Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 1
Senin, 08 September 2014
“Ini!” kata pria berkumis melintang itu dengan bunyi kasar.
”Berikan sama dia! Aku harus terima tanggapan hari ini juga, Kalingundil!! Kau dengar!?” Orang yang berjulukan Kalingundil mengangguk.
Diambil surat yang disodorkan. ”Kalau beliau banyak bacot.....,” kata pria berkumis melintang itu pula,
”bikin beres saja. Berangkat sekarang, kalau perlu bawa Saksoko!” Kalingundil berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dan bila Kalingundil gres saja lenyap di balik pintu maka menggerendenglah Suranyali, pria yang berkumis tebal itu.
”Betul-betul wanita laknat! Perempuan haram jadah!” Dibulatkannya tinju kanannya dan dipukulkannya meja kayu jati di hadapannya.
”Brakk!!” Papan meja pecah.
Keempat kaki meja amblas hingga tiga senti ke dalam lanci ubin dan ubin sendiri retak-retak!
Kemudian beliau berdiri. Tubuhnya menggeletar oleh amarah yang hampir tak sanggup dikendalikannya lagi. Dan mulutnya terbuka kembali. Dia memaki-maki seorang diri.
”Perempuan keblinger! Ditinggal satu tahun tahu-tahu kawin! Bunting malah dan punya anak malah! Keparat!” Suranyali berdiri dengan nafas menghempas-hempas di muka jendela kemudian beliau melangkah ke meja lain yang juga terdapat di ruangan itu. Dari dalam sebuah kendi diteguknya air putih dingin. Tapi gres dua teguk air melewati tenggorokannya, isi kendi itu sudah habis. ”Keparat!” maki Suranyali lagi.
Dibantingkannya kendi itu ke tanah hingga pecah berantakan. Seorang wanita paruh baya memunculkan kepalanya di pintu sebelah sana namun melihat Suranyali yang lagi beringasan ia cepat-cepat membisu menghilang kembali.
Akhirnya, Suranyali letih sendiri memaki-maki dan marah-marah ibarat itu. Dibantingkannya badannya ke sebuah kursi. Dan kini terasa olehnya betapa letih badannya.
”Ludjeng!” teriak Suranyali.
Perempuan separuh baya yang tadi memunculkan diri di pintu masuk bergegas. ”Ya, Denmas Sura....”.
”Kau juga keparat!” damprat Suranyali pada wanita itu.
Ludahnya menyemprot dan Wilujeng tak berani menyeka ludah yang membasahi mukanya.
”Sudah berapa kali saya bilang, jangan panggil saya dengan nama itu! Apa kamu sudah asing hingga lupa terus-terusan?!? Kau asing ya, hah?!!.”
Wilujeng termangu dengan tubuh menggigil ketakutan. Lagi-lagi beliau lupa. Lagi-lagi beliau memanggil dengan Sura padahal sudah sering Suranyali memerintahkan semoga beliau memanggil dengan nama Mahesa Birawa.
”Perempuan monyong! Aku tanya kamu sudah gila? Jawab!”
”Tidak, Denmas Su....., eh Mahesa Birawa.....”
”Kalau tidak asing kamu musti sinting! Ambilkan saya air, lekas!” Wilujeng putar tubuh. Sebentar kemudian beliau sudah kembali membawa segelas air putih.
Air yang hirau taacuh itu menyejukkan hati Suranyali sedikit. Kemudian beliau duduk tenang- damai di bangku itu dan bila matanya dipicingkannya, maka kembali terbayang ketika setahun yang lewat. Waktu itu beliau sudah usang berkenalan dengan Suci. Dia tahu bahwa gadis itu tidak suka terhadapnya, tapi dengan menemui Suci terus-terusan di tepi kali daerah mencuci, beliau berharap lama-lama akan sanggup juga melunakkan hati gadis itu. Memang alhasil Suci mau juga bicara-bicara melayani Suranyali, tapi ini bukanlah alasannya ialah beliau suka terhadap Sura melainkan alasannya ialah kasihan belaka. Tapi celakanya Suranyali salah tafsir.
Dia menduga bahwa kini Suci sudah terpikat kepadanya. Satu ketika Sura dipanggil oleh seorang sakti di gunung Lawu. Sebelum pergi, Sura menemui Suci dan berkata,
”Suci, saya akan pergi ke Gunung Lawu. Mungkin satu tahun lagi saya gres kembali. Kuharap kamu mau menunggu dengan sabar. Jika saya kembali saya akan mengawini kau.....”
”Tapi Kangmas Sura.....” Suci menghentikan kata-katanya alasannya ialah ketika itu dilihanya Suranyali melangkah ke hadapannya dan mengulurkan tangan untuk memeluknya.
Suci mundur. ”Jangan, Kangmas. Nanti kelihatan orang.....”
Kemudian Suranyali pergi tanpa ada lagi kesempatan bagi Suci untuk mengambarkan bahwa beliau tidak suka pria itu, bahwa beliau menolak lamaran tadi! Dan dalam kepergian Suranyali itu maka Suci kemudian kawin dengan Ranaweleng seorang cowok yang dicintainya dan juga mencintainya. Bagi Suci perkawinannya dengan Ranaweleng itu sama sekali bukan pengkhianatan atas diri Suranyali alasannya ialah memang beliau tidak menyayangi Suranyali dan juga tak pernah menyatakan cintanya.
Demikianlah, bila hari itu Suranyali kembali dari perjalanannya maka kabar yang pertama yang didengarnya, yang begitu menyentakkan darah amarahnya ialah bahwa Suci telah kawin dengan Ranaweleng. Kedua suami istri itu bahkan sudah memiliki seorang anak laki-laki. Kehidupan mereka meski sederhana tapi senang dan kini Ranaweleng sudah menjadi Kepala Kampung Djatiwalu. Jika Suranyali seorang insan punya muka dan punya harga diri, bergotong-royong mengetahui perkawinan Suci itu beliau musti bersikap mundur alasannya ialah adalah memalukan sekali bila beliau terus-terusan menginginkan Suci sedang Suci tidak mencintainya apalagi kini sudah bersuami dan beranak pula.
Tapi dasar Suranyali bukan insan berpikiran jernih, lekas kalap dan naik darah membabi buta, maka hari itu juga dikirimkannya anak buahnya ke Djatiwalu untuk membawa sepucuk surat bahaya kepada Ranaweleng. Suranyali yang kini menggunakan nama Mahesa Birawa bangun dari kursinya ketika didengar bunyi gemuruh kaki-kaki kuda di halaman.
Dia melangkah ke jendela dan memperhatikan kepergian kedua orang anak buahnya. Jari-jari tangannya mencengkeram sanding jendela.
”Suci musti dapat..... musti dapat!” katanya dalam hati yang dikecamuk amarah itu.
”Kalau tidak.....,” Mahesa Birawa tak meneruskan kata-katanya.
Sebagai gantinya tangan kirinya bergerak memukul dinding jendela. Dan kayu sanding itu pecah berantakan!!
Bersambung...
”Berikan sama dia! Aku harus terima tanggapan hari ini juga, Kalingundil!! Kau dengar!?” Orang yang berjulukan Kalingundil mengangguk.
Diambil surat yang disodorkan. ”Kalau beliau banyak bacot.....,” kata pria berkumis melintang itu pula,
”bikin beres saja. Berangkat sekarang, kalau perlu bawa Saksoko!” Kalingundil berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dan bila Kalingundil gres saja lenyap di balik pintu maka menggerendenglah Suranyali, pria yang berkumis tebal itu.
”Betul-betul wanita laknat! Perempuan haram jadah!” Dibulatkannya tinju kanannya dan dipukulkannya meja kayu jati di hadapannya.
”Brakk!!” Papan meja pecah.
Keempat kaki meja amblas hingga tiga senti ke dalam lanci ubin dan ubin sendiri retak-retak!
Kemudian beliau berdiri. Tubuhnya menggeletar oleh amarah yang hampir tak sanggup dikendalikannya lagi. Dan mulutnya terbuka kembali. Dia memaki-maki seorang diri.
”Perempuan keblinger! Ditinggal satu tahun tahu-tahu kawin! Bunting malah dan punya anak malah! Keparat!” Suranyali berdiri dengan nafas menghempas-hempas di muka jendela kemudian beliau melangkah ke meja lain yang juga terdapat di ruangan itu. Dari dalam sebuah kendi diteguknya air putih dingin. Tapi gres dua teguk air melewati tenggorokannya, isi kendi itu sudah habis. ”Keparat!” maki Suranyali lagi.
Dibantingkannya kendi itu ke tanah hingga pecah berantakan. Seorang wanita paruh baya memunculkan kepalanya di pintu sebelah sana namun melihat Suranyali yang lagi beringasan ia cepat-cepat membisu menghilang kembali.
Akhirnya, Suranyali letih sendiri memaki-maki dan marah-marah ibarat itu. Dibantingkannya badannya ke sebuah kursi. Dan kini terasa olehnya betapa letih badannya.
”Ludjeng!” teriak Suranyali.
Perempuan separuh baya yang tadi memunculkan diri di pintu masuk bergegas. ”Ya, Denmas Sura....”.
”Kau juga keparat!” damprat Suranyali pada wanita itu.
Ludahnya menyemprot dan Wilujeng tak berani menyeka ludah yang membasahi mukanya.
”Sudah berapa kali saya bilang, jangan panggil saya dengan nama itu! Apa kamu sudah asing hingga lupa terus-terusan?!? Kau asing ya, hah?!!.”
Wilujeng termangu dengan tubuh menggigil ketakutan. Lagi-lagi beliau lupa. Lagi-lagi beliau memanggil dengan Sura padahal sudah sering Suranyali memerintahkan semoga beliau memanggil dengan nama Mahesa Birawa.
”Perempuan monyong! Aku tanya kamu sudah gila? Jawab!”
”Tidak, Denmas Su....., eh Mahesa Birawa.....”
”Kalau tidak asing kamu musti sinting! Ambilkan saya air, lekas!” Wilujeng putar tubuh. Sebentar kemudian beliau sudah kembali membawa segelas air putih.
Air yang hirau taacuh itu menyejukkan hati Suranyali sedikit. Kemudian beliau duduk tenang- damai di bangku itu dan bila matanya dipicingkannya, maka kembali terbayang ketika setahun yang lewat. Waktu itu beliau sudah usang berkenalan dengan Suci. Dia tahu bahwa gadis itu tidak suka terhadapnya, tapi dengan menemui Suci terus-terusan di tepi kali daerah mencuci, beliau berharap lama-lama akan sanggup juga melunakkan hati gadis itu. Memang alhasil Suci mau juga bicara-bicara melayani Suranyali, tapi ini bukanlah alasannya ialah beliau suka terhadap Sura melainkan alasannya ialah kasihan belaka. Tapi celakanya Suranyali salah tafsir.
Dia menduga bahwa kini Suci sudah terpikat kepadanya. Satu ketika Sura dipanggil oleh seorang sakti di gunung Lawu. Sebelum pergi, Sura menemui Suci dan berkata,
”Suci, saya akan pergi ke Gunung Lawu. Mungkin satu tahun lagi saya gres kembali. Kuharap kamu mau menunggu dengan sabar. Jika saya kembali saya akan mengawini kau.....”
”Tapi Kangmas Sura.....” Suci menghentikan kata-katanya alasannya ialah ketika itu dilihanya Suranyali melangkah ke hadapannya dan mengulurkan tangan untuk memeluknya.
Suci mundur. ”Jangan, Kangmas. Nanti kelihatan orang.....”
Kemudian Suranyali pergi tanpa ada lagi kesempatan bagi Suci untuk mengambarkan bahwa beliau tidak suka pria itu, bahwa beliau menolak lamaran tadi! Dan dalam kepergian Suranyali itu maka Suci kemudian kawin dengan Ranaweleng seorang cowok yang dicintainya dan juga mencintainya. Bagi Suci perkawinannya dengan Ranaweleng itu sama sekali bukan pengkhianatan atas diri Suranyali alasannya ialah memang beliau tidak menyayangi Suranyali dan juga tak pernah menyatakan cintanya.
Demikianlah, bila hari itu Suranyali kembali dari perjalanannya maka kabar yang pertama yang didengarnya, yang begitu menyentakkan darah amarahnya ialah bahwa Suci telah kawin dengan Ranaweleng. Kedua suami istri itu bahkan sudah memiliki seorang anak laki-laki. Kehidupan mereka meski sederhana tapi senang dan kini Ranaweleng sudah menjadi Kepala Kampung Djatiwalu. Jika Suranyali seorang insan punya muka dan punya harga diri, bergotong-royong mengetahui perkawinan Suci itu beliau musti bersikap mundur alasannya ialah adalah memalukan sekali bila beliau terus-terusan menginginkan Suci sedang Suci tidak mencintainya apalagi kini sudah bersuami dan beranak pula.
Tapi dasar Suranyali bukan insan berpikiran jernih, lekas kalap dan naik darah membabi buta, maka hari itu juga dikirimkannya anak buahnya ke Djatiwalu untuk membawa sepucuk surat bahaya kepada Ranaweleng. Suranyali yang kini menggunakan nama Mahesa Birawa bangun dari kursinya ketika didengar bunyi gemuruh kaki-kaki kuda di halaman.
Dia melangkah ke jendela dan memperhatikan kepergian kedua orang anak buahnya. Jari-jari tangannya mencengkeram sanding jendela.
”Suci musti dapat..... musti dapat!” katanya dalam hati yang dikecamuk amarah itu.
”Kalau tidak.....,” Mahesa Birawa tak meneruskan kata-katanya.
Sebagai gantinya tangan kirinya bergerak memukul dinding jendela. Dan kayu sanding itu pecah berantakan!!
Bersambung...