Cerpen: Bukan Sekedar Kencing Biasa
Jumat, 10 Oktober 2014
Terminal Jagat pantura redup mentari dalam kisah. Gemuruh suara-suara menggelegar, mereda, bergumam bunyi pula. Mobil-mobil angkutan umum berjejer bertingkah kentut kenalpot dalam antiran perjalanan. Hilir pulang kampung para penumpang yang berbaju rapih atau berbaju lusuh beraneka warna. Turun dari kendaraan beroda empat atau menaiki kendaraan beroda empat membawa buah tangan atau membawa kesia-siaan belaka. Tawaran jasa kendaraan beroda empat dari lisan kenek berseliweran di segala penjuru. Penjual minuman botol, penjual telur puyuh, penjual manisan, penjual ketan panggang, penjual gorengan, dan seluruh penjual lainnya ikut andil dalam menari laba keramaian. Tak lupa pengemis, pengamen, yang sering kali meresahkan penumpang yang sedang duduk tenang.
“Tersimpan rindu di hati, gelisah tak menentu… Berawal dari kita bertemu… dan seterusnya,” yakni nyanyian pengamen yang sering dikumandangkan bagai azan salat, menciptakan Pak Amin merasa terganggu di dikala sedang duduk termangu kelelahan. Lalu segera ia berikan penggalan logam lima ratusan.
Lalu Pak Amin termangu kembali. Seakan kelelahan terus menaburkan benih-benih kantuk dalam matanya. Segera ia tepiskan mata kantuk yang hampir meredup. Pak Amin menatap keluar ruangan mobil. Menatap lekat pada kemudian lalang mobil. Tak sengaja melihat seorang yang sedang berdiri, bersembunyi di balik pintu mobilnya. Sudah menjadi pemandangan biasa kencing di tempat keramaian ini. Banyak alasan yang menghambat mereka pergi ke WC.
Tapi bagi Pak Amin, itu suatu pandangan yang menggelikan. Terlihat ia menggelengkan kepala sewaktu melihat hal itu. Ia tak sudi melihat kegiatan pelepasan hajat kecilnya. Setelah ia selesai, Pak Amin sempat melihat rupa wajah tapi enggan mengingat dalam memori. Seakan seorang itu memiliki beribu sisi gelap yang tercermin dari perilaku kencingnya.
Mobil segera berlalu meninggalkan ramai terminal. Melewati jalan layang. Melewati batas kota. Melewati segala yang ada dihadapan. Jauh terlewati dari pandangan terminal. Kini, setengah jam berlalu, hingga di penghujung perjalanan. Mata tersadarkan. Ini kawasan Pak Amin yang dikenalnya. Lalu ia turun dengan teratur dan kehati-hatian mengingat penuh sesak menghadang. Ia hembuskan nafas segar. Mobil yang dinaiki pun sekarang berlalu dari hadapan Pak Amin. Lalu ia berjalan kaki menyusuri desa Buntet menuju rumahnya.
****
Pak Amin merebahkan tubuh di sofa lepaskan kelelahan. Pandangan mata menuju langit-langit.
“Diminum teh manisnya, Yah. Tapi Nah hawatir Ayah terjangkit diabetes,” kata Maimunah anak satu-satunya. Ia gres saja lulus sekolah. Dan belum ada kesempatan untuk kuliah atau bekerja.
“Nanti,” Pak Amin tetap menatap langit-langit.
Maimunah tetap termangu hening. Ia setia menemani sang Ayah selepas pulang kerja sejak ditinggalkan istrinya tiga tahun yang lalu, menduakan bersama pria sahabat Sekolah Menengan Atas Pak Amin. Terlantar mereka berdua, hanya pasrah pada Yang Maha Kuasa.
“Yah, saya harap Ayah setuju.”
“Ada apa, Nah?” Pak Amin sekarang membangunkan badannya. Duduk dengan menghadap ke arah Maimunah. Lalu, ia menikmati secangkir teh manis hangat yang ada di meja. “Bicaralah. Kau tampaknya malu, Nah.”
“Bukan malu. Tapi takut Ayah tidak setuju.”
“Iya, apa dulu?”
“Ada yang mau melamarku. Aku ingin diajak menikah?”
“Hebat sekali dia! Tiba-tiba mengajakmu nikah, di dikala Ayah belum tahu pria itu....”
“Jadi Ayah setuju? Tapi kok terlihat menyerupai tak setuju.”
“Setuju menikahnya. Belum tentu calonnya. Lagi pula Ayah gres tahu kalau kau punya calon.”
“Baru jadian setengah tahun yang lalu.”
“Hebat sekali kau, Nak. menyembunyikan statusmu dan pacarmu. Ada yang paling diam-diam tidak?”
“Ih Ayah, kenapa kok tanggapannya gitu... Seperti tak setuju….”
“Hahahaha...,” Tawa Pak Amin seakan berusaha melenyapkan prasangka jelek anaknya.
“Kapan beliau mau ke sini? Hadapi Ayah. Jangan jadi pengecut,” Pak Amin melanjutkan pembicaraan.
“Nanti malam, Yah?”
“Hah...! Cepat sekali.”
“Sudah seminggu ingin bilang ke Ayah, tapi belum sempat. Aku tidak berani, Yah.”
****
Keheningan malam dengan nuansa kegelapan. Berbaur dengan nyanyian jangkrik malam dengan merdu tembang kebanggaan Tuhan. Semilir angin malam tetap hantamkan dedaunan sehingga meriak lembut berirama. Sejuk, bahkan cuek merasuk tubuh menciptakan harap memeluk kehangatan.
Berhias higienis tak mencolok pandang sebagai sambut pada calon yang akan menghadap. Maimunah menunggu dalam jantung yang berdetik kegelisahan. Jam 19.30 kelam malam tetap memperlihatkan suguhan waktu perihal masa sekarang yang terbatas. Waktu terus berkelana mengikis masa depan. Maimunah gelisah seucap batin tertahan dalam dada. Menunggu hati kekasih bersimpuh di hadapan sang calon mertua. Kini waktu telah singgah dengan aturan. Tak ragu. Tetap dalam perputaran kehidupan. Kini jam menunjuk pada waktu 20. 30 kelam malam.
Katanya sesudah Isya?” Pak Amin mempertanyakan perihal keseriusan waktu. Ia pun duduk temani raga Maimunah yang sedari tadi mata terus dipermainkan jam berputar. Juga menunggu sebait balasan dari SMS kekasih.
“Mungkin masih di jalan.”
“Memang dari mana?”
“Kendal.”
“Dari Kendal kok ngulur-ngulur waktu. Dekat dari sini….”
Tiba-tiba jeritan motor membisingkan malam yang hening. Maimunah hampiri bunyi bising itu. Rasa gelisah menderu terucapkan lantang dihadapan seorang yang diperlukan hadirnya.
“Halo, Nah,” Rizki, pacar Maimunah, hadir dengan balutan kaos merah, jaket hitam, dan mengenakan jeans berwarna hitam.
“Mas, gimana sih? Aku menunggu, menunggu, dan menunggu. Kenapa telat begini? SMS-ku tidak terbalas pula.”
“Yang penting sudah datang, bukan?”
“Ya sudah, silahkan masuk, Mas.”
“Assalamu’alaikum, Pak.” Lalu ia menengok Maimunah ke samping. “Itu Bapak Nah ya?”
Jam telah jujur mengungkapkan ukuran keterlambatan seseorang perihal sebuah perjanjian. Kini, bukti jam memperlihatkan pukul 20.40. Tak terbayangkan dapat melebihi sebuah batas dari ucapan janji.
Sorot pandang mata Pak Amin menguat seketika pada lelaki yang mengaku pacar Maimunah. Menerka bayangan dalam pikiran yang telah bersarang sebelumnya perihal pria itu. Berusaha memunculkan kembali memori yang mengendap terabaikan. Agar tak memperlihatkan pandangan kecurigaan, kembali Pak Amin redupkan sorot matanya. Bersikap lues menyuguhkan hidangan kehormatan untuk tamu.
“Silahkan duduk,” Pak Amin mempersilahkan sembari menduga bayangan yang menyerupai dengan lelaki itu. Seolah-olah bertanya dalam hati, “Apakah dia?” Hampir ingat tapi tertutup kembali bayangan dalam pikiran.
Rasa hormat terlampiaskan oleh Rizki dengan jabat tangan kehormatan. “Sehat Pak?”
“Alhadulillah. Dari mana asalnya?”
“Kendal.”
“Oh… Sudah setengah tahun pacaran?”
“Ya, begitulah, Pak.”
Maimunah sedang asik menyiapkan hidangan. Walau tak terdengar bunyi gelas dan sendok beradu merdu. Tak beberapa lama, hanya hitungan menit menyiapkan, Maimunah tiba dalam tampilan senyum memancar girang. Menyuguhkan pada dua lelaki. Yang satu dalam persiapan kata- kata untuk mertua. Yang satu lagi, gelisah mendera, dalam perjuangan tangkap kesamaan wujud.
“Silahkan diminum, Mas.”
“Makasih. Kaprikornus begini, Pak. Saya bermaksud untuk melamar anak Bapak. Aku minta biar diperbolehkan menikahi Maimunah.”
“Aku gres mengenalmu. Aku tak mau gegabah. Biarlah saya mengenalmu.”
“Bapak. Mas Rizki anak baik, Pak. Dia tidak menganggur. Sudah bekerja. Oh ya, Yah. Ayah kan sering pulang pergi pakai angkutan umum. Nah, kebetulan beliau seorang supir, Yah. Biar gak bayar, hmmm….”
Tubuh Pak Amin bagai tersambar petir. Terkaget-kaget. Menegang sekujur badan. Maimunah dan Riski hanya menunggu sebait kata dari Pak Amin. Tapi sekarang perlu waktu untuk melueskan lisan Pak Amin dalam berbicara. Pak Amin kalut merangkai kata. Seakan ucapan Maimunah mengingatkan kembali pada tragedi di terminal. Ekpresi wajah Pak Amin seketika berubah. Tunjukkan rona angkuh. Tapi tak tunjukkan nada amarah.
Ia tetap sembari pandang pria itu. Memcocokkan kembali dengan bayangannya. Ternyata benar.
“Ayah tidak setuju!”
“Apa?!” Mereka serentak berucap tanya. Seakan telah teratur rapih dalam rencana.
“Aku tidak setuju. Kalian dengar?”
“Ayah jahat! Tega sama anaknya sendiri!”
“Pak saya mohon, restui kekerabatan ini. Aku mencintainya. Aku ingin menikahinya. Aku sungguh-sungguh, Pak.”
“Maimunah, apakah kau menyayangi lelaki itu?”
“Aku mencintainya, Ayah?”
“Seberapa besar kau tahu perihal dia?”
“Dia baik, bertanggungjawab, menyayangiku, mencintaiku, setia, dan tentunya sudah bekerja.”
“Hebat! Lihatlah Rizki? Dia begitu kenal dirimu. Tapi coba, Maimunah bertanya untukku, seberapa kenal Ayah pada Rizki? Lalu apa tanggapanmu?”
Mereka berdua saling mengikat pandang. Lalu Maimunah kembali pada pandangan Ayahnya.
“Ayah belum kenal sama Mas Rizki. Terus, apa salah jikalau saya saja yang sudah mengenal Mas Rizki? Kenapa Ayah begini? Aku kurang nurut apa sama Ayah? Aku ingin, kali ini Ayah menuruti keinginanku….”
Rizki hanya menunduk gelisah. Belum berani banyak komentar. Seakan komentar Maimunah cukup mewakili kegelisahan perasaan Rizki.
“Itu kau tahu,” Pak Amin membenarkan. Lalu melanjutkan perkataan kembali. “Lebih baik kalian bincang-bincang. Tapi jangan terlalu lama.”
Kini mereke berdua benar-benar berhati kelam malam, berbunga duka. Sedih. Perih. Dan indah perasaan sirna seiring kepergian Ayahnya menuju kamar tidur.
****
Malam telah larut, mengikat ikut perputaran waktu. Malam pun telah meninabobokan Pak Amin. Lelap ia dalam tidur. Seakan mimpi yang ia rasakan yakni kehidupan nyata. Ia lupakan sejenak atas sikapnya yang tak disetujui kedua sepasang kekasih. Karena tidur yakni obat lupa terbaik.
Terperanjat. Ya, Pak Amin sedikit terperanjat kaget. Ia putuskan rangkaian mimpi yang telah terjalin dalam alur. Sayup-sayup bunyi tangis. Pak Amin termenung. Larut dalam tanya. Seakan hembusan nafas membangkitkan energi untuk menjawab.
“Maimunah. Ada apa dengan Maimunah? Aku lalai mengawasi mereka. Jangan-jangan… oh tidak!” Pak Amin bergegas keluar kamar. Lalu melangkah ke kamar Maimunah.
“Nah, Nah, Nah. Kenapa kau, Nak? Sialan. Kau diapakan sama pria itu?!” Pak Amin berprasangka lagi dengan penuh letupan amarah.
Tangsis tetap menjadi-jadi.
“Buka, Nah, buka!”
Segera pintu pun dibuka. Pak Amin pun bertanya.
“Kenapa kau menangis? Kau diapakan sama lelaki itu?”
“Kenapa Ayah tak sadar atas kesalahannya. Aku sedih. Kenapa Ayah tega tidak menuruti keinginanku… Kenapa Ayah tega mencegah niat baik seseorang untuk menikah?! Hik, hik, hik. Apakah Ayah lebih oke bila saya relakan tubuhku dinikmati tanpa status pernikahan?”
“Kau tak mengerti maksud Ayah! Tak mengerti!”
“Apa, Yah? Ayah yang tak mengerti perasaanku.”
“Lupakan dulu perihal perasaan, Nah!”
Maimunah tertunduk lemas. Ia mengerti, jikalau ia emosi, tak pantas wajah tampakkan ke arah ayahnya. Lebih baik ia menunduk kesopanan.
“Begini, Nak,” sembari mendudukkan tubuh lelah Pak Amin. “Sewaktu di terminal Ayah melihat Rizki sedang kencing sembarangan di terminal.”
“Apa?! Oh ternyata itu yang menciptakan tidak setuju?!” Maimunah tetap tak pandang wajah ayahnya.
“Tenangkan dulu… Berikan waktu buat Ayah.”
“Baik!”
“Kau tau beliau baik. Oke, Ayah terima. Dia baik dalam segi kemanusiaan. Tapi coba tengok dalam segi ketuhanannya. Apakah beliau pernah shalat? Dan Ayah lebih memperhatikan hening shalat. Apakah beliau shalat jikalau ia gampang membuang kencing di depan umum walau tak terlihat kemaluan dirinya?”
“Ayah jangan berprasangka begitu. Mungkin beliau shalat.”
“Apa ada shalat yang sah bila najis kencing melekat di badan?”
“Mungkin beliau membersihkannya.”
“Apa mungkin seorang supir membersihkan najis? Kencing saja tak beraturan.”
“Yah. Banyak yang rajin shalat tapi perilaku tidak baik.”
“Ya, Ayah tahu… Kita tak usah panjang lebar perihal shalat.”
“Cuma alasan itu Ayah menolak lamaran? Cuma alasan kencing dan tidak shalat?!”
Lebih dari itu! Kau perlu tahu kisah ini… Betapa sakit hatiku, Ibumu pergi bersama pria sahabat Ayah sendiri. Tapi saya pun merasa kasihan.
“Tolong Ayah! Jangan sebut nama Ibu!”
“Ssssst… Ayah lebih sakit daripada kamu. Tapi ini cerita. Biarlah kita sama-sama murka mendengarnya.”
“Lalu apa hubungannya kisah Ibu denganku?”
“Begini. Lalu, Ibumu menikah sama pria itu. Laki-laki itu suka kencing di tempat umum dan jarang dibersihkan! Setelah beberapa bulan, Ibu memberi tahu Ayah lewat pesan yang begitu menjijikkan. Setiap kali suaminya ingin melepaskan hasratnya, sering kali kewanitaan Ibumu….”
“Cukup! Aku tak mau mendengarnya....”
“Ya sudah. Tapi sedikit lagi. Ini terakhir.”
“Baiklah.”
“Lalu suami itu menumpahkan cairan ke wajah Ibumu! Itu seperti mengencingi Ibu kamu! Aku jijik seorang yang kencing dikeramaian. Aku teringat kisah Ibumu!”
“Cukuuuup. Aku mohon selesai kisah itu. Menjijikkan!”
“Itulah kisah menjijikkan. Dan Ibumu sangat menyesal sudah selingkuh. Ia mengalami kekerasan dalam ranjang. Ia ingin sekali rujuk.”
“Ayah masih cinta sama Ibu?”
“Tidurlah.”
Oleh :
ELBUYZ
Pemilik situs:
www.ebookbisnis.siteindo.com
“Tersimpan rindu di hati, gelisah tak menentu… Berawal dari kita bertemu… dan seterusnya,” yakni nyanyian pengamen yang sering dikumandangkan bagai azan salat, menciptakan Pak Amin merasa terganggu di dikala sedang duduk termangu kelelahan. Lalu segera ia berikan penggalan logam lima ratusan.
Lalu Pak Amin termangu kembali. Seakan kelelahan terus menaburkan benih-benih kantuk dalam matanya. Segera ia tepiskan mata kantuk yang hampir meredup. Pak Amin menatap keluar ruangan mobil. Menatap lekat pada kemudian lalang mobil. Tak sengaja melihat seorang yang sedang berdiri, bersembunyi di balik pintu mobilnya. Sudah menjadi pemandangan biasa kencing di tempat keramaian ini. Banyak alasan yang menghambat mereka pergi ke WC.
Tapi bagi Pak Amin, itu suatu pandangan yang menggelikan. Terlihat ia menggelengkan kepala sewaktu melihat hal itu. Ia tak sudi melihat kegiatan pelepasan hajat kecilnya. Setelah ia selesai, Pak Amin sempat melihat rupa wajah tapi enggan mengingat dalam memori. Seakan seorang itu memiliki beribu sisi gelap yang tercermin dari perilaku kencingnya.
Mobil segera berlalu meninggalkan ramai terminal. Melewati jalan layang. Melewati batas kota. Melewati segala yang ada dihadapan. Jauh terlewati dari pandangan terminal. Kini, setengah jam berlalu, hingga di penghujung perjalanan. Mata tersadarkan. Ini kawasan Pak Amin yang dikenalnya. Lalu ia turun dengan teratur dan kehati-hatian mengingat penuh sesak menghadang. Ia hembuskan nafas segar. Mobil yang dinaiki pun sekarang berlalu dari hadapan Pak Amin. Lalu ia berjalan kaki menyusuri desa Buntet menuju rumahnya.
****
Pak Amin merebahkan tubuh di sofa lepaskan kelelahan. Pandangan mata menuju langit-langit.
“Diminum teh manisnya, Yah. Tapi Nah hawatir Ayah terjangkit diabetes,” kata Maimunah anak satu-satunya. Ia gres saja lulus sekolah. Dan belum ada kesempatan untuk kuliah atau bekerja.
“Nanti,” Pak Amin tetap menatap langit-langit.
Maimunah tetap termangu hening. Ia setia menemani sang Ayah selepas pulang kerja sejak ditinggalkan istrinya tiga tahun yang lalu, menduakan bersama pria sahabat Sekolah Menengan Atas Pak Amin. Terlantar mereka berdua, hanya pasrah pada Yang Maha Kuasa.
“Yah, saya harap Ayah setuju.”
“Ada apa, Nah?” Pak Amin sekarang membangunkan badannya. Duduk dengan menghadap ke arah Maimunah. Lalu, ia menikmati secangkir teh manis hangat yang ada di meja. “Bicaralah. Kau tampaknya malu, Nah.”
“Bukan malu. Tapi takut Ayah tidak setuju.”
“Iya, apa dulu?”
“Ada yang mau melamarku. Aku ingin diajak menikah?”
“Hebat sekali dia! Tiba-tiba mengajakmu nikah, di dikala Ayah belum tahu pria itu....”
“Jadi Ayah setuju? Tapi kok terlihat menyerupai tak setuju.”
“Setuju menikahnya. Belum tentu calonnya. Lagi pula Ayah gres tahu kalau kau punya calon.”
“Baru jadian setengah tahun yang lalu.”
“Hebat sekali kau, Nak. menyembunyikan statusmu dan pacarmu. Ada yang paling diam-diam tidak?”
“Ih Ayah, kenapa kok tanggapannya gitu... Seperti tak setuju….”
“Hahahaha...,” Tawa Pak Amin seakan berusaha melenyapkan prasangka jelek anaknya.
“Kapan beliau mau ke sini? Hadapi Ayah. Jangan jadi pengecut,” Pak Amin melanjutkan pembicaraan.
“Nanti malam, Yah?”
“Hah...! Cepat sekali.”
“Sudah seminggu ingin bilang ke Ayah, tapi belum sempat. Aku tidak berani, Yah.”
****
Keheningan malam dengan nuansa kegelapan. Berbaur dengan nyanyian jangkrik malam dengan merdu tembang kebanggaan Tuhan. Semilir angin malam tetap hantamkan dedaunan sehingga meriak lembut berirama. Sejuk, bahkan cuek merasuk tubuh menciptakan harap memeluk kehangatan.
Berhias higienis tak mencolok pandang sebagai sambut pada calon yang akan menghadap. Maimunah menunggu dalam jantung yang berdetik kegelisahan. Jam 19.30 kelam malam tetap memperlihatkan suguhan waktu perihal masa sekarang yang terbatas. Waktu terus berkelana mengikis masa depan. Maimunah gelisah seucap batin tertahan dalam dada. Menunggu hati kekasih bersimpuh di hadapan sang calon mertua. Kini waktu telah singgah dengan aturan. Tak ragu. Tetap dalam perputaran kehidupan. Kini jam menunjuk pada waktu 20. 30 kelam malam.
Katanya sesudah Isya?” Pak Amin mempertanyakan perihal keseriusan waktu. Ia pun duduk temani raga Maimunah yang sedari tadi mata terus dipermainkan jam berputar. Juga menunggu sebait balasan dari SMS kekasih.
“Mungkin masih di jalan.”
“Memang dari mana?”
“Kendal.”
“Dari Kendal kok ngulur-ngulur waktu. Dekat dari sini….”
Tiba-tiba jeritan motor membisingkan malam yang hening. Maimunah hampiri bunyi bising itu. Rasa gelisah menderu terucapkan lantang dihadapan seorang yang diperlukan hadirnya.
“Halo, Nah,” Rizki, pacar Maimunah, hadir dengan balutan kaos merah, jaket hitam, dan mengenakan jeans berwarna hitam.
“Mas, gimana sih? Aku menunggu, menunggu, dan menunggu. Kenapa telat begini? SMS-ku tidak terbalas pula.”
“Yang penting sudah datang, bukan?”
“Ya sudah, silahkan masuk, Mas.”
“Assalamu’alaikum, Pak.” Lalu ia menengok Maimunah ke samping. “Itu Bapak Nah ya?”
Jam telah jujur mengungkapkan ukuran keterlambatan seseorang perihal sebuah perjanjian. Kini, bukti jam memperlihatkan pukul 20.40. Tak terbayangkan dapat melebihi sebuah batas dari ucapan janji.
Sorot pandang mata Pak Amin menguat seketika pada lelaki yang mengaku pacar Maimunah. Menerka bayangan dalam pikiran yang telah bersarang sebelumnya perihal pria itu. Berusaha memunculkan kembali memori yang mengendap terabaikan. Agar tak memperlihatkan pandangan kecurigaan, kembali Pak Amin redupkan sorot matanya. Bersikap lues menyuguhkan hidangan kehormatan untuk tamu.
“Silahkan duduk,” Pak Amin mempersilahkan sembari menduga bayangan yang menyerupai dengan lelaki itu. Seolah-olah bertanya dalam hati, “Apakah dia?” Hampir ingat tapi tertutup kembali bayangan dalam pikiran.
Rasa hormat terlampiaskan oleh Rizki dengan jabat tangan kehormatan. “Sehat Pak?”
“Alhadulillah. Dari mana asalnya?”
“Kendal.”
“Oh… Sudah setengah tahun pacaran?”
“Ya, begitulah, Pak.”
Maimunah sedang asik menyiapkan hidangan. Walau tak terdengar bunyi gelas dan sendok beradu merdu. Tak beberapa lama, hanya hitungan menit menyiapkan, Maimunah tiba dalam tampilan senyum memancar girang. Menyuguhkan pada dua lelaki. Yang satu dalam persiapan kata- kata untuk mertua. Yang satu lagi, gelisah mendera, dalam perjuangan tangkap kesamaan wujud.
“Silahkan diminum, Mas.”
“Makasih. Kaprikornus begini, Pak. Saya bermaksud untuk melamar anak Bapak. Aku minta biar diperbolehkan menikahi Maimunah.”
“Aku gres mengenalmu. Aku tak mau gegabah. Biarlah saya mengenalmu.”
“Bapak. Mas Rizki anak baik, Pak. Dia tidak menganggur. Sudah bekerja. Oh ya, Yah. Ayah kan sering pulang pergi pakai angkutan umum. Nah, kebetulan beliau seorang supir, Yah. Biar gak bayar, hmmm….”
Tubuh Pak Amin bagai tersambar petir. Terkaget-kaget. Menegang sekujur badan. Maimunah dan Riski hanya menunggu sebait kata dari Pak Amin. Tapi sekarang perlu waktu untuk melueskan lisan Pak Amin dalam berbicara. Pak Amin kalut merangkai kata. Seakan ucapan Maimunah mengingatkan kembali pada tragedi di terminal. Ekpresi wajah Pak Amin seketika berubah. Tunjukkan rona angkuh. Tapi tak tunjukkan nada amarah.
Ia tetap sembari pandang pria itu. Memcocokkan kembali dengan bayangannya. Ternyata benar.
“Ayah tidak setuju!”
“Apa?!” Mereka serentak berucap tanya. Seakan telah teratur rapih dalam rencana.
“Aku tidak setuju. Kalian dengar?”
“Ayah jahat! Tega sama anaknya sendiri!”
“Pak saya mohon, restui kekerabatan ini. Aku mencintainya. Aku ingin menikahinya. Aku sungguh-sungguh, Pak.”
“Maimunah, apakah kau menyayangi lelaki itu?”
“Aku mencintainya, Ayah?”
“Seberapa besar kau tahu perihal dia?”
“Dia baik, bertanggungjawab, menyayangiku, mencintaiku, setia, dan tentunya sudah bekerja.”
“Hebat! Lihatlah Rizki? Dia begitu kenal dirimu. Tapi coba, Maimunah bertanya untukku, seberapa kenal Ayah pada Rizki? Lalu apa tanggapanmu?”
Mereka berdua saling mengikat pandang. Lalu Maimunah kembali pada pandangan Ayahnya.
“Ayah belum kenal sama Mas Rizki. Terus, apa salah jikalau saya saja yang sudah mengenal Mas Rizki? Kenapa Ayah begini? Aku kurang nurut apa sama Ayah? Aku ingin, kali ini Ayah menuruti keinginanku….”
Rizki hanya menunduk gelisah. Belum berani banyak komentar. Seakan komentar Maimunah cukup mewakili kegelisahan perasaan Rizki.
“Itu kau tahu,” Pak Amin membenarkan. Lalu melanjutkan perkataan kembali. “Lebih baik kalian bincang-bincang. Tapi jangan terlalu lama.”
Kini mereke berdua benar-benar berhati kelam malam, berbunga duka. Sedih. Perih. Dan indah perasaan sirna seiring kepergian Ayahnya menuju kamar tidur.
****
Malam telah larut, mengikat ikut perputaran waktu. Malam pun telah meninabobokan Pak Amin. Lelap ia dalam tidur. Seakan mimpi yang ia rasakan yakni kehidupan nyata. Ia lupakan sejenak atas sikapnya yang tak disetujui kedua sepasang kekasih. Karena tidur yakni obat lupa terbaik.
Terperanjat. Ya, Pak Amin sedikit terperanjat kaget. Ia putuskan rangkaian mimpi yang telah terjalin dalam alur. Sayup-sayup bunyi tangis. Pak Amin termenung. Larut dalam tanya. Seakan hembusan nafas membangkitkan energi untuk menjawab.
“Maimunah. Ada apa dengan Maimunah? Aku lalai mengawasi mereka. Jangan-jangan… oh tidak!” Pak Amin bergegas keluar kamar. Lalu melangkah ke kamar Maimunah.
“Nah, Nah, Nah. Kenapa kau, Nak? Sialan. Kau diapakan sama pria itu?!” Pak Amin berprasangka lagi dengan penuh letupan amarah.
Tangsis tetap menjadi-jadi.
“Buka, Nah, buka!”
Segera pintu pun dibuka. Pak Amin pun bertanya.
“Kenapa kau menangis? Kau diapakan sama lelaki itu?”
“Kenapa Ayah tak sadar atas kesalahannya. Aku sedih. Kenapa Ayah tega tidak menuruti keinginanku… Kenapa Ayah tega mencegah niat baik seseorang untuk menikah?! Hik, hik, hik. Apakah Ayah lebih oke bila saya relakan tubuhku dinikmati tanpa status pernikahan?”
“Kau tak mengerti maksud Ayah! Tak mengerti!”
“Apa, Yah? Ayah yang tak mengerti perasaanku.”
“Lupakan dulu perihal perasaan, Nah!”
Maimunah tertunduk lemas. Ia mengerti, jikalau ia emosi, tak pantas wajah tampakkan ke arah ayahnya. Lebih baik ia menunduk kesopanan.
“Begini, Nak,” sembari mendudukkan tubuh lelah Pak Amin. “Sewaktu di terminal Ayah melihat Rizki sedang kencing sembarangan di terminal.”
“Apa?! Oh ternyata itu yang menciptakan tidak setuju?!” Maimunah tetap tak pandang wajah ayahnya.
“Tenangkan dulu… Berikan waktu buat Ayah.”
“Baik!”
“Kau tau beliau baik. Oke, Ayah terima. Dia baik dalam segi kemanusiaan. Tapi coba tengok dalam segi ketuhanannya. Apakah beliau pernah shalat? Dan Ayah lebih memperhatikan hening shalat. Apakah beliau shalat jikalau ia gampang membuang kencing di depan umum walau tak terlihat kemaluan dirinya?”
“Ayah jangan berprasangka begitu. Mungkin beliau shalat.”
“Apa ada shalat yang sah bila najis kencing melekat di badan?”
“Mungkin beliau membersihkannya.”
“Apa mungkin seorang supir membersihkan najis? Kencing saja tak beraturan.”
“Yah. Banyak yang rajin shalat tapi perilaku tidak baik.”
“Ya, Ayah tahu… Kita tak usah panjang lebar perihal shalat.”
“Cuma alasan itu Ayah menolak lamaran? Cuma alasan kencing dan tidak shalat?!”
Lebih dari itu! Kau perlu tahu kisah ini… Betapa sakit hatiku, Ibumu pergi bersama pria sahabat Ayah sendiri. Tapi saya pun merasa kasihan.
“Tolong Ayah! Jangan sebut nama Ibu!”
“Ssssst… Ayah lebih sakit daripada kamu. Tapi ini cerita. Biarlah kita sama-sama murka mendengarnya.”
“Lalu apa hubungannya kisah Ibu denganku?”
“Begini. Lalu, Ibumu menikah sama pria itu. Laki-laki itu suka kencing di tempat umum dan jarang dibersihkan! Setelah beberapa bulan, Ibu memberi tahu Ayah lewat pesan yang begitu menjijikkan. Setiap kali suaminya ingin melepaskan hasratnya, sering kali kewanitaan Ibumu….”
“Cukup! Aku tak mau mendengarnya....”
“Ya sudah. Tapi sedikit lagi. Ini terakhir.”
“Baiklah.”
“Lalu suami itu menumpahkan cairan ke wajah Ibumu! Itu seperti mengencingi Ibu kamu! Aku jijik seorang yang kencing dikeramaian. Aku teringat kisah Ibumu!”
“Cukuuuup. Aku mohon selesai kisah itu. Menjijikkan!”
“Itulah kisah menjijikkan. Dan Ibumu sangat menyesal sudah selingkuh. Ia mengalami kekerasan dalam ranjang. Ia ingin sekali rujuk.”
“Ayah masih cinta sama Ibu?”
“Tidurlah.”
Oleh :
ELBUYZ
Pemilik situs:
www.ebookbisnis.siteindo.com