Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 8
Jumat, 19 September 2014
Sebelumnya...
Tetapi Eyang Sinto bukan menyerangnya. Nenek-nenek sakti ini ternyata hanya melompat ke atas pohon jambu klutuk dan duduk di cabang kawasan beliau duduk sebelumnya.
”Bagus Wiro.... anggun sekali,” katanya. Mukanya dihadapkan lurus-lurus ke arah timur.
”Sekian usang kamu kudidik di puncak Gunung Gede ini, ternyata tidak mengecewakan....!” Sinto Gendeng tertawa melengking-lengking. Dan setelah tertawa tadi maka diulanginya nyanyian tadi. Nyanyian yang membuat hati Wiro Saksana menjadi tergetar.
Pitulas taun wus katilar,
Pucuking Gunung Gede isih panggah kaya biyen mulo,
Langit isih tetep biru,
Wulan lan suryo isih tetep mandeng lan kangen,
Pitulas taun agawe kang bau tanah tambah tua.
Pitulas taun ndadekake bayi kakak dadi cowok kang gagah,
Pitulas taun wektu perjanjian,
Pitulas taun wiwitane perpisahan,
Pitulas taun wekdaling pamales.
Wiro duduk menghamparkan diri di bawah sebatang pohon di seberang pohon jambu klutuk. Dilihatnya gurunya menghela nafas dalam beberapa kali.
”Dadamu sesak Eyang? Aku sanggup tolong urut....”
”Diam!” hardik Sinto Gendeng. Wiro menggaruk kepalanya dan diam.
”Aku mau bicara sama kau!” kata Sinto Gendeng pula.
”Bicara apa Eyang....?” Pemuda ini mulai bicara sungguh-sungguh sebab dilihatnya gurunya juga bicara sungguh-sungguh.
”Berapa usang kamu tinggal di sini bersamaku, Wiro?!”
”Murid tidak ingat....”
”Gelo betul! Buat apa saya bimbing tulis baca dan berhitung sama kau?!”
”Mungkin sepuluh tahun, Eyang....”
”Goblok! Tujuh belas tahun, tahu?!”
Wiro tertawa, ”Iyyaa.... tujuh belas tahun Eyang,” katanya pula.
”Kuharap hari ini kamu jangan bicara sinting sama aku, Wiro!” hardik Sinto Gendeng dan matanya masih terus menatap ke timur.
”Kau lihat matahari itu?”
”Lihat Eyang....” jawab Wiro seraya memandang ke timur.
”Matahari itu masih tetap matahari yang dulu juga, masih sama dengan matahari tujuh belas tahun yang silam. Puncak Gunung Gede ini juga masih menyerupai dulu juga. Cuma yang bau tanah tambah tua, yang orok jadi pemuda! Cuma dunia luar yang banyak berobahnya!”
Wiro Saksana mendengarkan dengan sungguh-sungguh sebab tak pernah dilihatnya gurunya bicara menyerupai itu sebelumnya.
Kemudian terdengar kembali bunyi sang nenek. ”Tujuhbelas tahun. Sekian usang kamu tinggal bersamaku. Belajar tulis baca, berguru ilmu silat, berguru segala kesaktian. Tapi kamu
jangan lupa! Kudu inget! Ilmu dan segala kesaktian apa yang telah saya berikan sama kamu semuanya yaitu masih sangat terlalu kecil, terlalu sedikit, sama sekali tidak ada artinya jikalau dibandingkan dengan ilmu kekuasaan Gusti Allah. Kau mengerti, Wiro?”
”Ya, Eyang....”
”Karena itu kamu musti sadar, kudu ingat. Kalau ini hari kamu sudah menjadi sakti mandraguna yang tak sembarang orang sanggup menandingi kau, tapi hal utama yang musti kamu lakukan ialah menjauhkan diri dari segala sifat yang tidak baik! Kau jangan sekali-kali bersifat sombong, congkak dan tekebur! Pakai semua ilmu yang kuberikan untuk menolong sesama manusia, untuk kebaikan. Kalau kamu nyeleweng, kamu akan sanggup tanggapan sendiri di kemudian hari! Kau musti ingat bahwa bukan kamu saja yang sakti di dunia ini. Kau musti sadar bahwa diluar langit ada langit lagi. Kau sadar, Wiro?”
”Sadar, Eyang....”
”Ingat?”
”Ingat,Eyang....”
”Ingat.... ya ingat! Manusia ingat dengan pikirannya, sama otaknya! Tapi saya tak mau kalau kamu cuma sekedar mengingat saja sebab setiap ada ingat musti ada lupa. Dan insan manapun selagi berjulukan manusia, suatu ketika tetap akan membawa sifat lupa itu. Lupa dan kelupaan. Yang penting ialah kamu musti menanamkan sedalam-dalamnya ke dalam hatimu, ke dalam sanubarimu, ke dalam fatwa kamu punya darah, ke dalam detakan jantung, ke dalam hembusan nafas! Sesuatu itu, jikalau ditanamkan dalam-dalam laksana sebatang pohon jadinya, tak satu tanganpun yang sanggup mencabutnya dari bumi sebab dari hari ke hari akar yang membuat pohon itu tegak semakin kokoh dan jauh masuk ke dalam tanah!”
Kesunyian menyeling beberapa lamanya.
Kesunyian ini dipecahkan oleh bunyi Eyang Sinto Gendeng kembali.
”Hari ini yaitu hari yang penghabisan kamu berada di sini, Wiro!”
”Eyang....,” terkejut Wiro Saksana mendengar kata-kata gurunya yang tiada disangkanya itu.
”Kau terkejut....? Tak perlu terkejut. Di dunia ini selalu ada waktu bertemu selalu ada waktu perpisahan. Waktu tiba dan waktu pergi! Aku telah akibat dengan kewajibanku menawarkan segala macam ilmu kepada kamu dan kamu sudah akibat dengan kewajiban kamu yaitu menuntut dan mempelajari ilmu itu dari-ku....”
Dalam duduknya itu Wiro Saksana jadi tertegun. Makara rupa-rupanya apa yang dinyanyikan oleh Eyang Sinto Gendeng tadi ada hubungannya dengan peri kehidupannya. Cuma yang belum dimengerti Wiro ialah barisan kalimat, Tujuh belas tahun masa perjanjian.... tujuh belas tahun ketika pembalasan.... Eyang Sinto Gendeng tiba-tiba melayang turun ke tanah kembali. Dia bangkit di hadapan muridnya. Dan mulai lagi bicara.
”Segala apa yang ada di dunia ini selalu terdiri atas dua bagian, Wiro! Dua cuilan yang berlainan satu sama lain tapi yang menjadi pasangan-pasangannya....” Wiro Saksana kerenyitkan kening tak mengerti. ”Misalnya Eyang?” tanyanya.
”Misalnya...., ada pria ada perempuan. Bukankah itu dua cuilan yang berlainan? Tapi merupakan pasangan?!”
”Betul Eyang....”
”Misal lain.... ada langit.... ada bumi. Ada lautan ada daratan. Ada api ada air.... ada panas ada dingin. Ada hidup ada mati, ada miskin ada kaya. Ada buta ada melek. Ada lurus ada bengkok, ada panjang ada pendek, ada tinggi ada rendah, ada dalam ada cetek!
Semuanya selalu begitu Wiro, Kemudian.... ada susah ada senang, ada tertawa ada menangis. Di atas semua itu ada satu yang tertinggi. Yang satu ini ialah penciptanya. Siapa yang ciptakan kau, Wiro....?”
”Tidak tahu Eyang....”
”Bogrol!”
”Aku tahu Eyang....”
”Siapa?”
”Ibu sama bapakku.”
”Siapa yang mencipatakan ibu sama bapak kau?”
”Nenek sama kakek....”
”Yang membuat nenek sama kakek....?”
”Nenek dari nenek dan kakek dari kakek....”
”Dan yang membuat nenek dari nenek serta kakek dari kakek....?”
”Ya nenek dari nenek dari nenek dan kakek....”
”Geblek!” hardik Sinto Gendeng. ”Manusia tidak pernah sanggup membuat manusia! Bapak kamu kawin sama ibu kamu dan ibu kamu cuma melahirkan kau, lain tidak!! Ibu kamu dilahirkan sama nenek, kamu begitu seterusnya goblok! Semua insan ini, semua apa saja di dunia ini diciptakan oleh Yang Satu. Oleh Gusti Allah! Hal-hal yang dua itupun juga diciptakan dengan kodrat iradatnya Gusti Allah. Gusti Allah ciptakan pria juga Dia ciptakan perempuan. Gusti Allah bikin langit, juga bikin bumi. Bikin orang-orang susah juga bikin orang-orang senang. Bikin manusia-manusia kaya juga bikin manusia-manusia miskin.
Sekarang saya mau tanya sama kau. Berapa kamu punya mata?”
”Dua, Eyang.”
”Hidung?”
”Satu Eyang.”
”Lobang hidung?”
”Dua Eyang....”
”Mulut?”
”Satu....”
”Bibir?”
”Dua Eyang.”
”Kepala?”
”Satu....”
”Tangan?”
”Dua....”
”Kaki....?”
”Juga dua Eyang....”
”Kau punya biji kemaluan....?”
”Dua Eyang,” dan dalam hatinya Wiro memaki tapi geli.
”Kau punya batang kemaluan?”
”Satu Eyang....” Wiro geli lagi dan memaki lagi.
”Nah.... itu semua menunjukan di dunia ini kehidupan insan yaitu tak ubahnya menyerupai bilangan dua dan satu, satu dan dua, dua satu dua dan seterusnya. Angka dua dan satu itu selalu ada menempel dalam diri manusia. Dan semuanya itu hanya diciptakan oleh Yang Maha Kuasa yakni Gusti Allah! Kehidupan dua dan satu ini, kehidupan dua satu dua ini, dan adanya dua satu dua ini tak sanggup diingkari dan harus menempel dalam diri manusia! Manusia niscaya akan mencicipi bahagia susah, besar hati sedih, kaya miskin, lapar kenyang, hidup mati, dan insan juga musti percaya pada yang satu yakni Gusti Allah....”
”Tapi insan yang picak, Eyang, matanya cuma satu, insan yang buntung kakinya sebelah, berarti cuma punya satu kaki. Makara beliau tidak mempunyai angka dua yang tepat dalam dirinya....”
”Betul, meski begitu berarti beliau cuma punya satu mata, punya satu kaki! Nah, bukankah ada juga menempel angka satu pada dirinya?! Aku sudah bilang sama kamu bahwa dalam diri insan musti ada angka dua dan satu itu! Apa kamu masih kurang ngerti, goblok?!”
Wiro diam, kata-kata gurunya itu memang betul.
”Sekarang berdirilah kau!,” perintah Eyang Sinto Gendeng. Wiro Saksana berdiri.
Eyang Sinto Gendeng menyeringai dan tertawa cekikikan. Tiba-tiba dari balik pakaian hitamnya dikeluarkannya kembali kapak saktinya. Terkejut Wiro Saksana dan cowok ini mundur beberapa langkah ke belakang. Sinto Gendeng menyeringai lagi, tertawa lagi sampai kedua matanya berair.
Bersambung...
Tetapi Eyang Sinto bukan menyerangnya. Nenek-nenek sakti ini ternyata hanya melompat ke atas pohon jambu klutuk dan duduk di cabang kawasan beliau duduk sebelumnya.
”Bagus Wiro.... anggun sekali,” katanya. Mukanya dihadapkan lurus-lurus ke arah timur.
”Sekian usang kamu kudidik di puncak Gunung Gede ini, ternyata tidak mengecewakan....!” Sinto Gendeng tertawa melengking-lengking. Dan setelah tertawa tadi maka diulanginya nyanyian tadi. Nyanyian yang membuat hati Wiro Saksana menjadi tergetar.
Pitulas taun wus katilar,
Pucuking Gunung Gede isih panggah kaya biyen mulo,
Langit isih tetep biru,
Wulan lan suryo isih tetep mandeng lan kangen,
Pitulas taun agawe kang bau tanah tambah tua.
Pitulas taun ndadekake bayi kakak dadi cowok kang gagah,
Pitulas taun wektu perjanjian,
Pitulas taun wiwitane perpisahan,
Pitulas taun wekdaling pamales.
Wiro duduk menghamparkan diri di bawah sebatang pohon di seberang pohon jambu klutuk. Dilihatnya gurunya menghela nafas dalam beberapa kali.
”Dadamu sesak Eyang? Aku sanggup tolong urut....”
”Diam!” hardik Sinto Gendeng. Wiro menggaruk kepalanya dan diam.
”Aku mau bicara sama kau!” kata Sinto Gendeng pula.
”Bicara apa Eyang....?” Pemuda ini mulai bicara sungguh-sungguh sebab dilihatnya gurunya juga bicara sungguh-sungguh.
”Berapa usang kamu tinggal di sini bersamaku, Wiro?!”
”Murid tidak ingat....”
”Gelo betul! Buat apa saya bimbing tulis baca dan berhitung sama kau?!”
”Mungkin sepuluh tahun, Eyang....”
”Goblok! Tujuh belas tahun, tahu?!”
Wiro tertawa, ”Iyyaa.... tujuh belas tahun Eyang,” katanya pula.
”Kuharap hari ini kamu jangan bicara sinting sama aku, Wiro!” hardik Sinto Gendeng dan matanya masih terus menatap ke timur.
”Kau lihat matahari itu?”
”Lihat Eyang....” jawab Wiro seraya memandang ke timur.
”Matahari itu masih tetap matahari yang dulu juga, masih sama dengan matahari tujuh belas tahun yang silam. Puncak Gunung Gede ini juga masih menyerupai dulu juga. Cuma yang bau tanah tambah tua, yang orok jadi pemuda! Cuma dunia luar yang banyak berobahnya!”
Wiro Saksana mendengarkan dengan sungguh-sungguh sebab tak pernah dilihatnya gurunya bicara menyerupai itu sebelumnya.
Kemudian terdengar kembali bunyi sang nenek. ”Tujuhbelas tahun. Sekian usang kamu tinggal bersamaku. Belajar tulis baca, berguru ilmu silat, berguru segala kesaktian. Tapi kamu
jangan lupa! Kudu inget! Ilmu dan segala kesaktian apa yang telah saya berikan sama kamu semuanya yaitu masih sangat terlalu kecil, terlalu sedikit, sama sekali tidak ada artinya jikalau dibandingkan dengan ilmu kekuasaan Gusti Allah. Kau mengerti, Wiro?”
”Ya, Eyang....”
”Karena itu kamu musti sadar, kudu ingat. Kalau ini hari kamu sudah menjadi sakti mandraguna yang tak sembarang orang sanggup menandingi kau, tapi hal utama yang musti kamu lakukan ialah menjauhkan diri dari segala sifat yang tidak baik! Kau jangan sekali-kali bersifat sombong, congkak dan tekebur! Pakai semua ilmu yang kuberikan untuk menolong sesama manusia, untuk kebaikan. Kalau kamu nyeleweng, kamu akan sanggup tanggapan sendiri di kemudian hari! Kau musti ingat bahwa bukan kamu saja yang sakti di dunia ini. Kau musti sadar bahwa diluar langit ada langit lagi. Kau sadar, Wiro?”
”Sadar, Eyang....”
”Ingat?”
”Ingat,Eyang....”
”Ingat.... ya ingat! Manusia ingat dengan pikirannya, sama otaknya! Tapi saya tak mau kalau kamu cuma sekedar mengingat saja sebab setiap ada ingat musti ada lupa. Dan insan manapun selagi berjulukan manusia, suatu ketika tetap akan membawa sifat lupa itu. Lupa dan kelupaan. Yang penting ialah kamu musti menanamkan sedalam-dalamnya ke dalam hatimu, ke dalam sanubarimu, ke dalam fatwa kamu punya darah, ke dalam detakan jantung, ke dalam hembusan nafas! Sesuatu itu, jikalau ditanamkan dalam-dalam laksana sebatang pohon jadinya, tak satu tanganpun yang sanggup mencabutnya dari bumi sebab dari hari ke hari akar yang membuat pohon itu tegak semakin kokoh dan jauh masuk ke dalam tanah!”
Kesunyian menyeling beberapa lamanya.
Kesunyian ini dipecahkan oleh bunyi Eyang Sinto Gendeng kembali.
”Hari ini yaitu hari yang penghabisan kamu berada di sini, Wiro!”
”Eyang....,” terkejut Wiro Saksana mendengar kata-kata gurunya yang tiada disangkanya itu.
”Kau terkejut....? Tak perlu terkejut. Di dunia ini selalu ada waktu bertemu selalu ada waktu perpisahan. Waktu tiba dan waktu pergi! Aku telah akibat dengan kewajibanku menawarkan segala macam ilmu kepada kamu dan kamu sudah akibat dengan kewajiban kamu yaitu menuntut dan mempelajari ilmu itu dari-ku....”
Dalam duduknya itu Wiro Saksana jadi tertegun. Makara rupa-rupanya apa yang dinyanyikan oleh Eyang Sinto Gendeng tadi ada hubungannya dengan peri kehidupannya. Cuma yang belum dimengerti Wiro ialah barisan kalimat, Tujuh belas tahun masa perjanjian.... tujuh belas tahun ketika pembalasan.... Eyang Sinto Gendeng tiba-tiba melayang turun ke tanah kembali. Dia bangkit di hadapan muridnya. Dan mulai lagi bicara.
”Segala apa yang ada di dunia ini selalu terdiri atas dua bagian, Wiro! Dua cuilan yang berlainan satu sama lain tapi yang menjadi pasangan-pasangannya....” Wiro Saksana kerenyitkan kening tak mengerti. ”Misalnya Eyang?” tanyanya.
”Misalnya...., ada pria ada perempuan. Bukankah itu dua cuilan yang berlainan? Tapi merupakan pasangan?!”
”Betul Eyang....”
”Misal lain.... ada langit.... ada bumi. Ada lautan ada daratan. Ada api ada air.... ada panas ada dingin. Ada hidup ada mati, ada miskin ada kaya. Ada buta ada melek. Ada lurus ada bengkok, ada panjang ada pendek, ada tinggi ada rendah, ada dalam ada cetek!
Semuanya selalu begitu Wiro, Kemudian.... ada susah ada senang, ada tertawa ada menangis. Di atas semua itu ada satu yang tertinggi. Yang satu ini ialah penciptanya. Siapa yang ciptakan kau, Wiro....?”
”Tidak tahu Eyang....”
”Bogrol!”
”Aku tahu Eyang....”
”Siapa?”
”Ibu sama bapakku.”
”Siapa yang mencipatakan ibu sama bapak kau?”
”Nenek sama kakek....”
”Yang membuat nenek sama kakek....?”
”Nenek dari nenek dan kakek dari kakek....”
”Dan yang membuat nenek dari nenek serta kakek dari kakek....?”
”Ya nenek dari nenek dari nenek dan kakek....”
”Geblek!” hardik Sinto Gendeng. ”Manusia tidak pernah sanggup membuat manusia! Bapak kamu kawin sama ibu kamu dan ibu kamu cuma melahirkan kau, lain tidak!! Ibu kamu dilahirkan sama nenek, kamu begitu seterusnya goblok! Semua insan ini, semua apa saja di dunia ini diciptakan oleh Yang Satu. Oleh Gusti Allah! Hal-hal yang dua itupun juga diciptakan dengan kodrat iradatnya Gusti Allah. Gusti Allah ciptakan pria juga Dia ciptakan perempuan. Gusti Allah bikin langit, juga bikin bumi. Bikin orang-orang susah juga bikin orang-orang senang. Bikin manusia-manusia kaya juga bikin manusia-manusia miskin.
Sekarang saya mau tanya sama kau. Berapa kamu punya mata?”
”Dua, Eyang.”
”Hidung?”
”Satu Eyang.”
”Lobang hidung?”
”Dua Eyang....”
”Mulut?”
”Satu....”
”Bibir?”
”Dua Eyang.”
”Kepala?”
”Satu....”
”Tangan?”
”Dua....”
”Kaki....?”
”Juga dua Eyang....”
”Kau punya biji kemaluan....?”
”Dua Eyang,” dan dalam hatinya Wiro memaki tapi geli.
”Kau punya batang kemaluan?”
”Satu Eyang....” Wiro geli lagi dan memaki lagi.
”Nah.... itu semua menunjukan di dunia ini kehidupan insan yaitu tak ubahnya menyerupai bilangan dua dan satu, satu dan dua, dua satu dua dan seterusnya. Angka dua dan satu itu selalu ada menempel dalam diri manusia. Dan semuanya itu hanya diciptakan oleh Yang Maha Kuasa yakni Gusti Allah! Kehidupan dua dan satu ini, kehidupan dua satu dua ini, dan adanya dua satu dua ini tak sanggup diingkari dan harus menempel dalam diri manusia! Manusia niscaya akan mencicipi bahagia susah, besar hati sedih, kaya miskin, lapar kenyang, hidup mati, dan insan juga musti percaya pada yang satu yakni Gusti Allah....”
”Tapi insan yang picak, Eyang, matanya cuma satu, insan yang buntung kakinya sebelah, berarti cuma punya satu kaki. Makara beliau tidak mempunyai angka dua yang tepat dalam dirinya....”
”Betul, meski begitu berarti beliau cuma punya satu mata, punya satu kaki! Nah, bukankah ada juga menempel angka satu pada dirinya?! Aku sudah bilang sama kamu bahwa dalam diri insan musti ada angka dua dan satu itu! Apa kamu masih kurang ngerti, goblok?!”
Wiro diam, kata-kata gurunya itu memang betul.
”Sekarang berdirilah kau!,” perintah Eyang Sinto Gendeng. Wiro Saksana berdiri.
Eyang Sinto Gendeng menyeringai dan tertawa cekikikan. Tiba-tiba dari balik pakaian hitamnya dikeluarkannya kembali kapak saktinya. Terkejut Wiro Saksana dan cowok ini mundur beberapa langkah ke belakang. Sinto Gendeng menyeringai lagi, tertawa lagi sampai kedua matanya berair.
Bersambung...