Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 2

 Keduanya menghentikan kuda di hadapan seorang laki Wiro Sableng: Episode Empat Brewok Dari Goa Sanggreng 2
Sebelumnya...
Keduanya menghentikan kuda di hadapan seorang pria bau tanah yang tengah mencabuti rumput halaman. Tanpa turun dari kudanya, Kalingundil bertanya dengan membentak kasar,
”Ini rumahnya Ranaweleng?!”
Orang bau tanah berdiri perlahan-lahan dari jongkoknya. Ketika berdiri nyatalah bahwa tubuhnya pendek dan bongkok. Ditengadahkannya kepalanya dan dikeataskannya topi bambu yang menutupi keningnya untuk sanggup melihat orang yang telah bicara kepadanya. Orang bau tanah ini tak segera berikan balasan melainkan melirik kepada Saksoko yang duduk di atas pungung kuda di sisi kanan Kalingundil.
”Orang bau tanah bego!” maki Kalingundil.
Laki-laki bertubuh langsing ini memang bersifat tidak sabaran. ”Aku tanya ini rumahnya Ranaweleng?!”
”Ya!” jawab Kalingundil.
”Ada keperluan apa Saudara?” Si gemuk pendek Saksoko sekarang yang buka suara.
Suaranya parau dan tidak yummy didengar.
”Tak perlu tanya keperluan kami. Kamu orang bau tanah pikun minggirlah!”
Saksoko menyentakkan tali kekang kudanya. Sekali kuda itu menghambur ke depan maka terpelantinglah si orang bau tanah kena terajakan kaki hewan yang ditunggangi Saksoko itu! Orang bau tanah itu bangkit dengan perlahan-lahan. Matanya yang mengabur dimakan umur kelihatannya menyorot.
Dengan kaki kirinya ditendangnya secara hirau tak hirau topi bambunya yang tergeletak di tanah. Topi itu melesat ke muka laksana anak panah cepatnya dan menghantam kemaluan kuda yang ditunggangi oleh Saksoko. Kuda jantan itu meringkik dahsyat. Kedua kaki depannya melonjak ke atas tinggi-tinggi dan Saksoko terpelanting ke tanah! Si orang bau tanah rahasia merasa puas. Dengan perilaku ibarat tidak terjadi apa-apa beliau memutar tubuh jongkok kembali dan mulai lagi mencabuti rerumputan di halaman!
Bola mata pria gemuk pendek itu berpijar-pijar. Untuk beberapa lamanya segala sesuatunya menjadi guram dalam pemandangannya.
”Saksoko, ada apa dengan kau?!” tanya Kalingundil terkejut dan heran.
”Aku sendiri tidak tahu,” sahut Saksoko seraya bangkit dengan menepuk-nepuk pantat celananya.
Dia memandang berkeliling. Tidak ada siapa-siapa kecuali orang bau tanah yang tadi tengah mencabuti rumput. Kemudian mata pria itu membetnur topi bambu yang tergeletak tak berapa jauh dari tanah. Hatinya curiga. Tapi bila dilihatnya lagi orang bau tanah kurus dan bongkok itu kecurigaannya menjadi sirna. Tak mungkin, pikirnya.
Tak mungkin kalau kakek-kakek pikun itulah yang telah melemparkan topi bambu itu ke kuda tunggangannya. Kalingundil juga memandang berkeliling dengan hati bertanya-tanya. Dilihatnya orang bau tanah itu. Dilihatnya topi itu. Kemudian beliau berkata,
”Kurasa orang bau tanah kerempeng itu.....” Kalingundil memang lebih tajam penglihatannya dan perasaannya. Dalam ilmu silatpun beliau lebih tinggi dua tingkat di atas Saksoko.
”Mana mungkin,” kata Saksoko pula tidak percaya.
”Coba kita lihat.”
Kalingundil turun dari kudanya. Diambilnya topi yang tergeletak di tanah. Diperhatikannya topi bambu ini seketika. Matanya melirik pada orang bau tanah yang masih jongkok dan mencabuti rumput erat pagar halaman. Kalingundil menggerakkan tangan kanannya. Topi terlepas dari tangan itu dan melesat deras ke arah kepala si orang tua.
Begitu hirau tak hirau sekali, orang bau tanah yang jongkok membelakangi itu gerakkan tangan kanannya untuk menggaruk pecahan belakang kepalanya. Dan yakni mengejutkan kedua orang anak buah Mahesa Birawa atau Suranyali ketika melihat bagaimana topi bambu itu melesat ke samping dan menggelinding di tanah! Kalingundil dan Saksoko saling pandang.
”Apa kataku, kamu lihat?” desis Kalingundil.
Melihat kenyataan ini maka geramlah si gemuk pendek Saksoko. ”Orang bau tanah edan!” makinya.
”Punya sedikit ilmu saja sudah mau kasih pamer!”
Dia membungkuk dan meraup pasir. Raupan pasir itu dilemparkannya ke arah si orang tua. Meski hanya pasir namun alasannya diisi dengan tenaga dalam maka pasir itu melesat hebat dan sanggup melukakan kulit membutakan mata! Si orang bau tanah tiba-tiba berdiri dengan terbungkuk-bungkuk.
Ditepuk-tepuknya pakaian hitamnya ibarat seseorang yang sedang membersihkan debu dari pakaiannya. Tapi gerakannya ini sekaligus menciptakan berhamburannya pasir-pasir halus yang menyerang ke arahnya!
”Kurang didik betul!” damprat Saksoko alasannya merasa semakin ditantang dan dipermainkan. Dia menerjang ke muka. Dalam jarak beberapa tombak dilepaskannya pukulan tangan kosong. Orang bau tanah itu memutar badannya yang bungkuk ke samping.
”Apa-apaan ini?!” tanyanya dengan suaranya yang halus melengking,
”ada apa kamu serang aku?!” Namun gerakannya tadi sekaligus telah melewatkan angin pukulan Saksoko hanya beerapa jengkal saja di depan hidungnya. Saksoko kertak rahang.
”Orang bau tanah gelo! Siapa kamu sebetulnya?!”
Orang bau tanah itu menyeringai menunjukkan gusinya yang tidak bergigi barang sepotongpun. ”Aku sudah tua, tak usah bicara memaki!,” katanya dan didorongkannya telapak tangan kanannya ke depan.
Setiup angin dahsyat melanda tubuh Saksoko. Kalau tidak cepat- cepat menghindar pastilah si gemuk pendek ini akan menerima celaka. Begitu melompat ke samping segera beliau kirimkan satu jotosan kepada orang bau tanah itu. Pada ketika inilah dari pintu rumah terdengar seruan keras: ”Ada apa di sini?! Tahan!!” Saksoko tarik pulang tangannya dan berpaling.
Seorang pria muda berparas gagah dilihatnya keluar dari rumah dan berdiri di tangga langkan. Kemudian dilihatnya Kalingundil memberi arahan biar tiba mendekatinya. Meski hatinya masih diselimuti amarah terhadap si orang bau tanah tapi melihat arahan kawannya itu segera beliau tiba juga. Keduanya melangkah ke hadapan langkan rumah.
”Kau Ranaweleng?” tanya Kalingundil membentak. Selama menjadi Kepala Kampung di Jatiwalu, gres ini harilah Ranaweleng dibentak orang demikian rupa dan oleh orang abnormal pula! Dari tampang-tampang serta perilaku kedua tamunya itu Ranaweleng segera maklum bahwa mereka tentu tiba bukan membawa maksud baik.
Namun demikian, dengan bunyi ramah beliau menjawab: ”Betul, Saudara, saya memang Ranaweleng,” kemudian tanyanya kemudian,
”Saudara- saudara tiba dari mana dan ada keperluan apakah?” Kalingundil cabut gulungan surat dari balik pakaiannya. ”Ini! Silahkan dibaca!” katanya.
Gulungan surat itu dilemparkannya ke hadapan Ranaweleng. Karena lemparan itu disertai dengan aliran tenaga dalam maka surat tersebut melesat berdesing dan ujung kayu di mana surat itu disepit menancap pada tiang langkan! Ranaweleng kaget. Ditekannya rasa kaget itu dan dicabutnya surat yang menancap dari tiang langkan kemudian dibacanya. Kalingundil dan Saksoko memperhatikannya dengan bertolak pinggang. Ranaweleng keparat! Aku kasih tempo satu hari untukmu biar angkat kaki dari Jatiwalu ini! Bawa anakmu tapi tinggalkan istrimu! Ini yakni perintah! Kalau kamu tidak patuhi, jangan harap kamu sanggup melihat matahari karam esok hari! Ini yakni perintah! Mahesa Birawa Bergetar tubuh Ranaweleng.
Dadanya panas dikobari luapan hawa amarah. Dia tak pernah kenal dengan insan yang berjulukan Mahesa Birawa itu, bahkan juga tak pernah dengar nama atau riwayat insan itu sebelumnya. Matanya memandang melotot pada kedua tamunya.
”Mahesa Birawa ini siapa?” tanya Ranaweleng. Kalingundil meludah dahulu ke tanah sebelum menjawab.
”Laki-laki yang kamu rampas kekasihnya dan yang sekarang menjadi istrimu!” Kaget Ranaweleng bukan alang kepalang.
Belum beliau sempat bicara Saksoko sudah mendahului. ”Mahesa Birawa inginkan jawabanmu hari ini juga Ranaweleng!” Kalingundil menyambungi,
”Dan sebaiknya..... apa yang tertulis di surat itu kamu ikuti saja.”
”Kalau tidak?,” tanya Ranaweleng menindih rasa geramnya.
Kalingundil tertawa mengekeh. Gigi-giginya kelihatan besar-besar dan coklat kehitaman. Ranaweleng tak sanggup lagi menahan luapan amarahnya. Diremasnya dan dipatah- patahkannya kayu penyepit surat kemudian dilemparkannya ke kepala Kalingundil, sempurna mengenai ekspresi yang sedang tertawa mengekeh itu!
”Bangsat rendah!” hardik Kalingundil.
Dia meloncat ke muka. ”Kau berani berlaku kurang didik terhadapku, huh?!”

”Tak usah jual lagak di sini, setan!” balas menghardik Ranaweleng.
”Kalian budak- budak sinting kembalilah kepada majikan kalian! Bilang sama itu insan Mahesa Birawa biar lekas-lekas pergi mencari dukun untuk mengobati otaknya yang tidak waras!” ”Betul-betul anjing budak yang tidak tahu diri!” semprot Saksoko.
Dari tadi beliau memang sudah beringasan gara-gara si orang bau tanah yang telah mempermainkan dan setengah menantangnya tadi. Sekali beliau ayunkan langkah maka satu tendangan yang didahului oleh angin hebat melanda ke bawah perut Ranaweleng. Melihat musuh yang inginkan jiwanya ini Ranaweleng menggeram dan kertakkan rahang. Dia berkelit ke samping dan hantamkan ujung sikunya ke tulang iga lawan. Saksoko bukan insan yang gres berguru ilmu silat kemarin. Sambil melompat ke atas lututnya ditekuk dan disorongkan ke kepala lawan.
Ranaweleng merunduk dan lompat ke samping. Sebelum beliau berbalik untuk mengirimkan pukulan ke punggung lawan yang ketika itu masih belum menginjak lantai langkan maka terdengarlah bunyi seseorang.
”Ah, Raden Ranaweleng, mengapa musti mengotori tangan terhadap kunyuk kesasar ini?! Biar saya si bau tanah bangka Jarot Karsa yang kasih sedikit pelajaran sopan santun terhadapnya!”
Ternyata yang berkata itu yakni orang bau tanah renta kurus kerempeng yang tadi mencabuti rumput di halaman, yang merupakan pembantu Kepala Kampung Jatiwalu. Mendengar dirinya dimaki sebagai kunyuk kesasar maka marahlah Saksoko. Dia membalik dan menyerang orang bau tanah itu sekarang dengan satu pukulan jarak jauh yang menjadikan angin deras. Angin pukulan ini menyerang ke sentra jantung di dada Jarot Karsa. Dengan begitu Saksoko berkehendak untuk mencabut nyawa si orang bau tanah detik itu juga! Tapi Jarot Karsa ganda tertawa.
Sekali beliau gerakkan tangan kanannya yang kurus maka setiup angin dahsyat memapaki serangan si gemuk pendek Saksoko. Angin pukulan Saksoko menyungsang balik menyerang Saksoko sendiri. Ditambah dengan dorongan angin pukulan si orang bau tanah maka kedahsyatannya bukan olah-olah! Tubuh Saksoko mencelat keluar langkan rumah hingga tiga tombak dan menggelinding di tanah. Dicobanya bangkit kembali. Tapi tubuhnya itu segera rebah lagi sesudah terlebih dahulu dari ekspresi Saksoko menyembur darah kental dan segar! Kaget Kalingundil bukan kepalang. Mukanya hitam membesi.
Laki-laki ini menerjang ke depan. Terjangan ini disertai dengan bentakan yang keras menggeledek menciptakan langkan rumah dan tanah menjadi bergetar! Jarot Karsa merunduk cepat. Gerakannya ini disusul dengan cepat oleh Kalingundil. Serangkum angin keras dan hambar menyerang ke seluruh jalan darah di tubuh orang tua. Pasir menderu beterbangan, debu menggebu. Jarot Karsa cepat-cepat dorongkan tangan kanannya ke muka. Maka dua angin pukulan bertemu di udara menjadikan bunyi berdentum ibarat letusan meriam! Tubuh Jarot Karsa kelihatan bergoyang gontai sedang Kalingundil terdampar ke tanah tapi cepat bangkit lagi. Keringat hambar memercik di kening anak buah Mahesa Birawa ini.
Nyalinya menciut kecil. Tak nyana si orang bau tanah mempunyai kehebatan demikian rupa! Tak diduganya sama sekali kalau tenaga dalamnya ada di bawah angin berhadapan dengan tenaga dalam Jarot Karsa! Tapi pria ini, yang menjadi buta matanya dan tumpul pikirannya alasannya amarah dan kebencian yang meluap, tidak memikirkan lagi bahwa sesungguhnya si orang bau tanah bukan tandingannya. Kedua tangannya dipentang ke muak. Tangan itu kelihatan bergetar. Jarot Karsa dan juga Ranaweleng memperhatikan gerak gerik insan itu dengan tajam. Kelihatan sekarang bagaimana sepasang lengan Kalingundil hingga ke jari-jari tangannya berwarna kehitaman.
”Ha.....ha....,” terdengar kekehan si bau tanah Jarot Karsa,
”Kau hendak pamerkan ilmu lengan tangan baja?!” Kalingundil terkejut.
Terkejut alasannya belum apa-apa musuh sudah mengetahui ilmu simpanan yang paling diandalkannya. Tapi ini tidak diperlihatkannya, bahkan beliau pentang mulut.
”Bagus, penglihatanmu masih tajam juga, huh! Tapi tahukah kamu kehebatan ilmu pukulan lengan tangan baja ini?!”
”Kau tak perlu banyak bacot, Kalingundil, majulah!” tantang Jarot Karsa. Kalingundil menggeram. Kebetulan ketika itu beliau berdiri di erat langkan rumah. Sekali ayunkan tangan kanannya maka:
brak!! Tiang langkan yang besarnya hampir menyamai paha insan patah. Atap rumah menurun miring! Sebenarnya Jarot Karsa kagum juga dengan kehebatan ilmu lawannya itu. Tapi sebagai orang bau tanah yang sudah banyak pengalaman dalam dunia persilatan kuliner beliau jerih menghadapi ilmu pukulan macam begitu saja!
”Ayo monyet kesasar, majulah!” katanya dengan terbungkuk-bungkuk. Kedua telapakan kaki Kalingundil menjejak tanah. Tubuhnya melesat ke muka, sedikit miring. Kaki kiri dan kanan mengirimkan serangan berantai terlebih dahulu kemudian menyusul sepasang lengannya yang menghitam oleh aji ’lengan tangan baja.’ Angin yang ditimbulkan oleh serangan dua lengan ini dahsyatnya bukan alang kepalang, tajam dan memerihkan mata. Lengan kiri membabat ke pinggang Jarot Karsa, kalau kena pastilah pinggang orang bau tanah itu akan terkutung dua. Lengan kanan menghantam dari atas ke bawah mengincar batok kepala Jarot Karsa.
Dapat dibayangkan bagaimana dalam sekejapan mata lagi kepala si orang bau tanah akan hancur berantakan! Pekikan setinggi langit yang hampir merupakan lolongan serigala haus darah melengking menegakkan bulu roma! Kalingundil melingkar di tanah. Nafasnya sesak, lidahnya menjulur keluar ibarat orang yang tercekik dan matanya melotot. Tubuhnya bergerak-gerak beberapa lamanya kemudian ketika darah menyembur dari mulutnya, tubuh itu pun tak bergerak-gerak lagi! Kalingundil pingsan menyusul kawannya yang terdahulu. Ranaweleng menghela nafas dalam. Dipandanginya kedua insan yang melingkar di tanah itu. Kemudian beliau berpaling pada si orang tua.
”Bapak Jarot Karasa, kamu kenal dengan insan yang berjulukan Mahesa Birawa itu?” Jarot Karsa menggeleng.
”Siapa beliau tak penting Raden. Yang penting ialah mulai ketika ini kita musti waspada alasannya cepat atau lambat insan itu niscaya tiba ke sini untuk menciptakan perhitungan dengan kita!” Ranaweleng mengangguk.
”Aku tak ingin melihat kdua orang ini lebih usang di depan rumahku. Bereskan mereka, pak Jarot.” Si orang bau tanah tertawa mengekeh.
”Tak usah khawatir...... tak usah khawatir. Aku akan sapu mereka dari depan hidungmu, Raden.
” Dua kali kaki kanan Jarot Karsa yang kurus kering itu menendang. Tubuh Kalingundil dan Saksoko mencelat ibarat bola, dan angsrok di luar pagar halaman.
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel