Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 6

 Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng  Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 6
Sebelumnya...
Selama membisu di puncak Gunung Gede itu bersama gurunya, walau bagaimanapun miring otak sang guru, namun gres hari itulah Wiro Saksana melihat dan mendengar Eyang Sinto Gendeng menyanyi. Kata-kata dalam nyanyian itu entah mengapa menciptakan Wiro jadi berdebar. Apakah maksud kata-kata nyanyian itu? Perasaan yang bagaimanakah yang tengah dicetuskan oleh gurunya alasannya yaitu Wiro melihat nenek-nenek itu menyanyi dengan penuh perasaan, dengan mata memandang jauh ke muka. Tujuh belas tahun menciptakan saya si bau tanah bangka tambah tua.
Kata-kata ini terang ditujukan ke diri gurunya sendiri. Tapi pada siapakah ditujukan kalimat yang berbunyi: Tujuh belas tahun menciptakan seorang orok menjadi cowok gagah, itu? Apakah ditujukan kepadanya? Berdebar hati Wiro Saksana. Kemudian kalimat- kalimat: Tujuh belas tahun ujung perpisahan.... serta.... Tujuh belas tahun ketika pembalasan....
Apakah arti semua itu?
Ketika Wiro Saksana memandang ke atas pada ketika itu pula Eyang Sinto Gendeng melihat ke bawah. Dan mata yang tajam dari Wiro Saksana, meskipun cuma sekilas, namun masih sanggup melihat pantulan air muka serta cahaya mata gurunya yang lain dari biasanya!
Air muka itu. Sinar mata itu menyembunyikan satu perasaan sedih! Perasaan apakah yang menyemaki hati sang guru sebenarnya?
Tiba-tiba Eyang Sinto Gendeng membentak keras hingga Wiro Saksana terkejut dan serasa terbang nyawanya.
”Tunggu apa lagi, geblek?! Orang sudah haus dianya tegak mematung! Kukencingi kepalamu gres tahu! Lemparkan gayung itu cepat!” Dan Wiro Saksana segera lemparkan gayung batok kelapa yang berisi air ke atas. Gayung itu melesat ke atas tanpa setetes airpun yang tumpah!
”Bagus Wiro.... elok sekali!” memuji Sinto Gendeng. Dan dengan tangan kirinya disambutnya gagang gayung. Sesaat kemudian tenggorokannya yang kurus dan kerinyutan itu kelihatan turun naik meneguk air dari dalam gayung. Air itu diteguknya hingga habis.
”Terima gayung ini kembali, Wiro!” Gayunng melesat ke bawah. Wiro Saksana ulurkan tangan untuk menyambut tapi pada detik itu pula di atas pohon gurunya kelihatan menggerakkan tangan kanannya. Angin deras mendorong kepala gayung, menciptakan gayung yang hendak disambuti Wiro Saksana itu mencelat ke samping dan menyerang dadanya!
”Gila betul!” hardik si pemuda. Cepat-cepat beliau palangkan lengannya di muka dada.
Gayung dan lengan beradu. Gayung pecah awut-awutan ke tanah, gagangnya patah dua! Pada ketika itulah Sinto Gendeng melayang turun ke bawah. Kedua kakinya menjejak tanah tanpa bunyi dan tanpa meninggalkan bekas sedikitpun padahal cabang pohon jambu klutuk dari mana beliau meloncat tadi hampir empat tombak tingginya. Dapat dibayangkan bagaimana luar biasanya ilmu meringankan tubuh wanita sakti ini! Kedua orang itu, guru dan murid bangun berhadap-hadapan. Wiro Saksana sanggup mencicipi betapa lainnya pandangan kedua mata Sinto Gendeng kepadanya, pandangan yang tidak dimengertinya. Nenek-nenek ini bergerak mundur beberapa langkah ke belakang.
Kedua kakinya kemudian merenggang sedang kedua tangan mengembang ke muka. Mulutnya berkemik. Detik demi detik sepasang kakinya amblas ke dalam tanah hingga tiga senti sedang seluruh tubuhnya bergetar hebat. Mukanya yang hitam dan berkerinyut itu berair oleh keringat.
Tiba-tiba kejut Wiro Saksana bukan olah-olah ketika dilihatnya bagaimana kedua tangan gurunya berwarna putih sekali sedang sepuluh kuku jari tangan wanita itu memerak serta memancarkan sinar yang menyilakuan!
”Eyang!” seru Wiro Saksana. ”Apakah kamu mau bikin saya mati konyol dengan pukulan sinar matahari itu?!” Sinto Gendeng tidak menjawab. Mulutnya semakin mengemik. Rahang-rahangnya semakin mengatup dan pandangan mata serta tampangnya sangat mengerikan! Merinding bulu kuduk Wiro Saksana. Baru kali ini dilihatnya gurunya sedahsyat itu.
Tanpa menunggu lebih lama, tanpa menunggu hingga kedua tangan yang mengepal dihantamkan ke muka, maka cowok ini cepat-cepat pentang kaki dan dekapkan lengan di muka dada. Matanya meram, mulutnya komat kamit. Sepasang kakinya amblas dua senti ke tanah. Tubuhnya tak bergerak barang serambutpun, laksana gunung karang yang keras membatu!
”Ciaaaaaaatttt”
Bentakan Sinto Gendeng melengking melanglang langit! Kedua tangannya dipukulkan ke muka. Dua rangkum sinar putih yang menyilaukan serta panasnya sanggup menghanguskan dan melelehkan benda apa saja menggempur ke arah sasaran di muka sana yaitu tubuh Wiro Saksana!
Pada detik yang sama Wiro Saksana membentak pula.
”Heeyyyaaaaa!”
Tangan yang tadi bersidekap dengan serentak memukul ke depan. Dan kedua tangan itu terus saja terpentang lurus ke muka. Inilah apa yang dinamakan ilmu pukulan ”benteng topan melanda samudra”! Ilmu pukulan ini bukan saja sanggup digunakan untuk menyerang tapi sesuai dengan namanya juga sanggup menjadi perisai tangguh atau benteng kekar yang melindungi Wiro dari serangan gurunya!
Bila angin-angin topan pukulan itu sama bertemu di udara maka terdengarlah bunyi berdentum yang menyenging liang telinga, debu dan pasir beterbangan, daun-daun pohon berguguran bahkan ranting-ranting kering patah-patah dan berjatuhan! Puncak Gunung Gede bergetar. Langit menyerupai mau terbelah oleh dentuman itu!
Ketika debu dan pasir surut ke tanah, ketika keadaan di sekitar situ menjadi terang kembali maka Wiro Saksana melihat bagaimana kedua kaki gurunya amblas ke dalam tanah sedalam sepuluh senti. Muka wanita itu penuh keringat dan matanya menyipit. Namun kalau ditelitinya pula keadaan dirinya maka didapatinya kedua kakinya karam ke dalam tanah hingga sebatas betis. Sedangkan tubuhnya yang memercikkan keringat hambar itu terasa masih bergetar gontai akhir laga tanding tenaga dalam yang luar biasa tadi!
”Bagus Wiro, elok sekali!” terdengar Eyang Sinto Gendeng. Meski memuji namun dari mukanya bukan mengatakan kegembiraan, sebaliknya muka yang berkerut-kerut itu masih memancarkan kengerian. ”Sekarang sambuti pukulan angin es ini, Wiro!”
Dan habis berkata begitu, Sinto Gendeng angkat tinggi-tinggi kedua tangannya dengan telapak membuka lebar menghadap ke arah muridnya. Matanya kembali terpejam. Wiro menunggu dengan tubuh tiada bergerak.
Udara mendadak menjadi sangat sejuk. Kemudian ketika Sinto Gendeng memutar- mutar kedua tangannya maka kesegaran itu mendadak sontak bermetamorfosis udara yang sangat hambar menyembilui tulang-tulang sungsum. Geraham-geraham Wiro Saksana bergemeletakan menahan rasa hambar yang amat sangat itu. Permukaan kulitnya membeku menyerupai ditutupi salju. Tanah yang dipijaknya laksana pedataran es. Satu menit saja hal itu berlangsung lebih usang pastilah tubuh cowok ini menjadi beku membatu. Inilah kehebatan ilmu kesaktian yang berjulukan ”angin es” itu!
Dengan tubuh bergetar menahan dingin, Wiro Saksana membentak dahsyat. Bersamaan dengan itu kedua tangannya diputar-putar ke udara angin laksana angin ribut menggebubu ke pelbagai arah. Puncak gunung itu menderu-deru. Daun-daun pohon yanag tadi kaku tegang oleh dinginnya udara sekarang kelihatan mulai bergerak, makin kencang – makin kencang. Udara hambar yang tadi menyayat sungsum sekarang tergetar buyar dilanda ilmu ”angin puyuh” yang dilepaskan oleh Wiro Saksana.
Semakin keras putaran tangan cowok itu, semakin membadai gebubu angin, semakin buyar udara dingin. Daun-daun pohon yang tadi hanya bergerak-gerak sekarang jatuh berhamburan bersama rantingnya. Kemudian satu demi satu pohon-pohon kecil bertumbangan. Pohon- pohon besar yang masih sanggup bertahan menjadi gundul daun dan rantingnya! Tubuh Eyang Sinto Gendeng kelihatan tergoyang hebat. Pakaian hitamnya berkibar-kibar.
”Gila betul! Gila betul!” teriak wanita sakti itu. Mulutnya mengeluarkan lengkingan dahsyat kemudian beliau melompat sejauh sembilan tombak dan dari situ mencabut sebuah tusuk kundai kemudian menyambitkannya ke arah Wiro. Sang murid cepat-cepat hentikan putaran tangannya dan melompat ke samping. Tusuk kundai membawa angin ajal itu melesat menghantam sebatang pohon. Pohon itu tumbang dengan batang pecah berkeping-keping!
Udara hambar lenyap. Angin yang memuyuh juga lenyap dan suasana kembali sepeti sedia kala. Ketika Wiro memandang ke muka dilihatnya gurunya bangun memegang sebentuk kapak yang ajaib sekali. Belum lagi beliau sempat meneliti lebih usang benda itu, Eyang Sinto Gendeng olok-olokan pertanyaan, ”Kau lihat senjata di tanganku ini, Wiro? Kau lihat....?!” Sang murid mengangguk dan matanya tetap lekat ke kapak ajaib di tangan gurunya.
”Kali ini kamu tak akan sanggup lagi berkelit dari seranganku, Wiro!” ”Eyang Sinto.... apakah kamu sudah gila hendak membunuh murid sendiri....?!”
Perempuan itu tertawa mengikik. ”Aku memang sudah gila Wiro! Kalau tidak percuma namaku Sinto Gendeng! Goblok kamu yang tidak tahu artinya Gendeng!” Wiro memandang dengan waspada. Matanya kembali meneliti kapak ajaib di tangan gurunya. Kapak itu bermata dua dan besarnya hampir sebesar kerikil bata. Gagangnya putih bersih, mungkin terbuat dari gading berdasarkan taksiran Wiro. Pada batang kapak yang besar hampir sebesar lengan itu kelihatan enam buah lobang-lobang kecil. Ujung terbawah dari gagang kapak ini merupakan kepala seekor naga yang mulutnya membuka.
”Wiro!”, kata Eyang Sinto. ”Aku akan pergunakan kapak ini tiga jurus berturut-turut untuk menyerangmu! Bila kamu sanggup melayaninya, kamu akan selamat. Kalau tidak maka bersiaplah untuk mati konyol!”
Wiro Saksana kertakkan geraham. Dia hendak menjauhi kata-kata gurunya itu. Namun sebelum mulutnya terbuka, Eyang Sinto Gendeng sudah berseru: ”Ini jurus pertama Wiro!”
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel