Cerpen: Ada Apa Dengan Tradisi?
Kamis, 02 Oktober 2014
Gemuruh bunyi dari segala umur. Semua berkumpul dalam dalam program ngerujaki (acara selamatan tujuh bulanan seorang bayi dalam kandungan). Bercampur pula dalam satu suara, mendendangkan syair Hujan Rejeki, “Bitawur. Selamet dawa umur. Umure pirang taun. Nyai-nyai dawa umur”. Sebuah syair sederhana yang bernuansa pengharapan rejeki, bernuansa doa, dan bernuansa tradisi. Melangkapi kemeriahan. Memang lagu Hujan Rejeki sudah menjadi ciri khas dalam menunggu tuan rumah melemparkan kepingan-kepingan uang logam.
Keramaian mulai terlihat. Putri Kiyai Mansyur telah usai dimandikan dengan air bunga. Airnya bercampur dari tujuh sumur pilihan dengan dicampuri bunga tujuh rupa. Lemparan demi lemparan uang logam pun terus menyerang, menyebar ke di sekumpulan orang. Orang-orang berebutan. Lantunan syair salawat dari ibu-ibu yang berada di dalam rumah tetap mengiringi kemeriahannya.
Tak lama, waktu membagi kegiatan. Waktunya azan berkumandang. Hari Jum’at. Para lelaki pun bergegas pergi ke masjid. Sendiri atau bersama- sama. Tak lupa, Kiai Mansyur bersama satu anak lelakinya yang masih kecil pun pergi ke masjid. Melewati jalan. Jalan yang berkelok tak beraturan.
Sampai kesannya melihat bangunan masjid yang terlihat sederhana. Berumur tua. Berpondasi kayu jati. Terhalangi pagar-pagar kayu ukir, sebagai pembatas dari halaman luar. Tak ada tembok yang menutupi. Terlihat terbuka. Hanya ruangan bab dalam yang tertutup tembok.
“Abah, Ical ingin salat di dekat bak itu Ayah.”
“Jangan di situ. Berisik, Ihsan.”
“Tapi saya suka Abaaah.”
Kiai Mansyur pun menuruti kemauan anaknya. Beliau dan anaknya menuju ke arah utara masjid. Kiai Manysur dan anaknya menatap erat pada keramaian di sekitar kolam, kawasan pengambilan air wudu--- mengingat mengambil air wudu dengan cara tangan mencelup ke dalam air kolam. Lalu, mereka berdua duduk bersama, tak terpisahkan.
Azan kedua berkumandang. Sang khatib (juru dakwah) memulai berceramah. Tak lama, sekitar seperempat jam, ceramah selesai. Salat pun dimulai.
Berhamburan. Banyak bawah umur kecil, gadis-gadis dan para ibu mengelilingi bak itu. Bersiap-siap untuk pengambilan air, dan mandi.
Sang Iman lantas membaca ayat suci. Ayat demi ayat dilantunkannya. Sampai pada ucapan ayat terakhir, serentak para jama’ah mengucapkan, “Aamiiiiin.”
Semua orang yang berkumpul di dekat bak air ikut meramaikan, mengalahkan gemuruh bunyi para jama’ah. Mereka mandi, dengan hati seakan tak peduli. Suara-suara gemercikkan air yang menyatu terdengar gaduh seakan bagai kuda-kuda yang berlarian di atas tanah yang berair.
Kiai Mansyur terusik. Anaknya pun bermain pandang dengan mereka. Anaknya cekikikan melihat orang yang sedang mandi bersama.
Mata mereka seakan tak melihat, jikalau ada orang salat yang terganggu. Mereka beralasan, mandi di dikala kata “Amin” diucapkan seakan gampang menerima berkah. Suatu keyakinan yang terlihat sudah menguat. Telah berlangsung puluhan tahun. Entah, siapa yang mencetus kegiatan ini. Tradisi “Mandi Jum’at” memang telah menjadi kebutuhan. Tidak lupa, mereka pun mengambil bekas air wudu untuk pencarian berkah dengan kegunaan yang bermacam-macam.
Mandi Jum’at sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Toh, yang mandi bukan kaum lelaki. Sehingga para tokoh masyarakat tampaknya tak mempermasalahkan hal itu. Tapi, seakan tidak untuk Kiai Mansyur. Semenjak melihat anaknya ikut terhanyut dalam Mandi Jum’at, ia memperlihatkan ketidaksetujuan ihwal kegiatan itu.
“Apa mereka tidak melihat di sampingnya ada orang salat? lirihnya. Beliau membisu sesaat.
“Kenapa kamu tertawa waktu salat, San?” dia melanjutkan kembali.
“Lucu Ayah. Ada sobat SD Ical yang lagi mandi, hihihi.”
Kiai Mansyur hanya terdiam. Kening terlihat mengkerut. Pandangan mata sedikit merunduk. sorot matanya sedikit tajam. Ada sesuatu yang dipikirkan. Beliau terlihat tak lagi baiklah dengan kegiatan Mandi Jum’at itu.
“Dulu saya paling suka bila menerima air dari bak masjid. Kakak saya yang membawakan air itu. Kata orang renta bila minum air itu, diperlukan menjadi orang yang pinter-bener, dan padang atine (cerah/bercahaya hatinya). Tapi kini saya tidak baiklah bila kegiatan itu terus-menerus ada. Bukan problem membenci tradisi. Tapi mengganggu itu loh,” perkataan Pak Mansyur dihadapan istrinya sembari rebahan dalam sofa.
“Terus apa yang akan dilakukan, Pak? Apakah Bapak akan sendirian menghilangkan kegiatan Mandi Jum’at tersebut? Bapak menyerupai satu melawan seribu. Dan seribu itu berisi ratusan ribu kekuatan keyakinan. Urungkan niat Bapak itu,” kata Ibu Fatimah menanggapi perkataan suaminya.
“Nanti saya akan berbicara dengan Pak Umar seusai salat Asar.”
Istrinya hanya memandang lesu. Ibu Fatimah sangat mengetahui, jikalau waktu kecil suaminya gemar sekali meminum air dari kolam---di sebutnya Air Jum’at---yang diambil bertepatan dengan salat Jum’at. Karena memang, suaminya masih bersaudaraan dengannya. Anak dari buyut yang sama---dan sering bermain bersama. Ibu Fatimah pun tahu, Kiai Mansyur pernah menangis gara-gara tidak ada seorang pun yang mengambil Air Jum’at itu.
“Bapak ini aneh. Seperti melupakan kehidupan dahulu. Kita hidup terikat dengan sejarah, Pak. Bapak lupa?”
“Saya mengerti. Tapi ini bukan problem kenangan dahulu. Ini hanya membahas perlu perbaikan ihwal tradisi.”
Tapi kenapa hingga memarahi anakmu. Dia sama persis sewaktu Bapak kecil. Dia masih kecil, belum mengerti. Maklum saja ia tergoda. Tertawa- tawa melihat kegiatan Mandi Jum’at. Apa lagi ada temannya yang melakukan.
“Sudah! Itu hanya emosi saya. Tetap saya ingin membahas problem ini nanti.”
“Ya sudah, terserah Bapak. Tapi jangan seenaknya sendiri. Kebiasaan Bapak yang selalu seenaknya sendiri, jangan ikut campur dalam pembahasan tradisi Mandi Jum’at.”
“Lihat saja nanti.”
Azan dikumandangkan. Dilanjutkan dengan tembang kebanggaan ketuhanan untuk menunggu para jama’ah datang. Terlihat Kiai Umar melaksanakan salat sunat dengan khusyu. Setelah itu, dilanjutkan dengan melaksanakan salat Asar.
Waktu kesannya menawarkan kesempatan untuk Kiai Mansyur berbicara secara santai kepada Kiai Umar---mengingat Kiai Umar ialah sobat Kiai Mansyur---sama-sama berumur lima puluhan. Kiayi Umar pun menyambut dengan nuansa keakraban.
“Tentang problem Mandi Jum’at,” Kiai Mansyur menjelaskan dengan gaya yang terlihat santai.
“Lalu?” Kiai Umar menanyakan.
“Perlu dihilangkan atau diperbaiki. Itu mengganggu orang salat,Pak.”
“Walau terlihat kecil, sekedar mandi, tapi cukup berpengaruh keyakinan dalam diri masyarakat yang melakukannya.”
Kiai Umar menjelaskan jikalau kita jangan terbiasa menyingkir suatu tradisi yang memang sudah menempel erat. Apalagi tradisi Mandi Jum’at telah dibaluti dengan nuansa keyakinan keagamaan. Khawatir akan menciptakan luka. Berakibat timbul suatu kebencian terhadap masjid, lebih parah pada agamanya. Otomatis tradisi lokal pun akan terkikis habis. Terkikisnya tradisi lokal, berakibat terkikis tradisi nusantara.
Memang Mandi Jum’at dahulunya tidak ada, katanya. Hanya sekedar pengambilan air sempurna di hari Jum’at. Karena memang bekas air wudu--- apalagi bekas wudunya orang-orang saleh---banyak manfaatnya. Tapi kini, hari Jum’at bukan saja pengambilan air wudu tapi juga melaksanakan mandi, sempurna di dikala “amin” dari para jama’ah diucapkan.
“Saya tahu. Tapi itu sangat menggangu. Lebih parah, mengganggu orang salat. Sampai anak saya tertawa-tawa dan melalaikan ketenangan salat.”
“Lebih baik kita panggil teman-teman kita. Pak Nasir, Pak Haris, dan Pak Syifa. Itu saja.”
“Buat apa?”
“Lihat saja nanti.”
Lalu Kiai Umar menyuruh salah satu penjaga masjid untuk memanggil ketiga orang itu.
Kiai Nasir yang jago dalam ilmu falak (perbintangan). Pernah diceritakan dia bisa memperkirakan kapan lampu rumahnya akan pecah. Kiai Haris sebagai orang yang jago dalam ilmu kebatinan, bisa melihat sesuatu yang gaib. Kiai Lukman sama halnya dengan Kiai Umar dan Kiai Mansyur yang hanya sebagai pembimbing spiritual.
Masjid terlihat lengang. Hanya ada seorang penjaga masjid. Suasana di luar nampak berwarna gelap. Terlihat para santri berlalu lalang, sesudah bermain atau akan akan bermain.
Tak lama, satu per satu mereka datang. Mereka sedang tak memiliki acara. Memang hari Jum’at ialah hari istirahat mereka. Lalu mereka duduk dengan santai. Mereka berlima duduk bersama di ruangan bab dalam yang terhalangi dinding.
Kita perlu membahas ihwal problem Mandi Jum’at. Ini tawaran tiba dari Pak Mansyur.
“Sangat setuju, Pak. Lagi pula, tradisi ini sudah menyimpang. Menyimpang bukan alasannya ialah suatu yang menyesatkan. Tapi ini sudah mengganggu kegiatan salat,” tanggapan baiklah diucapkan oleh Kiai Haris.
“Apakah, tidak ada pembahasan lain yang lebih penting? Kenapa mesti Mandi Jum’at yang kita bahas?” Sambut tidak baiklah dari Pak Lukman.
Lebih baik, ada perubahan waktu. Lagi pula dahulu tak ada Mandi Jum’at. Dulu hanya sekedar mengambil air di hari Jum’at. Ya, perlu perubahan waktu biar bunyi gemercik orang-orang mandi tidak mengganggu para jama’ah. Tapi itu juga menyulitkan,” tanggapan yang terlihat demokrat terucapkan dari lisan Kiai Nasir.
Kiyai umar termenung. Seakan masih memikirkan solusi terbaik.
“Saya baiklah pendapat dari Pak Haris dan juga Pak Nasir. Menurut Pak Lukman, apa yang penting untuk dibahas? Perkara yang mengganggu ketenangan salat harus segera diselesaikan,” kata Kiai Mansyur.
Kiai Lukman pun mengomentari perkataan Kiai Mansyur. Begitu banyak tradisi-tradisi leluhur yang dianggap sakral, bahkan diakui pemerintah sebagai suatu kekayaan tradisi Indonesia. Lantas kini dijauhkan kehadirannya. Banyak yang enggan mempertahankan tradisi tersebut. Mereka menilai sudah terlalu kuno. Lantas para perjaka kini beralih pandang pada tradisi kebarat-baratan atau weternisasi. Padahal kita wajib memelihara tradisi bangsa kita.
“Kalau problem tradisi Mandi Jum’at, saya kira itu hal yang sepele. Ada atau tidak ada tak dilihat pemerintah.”
“Pak Lukman dan Pak Mansyur mohon berhenti sebentar. Pak Haris diberikan kesempatan untuk berbicara. Bergiliran. Itu mencirikan perilaku demokratis.
“Baik,” kata Pak Mansyur.
Kiai Haris pun menjelaskan dengan beling mata gaibnya. Ia menerka-nerka dengan batinnya di suasana ramai kegiatan Mandi Jum’at. Sebelumnya dia sudah melihat hasilnya. Hasil yang dahulu dengan yang kini itu sama. Ada energi negatif yang menyelimuti bak tersebut seiring berkumpulnya hingga melaksanakan kegiatan mandi.
“Tapi saya tak tahu, apakah itu energi mahluk halus atau dari insan sendiri. Saya sulit menerka, alasannya ialah bersamaan juga dengan kegiatan salat,” kata terakhir dari Kiai Haris.
“Silahkan Pak Lukman.” Kata Kiai Haris.
“Tidak perlu saya lah.”
“Ya Sudah.”
Kini giliran Kiai Nasir berkomentar. Sebelumnya Beliau menerka-nerka. Seakan imajinasinya ialah rangkaian matamatis yang bersifat gaib. Ia ingin menangkap suatu asumsi bagaimana dampak dari pergeseran waktu Mandi Jum’at.
“Tak bisa dirubah waktunya. Percuma. Kecuali dihilangkan. Tapi itu juga sulit. Perlu proses pelan-pelan dan membutuhkan waktu lama.”
“Saya mohon pendapat Pak Umar, kata Kiai Mansyur.”
Pak Umar termenung. Semua menunggu seucap kata Pak umar. Ucapan dari seorang imam masjid seakan menjadi pamungkas dalam membahas permasalahan Mandi Jum’at. Beliau usang termenung. Mereka pun harap- harap cemas ihwal jawaban.
“Begini,” seucap kata Kiai Umar seakan mencairkan suasana.
Sepatah kata terucap. Lalu kemudian bermain dalam kata untuk suatu penjelasan. Lalu terlihat Pak Umar menundukkan kepala, seakan wawasan yang ia peroleh memberatkan kepalanya. Beliau berpendapat, tradisi Mandi Jum’at dan tradisi lain merupakan pengetahuan untuk anak- anak kita. Biarlah bawah umur kita diperkenalkan pada suatu tradisi bangsa. Mereka nanti tahu, toh insan dahulu mampu membentuk suatu tradisi yang membumi, sakral, dan menjadi suatu kekayaan bangsa.
Sehingga, bawah umur kita bisa membentuk suatu tradisi baru---tidak melulu manja pada tradisi lama. Dan tetap tradisi usang sebagai sejarah untuk dasar melangkah. Sehingga tradisi usang yang bercirikan kebangsaan kita mampu masuk pada tradisi gres yang tercipta dari logika kebijaksanaan perjaka penerus bangsa.
“Begitulah.”
Oleh :
ELBUYZ
Pemilik situs:
www.ebookbisnis.siteindo.com
Keramaian mulai terlihat. Putri Kiyai Mansyur telah usai dimandikan dengan air bunga. Airnya bercampur dari tujuh sumur pilihan dengan dicampuri bunga tujuh rupa. Lemparan demi lemparan uang logam pun terus menyerang, menyebar ke di sekumpulan orang. Orang-orang berebutan. Lantunan syair salawat dari ibu-ibu yang berada di dalam rumah tetap mengiringi kemeriahannya.
Tak lama, waktu membagi kegiatan. Waktunya azan berkumandang. Hari Jum’at. Para lelaki pun bergegas pergi ke masjid. Sendiri atau bersama- sama. Tak lupa, Kiai Mansyur bersama satu anak lelakinya yang masih kecil pun pergi ke masjid. Melewati jalan. Jalan yang berkelok tak beraturan.
Sampai kesannya melihat bangunan masjid yang terlihat sederhana. Berumur tua. Berpondasi kayu jati. Terhalangi pagar-pagar kayu ukir, sebagai pembatas dari halaman luar. Tak ada tembok yang menutupi. Terlihat terbuka. Hanya ruangan bab dalam yang tertutup tembok.
“Abah, Ical ingin salat di dekat bak itu Ayah.”
“Jangan di situ. Berisik, Ihsan.”
“Tapi saya suka Abaaah.”
Kiai Mansyur pun menuruti kemauan anaknya. Beliau dan anaknya menuju ke arah utara masjid. Kiai Manysur dan anaknya menatap erat pada keramaian di sekitar kolam, kawasan pengambilan air wudu--- mengingat mengambil air wudu dengan cara tangan mencelup ke dalam air kolam. Lalu, mereka berdua duduk bersama, tak terpisahkan.
Azan kedua berkumandang. Sang khatib (juru dakwah) memulai berceramah. Tak lama, sekitar seperempat jam, ceramah selesai. Salat pun dimulai.
Berhamburan. Banyak bawah umur kecil, gadis-gadis dan para ibu mengelilingi bak itu. Bersiap-siap untuk pengambilan air, dan mandi.
Sang Iman lantas membaca ayat suci. Ayat demi ayat dilantunkannya. Sampai pada ucapan ayat terakhir, serentak para jama’ah mengucapkan, “Aamiiiiin.”
Semua orang yang berkumpul di dekat bak air ikut meramaikan, mengalahkan gemuruh bunyi para jama’ah. Mereka mandi, dengan hati seakan tak peduli. Suara-suara gemercikkan air yang menyatu terdengar gaduh seakan bagai kuda-kuda yang berlarian di atas tanah yang berair.
Kiai Mansyur terusik. Anaknya pun bermain pandang dengan mereka. Anaknya cekikikan melihat orang yang sedang mandi bersama.
Mata mereka seakan tak melihat, jikalau ada orang salat yang terganggu. Mereka beralasan, mandi di dikala kata “Amin” diucapkan seakan gampang menerima berkah. Suatu keyakinan yang terlihat sudah menguat. Telah berlangsung puluhan tahun. Entah, siapa yang mencetus kegiatan ini. Tradisi “Mandi Jum’at” memang telah menjadi kebutuhan. Tidak lupa, mereka pun mengambil bekas air wudu untuk pencarian berkah dengan kegunaan yang bermacam-macam.
Mandi Jum’at sudah menjadi hal yang dianggap biasa. Toh, yang mandi bukan kaum lelaki. Sehingga para tokoh masyarakat tampaknya tak mempermasalahkan hal itu. Tapi, seakan tidak untuk Kiai Mansyur. Semenjak melihat anaknya ikut terhanyut dalam Mandi Jum’at, ia memperlihatkan ketidaksetujuan ihwal kegiatan itu.
“Apa mereka tidak melihat di sampingnya ada orang salat? lirihnya. Beliau membisu sesaat.
“Kenapa kamu tertawa waktu salat, San?” dia melanjutkan kembali.
“Lucu Ayah. Ada sobat SD Ical yang lagi mandi, hihihi.”
Kiai Mansyur hanya terdiam. Kening terlihat mengkerut. Pandangan mata sedikit merunduk. sorot matanya sedikit tajam. Ada sesuatu yang dipikirkan. Beliau terlihat tak lagi baiklah dengan kegiatan Mandi Jum’at itu.
“Dulu saya paling suka bila menerima air dari bak masjid. Kakak saya yang membawakan air itu. Kata orang renta bila minum air itu, diperlukan menjadi orang yang pinter-bener, dan padang atine (cerah/bercahaya hatinya). Tapi kini saya tidak baiklah bila kegiatan itu terus-menerus ada. Bukan problem membenci tradisi. Tapi mengganggu itu loh,” perkataan Pak Mansyur dihadapan istrinya sembari rebahan dalam sofa.
“Terus apa yang akan dilakukan, Pak? Apakah Bapak akan sendirian menghilangkan kegiatan Mandi Jum’at tersebut? Bapak menyerupai satu melawan seribu. Dan seribu itu berisi ratusan ribu kekuatan keyakinan. Urungkan niat Bapak itu,” kata Ibu Fatimah menanggapi perkataan suaminya.
“Nanti saya akan berbicara dengan Pak Umar seusai salat Asar.”
Istrinya hanya memandang lesu. Ibu Fatimah sangat mengetahui, jikalau waktu kecil suaminya gemar sekali meminum air dari kolam---di sebutnya Air Jum’at---yang diambil bertepatan dengan salat Jum’at. Karena memang, suaminya masih bersaudaraan dengannya. Anak dari buyut yang sama---dan sering bermain bersama. Ibu Fatimah pun tahu, Kiai Mansyur pernah menangis gara-gara tidak ada seorang pun yang mengambil Air Jum’at itu.
“Bapak ini aneh. Seperti melupakan kehidupan dahulu. Kita hidup terikat dengan sejarah, Pak. Bapak lupa?”
“Saya mengerti. Tapi ini bukan problem kenangan dahulu. Ini hanya membahas perlu perbaikan ihwal tradisi.”
Tapi kenapa hingga memarahi anakmu. Dia sama persis sewaktu Bapak kecil. Dia masih kecil, belum mengerti. Maklum saja ia tergoda. Tertawa- tawa melihat kegiatan Mandi Jum’at. Apa lagi ada temannya yang melakukan.
“Sudah! Itu hanya emosi saya. Tetap saya ingin membahas problem ini nanti.”
“Ya sudah, terserah Bapak. Tapi jangan seenaknya sendiri. Kebiasaan Bapak yang selalu seenaknya sendiri, jangan ikut campur dalam pembahasan tradisi Mandi Jum’at.”
“Lihat saja nanti.”
Azan dikumandangkan. Dilanjutkan dengan tembang kebanggaan ketuhanan untuk menunggu para jama’ah datang. Terlihat Kiai Umar melaksanakan salat sunat dengan khusyu. Setelah itu, dilanjutkan dengan melaksanakan salat Asar.
Waktu kesannya menawarkan kesempatan untuk Kiai Mansyur berbicara secara santai kepada Kiai Umar---mengingat Kiai Umar ialah sobat Kiai Mansyur---sama-sama berumur lima puluhan. Kiayi Umar pun menyambut dengan nuansa keakraban.
“Tentang problem Mandi Jum’at,” Kiai Mansyur menjelaskan dengan gaya yang terlihat santai.
“Lalu?” Kiai Umar menanyakan.
“Perlu dihilangkan atau diperbaiki. Itu mengganggu orang salat,Pak.”
“Walau terlihat kecil, sekedar mandi, tapi cukup berpengaruh keyakinan dalam diri masyarakat yang melakukannya.”
Kiai Umar menjelaskan jikalau kita jangan terbiasa menyingkir suatu tradisi yang memang sudah menempel erat. Apalagi tradisi Mandi Jum’at telah dibaluti dengan nuansa keyakinan keagamaan. Khawatir akan menciptakan luka. Berakibat timbul suatu kebencian terhadap masjid, lebih parah pada agamanya. Otomatis tradisi lokal pun akan terkikis habis. Terkikisnya tradisi lokal, berakibat terkikis tradisi nusantara.
Memang Mandi Jum’at dahulunya tidak ada, katanya. Hanya sekedar pengambilan air sempurna di hari Jum’at. Karena memang bekas air wudu--- apalagi bekas wudunya orang-orang saleh---banyak manfaatnya. Tapi kini, hari Jum’at bukan saja pengambilan air wudu tapi juga melaksanakan mandi, sempurna di dikala “amin” dari para jama’ah diucapkan.
“Saya tahu. Tapi itu sangat menggangu. Lebih parah, mengganggu orang salat. Sampai anak saya tertawa-tawa dan melalaikan ketenangan salat.”
“Lebih baik kita panggil teman-teman kita. Pak Nasir, Pak Haris, dan Pak Syifa. Itu saja.”
“Buat apa?”
“Lihat saja nanti.”
Lalu Kiai Umar menyuruh salah satu penjaga masjid untuk memanggil ketiga orang itu.
Kiai Nasir yang jago dalam ilmu falak (perbintangan). Pernah diceritakan dia bisa memperkirakan kapan lampu rumahnya akan pecah. Kiai Haris sebagai orang yang jago dalam ilmu kebatinan, bisa melihat sesuatu yang gaib. Kiai Lukman sama halnya dengan Kiai Umar dan Kiai Mansyur yang hanya sebagai pembimbing spiritual.
Masjid terlihat lengang. Hanya ada seorang penjaga masjid. Suasana di luar nampak berwarna gelap. Terlihat para santri berlalu lalang, sesudah bermain atau akan akan bermain.
Tak lama, satu per satu mereka datang. Mereka sedang tak memiliki acara. Memang hari Jum’at ialah hari istirahat mereka. Lalu mereka duduk dengan santai. Mereka berlima duduk bersama di ruangan bab dalam yang terhalangi dinding.
Kita perlu membahas ihwal problem Mandi Jum’at. Ini tawaran tiba dari Pak Mansyur.
“Sangat setuju, Pak. Lagi pula, tradisi ini sudah menyimpang. Menyimpang bukan alasannya ialah suatu yang menyesatkan. Tapi ini sudah mengganggu kegiatan salat,” tanggapan baiklah diucapkan oleh Kiai Haris.
“Apakah, tidak ada pembahasan lain yang lebih penting? Kenapa mesti Mandi Jum’at yang kita bahas?” Sambut tidak baiklah dari Pak Lukman.
Lebih baik, ada perubahan waktu. Lagi pula dahulu tak ada Mandi Jum’at. Dulu hanya sekedar mengambil air di hari Jum’at. Ya, perlu perubahan waktu biar bunyi gemercik orang-orang mandi tidak mengganggu para jama’ah. Tapi itu juga menyulitkan,” tanggapan yang terlihat demokrat terucapkan dari lisan Kiai Nasir.
Kiyai umar termenung. Seakan masih memikirkan solusi terbaik.
“Saya baiklah pendapat dari Pak Haris dan juga Pak Nasir. Menurut Pak Lukman, apa yang penting untuk dibahas? Perkara yang mengganggu ketenangan salat harus segera diselesaikan,” kata Kiai Mansyur.
Kiai Lukman pun mengomentari perkataan Kiai Mansyur. Begitu banyak tradisi-tradisi leluhur yang dianggap sakral, bahkan diakui pemerintah sebagai suatu kekayaan tradisi Indonesia. Lantas kini dijauhkan kehadirannya. Banyak yang enggan mempertahankan tradisi tersebut. Mereka menilai sudah terlalu kuno. Lantas para perjaka kini beralih pandang pada tradisi kebarat-baratan atau weternisasi. Padahal kita wajib memelihara tradisi bangsa kita.
“Kalau problem tradisi Mandi Jum’at, saya kira itu hal yang sepele. Ada atau tidak ada tak dilihat pemerintah.”
“Pak Lukman dan Pak Mansyur mohon berhenti sebentar. Pak Haris diberikan kesempatan untuk berbicara. Bergiliran. Itu mencirikan perilaku demokratis.
“Baik,” kata Pak Mansyur.
Kiai Haris pun menjelaskan dengan beling mata gaibnya. Ia menerka-nerka dengan batinnya di suasana ramai kegiatan Mandi Jum’at. Sebelumnya dia sudah melihat hasilnya. Hasil yang dahulu dengan yang kini itu sama. Ada energi negatif yang menyelimuti bak tersebut seiring berkumpulnya hingga melaksanakan kegiatan mandi.
“Tapi saya tak tahu, apakah itu energi mahluk halus atau dari insan sendiri. Saya sulit menerka, alasannya ialah bersamaan juga dengan kegiatan salat,” kata terakhir dari Kiai Haris.
“Silahkan Pak Lukman.” Kata Kiai Haris.
“Tidak perlu saya lah.”
“Ya Sudah.”
Kini giliran Kiai Nasir berkomentar. Sebelumnya Beliau menerka-nerka. Seakan imajinasinya ialah rangkaian matamatis yang bersifat gaib. Ia ingin menangkap suatu asumsi bagaimana dampak dari pergeseran waktu Mandi Jum’at.
“Tak bisa dirubah waktunya. Percuma. Kecuali dihilangkan. Tapi itu juga sulit. Perlu proses pelan-pelan dan membutuhkan waktu lama.”
“Saya mohon pendapat Pak Umar, kata Kiai Mansyur.”
Pak Umar termenung. Semua menunggu seucap kata Pak umar. Ucapan dari seorang imam masjid seakan menjadi pamungkas dalam membahas permasalahan Mandi Jum’at. Beliau usang termenung. Mereka pun harap- harap cemas ihwal jawaban.
“Begini,” seucap kata Kiai Umar seakan mencairkan suasana.
Sepatah kata terucap. Lalu kemudian bermain dalam kata untuk suatu penjelasan. Lalu terlihat Pak Umar menundukkan kepala, seakan wawasan yang ia peroleh memberatkan kepalanya. Beliau berpendapat, tradisi Mandi Jum’at dan tradisi lain merupakan pengetahuan untuk anak- anak kita. Biarlah bawah umur kita diperkenalkan pada suatu tradisi bangsa. Mereka nanti tahu, toh insan dahulu mampu membentuk suatu tradisi yang membumi, sakral, dan menjadi suatu kekayaan bangsa.
Sehingga, bawah umur kita bisa membentuk suatu tradisi baru---tidak melulu manja pada tradisi lama. Dan tetap tradisi usang sebagai sejarah untuk dasar melangkah. Sehingga tradisi usang yang bercirikan kebangsaan kita mampu masuk pada tradisi gres yang tercipta dari logika kebijaksanaan perjaka penerus bangsa.
“Begitulah.”
Oleh :
ELBUYZ
Pemilik situs:
www.ebookbisnis.siteindo.com