjawab. Ia sangat stress berat depresi dengan keadaan ini. Mulut pun tetap terkunci rapat sesudah tahu bahwa dirinya hamil.
Anisa pun menemui diriku.
“Kau harus tanggung jawab! Atau saya akan bunuh diri!”
“Aku tidak mau. Tidak mau! Tidak! Ini tidak mungkin! Tidaaak!”
Aku terbangun. Nafas terengah-engah. Dan berusaha tenangkan nafas.
“Astahfirullah. Mimpi. Benar-benar mimpi. Syukurlah. Oh Anisa, kau Hadir. Aku merindukanmu, Anisa. Huh… saya menghawatirkanmu. Kenapa bermimpi begitu? Apa yang terjadi dengan Anisa?”
Seharusnya saya tidak begitu. Memang saya sekolah, tapi tak hingga melupakan dunia pergaulan. Tetap kekerabatan pertemanan terjalin dengan baik. Memang saya berjualan di ramai terminal, tapi tak hingga melupakan belajar. Memang saya bergaul, tapi tak hingga melupakan aturan. Memang Anisa itu sahabatku, tapi tak hingga menidurinya hingga membuahkan hasil di perutnya.
****
Terlihat jam dinding melekat di tembok. Jam memperlihatkan pukul lima pagi. Aku segera ke kamar mandi. Aku mandi. Aku jalankan salat. Lalu saya duduk di kursi. Dan termenung.
“Aku merasa kecewa dengan pendidikan yang saya raih. Dua belas tahun mencar ilmu tak nampakkan juga kegunaan ilmu yang cukup untuk menghadapi hidup. Semua ilmu pengetahuan saya lahap. Rutinitas sekolah dilakukan dengan kesungguhan. Lelah dan murung selalu menyelimut menyambut. Tapi, saya hanya orang rendahan yang tak pantas di sebut insan berpendidikan. Aku kecewa, malu. Aku bersekolah hanya menguras tenaga tapi tanpa ada hasil nyata. Hanya ilmu hayalan sampah yang ada di kepala.
Tok.Tok.Tok.
Suara pintu di ketok. Sepertinya ada tamu. Ah, barangkali si kembar itu. Tapi tidak ibarat biasa. Seperti orang lain. Tapi siapa?
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Bergegas saya menuju pintu. Aku rasakan penuh debar penasaran. Lalu saya buka. Dan…
“Hah... Kau kah? Kau Anisa? Aku tanya keheranan. Sembari melirik perut yang terlihat sedikit buncit.
Anisa tersenyum mengambang dan menganggukkan kepala. Ia terlihat membawa beban yang teramat berat tapi tetap tunjukkan bahagia. Aku pun membalas senyumnya.
Dua Tangan Anisa di belakang punggungnya. “Aku bawakan buah tangan dari tanah Arab. Buah kurma,” katanya.
“Kau hamil?”
Ia hanya tersenyum mengambang. Anisa memperlihatkan tangannya dan menawarkan bingkisannya. Aku bertanya-tanya dalam hati. “Apakah dua buah kurma?”
Oleh :
ELBUYZ
Pemilik situs:
www.ebookbisnis.siteindo.com
“Sudah pulang? Bagaimana jualannya?” seorang ibu yang sudah hampir setengah kurun dalam umur bertanya padaku yang gres saja pulang berjualan buah mangga di pasar.
Aku diam. Lalu menengguk sejernih air terkontaminasi bacin kimia kota. Melihat kursi di meja. Duduk bersebelahan dengan ibuku?Ibu Samirah. Termangu seorang ibu menunggu jawaban sembari biji tasbih berputar tak henti seolah mengambarkan putaran kehidupan.
Keheningan lebih terasa di ketika malam tiba. Di ruangan ini. Ditemani nyanyain jangkrik dalam memuji Tuhannya. Keheningan seakan menjernihkan pikiran yang kalut tersangkut masalah hidup daratan kota.
Aku lepaskan nafas dengan nada emosi, seakan ingin berusaha lepaskan kerendahan hidup. Walau kepasrahan masih saja menjadi tameng jiwa. Tenangkan segera bara di hati.
“Ibu mengetahunya. Ibu lebih berpengalaman.”
“Ya sudah. Yang sabar saja. Ibu mengerti. Istirahatlah, Nak,” ibuku mengetahui dari jawabanku.
“Ayah sudah minum obat?” tanyaku.
“Sudah,” singkat jawab ibu. Lalu komat-kamit verbal ibu lanjutkan kembali.
Aku menidurkan kepalanya di atas meja yang ada di dekatku. Dalam pejamkan mata, pikiran terbang mencari lembaran-lembaran kenangan untuk dibaca kembali sebagai perenungan. Aku menunda untuk terlelap tidur.
****
Aku hanya seorang anak miskin yang bertubuh kurus. Tak terbiayai daging dan susu sebab sudah jadi hak anak kaya, katanya. Aku ber- bapak tani musiman, dalam bantu garap tanah majikan. Aku ber-ibu penjual kebutuhan rumah tangga di pinggir keramaian kota.
Setingkat SD saya dalam jenjang pendidikan. Berumur delapan tahun memulai menduduki dingklik sekolah. Orang renta berkeinginan saya dalam kehormatan, di ketika kemiskinan mencemooh kemajuan. Aku turuti mereka. Dan saya belum mencicipi penderitaan mereka yang papa.
“Kau harus sekolah, Nak. Biar hidupmu berakal cari rezeki. Tidak ibarat Ayah.” kata ayahku waktu itu.
“Biar kau jadi orang mulia, Nak,” kata Ibu.
“Baik, Ayah, Ibu?” kataku dengan nada tak mengerti.
Aku berangkat berdikari dalam langkah. Membawa kalimat harapan orang tuaku walau tak mengerti maknanya. Mentari tersenyum hangat menyambut langkah juangku. Buku catatan dan baju seragam hanya hadiah tetangga sebelah. Untunglah. Tak punya buku cetak hasil penerbit yang terjual mahal di ketika banyak buku ialah jalan impian tercapai. Tak apalah. Aku dengan harap, tetap berlanjut dalam langkah meraih mimpi orang tuaku. Dan saya sangat bangga.
“Aku harus jadi orang yang berakal mencari rezeki, kata Ayah. Aku harus jadi orang mulia, kata Ibu. Asiiik,” gumamku sembari membayang kebahagiaan.
Ruang sekolah terlihat dekat. Aku berdiri mematung, memandang keasingan pergaulan. Dan saya disambut Pak Guru, “Pagi, Nak... Ayo masuk.”
“Gak?” kataku.
Orang tuamu nanti marah. Orang renta pesen apa, Nak? Hayoo… Pasti pesan biar kamu… pin-terrr.
“Iyah. Ayahku pesan, supaya aku… berakal mencari rezeki. Ibuku juga pesan, biar aku, jadi, orang mulia…”
“Kalau begitu, yuk masuk.”
Aku pun masuk. Aku mengalungkan di leher sang pendidik berisikan instruksi impian; seakan instruksi impian itu menyuruh pendidik supaya tak diam dalam beban berat sang miskin menggapai impian. Tetap memperhati impian yang berkilau-kilau.
Dalam ruang kelas, saya terduduk diam bertingkah sekecil anak. Menatap kosong goresan-goresan goresan pena keterangan sembari mencatat mengikut gesekan sang pendidik. Tiap gesekan goresan pena bergotong-royong sebuah tanda tanya dalam pencapaian impian. Aku pun dalam dengar pada kata guru yang terlontar keluar, menyebar di sekumpulan pelajar. Aku termangu, tetap dalam lugu. Aku masih tak mengerti. Dan tetap bermain tingkah anak kecil.
Sesekali melihat beberapa teman: di depannya, di belakangnya, atau di sampingnya. Mereka berpenampilan bagus, bersih, dan rapih. Di bangkunya, bersanding pula buku seukuran mahal. Aku tetap tak punya kuasa, hanya harap mereka sanggup memberiku buku.
Aku tengok ke samping. Gadis berwajah manis, berambut lurus, dan berhidung mancung melirikku. Segera saya berikan sebait kata, “Di beliin Mamah?”
“Apanya?”
“Buku."
Ia mengangguk sembari pancarkan senyum manisnya.
Dalam hati, saya memendam semangat haru biru. Dan dalam hati, tersimpan jua hati kemiskinan yang siap menghunus pedang, membunuh semangat.
****
“Tio... Bangun, Nak. Tidur lah kau dikamarmu….”
“Aku tidak tidur, Bu… saya cuma sedang mengenang masa kecilku dulu… Aku begitu lugu ya, Bu. saya mencar ilmu dengan rajin. Tapi saya tidak mengerti ilmu itu harus dimanfaatin bagaimana? Dan saya pun tak memikirkan hal tersebut.”
“Kau menyesal sekolah, Nak?”
“Sempat begitu… Orang renta berjuang mati-matian mencari duit untuk membelikan segala keperluan sekolah. Tapi, tetap saja nasibku begini, Bu. Selama dua belas tahun hanya menerima suguhan pengetahuan yang mengawang. Aku bisa berjualan dari ilmu ibu… walau di pandang sederhana.”
Aku bercita-cita ingin mengerti ilmu Ekonomi supaya bisa menyebarkan perjuangan Ibu. Pun, bisa ilmu Biologi biar bisa menyebarkan pertanian. Tapi terhalang oleh banyak ilmu yang harus saya jalani. Seharusnya saya tidak sekolah, dan tetap mencar ilmu kedua ilmu itu.
Aku bekerja di pabrik sepatu sesudah setahun menganggur. Aku bekerja menjadi pegawai rendahan. Berbulan-bulan bekerja. Setelah itu masa kontrak habis. Lalu saya tidak bisa berkutik apa-apa. Ilmuku ikut menganggur bersamaku.
“Masuklah ke kamarmu,” ibu menghentikan pembicaraan. Menyuruh masuk ke kamar.
Aku menuruti seruan ibu. Kuhembuskan nafas sesaat. Aku berdiri dengan memikul beban hidup. Berjalan melewati kamar adik kembar perempuanku yang tidur bersama, seakan mendengar candaannya. Keduanya masih Sekolah Menengan Atas yang kini diasuh dan membantu di rumah orang kaya. Aku jadi teringat adik pria pertama yang telah tiada.
Aku masuk. Aku rebahkan badan. Tiga tahun, saya sendiri dalam kamar. Aku lirik di atas meja. Buku kelam catatan pengetahuan diam membisu. Dan terbayang kisahnya.
****
Waktu terus berjalan mengikuti aturan keseimbangan. Kelulusan menyambut hatiku. Aku tumbuh keremajaan. Aku dalam berbangga ria, orang renta tak sia-sia.
Aku berniat masuk pada tingkat SMP. Kemiskinan tetap bertarung denganku. Tapi tetap menantang kembali berlanjut dalam menuntut pendidikan, yang katanya, “pendidikan ialah duduk mematung bartahun- tahun dalam sekolah”. Dan orang renta hanya lepaskan sedikit biaya. Aku bejalan dalam kemandirian. Sembari mengubah nasib di alam jalan raya. Dan enggan impian kembali terkalungkan.
“Kau butuh kerjaan? Tanya gadis yang berwajah manis. Anisa namanya. Ia seorang anak supir angkutan umum.”
“Iya, kataku?”
Gadis itu hanya menanyakan. Ia sahabat semenjak SD. Aku berkata padanya, kalau saya ingin berjualan. Aku ingin jadi tukang asongan. Ia pun memberi uang untuk membeli keperluan dagangnya.
“Tempat ini ramai. Tempat berhentinya mobil. Tempat para penjual. Tapi kau harus berani menghadapi keramaian.”
Sehabis sekolah saya berjualan. Dari siang hingga sore. Tak seberapa untung yang saya dapat, walau penjualan tidak mengecewakan laku. Malam saya luangkan untuk mencar ilmu ilmu yang masih belum diketahui kegunaannya. Belajar hanya disambut uap kantuk, dan kelelahan raga. Aku lakukan setiap hari.
Pikiran di luar kesadaran pun datang. Apa gampang masuk tak ada pembatas. Aku pun tak berdaya mendapatkan kejadian-kejadian dalam hidupku.
Seringkali godaan sahabat hadir. Dan itu di ketika saya kelas dua. Aku pun menimbang-nimbang mana yang akan saya lakukan. Pikiran buruk tampaknya lebih menguasai. Aku berpikir, mengapa saya mempelajari ini? Untuk apa? Toh saya bisa bekerja. Akhirnya godaan dunia remaja tiba menemani.
“Nah gitu dong,” kata sahabat yang mengajakku.
“Tapi saya tidak lezat sama orang tua.”
Ah.. lo. Emang gue anak buangan? Gue juga punya bonyok. Tapi gue biasa-biasa saja.
Orang tuaku sudah tunjukkan wajah murka. Ia terus-menerus menasehati dengan penuh amarah.
“Kau tumbuh remaja malah makin liar saja hidupmu!” Kata Ayah.
“Ibu tahu… kau masih menikmati dunia remajamu. Tapi luangkan waktumu untuk belajar,” ibu tetap tunjukkan nada halus penuh kesabaran padaku.
“Bu, lagian apa sih yang bisa diandalin dari pelajaran sekolah? Aku pun berjualan tidak pakai ilmu dari sekolah.”
“Manfaat ilmu itu nanti. Sekarang ini, kau belajarlah dulu.”
“Bu… tapi butuh uang sekarang. Aku bekerja demi membantu kesulitan Ibu dan kedua anak Ibu…belum lagi kini Ayah gampang sakit, tak besar lengan berkuasa kerja….”
“Tapi buktimu mana? Hidupmu malah liar. Kau mau jadi anak durhaka? ohok, ohok,” kata ayah sembari batuk tanggapan tanda-tanda TBC.
“Ahh…lagian saya aib sama teman-teman. Aku dianggap kurang pergaulan.” “Terserah kau,” kata Ayah.
“Ya, Allah,” kata ibu sembari melenguh.
Saat masih SD, saya begitu penurut. Aku mau belajar. Aku pun sering menerima peringkat kelas walau di atas lima; peringkat itu masih belum diketahui apa manfaatnya.
Aku pun berkeliaran di gelap malam. Tinggalkan pengetahuan. Awalku merasa berat. Tapi saya malah menutup mata wacana belajar. Ditemani gadis yang selalu setia mendampingiku. Ia pun ikut bersamaku. Awalnya ia merasa canggung dengan perubahan sikapku. Tapi kini, ia malah yang sering memulai mengajakku main di malam gelap bersama sahabat lainnya.
Uang hasil penjualan lenyap terpengaruhi kehidupan remaja. Kini, bukan hanya meninggalkan belajar. Tapi uang untuk membeli buku pun tak ada. Untung saja, Anisa sering membantu keuangan dalam membelikan buku.
Hasrat cinta menggelora! Masa puber untukku. Dipancing pula hasil tontonan kotor yang tak layak di tonton. Tak ragu lagi, gadis itu yang menjadi daerah hasrat cintaku. Ia pun sudah usang menyukai sebab ketampananku. Aku bercinta dengannya. Menikmati keindahan-keindahan cinta remaja. Sampai nafsu menguasai. Di malam sepi… di rumahnya, saya melaksanakan berbuatan keji. Dua tubuh menyatu dalam satu kasur. Sampai puncaknya. Tak puas, saya pun melaksanakan kembali. Lagi, lagi dan lagi. Sampai ia kandungkan buah cinta.
Anisa ungkapkan masalah kehamilan dengan penuh derai air mata. Aku pun terkejut. Aku tak mendapatkan keadaan ini. Ia berkeluh kesah wacana perlakuan ayahnya.
“Apa? Kau hamil? Siapa yang menghamili?” Kata Ayah Anisa yang berwajah orisinil Indonesia. Anisa diam.
“Anak sialan,” tamparan ayah Anisa menciptakan Anisa makin diam. Dan hanya tangisan yang ia berikan.
“Jawab Anisa!” Apa pacarmu yang menghamilimu? Dasar anak haram! Ayahnya mendorong Anisa dan menyampaikan kata yang menyakitkan.
Tak ada Ibu yang mendampingi Anisa. Ibunya sedang pergi ke rumah orang tuanya. Anisa menangis sendiri. Pun tetap tak menjawab. Ia sangat stress berat depresi dengan keadaan ini. Mulut pun tetap terkunci rapat sesudah tahu bahwa dirinya hamil.
Anisa pun menemui diriku.
“Kau harus tanggung jawab! Atau saya akan bunuh diri!”
“Aku tidak mau. Tidak mau! Tidak! Ini tidak mungkin! Tidaaak!”
Aku terbangun. Nafas terengah-engah. Dan berusaha tenangkan nafas.
“Astahfirullah. Mimpi. Benar-benar mimpi. Syukurlah. Oh Anisa, kau Hadir. Aku merindukanmu, Anisa. Huh… saya menghawatirkanmu. Kenapa bermimpi begitu? Apa yang terjadi dengan Anisa?”
Seharusnya saya tidak begitu. Memang saya sekolah, tapi tak hingga melupakan dunia pergaulan. Tetap kekerabatan pertemanan terjalin dengan baik. Memang saya berjualan di ramai terminal, tapi tak hingga melupakan belajar. Memang saya bergaul, tapi tak hingga melupakan aturan. Memang Anisa itu sahabatku, tapi tak hingga menidurinya hingga membuahkan hasil di perutnya.
****
Terlihat jam dinding melekat di tembok. Jam memperlihatkan pukul lima pagi. Aku segera ke kamar mandi. Aku mandi. Aku jalankan salat. Lalu saya duduk di kursi. Dan termenung.
“Aku merasa kecewa dengan pendidikan yang saya raih. Dua belas tahun mencar ilmu tak nampakkan juga kegunaan ilmu yang cukup untuk menghadapi hidup. Semua ilmu pengetahuan saya lahap. Rutinitas sekolah dilakukan dengan kesungguhan. Lelah dan murung selalu menyelimut menyambut. Tapi, saya hanya orang rendahan yang tak pantas di sebut insan berpendidikan. Aku kecewa, malu. Aku bersekolah hanya menguras tenaga tapi tanpa ada hasil nyata. Hanya ilmu hayalan sampah yang ada di kepala.
Tok.Tok.Tok.
Suara pintu di ketok. Sepertinya ada tamu. Ah, barangkali si kembar itu. Tapi tidak ibarat biasa. Seperti orang lain. Tapi siapa?
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikum salam.”
Bergegas saya menuju pintu. Aku rasakan penuh debar penasaran. Lalu saya buka. Dan…
“Hah... Kau kah? Kau Anisa? Aku tanya keheranan. Sembari melirik perut yang terlihat sedikit buncit.
Anisa tersenyum mengambang dan menganggukkan kepala. Ia terlihat membawa beban yang teramat berat tapi tetap tunjukkan bahagia. Aku pun membalas senyumnya.
Dua Tangan Anisa di belakang punggungnya. “Aku bawakan buah tangan dari tanah Arab. Buah kurma,” katanya.
“Kau hamil?”
Ia hanya tersenyum mengambang. Anisa memperlihatkan tangannya dan menawarkan bingkisannya. Aku bertanya-tanya dalam hati. “Apakah dua buah kurma?”
Oleh :
ELBUYZ
Pemilik situs:
www.ebookbisnis.siteindo.com