Cerpen: Balita Bertunangan

gurau di halaman depan rumah dengan  ditemani orang tuanya Cerpen: Balita Bertunangan
Terlihat dua balita sedang senda-gurau di halaman depan rumah dengan ditemani orang tuanya. Mereka berdua berjumpa ketika berlibur bersama keluarga di pantai dua bulan yang lalu. Lalu, mereka saling kenal. Mereka itu ialah Abi dan Anisa. Mereka menikmati hari libur. Orang renta Anisa pun tampaknya merelakan bila mereka berduaan. Lagi pula, Anisa sempat sakit bila tak dipertemukan dengan Abi.
“Assalamu’alaikum, Nisa. Main yuuuuk?” sahabat Anisa, Laras, mengajak bermain.
“Yuk, Niiis,” Pinta satu temannya lagi, Nabila.
“Gak, aaah. Lagi main, sama Abi. Aku gak mauuu, pisah sama Abi.”
“Ih, kok gitu sih,” kata Laras dengan nada kecewa.
“Ya udah. Abi, ikut main aja ya...,” Nabila memberi solusi.
“Gak ah, saya juga pengin sama Anisa aja,” Abi mendukung Anisa.
Raut muka Laras dan Nabila memperlihatkan kekecewaan. Tapi rasa kecewa anak kecil yang gres berumur tiga tahunan tak menyerupai rasa kecewa anak remaja atau orang dewasa. Mereka berdua tetap tunjukkan sebuah perilaku lugu--tak mengerti jikalau Abi dan Anisa sedang jatuh cinta.
“Maaf ya Nak, hari ini kalian main berdua saja. Biar Abi dan Anisa bermain sama Tante dan Om.”
“Nanti lagi ya?”
“Baik Tante, Om,” Laras menyetujuinya.
Lantas mereka pergi dan tak memikirkan sesuatu yang telah terjadi.
Abi dan Anisa pun berlanjut kembali dalam senda-guraunya. Mereka berdua senang bila hari-harinya selalu dalam jumpa. Mereka asik bermain tanpa ikut campur sahabat yang lain. keegoisan anak kecil pun sangat tampak sekali. Mereka tak memperdulikan kehadiran kawan. Bagi mereka, rasa kepedulian hanya untuk yang dicintainya.
“Tante, tunangan itu apa? Aku lupa,” pertanyaan Abi sedikit membebankan hati Ibu Naila.
“Biar kebersamaan kalian disetujui,” Ibu Naila mencoba memberi jawaban.
“Asiiiik.”
***
Ada kontradiksi di dalam keluarga Pak Latif.
"Abah, ini aib. Lihat, Bah! Mereka masih anak kecil! Masih balita. Itu menyalahi aturan!”
Anida gres tiba ke rumah kemarin, dari Bandung. Sejak mengetahui isu itu, Anida protes melihat adiknya akan tunangan.
“Kamu jangan ngotot bicara sama orang tua,” ibu Fatma menasehati.
“Kau mengerti tidak? Tidak ada batasan untuk menikah! Kau jangan menentang agama! Ini hasilmu kuliah jurusan Filsafat?!” Pak Latif merasa geram atas perilaku anaknya.
Rencana pertunangan Abi dengan anak semata wayang Pak Amid, Anisa, berakibat tiba suatu konfik di keluarga Pak Latif. Anida murka besar atas perilaku orang tua. Anida tidak oke dengan pertunangan itu. Tapi, orang renta justru menganggap tunangan ini ialah jalan terbaik untuk anak mereka.
Seketika, mereka saling bungkan suara. Ruangan sunyi. Tak ada kobar api. Hanya api di dada yang tertahan. Ruang tengah rumah, yang dijadikan kumpul bersama untuk menghangatkan suasana, kini tak terindahkan lagi.
“Apa kau mau adikmu selalu sakit?” Kau pernah jatuh cinta, bukan? Pak Latif membuka suara.
“Pernah. Tapi Abah melarangku untuk pacaran! Alasannya mendekati zinalah, ganggu belajarlah.”
“Ini masalahnya beda. Adikmu masih kecil. Belum mengerti cinta. Kita pun niscaya menjaga bila mereka saling bertemu. Bila adikmu sudah umur lima belas, kami pun menikahkan mereka berdua. Tidak menyerupai kau yang sudah mengerti cinta nafsu!”
“Apa? Sekecil itu mereka menikah?!”
“Lagi pula, Ibu sudah bersumpah, bila nanti Abi sembuh dari sakit, kami akan mengikat tali pertunangan Abi dengan anak gadis itu. Dan bila sudah umur lima belas, kami akan menikahi mereka berdua, jikalau mereka masih berhubungan.”
“Apa alasannya hingga bersumpah?! Itu sumpah maksiat!” Anida semakin kecewa.
“Plak. Plak. Plak.”
Ibunya menampar Anida. “Jaga mulutmu!”
Sambil tangis tersedu-sedu, Anida mengomentari perkataan orang tuanya. Ia katakan, jikalau orang tuanya telah mendidik cendekia balig cukup akal secara berlebihan; mendidik semoga menjadi cendekia balig cukup akal sebelum waktunya. Pertunangan atau ijab kabul pun akan terlihat permainan belaka, sebab tidak ada kematangan dari Abi dan Anisa dari segi fisik juga psikis.
“Cukup!” tangan ibunya bersiap menampar.
Tetap saja Anida tak menghiraukan. Ia menjelaskan bahwa beban orang cendekia balig cukup akal akan menindih jiwa-raga Abi dan Anisa. Teman-temannya pun akan mengejek sebab mereka telah menjadi suami-istri kecil. Kalau pun mereka mendukung, maka teman-temannya akan berniat menggandakan untuk menjadi pengantin kecil.
“Tunangan saja beban buat mereka!” kata Anida.
Anida pergi ke kamarnya. Hari Minggu berkobar api, tapi tak ada yang memadamkan. Anida menangis sembari meremas-remas bantal penuh kemarahan. Hatinya teriris, sakit, jawaban tamparan ibunya. Juga, Anida terbesit rasa cemburu di hatinya.
“Ini tidak adil! Apa maksudnya? Orang pintar agama seenaknya beralasan. Saat dikomentari dakwahnya, malah dianggap menentang!”
“Anida! keluar!” Ayahnya mendengar ucapan Anida, kemudian menyuruhnya keluar. Tapi Anida membisu saja.
Ketika siang menjelang, tak sepengetahuan orang tuanya, Anida keluar rumah sembari membawa barang-barangnya. Rencana Anida yang ingin berlibur selama seminggu--menikmati ahad hening dalam perkuliahan-- ia urungkan niatnya. Ia teringat dongeng dirinya yang dihentikan pacaran sama orang renta di ketika Anida dan kekasihnya saling mencintai. Betapa sakit hati yang dirasakan oleh Anida dan kekasihnya itu.
Orang renta panik.
Mana Anida? Ini sudah larut malam?” Pak Latif mencarinya tapi tidak ada.
Saya tak tahu! Saya sudah menghubungi Anida tapi gak diangkat. Saya sudah menghubungi ke semuanya.
“Keterlaluan! Mau beliau apa sih?!” Pak Latif murka besar.
Malam hari, hati mereka diselimuti kecemasan. Mereka tak mengetahui jikalau Anida telah pergi lagi ke Bandung.
Sedangkan dalam kamar lain, terlihat, Abi juga sedang dalam kecemasan. Apalagi membayang hari esok yang sangat dinantinya. Ia cemas memikirkan Anisa bila malam datang. Memang, Abi dan Anisa tidak diperbolehkan bekerjasama di waktu malam. Segala macam pikiran jelek selalu mengganggu malamnya kolam remaja atau orang cendekia balig cukup akal yang sedang jatuh cinta. Padahal Abi masih belum mengerti bahwa arti semua ini ialah menunjukan telah jatuh cinta. Pagi tiba.
“Ummi, sini Ummi! Ya Allaaah, Nak. Ummiii!”
“Ya Abah, ada apa?” Jangan bentak-bentak gitu! Saya mendengarnya.”
“Lihat e-mail. Baca!”
Segera Ibu Fatma membacanya, “Ada seorang perjaka yang kini menyukaiku, Ummi, Abah. Awalnya, saya tidak mau mendapatkan proposal untuk pacaran. Kalau pun saya membangkang perintah sekalipun, tetap tidak mau mendapatkan proposal dia. Lelaki itu berlainan agama. Ia beragama Kristen. Tapi, kini saya menerimanya. Aku ingin mencoba mencintainya. Malam Natal nanti saya akan ikut merayakan program Natal, sekedar menghormati nabiku, Isa A.S.
“Ya Allah, Anida kau sungguh menyakiti hati orang tua. Kenapa beliau jadi begini, Bah?”
Ibu Fatma belum tuntas membacanya. Lalu, Pak Latif menjelaskan perihal alasan anaknya berbuat menyerupai itu. Anida begitu sebab tidak diperlakukan adil oleh orang tuanya. Anida sangat kecewa mendengar rencana pertunangan Abi dan Anisa yang akan dilakukan nanti siang. Dahulu, waktu masih SMA, Anida tak dibolehkan untuk menikmati masa pacaran dengan lelaki yang dicintainya. Orang renta Anida memang terpandang sebagai orang yang dianggap tokoh agama sehingga pantangan untuk anaknya mengikat tali percintaan yang tak resmi. Tapi sekarang, Abi yang gres berumur lima tahun, malah akan diresmikan cintanya dengan pertunangan. Tak pantas anak sekecil itu mengikat tali pertunangan, kata Anida. Tapi, orang renta tak menanggapi. Sehingga Anida nekad melanggar perintah, dan malah lebih parah dari sebelumnya.
“Anida pacaran dengan lelaki beda agama, Abah! Bagaimana ini?”
Pak Latif diam. Ia pun galau apa yang harus dilakukannya.
“Apa kita batalkan program pertunangan itu?” Ibu Fatma berubah pikiran.
Pak Latif tetap diam.
Kriiiing. Kriiiing. Kriiiing.
Telepon berbunyi. Segera Ibu Fatma mengangkat teleponnya.
Assalamu’alaikum,” Ibu Fatma menyambut.
“Wa’alaikumusalam. Bu, tadi Anida telepon. Dia mengucapkan selamat atas program pertunangannya, Bu. Lho, bukannya nanti siang program tunangan? Terus, kenapa beliau pergi lagi ke Bandung? Dia ada kesibukan ya, Bu?” kata istri Pak Amid, Ibu Naila. Ia merasa heran perihal ucapan Anida.
Ibu Fatma hanya menitikkan air mata. Hatinya tersayat jawaban isu dari Anida. Ia tak sanggup berbicara apa-apa. Berkali-kali Ibu Naila memanggil- manggil, tetapi tidak ada tanggapan sama sekali darinya. Berkali-kali pula ia usapkan air mata.
“Bu Fatma memangis?”
“Maaf, Bu. Saya sangat senang hingga tak sanggup bicara. Anakku memang ada kesibukan. Maaf ya Bu, nanti siang kita bicarakan.”
Ibu Fatma terpaksa bicara bohong. Ia belum siap bicara yang sebenarnya.
***
Waktu telah memanggil dua keluarga untuk berkumpul. Perayaan tidak terlihat meriah. Hanya keluarga Pak Latif dengan satu anaknya dan keluarga Pak Amid yang memang hanya memiliki satu anak. Tak tampak hadirnya keluarga lain. Mereka intinya mengerti, jikalau program tunangan ini suatu hal yang tak etis. Hanya saja ketidaketisan itu dilihat dari beling mata adat. Acara pertunangan pun sekedar menjalani sumpah Ibu Fatma. Mereka mengetahui, cinta anak kecil tidaklah begitu serius. Hubungan akan berakhir seiring kedewasaan mereka.
Hari Senin yang merupakan hari kerja untuk kedua ayah, demi melihat anaknya tunangan, mereka meliburkan diri satu hari. Lagi pula, hari Senin merupakan hari ulang tahun Anisa yang ke empat. Tentunya, program tunangan lebih dipilih di hari Senin.
Mereka pun bernyanyi tembang selamat ulang tahun. Lalu, lilin pun ditiupkannya oleh Anisa sebagai menunjukan selesainya program ulang tahun. Potong camilan bagus dilakukan orang renta Anisa. Anisa pun memberikankan cuilan camilan bagus itu ke Abi. Ibunya Anisa bahagia, sedangkan ibunya Abi menitikkan air kesedihan. Dua pemandangan yang berbeda melihat tingkah dua balita yang dilanda cinta.
“Bu, silahkan program tunangan dipimpin keluarga Pak Latif.”
Ibu Fatma menangis tersedu-sedu. Berkali-kali ia usapkan air mata dengan tisu. Ia berusaha menahan tangis walau sebentar saja, sekedar untuk bicara. Pak Latif pun menyetujui.
“Ummi, kenapa menangis?”
“Ummi kau sebab senang melihatmu, Nak.”
“Begitu ya Tante?”
Lalu Pak Latif berbicara dengan maksud untuk mengikat kekerabatan antara Abi dengan Anisa dalam ikatan pertunangan. Pak Latif menjelaskan jikalau kekerabatan ini tidak harus ditanggapi dengan serius, mengingat yang bertunangan ialah dua balita yang belum mengerti perihal dunia percintaan. Hanya saja, pertunangan ini sekedar wujud rasa kasihan saja terhadap kedua balita yang sering sakit-sakitan jawaban tidak sanggup berjumpa. Dan juga, sekaligus untuk menjalani sumpah Ibu Fatma.
“Mari, Nak. Om mau ngasih cincin.”
“Baik, Om. Tapi, Abi yang masukkin cincinnya ya, Om?”
Lalu Abi memasukkan cincin di jari lentik Anisa. Begitu pula Anisa, ia memasukkan cincin untuk Abi di jari lentiknya. Akhirnya sambutan tepuk tangan serasa memeriahkan suasana.
Sambutan tangisan Ibu Fatma tak kalah dengan tepuk tangan itu. Lantas Ibu Fatma bergegas pergi sambil mengajak Ibu Naila. Mereka menuju ruangan dapur. Kedua anak mereka pun bertanya-tanya, lantas seketika sirna, terbawa hanyut pada rasa senang mereka.
Bu, maafin saya yang tadi pagi. Saya sempat berbohong sama Ibu Naila, hik,hik.”
Ada apa, Bu. Ada apa? Kenapa Ibu sangat sedih? Tolong katakan yang sejujurnya.”
Lalu, Ibu Fatma mencoba menjelaskan walau dengan penuh rintihan tangis, deraian air mata. Ibu Fatma menjelaskan konflik yang telah terjadi jawaban program pertunangan ini. Ia menjelaskan perihal anaknya--Anida-- yang tak oke perihal pertunangan ini. Anida merasa cemburu dan sakit hati jawaban program tunangan adiknya.
“....Dan kini beliau pacaran dengan lelaki yang berbeda agama!”
“Masa Allah. Yang tabah. Saya ikut prihatin atas persoalan ini. Lebih baik kita tidak usah mengistimewakan perihal pertunangan mereka.”
Maafin saya yang telah bersumpah tanpa sepengetahuan Ibu.
“Sudahlah. Bu, nanti bicaralah sama Anida, ya?”

Oleh :
ELBUYZ
Pemilik situs:
www.ebookbisnis.siteindo.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel