Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 7

 Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng  Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 7
Sebelumnya...
Si bau tanah Sinto Gendeng menerjang ke muka. Kapak besar di tangan kanannya membabat kian kemari dalam jurus ”orang gila mengebut lalat.” Ketika tadi Wiro Saksana memainkan jurus itu dengan mempergunakan sebilah keris, kehebatannya sudah luar biasa apalagi sekarang penciptanya sendiri yang melakukannya maka dahsyatnya bukan olah-olah! Kapak besar itu berkelebat kian kemari hampir tidak kelihatan alasannya yaitu cepatnya. Angin deras bersiuran mengibar-ngibarkan pakaian Wiro. Angin deras ini bukan sembarang angin alasannya yaitu bila menyambar kulit maka kulit itu perih bukan main, ibarat lecet! Dan dari lisan kepala naga pada ujung gagang kapak senantiasa keluar bunyi mendengung macam tawon!
Dalam sekejap saja Wiro Saksana segera terbungkus sambaran-sambaran kapak bermata dua itu. Mata dan kulit tubuhnya perih terkena angin tajam yang menderu-deru. Telinganya pengang oleh bunyi yang mengaung yang keluar dari lisan kepala naga- nagaan pada gagang kapak.
”Ciaaaaatt!”
Wiro membentak dahsyat. Tubuhnya berkelebat dan lenyap detik itu juga. Tangan dan kakinya sambar menyambar kian kemari, menciptakan gerakan menghindar dan menyerang bagian-bagian yang lowong dari gurunya. Tapi mana ia sangup mengahadapi senjata aneh yang dahsyat itu. Apalagi senjata tersebut berada dalam tangan Sinto Gendeng dan mempergunakan jurus ”orang gila mengebut lalat” yang sudah mencapai tingkat kesempurnaannya. Dalam sekejap saja perjaka itu terdesak hebat. Lengah atau ayal sedikit saja pastilah pinggang atau perut atau dada atau tenggorokannya akan kena disambar mata kapak.
Hanya dengan mengandalkan ilmu meringankan badan yang sangat tinggi yang dimilikinyalah maka Wiro Saksana sanggup menghindari sambaran-sambaran dan bacokan- tusukan kapak bermata dua itu. Berkali-kali Wiro melepaskan pukulan-pukulan tenaga dalam yang dahsyat. Namun angin pukulannya terbendung bahkan dihantam buyar oleh angin tajam yang menderu yang keluar dari senjata di tangan gurunya.
”Senjata edan!” maki Wiro Saksana. Tiba-tiba dijatuhkannya tubuhnya ke bawah. Serentak dengan itu tangan kanannya dengan jari-jari ditekuk kedalam meluncur ke arah sambungan siku Eyang Sinto Gendeng.
Tapi pada detik itu pula kaki kanan sang guru menyapu dari atas ke bawah, mencari sasaran di kepala Wiro Saksana. Mau tak mau ini perjaka terpaksa jatuhkan dan gulingkan diri di tanah. Dengan demikian maka berakhirlah jurus pertama yang penuh kehebatan itu.
Sinto Gendeng bangun dengan dada turun naik.
”Kini jurus kedua, Wiro!” katanya. Kedua kakinya dipentang lebar-lebar. Tubuhnya membungkuk ke muka sedikit sedang kapak di asisten dipegangnya lurus-lurus ke muka ke arah Wiro Saksana. Dari balik pakaian hitamnya Eyang Sinto Gendeng mengeluarkan benda hitam yang berkilauan ditimpa sinar matahari. Wiro tak sanggup memastikan benda apa yang ada dalam tangan kiri gurunya itu. Mungkin sebentuk besi, mungkin juga sebuah batu.
Tiba-tiba tangan kiri Sinto Gendeng memukulkan benda di tangan kirinya ke kepala kapak. Bunga api memijar. Dan sedetik lalu pengecap api yang dahsyat menyambar ke arah Wiro Saksana!
Terkejutnya perjaka itu bukan alang kepalang. Dia membentak dan lompat ke udara. Lidah api lewat di bawahnya, kedua kakinya terasa perih panas dan bila ia melirik ke belakang maka dilihatnya bagaimana semak belukar serta pepohonan terbakar berkobar oleh sambaran pengecap api tadi!.
Masih belum turun ke tanah lagi, maka Sinto Gendeng telah menyerang perjaka itu untuk kedua kalinya. Lidah api menyambar lagi. Wiro bergulingan di tanah, menghindarkan dengan sebat. Tanah yang tersambar pengecap api kapak sakti itu menjadi hitam hangus. Wiro leletkan lidahnya. Masih belum sempat ia mengatur nafas, tangan kiri dan asisten Sinto Gendeng bergerak lagi berkali-kali. Lidah-lidah api yang hampir setengah lusin banyaknya menyambar tubuhnya dari enam jurusan!
Wiro memekik dahsyat. Meraung dan membentak. Kedua tangannya diangkat tinggi- tinggi ke atas. Tubuhnya melompat kian kemari, mulutnya komat-kamit. Aji angin es yang ditebarkannya hanya sanggup menahan gelombang pengecap api yang menyambar tapi sama sekali tidak sanggup melenyapkan hawa panas lidah-lidah api itu!
Wiro Saksana kelagapan tapi masih belum hilang akal! Bentakan setinggi langit melengking ke udara. Tubuh Wiro Saksana lenyap keluar dari sambaran-sambaran lidah- pengecap api untuk sesaat lalu berguling di tanah dengan sangat cepatnya, menuju ke kawasan Eyang Sinto Gendeng berdiri.
Sambil bergulingan ini, Wiro lepaskan dua pukulan tangan kosong yang hebat. Satu ”kunyuk melempar buah” yang satu lagi ”sinar matahari”! Mau tak mau Sinto Gendeng hindarkan diri juga ke samping. Maka putuslah jurus kedua itu! Wiro Saksana itu bangun dengan badan berkeringat dingin. Dibelakangnya kobaran api masih juga membakari semak belukar dan daun-daun pepohonan. Gurunya dilihatnya bangun tegak tak bergerak. Benda yang di tangan kirinya tadi ternyata yaitu sebuah kerikil api dan sekarang sudah disimpannya kembali di balik pakaian hitamnya.
”Jurus terakhir Wiro....!” kata Eyang Sinto Gendeng. Pemuda itu tahu, jika dua jurus pertama tadi hebatnya bukan olah-olah maka jurus ketiga atau yang terakhir ini tentu lebih dahsyat lagi. Karenanya ia benar-benar lebih waspada dan teliti kini. Sepasang matanya yang hitam pekat itu menyorot tajam-tajam ke depan.
Sinto Gendeng memegang kapak itu dengan tebalik. Mulut naga-nagaan yang terbuka di dekatkannya ke mulutnya sedang jari-jari tangannya menutup enam lobang di batang kapak. Ketika Wiro Saksana tidak mengerti apa yang bakal diperbuat gurunya maka terdengarlah bunyi tiupan seruling! Ternyata kapak itulah yang mengeluarkan bunyi seruling tersebut dan ditiup oleh Sinto Gendeng!
Gema seruling itu mula-mula perlahan, halus dan lembut, memukau Wiro Saksana. Kemudian tiupan seruling mengeras dan pembuluh-pembuluh darah di badan Wiro ibarat ditusuk-tusuk. Darahnya mengalir tidak karuan, menyendat-nyendat. Matanya mengabur, kepalanya berat dan pusing!
Maklum bahwa tiupan seruling itu bukan tiupan biasa, cepat-cepat Wiro menghempos tenaga dalam. Mengatur jalan nafas dan darahnya! Tapi kasip! Suara seruling semakin kencang. Melengking dan menusuk-nusuk gendang-gendang telinga! Wiro kerahkan lagi tenaga dalamnya. Mulutnya komat-kamit, kedua tangannuya menghantam ke arah Sinto Gendeng, tapi sang guru sekarang tidak di tempat, melainkan berlari-lari sebat mengelilingi perjaka itu. Wiro membentak, tapi suaranya tidak keluar. Dari melompat tapi tubuhnya terhuyung. Seluruh kekuatan luar dan dalamnya punah oleh tiupan seruling!
Pinggangnya tertekuk kemuka. Mendadak kurang jelas ingatan jernih melintas di otaknya. Cepat-cepat perjaka ini mentutup indera pendengarannya. Sukar sekali mula- mula, alasannya yaitu dikala itu kedua liang telinganya sudah mengeluarkan darah!
Tapi dengan kerahkan segala sisa tenaga yang ada perjaka ini sanggup juga menutup pendengarannya. Begitu bunyi seruling lenyap dari telinganya maka perlahan-lahan tenaga luar dan dalamnya yang tadi punah sekarang tiba kembali. Tapi rasa yang menusuk-nusuk pembuluh-pembuluh darahnya masih belum lenyap. Karenanya, diaturnya jalan nafas dan darahnya. Pengaruh tiupan seruling sakti itu berhasil dilawannya sedikit demi sedikit.
Dan ketika dirasakannya sudah punya kekuatan untuk balas menyerang perjaka ini akal-akalan jatuhkan diri ke tanah, akal-akalan pingsan. Namun begitu tangan kanannya menyentuh tanah, segera diraupnya pasir tanah itu dan dilemparkannya ke arah Sinto Gendeng! Ratusan pasir yang sudah diisi dengan aji ”angin puyuh” itu menderu ke arah lisan naga-nagaan dan lobang-lobang di gagang kapak, ratusan butir lagi menyerang ke muka Sinto Gendeng. Perempuan bau tanah renta itu melepaskan mulutnya dari lisan kepala naga dan cepat- cepat menghembuskan ke muka. Pasir-pasir yang menghambur menyerangnya rontok kembali ke tanah!
Bersamaan dengan itu Sinto Gendeng memasukkan kapak saktinya ke balik pakaiannya. Berarti jurus ketiga yang mendebarkan itu berakhir sudah. Wiro bangun tersengal-sengal bersandar. Matanya tetap menyorot lekat-lekat dan memperhatikan gerak-gerik gurunya. Meski tadi Eyang Sinto Gendeng menyampaikan hanya akan menyerangnya sebanyak tiga jurus, tapi bukan tidak mungkin nenek-nenek itu akan menyerangnya kembali!
Tapi dilihatnya Eyang Sinto Gendeng cuma memandang saja kepadnya. Wiro garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Sekian belas tahun lamanya ia menuntut ilmu kesaktian dan ilmu silat gres hari ini diketahuinya bahwa Eyang Sinto Gendeng mempunyai sebuah senjata berbentuk kapak yang demikian anehnya, tapi juga demikian hebatnya! Selama sekian tahun gres hari itu pula gurunya menggempur ia dengan serangan-serangan yang benar-benar mematikan.
Serangan-serangan yang dilancarkan tidak dengan tertawa-tawa sebagaimana biasanya! Dihubungkannya pula dengan nyanyian yang dibawakan gurunya tadi! Benar-benar banyak kecacatan yang dilihat Wiro Saksana hari ini.
Tiba-tiba dilihatnya nenek-nenek sakti itu berkelebat. Wiro segera siapkan diri. Terdengar bunyi tertawa yang meringkik-ringkik macam kuda.
”Gila betul!” maki Wiro. Dia cepat-cepat lompat ke samping alasannya yaitu Eyang Sinto Gendeng berkelebat ke arahnya!
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel