Cerita Silat: Pantang Berdendam 1 - Seri Tujuh Insan Harimau
Kamis, 02 Oktober 2014
Sejak Gumara tiba di desa Kumayan, ia sudah diberitahu. Bahwa desa Kumayan yaitu biang dari segala ilmu hitam. Tetapi Gumara sudah diajari orang tuanya bagaimana mesti bersikap rendah hati. Dia tahu, bahwa ia tidak akan sebentar tinggal di Kumayan. Begitu ia mendapatkan kiprah untuk mengajar di desa ini, ia telah menyidik lebih dahulu siapa orang-orang yang diakui sebagai “Tetua” di sini.
Lepas waktu maghrib sehabis menempati rumah jabatan dari Guru Yunus, Gumara berkata “Saya akan pergi sebentar, Pak Yunus."
“Menghadap kepala sekolah?”
“Tidak. Itu besok. Saya akan ke rumah Lebai Karat,” sahut Gumara.
“Lho, anda mengenal nama itu di mana?” Yunus tercengang.
“Sebelum saya mendapatkan kiprah mengajar di sini."
“Dia orang sakti, lho,” kata Pak Yunus.
“Saya tahu.”
“Dan kalau anda salah masuk padanya, anda celaka.”
“Itu saya juga tahu.”
“Hati-hatilah. Desa Kumayan ini sering menciptakan penghuninya celaka.” Gumara disalami oleh Pak Yunus. Ujar lelaki itu pada Gumara, “Semoga selamat anda menghuni rumah ini, juga selamat menjadi guru selama di sini. Saya hanya petugas yang menyambut guru baru. Tapi tahukah anda, setiap penghuni gres di sini dicoba oleh juara-juara?”
Gumara hanya sanggup diam. Dia juga tahu, Pak Yunus ini termasuk orang yang “ada isinya”.
Setelah lelaki renta itu berlalu, Gumara menatap sekeliling. Sepi sekeliling. Memang beginilah desa Kumayan kalau waktu maghrib telah berlalu. Namun ia harus menemui Lebai Karat. Dan, sehabis ia mengunci pintu rumah jabatan itu, belum lagi ia siap melangkah, dirasakannya bulu kuduknya merinding semua.
Gumara mencoba mengatur nafas. Tentu ada sesuatu yang ghaib. Dia mendehem. Dan tak jauh darinya terdengar sahutan orang mendehem pula. Kedengarannya memang itu bunyi manusia. Tapi di sini, di Kumayan ini, semua yang lahiriah tampak sebagai manusia, belum tentu manusia.
Dan tanpa menoleh ke arah sahutan dehem tadi, Gumara berkata “Saya penghuni gres di sini, mohon ijin.” Terdengar bunyi mendehem. Gumara pun membalas dengan mendehem. Lalu terdengar sekelebatan bunyi makhluk meloncat meluncur memasuki ilalang. Dan barulah Gumara menoleh kesana . Ilalang itu masih bergoyang, menandakan “Inyit” gres berlalu.
Di Kumayan orang tak pernah menyebut nama harimau. Mereka harus menyebut dengan sebutan “Inyit” supaya tidak kuwalat. Dan Gumara kini lega, lantaran salah seorang mahluk halus di desa ini sudah muncul dengan perilaku yang layak untuk memperkenalkan diri.
Gumara memperbaiki selendang shawl yang melilit di lehernya. Lalu ia turun tangga rumah. Dia harus jalan kaki sejauh dua kilometer untuk hingga ke rumah Lebai Karat. Peta untuk kesana sudah ia hafal luar kepala.
Beberapa langkah sehabis keluar dari pekarangan, ia harus ikuti jalan lurus yang sepi itu. Di kiri kanan jalan tidak ada rumah. Hanyapadang ilalang belaka. Dan tentu semua orang tahu, di balik ilalang haruslah dicurigai bersarangnya harimau.
Namun Gumara melangkah pasti. Langkah itu barulah terhenti dikala ia mendengar bunyi perempuan merintih. Siapa itu? Gumara menoleh ke arah ilalang itu. Dia yakin, rintihan itu datangnya dari sela-sela ilalang itu. Tentulah perempuan itu membutuhkan pertolongan. Kemungkinan ia gres menerima tragedi alam diterkam hewan buas, tapi hewan itu melarikan diri.
“Hai, siapa disana ?” tanya Gumara. Dia mencoba menekan knop senter di tangan. Tapi entah mengapa lampu senter itu mendadak tak sanggup menyala. Rintihan itu semakin memelas. Gumara mendekati. Lalu ia sibakkan pohonan ilalang itu.
Ya Allah!
Seorang perempuan terkapar, telentang luka parah, dalam pakaian minim pula. Jika Gumara bukan lelaki beriman, tentu ia memiliki kesempatan untuk memperkosanya.
“Siapa kau?”
“Tolong,” desah perempuan itu, “Tolong gendong aku.”
Gumara menaruh kasihan. Cuma ia agak ragu. Belum tentu perempuan ini manusia. Dia terlalu cantik. Dan dikala Gumara mengangkatnya untuk membopongnya, ada terasa amis ular.
“Kau begitu gagah,” ujar perempuan yang dibopong Gumara pada bahunya itu. Gumara terus melangkah, dan terus mencicipi amis aneh itu. Langkahnya terhenti dikala Gumara merasa lehernya dililit mesra oleh tangan perempuan itu.
ULAR MEMBELIT
Gumara merinding. Sebab lilitan lengan perempuan ini melebihi kemesraan lantaran merangsang birahinya. Ketegangan perasaan jantan begini tak boleh. Dan untunglah Gumara segera ingat soal amis itu. Itu bukan amis yang masuk akal lantaran ia mengenal amis ular.
“Kamu ular!” teriak Gumara dengan nada murka seraya menyeruakkan lengan yang melilit itu. Memang benar, lantaran mendadak saja berubah menjadi kepala ular yang mengerikan ingin mematok kepalanya. Gumara segera membanting diri ke tanah lain berguling supaya benar-benar terjadi pergumulan bila ular ini lepas dari membelitnya.
Sungguh ajaib. Begitu Gumara memutar gerak pinggang dengan teriak “Fuh!”, ular tadi secara ghaib menghilang. Dan rupanya, perkelahian seru itu disaksikan oleh seorang renta yang kemudian berkata “Di mana engkau mencar ilmu ilmu tangkisan sehingga Siti Marfuah lari terbirit?”
“Siapa anda, Pak Tua?” tanya Gumara.
“Bagusnya kau sebut dulu siapa kamu”, kata Pak Tua itu.
“Namaku Gumara. Lengkapnya Gumara Peto Alam. Aku guru muda yang gres dibenum di desa Kumayan ini”.
“Cuma sekadar itu?” tanya Pak Tua.
Mendengar hal itu Gumara gugup. Keringat dinginnya mengocor. Seakan diam-diam eksklusif siap dibongkar orang.
“Saya tahu, anak muda, bahwa kau ke sini dengan rencana panjang. Kau akan membalas dendam pada seseorang. Demi cintamu pada ibumu, bukan? Lalu kau akan menghadap Lebai Karat malain ini juga! Untuk mendapatkan ilmunya? Padahal, Lebai Karat inilah yang memperkosa ibumu”
Mata Gumara melotot.
Wah, tak disangka!
Gumara menjadi tertarik, kemudian bertanya “Siapa anda sebenarnya?”
“Saya? Pernah mengenal nama Hum Belang?”
Suara itu berat, bergetar. Mengerikan. Tapi yang lebih mangerikan lagi pada perasaan
Gumara seketika itu adalah, lantaran ia kenal nama itu. Dia telah diberitahu jauh hari sebelum ini, bahwa, apabila ia tinggal di Kumayan, harus sanggup mengikuti keadaan dengan tokoh Hum Belang. Hum Belang menatap Gumara. Dia menyeringai dan benar-benar seakan-akan dengan seringai harimau.
“Kalau mau selamat, jangan lanjutkan perjalananmu, nak”, ujar PakTua itu.
“Lalu, apa nasehat Pak Tua selanjutnya?” tanya Gumara.
“Kau akan diketahui oleh Lebai Karat, bahwa kedatanganmu menghadapnya bukan untuk belajar. Tapi untuk membalas dendam. Kau akan celaka, anak muda”, ujar lelaki renta yang misterius ini.
“Lalu, Pak Tua ada di sini sekarang, untuk maksud apa?” tanya Gumara.
“Hanya mencoba mencegah langkah engkau”.
“Jika saya tetap ingin melanjutkan?” tanya Gumara bernada pasti, tanpa maksud melagak menantang.
“Itu hakmu. Terserah”, ujar Pak Tua yang masih perlu diragukan, apakah ia benar- benar Hum Belang yang tersohor ataukah sekedar mengaku-ngaku.
Gumara membungkuk hormat pada Pak Tua itu, kemudian melanjutkan perjalanan.
Semakin gelap menjelang tengah malam dikala ia merasa tersesat. Kalau benar jajaran bintang di langit itu yaitu jajaran Bima Sakti, itu berarti kini waktu tengah malam. Padahal jarak yang harus ditempuhnya cuma berjalan kaki sekitar dua kilometer saja.
Setidaknya kini ia telah berjalan sekitar hampirlima jam.
Gumara sadar, bahwa ia benar-benar tersesat, untuk kembali, ia bingung, hendak menempuh jalan yang mana. Tapi tekad Gumara memang bulat. Dia membersihkan kelopak matanya supaya pemandangan yang dilihatnya di sekitar bukanlah palsu.
Alangkah bahagianya dia, sehabis higienis diucek-uceknya kelopak matanya itu, ia melihat di langit letak bintang Bima Sakti itu. Juga hutan sekitar dan satu jalan kecil itu, yang tadi tidak ada. Barulah ia kini yakin, bahwa pandangan matanya telah “dibalikkan” oleh Pak Tua yang melarangnya menemui Lebai Karat Gumara membelokkan langkah. Alangkah gembiranya ia, dikala didengarnya bunyi motor. Ini sebagai pertanda, bahwa ia tidak sesat jalan. Sudah sering ia dengar bahwa memang ada sepeda motor yang disewakan naik turun lembah bagi orang- orangJakarta yang akan menemui Lebai Karat untuk keperluan sesuatu. Gumara tinggal mengikuti bunyi motor itu saja. Ya, disana itu, di rumah terpencil itu, tentu di situlah tinggalnya Lebai itu.
Bersambung...
Lepas waktu maghrib sehabis menempati rumah jabatan dari Guru Yunus, Gumara berkata “Saya akan pergi sebentar, Pak Yunus."
“Menghadap kepala sekolah?”
“Tidak. Itu besok. Saya akan ke rumah Lebai Karat,” sahut Gumara.
“Lho, anda mengenal nama itu di mana?” Yunus tercengang.
“Sebelum saya mendapatkan kiprah mengajar di sini."
“Dia orang sakti, lho,” kata Pak Yunus.
“Saya tahu.”
“Dan kalau anda salah masuk padanya, anda celaka.”
“Itu saya juga tahu.”
“Hati-hatilah. Desa Kumayan ini sering menciptakan penghuninya celaka.” Gumara disalami oleh Pak Yunus. Ujar lelaki itu pada Gumara, “Semoga selamat anda menghuni rumah ini, juga selamat menjadi guru selama di sini. Saya hanya petugas yang menyambut guru baru. Tapi tahukah anda, setiap penghuni gres di sini dicoba oleh juara-juara?”
Gumara hanya sanggup diam. Dia juga tahu, Pak Yunus ini termasuk orang yang “ada isinya”.
Setelah lelaki renta itu berlalu, Gumara menatap sekeliling. Sepi sekeliling. Memang beginilah desa Kumayan kalau waktu maghrib telah berlalu. Namun ia harus menemui Lebai Karat. Dan, sehabis ia mengunci pintu rumah jabatan itu, belum lagi ia siap melangkah, dirasakannya bulu kuduknya merinding semua.
Gumara mencoba mengatur nafas. Tentu ada sesuatu yang ghaib. Dia mendehem. Dan tak jauh darinya terdengar sahutan orang mendehem pula. Kedengarannya memang itu bunyi manusia. Tapi di sini, di Kumayan ini, semua yang lahiriah tampak sebagai manusia, belum tentu manusia.
Dan tanpa menoleh ke arah sahutan dehem tadi, Gumara berkata “Saya penghuni gres di sini, mohon ijin.” Terdengar bunyi mendehem. Gumara pun membalas dengan mendehem. Lalu terdengar sekelebatan bunyi makhluk meloncat meluncur memasuki ilalang. Dan barulah Gumara menoleh kesana . Ilalang itu masih bergoyang, menandakan “Inyit” gres berlalu.
Di Kumayan orang tak pernah menyebut nama harimau. Mereka harus menyebut dengan sebutan “Inyit” supaya tidak kuwalat. Dan Gumara kini lega, lantaran salah seorang mahluk halus di desa ini sudah muncul dengan perilaku yang layak untuk memperkenalkan diri.
Gumara memperbaiki selendang shawl yang melilit di lehernya. Lalu ia turun tangga rumah. Dia harus jalan kaki sejauh dua kilometer untuk hingga ke rumah Lebai Karat. Peta untuk kesana sudah ia hafal luar kepala.
Beberapa langkah sehabis keluar dari pekarangan, ia harus ikuti jalan lurus yang sepi itu. Di kiri kanan jalan tidak ada rumah. Hanyapadang ilalang belaka. Dan tentu semua orang tahu, di balik ilalang haruslah dicurigai bersarangnya harimau.
Namun Gumara melangkah pasti. Langkah itu barulah terhenti dikala ia mendengar bunyi perempuan merintih. Siapa itu? Gumara menoleh ke arah ilalang itu. Dia yakin, rintihan itu datangnya dari sela-sela ilalang itu. Tentulah perempuan itu membutuhkan pertolongan. Kemungkinan ia gres menerima tragedi alam diterkam hewan buas, tapi hewan itu melarikan diri.
“Hai, siapa disana ?” tanya Gumara. Dia mencoba menekan knop senter di tangan. Tapi entah mengapa lampu senter itu mendadak tak sanggup menyala. Rintihan itu semakin memelas. Gumara mendekati. Lalu ia sibakkan pohonan ilalang itu.
Ya Allah!
Seorang perempuan terkapar, telentang luka parah, dalam pakaian minim pula. Jika Gumara bukan lelaki beriman, tentu ia memiliki kesempatan untuk memperkosanya.
“Siapa kau?”
“Tolong,” desah perempuan itu, “Tolong gendong aku.”
Gumara menaruh kasihan. Cuma ia agak ragu. Belum tentu perempuan ini manusia. Dia terlalu cantik. Dan dikala Gumara mengangkatnya untuk membopongnya, ada terasa amis ular.
“Kau begitu gagah,” ujar perempuan yang dibopong Gumara pada bahunya itu. Gumara terus melangkah, dan terus mencicipi amis aneh itu. Langkahnya terhenti dikala Gumara merasa lehernya dililit mesra oleh tangan perempuan itu.
ULAR MEMBELIT
Gumara merinding. Sebab lilitan lengan perempuan ini melebihi kemesraan lantaran merangsang birahinya. Ketegangan perasaan jantan begini tak boleh. Dan untunglah Gumara segera ingat soal amis itu. Itu bukan amis yang masuk akal lantaran ia mengenal amis ular.
“Kamu ular!” teriak Gumara dengan nada murka seraya menyeruakkan lengan yang melilit itu. Memang benar, lantaran mendadak saja berubah menjadi kepala ular yang mengerikan ingin mematok kepalanya. Gumara segera membanting diri ke tanah lain berguling supaya benar-benar terjadi pergumulan bila ular ini lepas dari membelitnya.
Sungguh ajaib. Begitu Gumara memutar gerak pinggang dengan teriak “Fuh!”, ular tadi secara ghaib menghilang. Dan rupanya, perkelahian seru itu disaksikan oleh seorang renta yang kemudian berkata “Di mana engkau mencar ilmu ilmu tangkisan sehingga Siti Marfuah lari terbirit?”
“Siapa anda, Pak Tua?” tanya Gumara.
“Bagusnya kau sebut dulu siapa kamu”, kata Pak Tua itu.
“Namaku Gumara. Lengkapnya Gumara Peto Alam. Aku guru muda yang gres dibenum di desa Kumayan ini”.
“Cuma sekadar itu?” tanya Pak Tua.
Mendengar hal itu Gumara gugup. Keringat dinginnya mengocor. Seakan diam-diam eksklusif siap dibongkar orang.
“Saya tahu, anak muda, bahwa kau ke sini dengan rencana panjang. Kau akan membalas dendam pada seseorang. Demi cintamu pada ibumu, bukan? Lalu kau akan menghadap Lebai Karat malain ini juga! Untuk mendapatkan ilmunya? Padahal, Lebai Karat inilah yang memperkosa ibumu”
Mata Gumara melotot.
Wah, tak disangka!
Gumara menjadi tertarik, kemudian bertanya “Siapa anda sebenarnya?”
“Saya? Pernah mengenal nama Hum Belang?”
Suara itu berat, bergetar. Mengerikan. Tapi yang lebih mangerikan lagi pada perasaan
Gumara seketika itu adalah, lantaran ia kenal nama itu. Dia telah diberitahu jauh hari sebelum ini, bahwa, apabila ia tinggal di Kumayan, harus sanggup mengikuti keadaan dengan tokoh Hum Belang. Hum Belang menatap Gumara. Dia menyeringai dan benar-benar seakan-akan dengan seringai harimau.
“Kalau mau selamat, jangan lanjutkan perjalananmu, nak”, ujar PakTua itu.
“Lalu, apa nasehat Pak Tua selanjutnya?” tanya Gumara.
“Kau akan diketahui oleh Lebai Karat, bahwa kedatanganmu menghadapnya bukan untuk belajar. Tapi untuk membalas dendam. Kau akan celaka, anak muda”, ujar lelaki renta yang misterius ini.
“Lalu, Pak Tua ada di sini sekarang, untuk maksud apa?” tanya Gumara.
“Hanya mencoba mencegah langkah engkau”.
“Jika saya tetap ingin melanjutkan?” tanya Gumara bernada pasti, tanpa maksud melagak menantang.
“Itu hakmu. Terserah”, ujar Pak Tua yang masih perlu diragukan, apakah ia benar- benar Hum Belang yang tersohor ataukah sekedar mengaku-ngaku.
Gumara membungkuk hormat pada Pak Tua itu, kemudian melanjutkan perjalanan.
Semakin gelap menjelang tengah malam dikala ia merasa tersesat. Kalau benar jajaran bintang di langit itu yaitu jajaran Bima Sakti, itu berarti kini waktu tengah malam. Padahal jarak yang harus ditempuhnya cuma berjalan kaki sekitar dua kilometer saja.
Setidaknya kini ia telah berjalan sekitar hampirlima jam.
Gumara sadar, bahwa ia benar-benar tersesat, untuk kembali, ia bingung, hendak menempuh jalan yang mana. Tapi tekad Gumara memang bulat. Dia membersihkan kelopak matanya supaya pemandangan yang dilihatnya di sekitar bukanlah palsu.
Alangkah bahagianya dia, sehabis higienis diucek-uceknya kelopak matanya itu, ia melihat di langit letak bintang Bima Sakti itu. Juga hutan sekitar dan satu jalan kecil itu, yang tadi tidak ada. Barulah ia kini yakin, bahwa pandangan matanya telah “dibalikkan” oleh Pak Tua yang melarangnya menemui Lebai Karat Gumara membelokkan langkah. Alangkah gembiranya ia, dikala didengarnya bunyi motor. Ini sebagai pertanda, bahwa ia tidak sesat jalan. Sudah sering ia dengar bahwa memang ada sepeda motor yang disewakan naik turun lembah bagi orang- orangJakarta yang akan menemui Lebai Karat untuk keperluan sesuatu. Gumara tinggal mengikuti bunyi motor itu saja. Ya, disana itu, di rumah terpencil itu, tentu di situlah tinggalnya Lebai itu.
Bersambung...