Cerpen: Semut-Semut Kecil ( Bukan Cerita Semut )
Jumat, 03 Oktober 2014
Kita bersama lihat perjalanannya. Menatap pada sebaris jalan semut. Berbaris panjang semut-semut kecil menyusuri dengan barisan walau terkadang menjumpai kaki-kaki raksasa dihadapan.
Terlihat semut-semut kecil dalam langkah keakraban. Semut-semut kecil hanya punya sekecil harapan. Hanya berharap hidup dalam kebersamaan. Harapan itu terkadang terhempas angin kehidupan. Harapan itu terkadang terinjak kaki kebutaan.
“Fis, indah sekali puisimu. Kamu melihat perjalanan semut sebagai idenya, bukan?”
“Ah, tidak baguus. Maksudku… belum bagus, Na. Baru… saya mencar ilmu dikala saya semester satu. Kini saya semester dua. Baru setahun, Na….”
“Oh ya, Na. kau betul. Aku mendapat inspirasi dari perjalaan semut itu. Memang alam ini kaya akan materi ide. Cuma terkadang pikiran kita tak memfokuskannya. Ya! Pikiran kita tidak fokus, jadi sulit menyerap sesuatu dari alam,” Nafis menjelaskan.
“Betul sekali. Andai saja sedari tadi saya fokus pada perjalanan semut mungkin bisa mendapat ide, misal perihal jabat ala semut.”
“Wow, luar biasa pikiranmu. Kau mungkin tak sadar jika kau juga mendapat ide. Coba ulangi lagi perkataanmu tadi,” kata Nafis.
“Ah, benarkah? Baiklah. Andai…,” kata Naila.
“Bukan itu. Langsung pada misal,” potong Nafis.
“Oh, ya, ya, ya, perihal jabat ala semut. Betul kah itu ide?”
“Hahaha… Kadang juga inspirasi sudah didapatkan. Tapi… insan sering melupakan. Bisa jadi tidak mengerti perihal inspirasi yang di dapat. Seperti kau ini,” Nafis menjelaskan.
“Ah kamu, ada-ada saja. Menurut kamu, pelajaran apa yang di sanggup dari perjalanan semut itu? Atau, apa maksud dari puisi kau tadi?”
“Sederhana. Aku memaknainya pada arti silaturahmi. Silaturahmi yakni pelajaran semut-semut kecil sederhana. Berpandang kemudian berjabat mesra. Dan pengikut berlanjut melaksanakan kembali. Perjalanan silaturahmi akan tetap meruntut abadi.”
“Memang semut-semut saling berjabat. Entahlah, semut-semut itu berjabat tangan atau berjabat muka, hahaha.…,” kata Naila.
“Yang pasti. Ikatan silaturahminya itu yang kita petik. Dan anak-keturunan atau pengikut akan melaksanakan hal yang sama perihal silaturahmi.”
“Tolong tambahkan lebih jelas, Nafis,” pinta Naila.
Nafis menghela nafas sembari memejamkan mata. Lalu sehabis itu membuka mata kembali.
“Baiklah. Begini, silaturahmi atau hubungan persaudaraan atau hubungan kesosialan, itu yakni didikan nenek moyang pada keturunannya. Lantas perpisahan pun ada. Tapi ikatan batin silaturahmi masih menempel dalam hati. Lalu keturunan itu melaksanakan didikan silaturahmi pada keturunannya yang pernah dilakukan nenek moyang.
“Dengan kondisi keturunan nenek moyang yang berlainan keadaan, maka silaturahmi pun mengalami perbedaan tingkah. Dan seterusnya, hingga membentuk tradisi. Kau mungkin tahu.”
“Ya, saya mengerti. Itu sebabnya Antar negara, antar daerah, antar keluarga, mempunyai gaya silaturahmi yang berbeda-beda. Jadi, silaturahmi diibaratkan perjalanan semut-semut kecil?”
“Begitulah. Yang pastinya, silaturahmi tidak akan ada, jika tidak ada yang mewariskan dan siapa yang mendapat warisan perihal pendidikan silaturahmi.”
“Lagi-lagi soal pendidikan,” Naila seakan merasa bosen dengan kata-kata pendidikan.
“Apa lagi?” Tanya Nafis.
Naila mengangkat bahunya.
Sejuknya taman Blodog. Semilir angin sore dari pepohonan bambu kerdil yang berada dekat kedua sahabat itu, ikut menyejukkan kebersamaan. Kursi bambu yang mereka duduki, semakin mengakui keindahan sumber daya alam.
Sesaat sehabis pembicaraan Nafis perihal silaturahmi, Naila menundukkan kepala. Ia terlihat Murung. Entah apa yang menciptakan Naila bersikap demikian. Seakan kenangan yang terlupakan teringat kembali. Atau ada sesuatu duduk kasus yang belum terselesaikan. Biarlah waktu yang akan mendorongnya bicara.
“Kau tampaknya sedih. Kau menunduk saja sedari tadi. Lihat lah aku, sahabatmu.”
Naila pun memandang Nafis. Terlihat matanya berkaca-kaca. Lalu, air mata Naila mengalir ke pipi dengan gerak pelan.
Nafis termangu. Membaca apa yang akan Naila katakan.
“Bicaralah. Kau tampaknya menyembunyikan sesuatu. Ah, tidak. Kita gres kenal sebulan yang lalu. Bukan menyembunyikan. Tapi…belum diceritakan.”
“Nafis,” panggil Naila.
“Ya, kenapa, Naila?”
“Aku merindukan silaturahmi yang nyata... Rindu, rindu…banget, Nafis. Aku merindukan silaturahmi bersama sahabatku, Nesa. Aku merindukan, dirinya berjabat tangan denganku… mirip kebersamaan semut-semut kecil itu, yang bisa berjabat tangan. Betapa indah makna silaturahmi,” kata Naila sembari tetap teteskan air mata.
“Apakah sekarang kau telah berpisah? Lantas kau tak bisa bertemu? Atau…”
“Dia pergi keluar Negeri,” kata Naila memotong ucapan Nafis.
“Oh, itu maksudnya?”
“Dia pergi ke Arab Saudi. Dia pergi bersama keluarganya. Orang tuanya bekerja di sana.”
“Oh TKI.”
“Tapi tidak mirip yang sedang kau pikirkan.”
“Maksudmu?” Tanya Nafis.
“Mereka bukan TKI rendahan,” jawab Naila.
“Ah, kau. Terlalu memfonisku.”
Nafis membisu sejenak. Mengistirahatkan pikiran sembari tetap menatap Naila yang sedang mengusap air matanya. Nafis menunggu waktu untuk bicara.
“Naila… Kau perlu tahu. Itulah kehidupan. Terkadang kita terpisah sama orang yang selalu dekat. Kadang kita menemukan sahabat gres untuk diajak bicara. Sudahlah. Pasrahkan saja. Lagi pula… nanti juga Nesa merindukan tanah airnya.”
“Kamu belum tahu yang sebenarnya, Nafis. Kamu belum tahu…hik, hik,” seakan kata-kata Nafis menyayat hati Naela. Naela lepas dalam tangis.
“Maafkan saya Naila. Aku tak tahu.”
Lalu Naila pun menceritakan perihal Nesa. Naila dan Nesa berpisah semenjak lulus SMP. Sudah tiga tahun mereka tidak pernah ketemu. Naila hanya berkomunikasi dengan Nesa lewat jejaring sosial, e-mail, dan lewat ponsel. Tapi itu tidaklah cukup. Tidak cukup untuk melepas rindu.
Mereka berdua pun lulus sekolah SMA. Kebetulan sahabat Sekolah Menengah Pertama mengadakan program reuni tepat di hari libur panjang. Naila pun memberitahu Nesa. Ternyata Nesa berniat hadir. Ia rela hadir demi teman-temannya. Terutama demi berjumpa dengan Naila. Naila pun menyambut penuh harap, dan meminta Nesa berjanji untuk hadir.
Nesa pun siap-siap berangkat. Orang renta mengizinkan ia pergi sendiri. Tapi, dikala perjalanan menuju bandara, Nesa mengalami kecelakaan. Naila mendengar kabar dari orang tuanya. Betapa sedih hati Naila, sangat sedih. Ia menangis sejadi-jadinya. Nesa sempat dibawa ke rumah sakit. Tapi Nesa meninggal dikala melihat kedua orang tuanya. Mendengar Nesa meninggal, Naila lemas tak berdaya. Sampai tak sadarkan diri.
“Kenapa saya memberi tahu perihal program reuni itu…, kenapa? Aku salah, salah!, hik, hik. Kenapa juga saya memintanya untuk hadir? Aku menyesal. Menyesal! Itu salahku… !” kata Naila menjelaskan panjang lebar penuh kesedihan perihal sahabatnya.
Nafis membisu termangu dalam memandang Naila bercerita. Dalam pikiran, seolah ia mempunyai segudang perkataan. Setelah Naila akibat bercerita, Nafis tudukkan kepala. Mengusap air mata yang sekarang telah terpanggil untuk keluar. Nafis kembali melihat perjalanan semut yang berada di depan.
Di samping nafis, Naila tetap terdiam. Mengingat-ingat kembali kesedihan yang pernah dirasakan. Ia usapkan air mata dengan tisu. Pun, mengusap- usap hidung yang rupanya sedikit keluar ingus.
“Kau masih menyalahkan dirimu sendiri?” tanya Nafis menghidupkan suasana sembari pandang mata tertunduk.
“Kamu niscaya tahu. Baru setahun saya ditinggal pergi Nesa. Yah, kau tak perlu menanyakan itu. Pasti kau menasihati, ‘Janganlah kau menyalahi diri sendiri’. Dan saya pun nanti akan terbuai dengan kata-kata itu.”
Nafis membisu sesaat. Lalu pandang mata ke arah mata Naila yang terlihat sedikit legam.
“Baiklah. Itu terserah kau. Yang pasti, kau putus silaturahmi, putus hubungan persahabatan, bukan dari hati permusuhan antara kau dan Nesa. Yah, Terserah kau menyalahkan diri sendiri juga. Aku memaklumi perkataan itu. Kita hidup selalu diliputi kesalahan. Walau kesalahan yang bersifat manusiawi,” kata Nafis.
“Fis, warisan perihal silaturahmi telah memunculkan ide-ide untuk mempertahankan silaturahmi itu sendiri. Sekarang bermunculan tradisi silaturahmi ala teknologi. Begitu gampang dan murah untuk tetap berafiliasi walau jarak sangat jauh. Seperti saya dengan Nesa.”
“Ya betul. Sekarang teknologi memanjakan kita. Begitu gampang dan murah. Sekarang jarang yang mengirim surat lewat pos. Sekarang sudah ada e-mail¬, ponsel, jejaring sosial dan yang lainnya.”
“Tapi, itu tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan bersilaturahmi sebagai makhluk bersosial. Tidak cukup, Nafis. Kamu bisa melihat pengalamanku pada Nesa.”
“Iya, saya tahu. Silaturahmi lewat media teknologi tidak tepat memenuhi kebutuhan batin. Kau berhari-hari berhubungan. Tapi, tetap saja batinmu merasa haus ingin bertemu.”
“Kamu memenuhi batinku, Nafis.”
Nafis tersenyum.
Mentari sudah terlihat di ujung Barat dan berwarna merah. Burung-burung mulai berterbangan menuju sarangnya masing-masing. Para petani satu per satu pulang ke rumah. Suara para cowok yang bermain bola dekat taman Blodog, sudah menghilang pergi. Sepi.
“Mari kita pulang, Naila. Ini sudah jam lima sore.”
Naila memandang penuh senyum bahagia. Terlihat tak ada rona kesedihan pada wajahnya.
“Aku ingin tetap di sini satu jam lagi, Nafis. Tetaplah temani aku. Aku ingin tetap bersamamu.”
“Ayolah pulang. Langit sudah terlihat gelap.”
“Kamu yakni sahabat penerang kehidupanku, Nafis.”
Nefis tersenyum kembali.
Terlihat semut-semut kecil dalam langkah keakraban. Semut-semut kecil hanya punya sekecil harapan. Hanya berharap hidup dalam kebersamaan. Harapan itu terkadang terhempas angin kehidupan. Harapan itu terkadang terinjak kaki kebutaan.
“Fis, indah sekali puisimu. Kamu melihat perjalanan semut sebagai idenya, bukan?”
“Ah, tidak baguus. Maksudku… belum bagus, Na. Baru… saya mencar ilmu dikala saya semester satu. Kini saya semester dua. Baru setahun, Na….”
“Oh ya, Na. kau betul. Aku mendapat inspirasi dari perjalaan semut itu. Memang alam ini kaya akan materi ide. Cuma terkadang pikiran kita tak memfokuskannya. Ya! Pikiran kita tidak fokus, jadi sulit menyerap sesuatu dari alam,” Nafis menjelaskan.
“Betul sekali. Andai saja sedari tadi saya fokus pada perjalanan semut mungkin bisa mendapat ide, misal perihal jabat ala semut.”
“Wow, luar biasa pikiranmu. Kau mungkin tak sadar jika kau juga mendapat ide. Coba ulangi lagi perkataanmu tadi,” kata Nafis.
“Ah, benarkah? Baiklah. Andai…,” kata Naila.
“Bukan itu. Langsung pada misal,” potong Nafis.
“Oh, ya, ya, ya, perihal jabat ala semut. Betul kah itu ide?”
“Hahaha… Kadang juga inspirasi sudah didapatkan. Tapi… insan sering melupakan. Bisa jadi tidak mengerti perihal inspirasi yang di dapat. Seperti kau ini,” Nafis menjelaskan.
“Ah kamu, ada-ada saja. Menurut kamu, pelajaran apa yang di sanggup dari perjalanan semut itu? Atau, apa maksud dari puisi kau tadi?”
“Sederhana. Aku memaknainya pada arti silaturahmi. Silaturahmi yakni pelajaran semut-semut kecil sederhana. Berpandang kemudian berjabat mesra. Dan pengikut berlanjut melaksanakan kembali. Perjalanan silaturahmi akan tetap meruntut abadi.”
“Memang semut-semut saling berjabat. Entahlah, semut-semut itu berjabat tangan atau berjabat muka, hahaha.…,” kata Naila.
“Yang pasti. Ikatan silaturahminya itu yang kita petik. Dan anak-keturunan atau pengikut akan melaksanakan hal yang sama perihal silaturahmi.”
“Tolong tambahkan lebih jelas, Nafis,” pinta Naila.
Nafis menghela nafas sembari memejamkan mata. Lalu sehabis itu membuka mata kembali.
“Baiklah. Begini, silaturahmi atau hubungan persaudaraan atau hubungan kesosialan, itu yakni didikan nenek moyang pada keturunannya. Lantas perpisahan pun ada. Tapi ikatan batin silaturahmi masih menempel dalam hati. Lalu keturunan itu melaksanakan didikan silaturahmi pada keturunannya yang pernah dilakukan nenek moyang.
“Dengan kondisi keturunan nenek moyang yang berlainan keadaan, maka silaturahmi pun mengalami perbedaan tingkah. Dan seterusnya, hingga membentuk tradisi. Kau mungkin tahu.”
“Ya, saya mengerti. Itu sebabnya Antar negara, antar daerah, antar keluarga, mempunyai gaya silaturahmi yang berbeda-beda. Jadi, silaturahmi diibaratkan perjalanan semut-semut kecil?”
“Begitulah. Yang pastinya, silaturahmi tidak akan ada, jika tidak ada yang mewariskan dan siapa yang mendapat warisan perihal pendidikan silaturahmi.”
“Lagi-lagi soal pendidikan,” Naila seakan merasa bosen dengan kata-kata pendidikan.
“Apa lagi?” Tanya Nafis.
Naila mengangkat bahunya.
Sejuknya taman Blodog. Semilir angin sore dari pepohonan bambu kerdil yang berada dekat kedua sahabat itu, ikut menyejukkan kebersamaan. Kursi bambu yang mereka duduki, semakin mengakui keindahan sumber daya alam.
Sesaat sehabis pembicaraan Nafis perihal silaturahmi, Naila menundukkan kepala. Ia terlihat Murung. Entah apa yang menciptakan Naila bersikap demikian. Seakan kenangan yang terlupakan teringat kembali. Atau ada sesuatu duduk kasus yang belum terselesaikan. Biarlah waktu yang akan mendorongnya bicara.
“Kau tampaknya sedih. Kau menunduk saja sedari tadi. Lihat lah aku, sahabatmu.”
Naila pun memandang Nafis. Terlihat matanya berkaca-kaca. Lalu, air mata Naila mengalir ke pipi dengan gerak pelan.
Nafis termangu. Membaca apa yang akan Naila katakan.
“Bicaralah. Kau tampaknya menyembunyikan sesuatu. Ah, tidak. Kita gres kenal sebulan yang lalu. Bukan menyembunyikan. Tapi…belum diceritakan.”
“Nafis,” panggil Naila.
“Ya, kenapa, Naila?”
“Aku merindukan silaturahmi yang nyata... Rindu, rindu…banget, Nafis. Aku merindukan silaturahmi bersama sahabatku, Nesa. Aku merindukan, dirinya berjabat tangan denganku… mirip kebersamaan semut-semut kecil itu, yang bisa berjabat tangan. Betapa indah makna silaturahmi,” kata Naila sembari tetap teteskan air mata.
“Apakah sekarang kau telah berpisah? Lantas kau tak bisa bertemu? Atau…”
“Dia pergi keluar Negeri,” kata Naila memotong ucapan Nafis.
“Oh, itu maksudnya?”
“Dia pergi ke Arab Saudi. Dia pergi bersama keluarganya. Orang tuanya bekerja di sana.”
“Oh TKI.”
“Tapi tidak mirip yang sedang kau pikirkan.”
“Maksudmu?” Tanya Nafis.
“Mereka bukan TKI rendahan,” jawab Naila.
“Ah, kau. Terlalu memfonisku.”
Nafis membisu sejenak. Mengistirahatkan pikiran sembari tetap menatap Naila yang sedang mengusap air matanya. Nafis menunggu waktu untuk bicara.
“Naila… Kau perlu tahu. Itulah kehidupan. Terkadang kita terpisah sama orang yang selalu dekat. Kadang kita menemukan sahabat gres untuk diajak bicara. Sudahlah. Pasrahkan saja. Lagi pula… nanti juga Nesa merindukan tanah airnya.”
“Kamu belum tahu yang sebenarnya, Nafis. Kamu belum tahu…hik, hik,” seakan kata-kata Nafis menyayat hati Naela. Naela lepas dalam tangis.
“Maafkan saya Naila. Aku tak tahu.”
Lalu Naila pun menceritakan perihal Nesa. Naila dan Nesa berpisah semenjak lulus SMP. Sudah tiga tahun mereka tidak pernah ketemu. Naila hanya berkomunikasi dengan Nesa lewat jejaring sosial, e-mail, dan lewat ponsel. Tapi itu tidaklah cukup. Tidak cukup untuk melepas rindu.
Mereka berdua pun lulus sekolah SMA. Kebetulan sahabat Sekolah Menengah Pertama mengadakan program reuni tepat di hari libur panjang. Naila pun memberitahu Nesa. Ternyata Nesa berniat hadir. Ia rela hadir demi teman-temannya. Terutama demi berjumpa dengan Naila. Naila pun menyambut penuh harap, dan meminta Nesa berjanji untuk hadir.
Nesa pun siap-siap berangkat. Orang renta mengizinkan ia pergi sendiri. Tapi, dikala perjalanan menuju bandara, Nesa mengalami kecelakaan. Naila mendengar kabar dari orang tuanya. Betapa sedih hati Naila, sangat sedih. Ia menangis sejadi-jadinya. Nesa sempat dibawa ke rumah sakit. Tapi Nesa meninggal dikala melihat kedua orang tuanya. Mendengar Nesa meninggal, Naila lemas tak berdaya. Sampai tak sadarkan diri.
“Kenapa saya memberi tahu perihal program reuni itu…, kenapa? Aku salah, salah!, hik, hik. Kenapa juga saya memintanya untuk hadir? Aku menyesal. Menyesal! Itu salahku… !” kata Naila menjelaskan panjang lebar penuh kesedihan perihal sahabatnya.
Nafis membisu termangu dalam memandang Naila bercerita. Dalam pikiran, seolah ia mempunyai segudang perkataan. Setelah Naila akibat bercerita, Nafis tudukkan kepala. Mengusap air mata yang sekarang telah terpanggil untuk keluar. Nafis kembali melihat perjalanan semut yang berada di depan.
Di samping nafis, Naila tetap terdiam. Mengingat-ingat kembali kesedihan yang pernah dirasakan. Ia usapkan air mata dengan tisu. Pun, mengusap- usap hidung yang rupanya sedikit keluar ingus.
“Kau masih menyalahkan dirimu sendiri?” tanya Nafis menghidupkan suasana sembari pandang mata tertunduk.
“Kamu niscaya tahu. Baru setahun saya ditinggal pergi Nesa. Yah, kau tak perlu menanyakan itu. Pasti kau menasihati, ‘Janganlah kau menyalahi diri sendiri’. Dan saya pun nanti akan terbuai dengan kata-kata itu.”
Nafis membisu sesaat. Lalu pandang mata ke arah mata Naila yang terlihat sedikit legam.
“Baiklah. Itu terserah kau. Yang pasti, kau putus silaturahmi, putus hubungan persahabatan, bukan dari hati permusuhan antara kau dan Nesa. Yah, Terserah kau menyalahkan diri sendiri juga. Aku memaklumi perkataan itu. Kita hidup selalu diliputi kesalahan. Walau kesalahan yang bersifat manusiawi,” kata Nafis.
“Fis, warisan perihal silaturahmi telah memunculkan ide-ide untuk mempertahankan silaturahmi itu sendiri. Sekarang bermunculan tradisi silaturahmi ala teknologi. Begitu gampang dan murah untuk tetap berafiliasi walau jarak sangat jauh. Seperti saya dengan Nesa.”
“Ya betul. Sekarang teknologi memanjakan kita. Begitu gampang dan murah. Sekarang jarang yang mengirim surat lewat pos. Sekarang sudah ada e-mail¬, ponsel, jejaring sosial dan yang lainnya.”
“Tapi, itu tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan bersilaturahmi sebagai makhluk bersosial. Tidak cukup, Nafis. Kamu bisa melihat pengalamanku pada Nesa.”
“Iya, saya tahu. Silaturahmi lewat media teknologi tidak tepat memenuhi kebutuhan batin. Kau berhari-hari berhubungan. Tapi, tetap saja batinmu merasa haus ingin bertemu.”
“Kamu memenuhi batinku, Nafis.”
Nafis tersenyum.
Mentari sudah terlihat di ujung Barat dan berwarna merah. Burung-burung mulai berterbangan menuju sarangnya masing-masing. Para petani satu per satu pulang ke rumah. Suara para cowok yang bermain bola dekat taman Blodog, sudah menghilang pergi. Sepi.
“Mari kita pulang, Naila. Ini sudah jam lima sore.”
Naila memandang penuh senyum bahagia. Terlihat tak ada rona kesedihan pada wajahnya.
“Aku ingin tetap di sini satu jam lagi, Nafis. Tetaplah temani aku. Aku ingin tetap bersamamu.”
“Ayolah pulang. Langit sudah terlihat gelap.”
“Kamu yakni sahabat penerang kehidupanku, Nafis.”
Nefis tersenyum kembali.