Cerpen: Saya Bukan Siti Nurbaya
Jumat, 03 Oktober 2014
Malam terasa menyeramkan. Suasana cukup gelap dan seakan dipenuhi makhluk halus yang siap mengikat segala pergerakanku demi memenuhi harapan nafsu yang tidak saya inginkan. Kini malam yang tak sanggup lagi mendukungku untuk melepas diriku. Aku tertekan dalam ikatan sebuah tali-temali yang terikat di tubuhku. Apakah ini malam-malam pengantin? Kejam tetapi saya tak sanggup apa-apa.
Memang saya kejam menolak segala perintah di tiap malam dari suamiku sendiri sebab ia pun sangat kejam memaksaku dan keluargaku untuk mau menuruti kemauannya bila memang tidak mau sengsara.
Memang serba salah. Benar-benar serba salah menjalankan ijab kabul ini. Di satu sisi lain, Masjudi yaitu suamiku. Di sisi lain saya tidak ingin menyerahkan diriku untuk Masjudi. Tidak akan!
Kenapa ini harus terjadi? Kenapa saya harus mengalami ibarat Siti Nurbaya? Bahkan saya diperlakukan lebih kejam melebihi Siti Nurbaya. Seharusnya tidak ibarat ini malam-malam pernikahan. Tetapi biarlah.
Aku membayang apa yang akan tertadi sehabis beberapa kali saya tolak seruan suamiku.
“Oh Tidak! Walau dalam keadaan terikat dan suami memaksa, saya tidak akan menyerahkan kehormatanku pada bajingan Masjudi! Tidak akan!”
Mungkin masjudi berpikir, “Kenapa dari awal ijab kabul tidak pernah menuruti harapan suami. Seharusnya kau menuruti harapan suami. Baru kau tidak akan diperlakukan ibarat ini!”
Tetapi sebelum menikah, apakah Masjudi menuruti keinginanku? Apakah ia mendapatkan dengan tulus jika saya tidak mau menikah dengan dirinya? Apakah ia mengerti hati seorang perempuan yang sedang jatuh cinta bersama lelaki pilihan? Apakah seorang perempuan hanya berhak untuk mendapatkan dan tidak berhak untuk menolak?
“Kenapa lelaki selalu ingin menang sendiri!” Bentakku dikala sudah ada masjudi didepanku.
“Kau jangan banyak bacot! Ini ganjaran bagi istri yang menolak seruan suami! Malaikat pun melaknatmu, istri durhaka!”
“Tapi kau telah berbuat kejam dengan memanfaatkan kondisi keluargaku!”
Masjudi sendiri memanfaatkan kondisi terjepit orang tuaku yang sedang mengalami pailit dan berhutang besar pada Masjudi. Orang bau tanah merasa tertekan dengan keadaan ibarat ini. Dia pun memaksaku penuh dengan rayuan-rayuan gombal padahal saya sudah punya kekasih yang siap menikahiku. Aku pun tidak sanggup apa-apa demi menuruti orang bau tanah yang terlihat sudah nangis darah. Terpaksa saya menikah sama ia yang tidak pernah saya inginkan hadirnya didalam kehidupanku.
Bila Masjudi menuruti keinginanku, ia tidak akan diperlakukan ibarat ini olehku. Jelas, tidak akan diperlakukan ibarat ini olehku sebab tidak ada lagi ijab kabul antara saya dan Masjudi.
Tetapi ikatan ini seakan akan mengakhiri malam pemberontakan. Aku tidak sanggup berbuat apa-apa. Aku hanya sanggup ucapkan, “Aku Bukan Siti Nurbaya!!!”
Hallah sudah! Jangan banyak bacok. Kau Siti Nurbaya!
Plak! Plak! Plak.
Masjudi menamparku.
Kenyataan memang saya melebihi Siti Nurbaya yang terpaksa menikah dengan pria lain, pilihan orang bau tanah dalam keadaan tertekan. Kenyataan saya diperlakukan lebih kejam melebihi Siti Nurbaya. Tetapi tetap, saya bukan Siti Nurbaya!
“Tolong, jangan dekati aku! Pergi! Aku bukan Siti Nurbaya! Aku bukan Siti Nurbaya!”
“Kau itu istri saya! Kenapa kau selalu nolak?! Kau harus nurut sama suami! Malaikat melaknatmu bila kau menolak. Kau itu Situ Nurbaya. Sudahlah, kenyataan kau sudah menikah dengan saya!”
“Aku ingatkan! Kenapa sebelum pernikahan, kau tidak menuruti keinginanku jika saya tidak ingin menikah!”
“Kalau menuruti keinginanmu, berarti saya tidak sanggup menikahimu! Itu artinya, kau telah menolak saya! Mana mungkin kau sanggup menolak saya! Huahahaha...”
“Dasar bajingan! Orang kaya kejam! Lepaskan ikatan ini.”
“Huahaha... Kau keluarga miskin sengsara, terhina! Tidak akan saya lepaskan! Saya ingin menikmatimu dalam keadaan terikat! Bagaimanakah kau menikmatinya? Ou, ou, ou...” kata Masjudi tegas.
“Lepaskan!” bentakku.
Plak!
Masjudi menamparku sekali lagi.
“Oh Tuhan, berilah kekuatan semoga terhindar dari kekejaman ini,” kataku dalam hati.
Aku meronta-ronta semoga sanggup lepas dari ikatan ini. Tetapi ikatan ini terasa berpengaruh sekali mengikat tubuhku.
Aku berpikir, memang sanggup saja saya mendapatkan Masjudi sebagai suami. Tetapi ia sudah dikenal seorang yang suka menyiksa istri hingga hal ibarat ini. Apalagi ia mengajakku menikah dengan cara kejam dan licik : memanfaatkan kondisi keluarga yang terjepit.
“Ya Tuhan, kenapa dongeng Si Masjudi malah kenyataan terjadi sama diriku? Kenapa?” kataku dalam hati.
Aku sempat menceritakan wacana banyak kisah si Masjudi sama Firman yang kini dipenjara gara-gara berbuat onar di program pernikahanku sama Masjudi. Masjudi selalu memperlakan istri-istri dengan sangat kejam walau tidak salah sekalipun. Aku tidak mengerti motif kejam yang dilakukan Masjudi. Ia sudah berkali-kali ganti istri dan berkali-kali juga dilaporkan ke polisi. Tetapi anehnya, selalu saja bebas dari eksekusi walau kesalahan Masjudi sudah benar-benar terbukti salah.
Hukum keparat! Hukum hianat! Kataku dalam hati sembari berusaha melepaskan diri.
Aku sempat bersumpah bila Masjudi mengajak menikah, lebih baik saya gila! Dan saya tidak ada sekalipun punya pikiran untuk sanggup hidup bersama Masjudi. Tidak ada. Walau pun kenyataan Ayahku berteman dengan Masjudi. Tetapi saya harap tidak akan terjadi pada kehidupanku.
Sekarang benar-benar terjadi dikehidupanku. Dihadapanku, seorang Majudi yang sangat tidak waras sedang memperlakukanku dengan sangat kejam malam ini.
Plak! Plak! Plak!
Sekali lagi Masjudi menamparku.
Cuh!!!
Aku ludahi saja muka Masjudi. Aku tidak ingin ia mendekat ke mukaku!
“Kurang ajar! Kau tidak tahu siapa saya hah? Saya paling suka malam pertama melukai badan wanita. Itu kebahagiaan saya. Kau akan jadi korban berikutnya!
Tolong! Jangan lakukan itu, bajingan! Pintaku dengan penuh ketakutan. Keringat pribadi deras. Jantung berdegup kencang. Batinku goncang. Aku meronta-ronta tidak karuan.
“Lihat ini! Tajam bukan? Betapa serunya bila saya sayat kulit tubuhmu. Oh, akan saya robek-robek pelan bajumu bersama kulitmu. Ini karenanya bila tidak mau menuruti keinginanku!”
Au!!! Sakiiit!!! Kataku menjerit. Tidak tahan. Aku tidak berpengaruh menahan perih.
Sayatan-sayatan pisau, tamparan terus saja dilakukan diriku. Aku benar- benar tidak kuasa diperlakukan ibarat ini. Sakit sekali! Darah mengalir deras ditiap badan yang disayat. “Aaaaw!! Tolong! tolong! Aaaw jangan lakukan itu! Sakit!”
“Hahaha... Jangan banyak omong! Itu karenanya bila kau tidak menuruti saya!”
Aku tidak berpengaruh menahan sakit ini. Tanganku, kakiku, kepalaku, semua tubuhku penuh darah. Sampai saya tidak sanggup berkata apa-apa. Aku hanya menahan sakit, sangat sakit yang saya rasakan. Aku lemas tak berdaya.
Tok, tok, tok!
“Buka! Jangan apa-apakan anak saya! Buka!”
Tiba-tiba ada bunyi ketok pintu.
“Tolong ayah!!! Tolong,” kataku terbata-bata sebab begitu tidak berdaya.
Masjudi tercengang! Ia bingun! Ia tidak sadar jika ia sudah diawasi oleh keluargaku. Aku pun tidak menyangka kedatangan mereka ke sini.
“Ya Tuhan... Kau telah mengabulkanku walau sudah terjadi kekerasan pada hidupku. Sakit sekali.”
Tiba-tiba saja pintu gudang di dobrak kencang dan akhirnya terbuka. 3 orang telah mendobraknya salah satunya ayahku. Untuklah pintu gudang sanggup dibuka.
“Ya Tuhan! Novi!” ayahku terkejut melihat tubuhku yang sudah penuh darah.
“Diam! Jangan ada yang berani mendekat! Selangkah saja, pisau sudah menggores leher anakmu!” Kata Masjudi.
Ayahku penuh hati-hati dalam gerakan. Masjudi telah menempelkan pisaunya di bersahabat leherku.
“Aku takut ayah!” kataku sekali lagi dengan penuh kelemahan.
“Tenang nak. Kau jangan takut. Nanti ayah atasi!”
“Mau kau apa Masjudi?! Lepaskan ponakanku!”
“Mau apa katamu? Mau membunuh perempuan sok jual mahal ini.”
Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku hanya menitikan airmata ketidakberdayaanku. Pelan-pelan saya redupkan pandang ke arah ayah dan kedua pamanku. Aku lemas dan hanya menyudahi kesadaranku. Aku tak tahu apa yang terjadi sehabis ini. Apakah saya hidup atau mati.
***
“Tidak! Tidak! Jangan dekati aku!” Aku tersadar dan merasa terkejut melihat sosok wajah.
“Ini Ibu Nak!”
“Kenapa saya di sini? Apa yang terjadi selama saya pingsan?”
“Untunglah kau selamat, Nak. Bapak membawa pamanmu yang sakti itu sehingga sanggup menciptakan Masjudi kaku. Sehingga kau selamat dari kekejaman Masjudi. Sekarang Masjudi dipenjara!”
“Tapi sehabis itu Masjudi bebas dan cari korban berikutnya? Begitu kah? Apa yang selama ini saya khawatirkan ternyata terjadi pada hidupku. Aku menikah dengan Masjudi dengan paksaan ayah dan ibu! Kejam! Betapa kejam kalian kepadaku.”
Ibuku hanya menangis tersedu-sedu. Ia sulit sekali sanggup berkata-kata.
“Ayah salah! Ibu salah! Kami juga serba bingung!” kata Ayah.
“Lihat tubuhku! Penuh luka! Apakah lebih mementingkan uang daripada anak sendiri! Anak sendiri! ”
“Maafin ibu Nak!”
“Pergi semua! Pergi!!!” Kataku sangat marah.
Aku tak ingin melihat wajah-wajah yang menciptakan hidupku ibarat ini.
“Aku bukan siti Nurbaya!”
Aku tidak sanggup menjalani hidup yang ibarat biasa. Rasanya, masa depanku sudah hancur.
“Aku bukan Siti Nurbaya!” saya tetap mengucapkan akreditasi jika saya bukan Siti Nurbaya.
Entah hingga kapan sakit hati ini, rasa stress berat ini, rasa frustasi ini, dan semua kehidupan gelap berakhir? Betapa kecewa pada diriku ini yang tidak sanggup berbuat nekad menolak proposal nikah Masjudi. Tetapi bila saya menolak, kehidupan keluarga lebih hancur lagi. Mungkin kini saya sedang tidur dikolong jembatan sebab semua dirampas Masjudi sebagai pembayaran utang. Tetapi bila menerima, hidupku hancur diperlakukan ibarat ini. Aku tidak sanggup mengulang waktu.
“Aku bukan Siti Nurbaya! Mengertikah semua orang?!”
“Mas Firman.” Aku makin teringat Mas Firman. Betapa kini nasibnya sama. Sama-sama menderita sebab penjahat dalam cinta.
“Apakah Mas masih dalam penjara? Dengar-dengar Mas telah keluar dari penjara. Tetapi kau gila sebab aku. Karena putus denganku!”
Waktu terus saja berputar. Berputar mengikuti perubahan diriku. Rasanya, hidup lebih oke bila saya berubah 180 dari yang dulu.
Lebih baik saya mengikuti kegilaan Mas Firman. Itu lebih baik. Daripada menjadi orang waras yang selalu berhadapan dengan pemaksaan dan kekejaman. Hidup menjadi orang gila seakan mencicipi kehidupan yang bebas tanpa hukum adat, agama, dan aturan-aturan yang penuh kebusukan.
“Nak! Makan dulu! Sudah dua hari kau belum makan.”
“Aku bukan Siti Nurbaya! Jangan paksa aku.”
“Ibu hanya menyuruh kau makan, Nak! Apa yang terjadi pada hidupmu?!”
“Pergi saya bilang. Kau tidak tahukan, jika saya sama Mas Firman saling mencintai?!”
“Bapak. Novi Pak. Ini kenapa?!” Ibu panggil Ayah.
“Ada apa dengan Novi?!” kata Ayah.
“Gak tahu! Tiba-tiba ibarat gak waras!”
“Siapa yang mau dipaksa menikah! Aku hanya bukan Siti Nurbaya!” Sangkalku sembari duduk menatap penuh ketakutan pada orang tuaku.
“Ya Tuhan. Kenapa jadi begini?! Sambil mengelus dada, ibu menangis melihat keadaanku.”
Hari demi hari menciptakan diriku makin tidak mengenal siapa diriku. Aku hanya menikmati setiap perjalanan yang tidak penuh arti ini. Aku sering sekali dibawa ke daerah yang entah dimana. Aku sering diberi minuman yang entah apa. Aku sering diperlakukan ibarat orang sakit.
Dalam perjalanan, saya berjumpa dengan Mas Firman. Entahlah, saya hanya mencicipi bahwa itu Mas Firman sebab hatiku masih ada cinta padanya. Yang jelas, saya mencicipi senang yang tidak jelas. Aku mencicipi kebahagiaan walau sesaat. Aku pergi meninggalkan dirinya tanpa tahu dengan terperinci kemana saya pergi.
Hari-hariku hanya berucap, “Aku bukan Siti Nurbaya.”
Ya, saya bukan Siti Nurbaya yang hanya menjadi korban pemaksaan orang lain. Aku bukan siti Nurbaya ibarat kebanyakan orang. Banyak Siti Burbaya-Siti Nurbaya yang lain yang akhirnya berpisah alias cerai hanya hitungan bulan. Banyak Siti Nurbaya yang lain yang hidup serumah tetapi hati berpisah tempat.
“Aku bukan Siti Nurbaya!” kataku pada seseorang yang tampaknya jadi korban pemaksaan cinta.
“Aku bukan Siti Nurbaya! Kau telah hamil!” Aku memamerkan diriku yang sebetulnya pada seseorang perempuan yang sok sanggup menentukan pasangan hidupnya sendiri padahal ia telah dihancurkan oleh pasangannya.
Rasanya, saya perempuan terbaik diantara para perempuan yang ada di dunia ini. Karena saya telah bebas menyatakan diri, “Aku bukan Siti Nurbaya!”
Oleh :
ELBUYZ
Pemilik situs:
www.ebookbisnis.siteindo.com
Memang saya kejam menolak segala perintah di tiap malam dari suamiku sendiri sebab ia pun sangat kejam memaksaku dan keluargaku untuk mau menuruti kemauannya bila memang tidak mau sengsara.
Memang serba salah. Benar-benar serba salah menjalankan ijab kabul ini. Di satu sisi lain, Masjudi yaitu suamiku. Di sisi lain saya tidak ingin menyerahkan diriku untuk Masjudi. Tidak akan!
Kenapa ini harus terjadi? Kenapa saya harus mengalami ibarat Siti Nurbaya? Bahkan saya diperlakukan lebih kejam melebihi Siti Nurbaya. Seharusnya tidak ibarat ini malam-malam pernikahan. Tetapi biarlah.
Aku membayang apa yang akan tertadi sehabis beberapa kali saya tolak seruan suamiku.
“Oh Tidak! Walau dalam keadaan terikat dan suami memaksa, saya tidak akan menyerahkan kehormatanku pada bajingan Masjudi! Tidak akan!”
Mungkin masjudi berpikir, “Kenapa dari awal ijab kabul tidak pernah menuruti harapan suami. Seharusnya kau menuruti harapan suami. Baru kau tidak akan diperlakukan ibarat ini!”
Tetapi sebelum menikah, apakah Masjudi menuruti keinginanku? Apakah ia mendapatkan dengan tulus jika saya tidak mau menikah dengan dirinya? Apakah ia mengerti hati seorang perempuan yang sedang jatuh cinta bersama lelaki pilihan? Apakah seorang perempuan hanya berhak untuk mendapatkan dan tidak berhak untuk menolak?
“Kenapa lelaki selalu ingin menang sendiri!” Bentakku dikala sudah ada masjudi didepanku.
“Kau jangan banyak bacot! Ini ganjaran bagi istri yang menolak seruan suami! Malaikat pun melaknatmu, istri durhaka!”
“Tapi kau telah berbuat kejam dengan memanfaatkan kondisi keluargaku!”
Masjudi sendiri memanfaatkan kondisi terjepit orang tuaku yang sedang mengalami pailit dan berhutang besar pada Masjudi. Orang bau tanah merasa tertekan dengan keadaan ibarat ini. Dia pun memaksaku penuh dengan rayuan-rayuan gombal padahal saya sudah punya kekasih yang siap menikahiku. Aku pun tidak sanggup apa-apa demi menuruti orang bau tanah yang terlihat sudah nangis darah. Terpaksa saya menikah sama ia yang tidak pernah saya inginkan hadirnya didalam kehidupanku.
Bila Masjudi menuruti keinginanku, ia tidak akan diperlakukan ibarat ini olehku. Jelas, tidak akan diperlakukan ibarat ini olehku sebab tidak ada lagi ijab kabul antara saya dan Masjudi.
Tetapi ikatan ini seakan akan mengakhiri malam pemberontakan. Aku tidak sanggup berbuat apa-apa. Aku hanya sanggup ucapkan, “Aku Bukan Siti Nurbaya!!!”
Hallah sudah! Jangan banyak bacok. Kau Siti Nurbaya!
Plak! Plak! Plak.
Masjudi menamparku.
Kenyataan memang saya melebihi Siti Nurbaya yang terpaksa menikah dengan pria lain, pilihan orang bau tanah dalam keadaan tertekan. Kenyataan saya diperlakukan lebih kejam melebihi Siti Nurbaya. Tetapi tetap, saya bukan Siti Nurbaya!
“Tolong, jangan dekati aku! Pergi! Aku bukan Siti Nurbaya! Aku bukan Siti Nurbaya!”
“Kau itu istri saya! Kenapa kau selalu nolak?! Kau harus nurut sama suami! Malaikat melaknatmu bila kau menolak. Kau itu Situ Nurbaya. Sudahlah, kenyataan kau sudah menikah dengan saya!”
“Aku ingatkan! Kenapa sebelum pernikahan, kau tidak menuruti keinginanku jika saya tidak ingin menikah!”
“Kalau menuruti keinginanmu, berarti saya tidak sanggup menikahimu! Itu artinya, kau telah menolak saya! Mana mungkin kau sanggup menolak saya! Huahahaha...”
“Dasar bajingan! Orang kaya kejam! Lepaskan ikatan ini.”
“Huahaha... Kau keluarga miskin sengsara, terhina! Tidak akan saya lepaskan! Saya ingin menikmatimu dalam keadaan terikat! Bagaimanakah kau menikmatinya? Ou, ou, ou...” kata Masjudi tegas.
“Lepaskan!” bentakku.
Plak!
Masjudi menamparku sekali lagi.
“Oh Tuhan, berilah kekuatan semoga terhindar dari kekejaman ini,” kataku dalam hati.
Aku meronta-ronta semoga sanggup lepas dari ikatan ini. Tetapi ikatan ini terasa berpengaruh sekali mengikat tubuhku.
Aku berpikir, memang sanggup saja saya mendapatkan Masjudi sebagai suami. Tetapi ia sudah dikenal seorang yang suka menyiksa istri hingga hal ibarat ini. Apalagi ia mengajakku menikah dengan cara kejam dan licik : memanfaatkan kondisi keluarga yang terjepit.
“Ya Tuhan, kenapa dongeng Si Masjudi malah kenyataan terjadi sama diriku? Kenapa?” kataku dalam hati.
Aku sempat menceritakan wacana banyak kisah si Masjudi sama Firman yang kini dipenjara gara-gara berbuat onar di program pernikahanku sama Masjudi. Masjudi selalu memperlakan istri-istri dengan sangat kejam walau tidak salah sekalipun. Aku tidak mengerti motif kejam yang dilakukan Masjudi. Ia sudah berkali-kali ganti istri dan berkali-kali juga dilaporkan ke polisi. Tetapi anehnya, selalu saja bebas dari eksekusi walau kesalahan Masjudi sudah benar-benar terbukti salah.
Hukum keparat! Hukum hianat! Kataku dalam hati sembari berusaha melepaskan diri.
Aku sempat bersumpah bila Masjudi mengajak menikah, lebih baik saya gila! Dan saya tidak ada sekalipun punya pikiran untuk sanggup hidup bersama Masjudi. Tidak ada. Walau pun kenyataan Ayahku berteman dengan Masjudi. Tetapi saya harap tidak akan terjadi pada kehidupanku.
Sekarang benar-benar terjadi dikehidupanku. Dihadapanku, seorang Majudi yang sangat tidak waras sedang memperlakukanku dengan sangat kejam malam ini.
Plak! Plak! Plak!
Sekali lagi Masjudi menamparku.
Cuh!!!
Aku ludahi saja muka Masjudi. Aku tidak ingin ia mendekat ke mukaku!
“Kurang ajar! Kau tidak tahu siapa saya hah? Saya paling suka malam pertama melukai badan wanita. Itu kebahagiaan saya. Kau akan jadi korban berikutnya!
Tolong! Jangan lakukan itu, bajingan! Pintaku dengan penuh ketakutan. Keringat pribadi deras. Jantung berdegup kencang. Batinku goncang. Aku meronta-ronta tidak karuan.
“Lihat ini! Tajam bukan? Betapa serunya bila saya sayat kulit tubuhmu. Oh, akan saya robek-robek pelan bajumu bersama kulitmu. Ini karenanya bila tidak mau menuruti keinginanku!”
Au!!! Sakiiit!!! Kataku menjerit. Tidak tahan. Aku tidak berpengaruh menahan perih.
Sayatan-sayatan pisau, tamparan terus saja dilakukan diriku. Aku benar- benar tidak kuasa diperlakukan ibarat ini. Sakit sekali! Darah mengalir deras ditiap badan yang disayat. “Aaaaw!! Tolong! tolong! Aaaw jangan lakukan itu! Sakit!”
“Hahaha... Jangan banyak omong! Itu karenanya bila kau tidak menuruti saya!”
Aku tidak berpengaruh menahan sakit ini. Tanganku, kakiku, kepalaku, semua tubuhku penuh darah. Sampai saya tidak sanggup berkata apa-apa. Aku hanya menahan sakit, sangat sakit yang saya rasakan. Aku lemas tak berdaya.
Tok, tok, tok!
“Buka! Jangan apa-apakan anak saya! Buka!”
Tiba-tiba ada bunyi ketok pintu.
“Tolong ayah!!! Tolong,” kataku terbata-bata sebab begitu tidak berdaya.
Masjudi tercengang! Ia bingun! Ia tidak sadar jika ia sudah diawasi oleh keluargaku. Aku pun tidak menyangka kedatangan mereka ke sini.
“Ya Tuhan... Kau telah mengabulkanku walau sudah terjadi kekerasan pada hidupku. Sakit sekali.”
Tiba-tiba saja pintu gudang di dobrak kencang dan akhirnya terbuka. 3 orang telah mendobraknya salah satunya ayahku. Untuklah pintu gudang sanggup dibuka.
“Ya Tuhan! Novi!” ayahku terkejut melihat tubuhku yang sudah penuh darah.
“Diam! Jangan ada yang berani mendekat! Selangkah saja, pisau sudah menggores leher anakmu!” Kata Masjudi.
Ayahku penuh hati-hati dalam gerakan. Masjudi telah menempelkan pisaunya di bersahabat leherku.
“Aku takut ayah!” kataku sekali lagi dengan penuh kelemahan.
“Tenang nak. Kau jangan takut. Nanti ayah atasi!”
“Mau kau apa Masjudi?! Lepaskan ponakanku!”
“Mau apa katamu? Mau membunuh perempuan sok jual mahal ini.”
Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku hanya menitikan airmata ketidakberdayaanku. Pelan-pelan saya redupkan pandang ke arah ayah dan kedua pamanku. Aku lemas dan hanya menyudahi kesadaranku. Aku tak tahu apa yang terjadi sehabis ini. Apakah saya hidup atau mati.
***
“Tidak! Tidak! Jangan dekati aku!” Aku tersadar dan merasa terkejut melihat sosok wajah.
“Ini Ibu Nak!”
“Kenapa saya di sini? Apa yang terjadi selama saya pingsan?”
“Untunglah kau selamat, Nak. Bapak membawa pamanmu yang sakti itu sehingga sanggup menciptakan Masjudi kaku. Sehingga kau selamat dari kekejaman Masjudi. Sekarang Masjudi dipenjara!”
“Tapi sehabis itu Masjudi bebas dan cari korban berikutnya? Begitu kah? Apa yang selama ini saya khawatirkan ternyata terjadi pada hidupku. Aku menikah dengan Masjudi dengan paksaan ayah dan ibu! Kejam! Betapa kejam kalian kepadaku.”
Ibuku hanya menangis tersedu-sedu. Ia sulit sekali sanggup berkata-kata.
“Ayah salah! Ibu salah! Kami juga serba bingung!” kata Ayah.
“Lihat tubuhku! Penuh luka! Apakah lebih mementingkan uang daripada anak sendiri! Anak sendiri! ”
“Maafin ibu Nak!”
“Pergi semua! Pergi!!!” Kataku sangat marah.
Aku tak ingin melihat wajah-wajah yang menciptakan hidupku ibarat ini.
“Aku bukan siti Nurbaya!”
Aku tidak sanggup menjalani hidup yang ibarat biasa. Rasanya, masa depanku sudah hancur.
“Aku bukan Siti Nurbaya!” saya tetap mengucapkan akreditasi jika saya bukan Siti Nurbaya.
Entah hingga kapan sakit hati ini, rasa stress berat ini, rasa frustasi ini, dan semua kehidupan gelap berakhir? Betapa kecewa pada diriku ini yang tidak sanggup berbuat nekad menolak proposal nikah Masjudi. Tetapi bila saya menolak, kehidupan keluarga lebih hancur lagi. Mungkin kini saya sedang tidur dikolong jembatan sebab semua dirampas Masjudi sebagai pembayaran utang. Tetapi bila menerima, hidupku hancur diperlakukan ibarat ini. Aku tidak sanggup mengulang waktu.
“Aku bukan Siti Nurbaya! Mengertikah semua orang?!”
“Mas Firman.” Aku makin teringat Mas Firman. Betapa kini nasibnya sama. Sama-sama menderita sebab penjahat dalam cinta.
“Apakah Mas masih dalam penjara? Dengar-dengar Mas telah keluar dari penjara. Tetapi kau gila sebab aku. Karena putus denganku!”
Waktu terus saja berputar. Berputar mengikuti perubahan diriku. Rasanya, hidup lebih oke bila saya berubah 180 dari yang dulu.
Lebih baik saya mengikuti kegilaan Mas Firman. Itu lebih baik. Daripada menjadi orang waras yang selalu berhadapan dengan pemaksaan dan kekejaman. Hidup menjadi orang gila seakan mencicipi kehidupan yang bebas tanpa hukum adat, agama, dan aturan-aturan yang penuh kebusukan.
“Nak! Makan dulu! Sudah dua hari kau belum makan.”
“Aku bukan Siti Nurbaya! Jangan paksa aku.”
“Ibu hanya menyuruh kau makan, Nak! Apa yang terjadi pada hidupmu?!”
“Pergi saya bilang. Kau tidak tahukan, jika saya sama Mas Firman saling mencintai?!”
“Bapak. Novi Pak. Ini kenapa?!” Ibu panggil Ayah.
“Ada apa dengan Novi?!” kata Ayah.
“Gak tahu! Tiba-tiba ibarat gak waras!”
“Siapa yang mau dipaksa menikah! Aku hanya bukan Siti Nurbaya!” Sangkalku sembari duduk menatap penuh ketakutan pada orang tuaku.
“Ya Tuhan. Kenapa jadi begini?! Sambil mengelus dada, ibu menangis melihat keadaanku.”
Hari demi hari menciptakan diriku makin tidak mengenal siapa diriku. Aku hanya menikmati setiap perjalanan yang tidak penuh arti ini. Aku sering sekali dibawa ke daerah yang entah dimana. Aku sering diberi minuman yang entah apa. Aku sering diperlakukan ibarat orang sakit.
Dalam perjalanan, saya berjumpa dengan Mas Firman. Entahlah, saya hanya mencicipi bahwa itu Mas Firman sebab hatiku masih ada cinta padanya. Yang jelas, saya mencicipi senang yang tidak jelas. Aku mencicipi kebahagiaan walau sesaat. Aku pergi meninggalkan dirinya tanpa tahu dengan terperinci kemana saya pergi.
Hari-hariku hanya berucap, “Aku bukan Siti Nurbaya.”
Ya, saya bukan Siti Nurbaya yang hanya menjadi korban pemaksaan orang lain. Aku bukan siti Nurbaya ibarat kebanyakan orang. Banyak Siti Burbaya-Siti Nurbaya yang lain yang akhirnya berpisah alias cerai hanya hitungan bulan. Banyak Siti Nurbaya yang lain yang hidup serumah tetapi hati berpisah tempat.
“Aku bukan Siti Nurbaya!” kataku pada seseorang yang tampaknya jadi korban pemaksaan cinta.
“Aku bukan Siti Nurbaya! Kau telah hamil!” Aku memamerkan diriku yang sebetulnya pada seseorang perempuan yang sok sanggup menentukan pasangan hidupnya sendiri padahal ia telah dihancurkan oleh pasangannya.
Rasanya, saya perempuan terbaik diantara para perempuan yang ada di dunia ini. Karena saya telah bebas menyatakan diri, “Aku bukan Siti Nurbaya!”
Oleh :
ELBUYZ
Pemilik situs:
www.ebookbisnis.siteindo.com