Sampai Kapan Saya Harus Menunggu - Cerpen Cinta Sedih

SAMPAI KAPAN AKU HARUS MENUNGGU
Karya Elisabeth Cecilia

Disini, di bawah sinar rembulan. Aku selalu menunggunya, menunggu ia yang saya cintai. Walaupun sia-sia saja penantian ini.

Aku seorang yang bisu. Bisu dalam cinta. Tak pernah saya ungkapkan rasa rinduku padanya. Bahkan hanya air mata yang keluar dari mataku ketika mengingatnya.
Dulu saya dan ia selalu bersama di dalam sebuah persahabatan. Di masa susah dan senang. Tak pernah kita terpisah. Hingga pada suatu ketika saya harus mendapatkan kenyataan pahit bahwa ia harus berpisah dariku.

Belanda. Dia di Belanda. Di sebuah negara yang menciptakan dirinya sendiri damai. Membuat kebebasan mutlak bagi dirinya sebagai seorang gay. Mungkin semua orang berpikir bahwa saya ini perempuan kolot yang tidak bisa mencari seorang laki-laki sejati. Tidak! Aku tegaskan pada kalian! Dia laki-laki sejati dimataku. Dia sosok yang tegas. Dialah yang membuatku merasa berbeda.

Sampai Kapan Aku Harus Menunggu
Selama kami bersahabat. Tak pernah saya lihat ia menyukai sesama jenisnya. Bahkan semua orang menganggap kami sebagai sepasang kekasih. Kami dekat sejak kami duduk di dingklik SMA. Entah mengapa, kami selalu masuk dalam kelas yang sama ketika pembagian. Sehingga itu menciptakan kami tak terpisahkan. Aku benar-benar mencicipi ada cinta diantara kami. Namun semua itu pupus sejak ia berkata ihwal kehidupannya yang tolong-menolong menjelang hari kelulusan. Hatiku sakit. Sepertinya percuma saja saya mengungkapkan cintaku padanya,
“La, maafin gue ya.” katanya pelan,
“Maaf kenapa Joe?” tanyaku,
“Sheila. Gue gu-gue...”
“Lo kenapa?”
“Gue gay La.”

Mendengar ucapannya itu hatiku serasa tersayat. Seorang Joe yang sangat populer sebagai laki-laki tertampan di sekolah dan populer pandai itu ternyata gay. Aku menyerupai tertampar.
“Lo bercanda kan?”
“Eng-enggak La.”
“Nggak mungkin. Gue nggak pernah lihat lo pacaran sama cowo!”
“Ta-tapi gue pernah backstreet sama...”
“Sama siapa Joe?”
“Randy.” jawabnya singkat dan ia menundukan kepalanya.

Randy? Aku benar-benar tidak percaya. Randy ialah mantan pacarku. Dan ia juga gay? Apa nasibku yang menyayangi seorang laki-laki gay? Kenapa?
“Joe! Apa lo nggak nyadar kalo selama ini ada cewe yang bener-bener sayang sama lo?” Bentakku,
“Maaf La. Tapi gue beneran senang dengan keadaan ini.”
“Lo kolot Joe! BODOH!” Bentakku lagi, kemudian saya pergi meninggalkannya.
Aku masih terpukul dengan ungkapan Joe. Aku merasa terbunuh ketika itu. Padahal saya ingin menyampaikan bahwa saya mencintainya lebih dari sahabat. Mulutku diam dengan sendirinya. Hanya air mata yang mengalir dari mataku ini.

Setelah kelulusan, Joe melanjutkan kuliahnya ke Belanda. Dia hanya beralasan bahwa disana ia ingin berguru dengan baik. Namun saya tahu alasan sesungguhnya. Agar ia bisa bebas menikmati penyakitnya. Penyakit gay yang sangat menjijikanku.
Walaupun saya tidak bisa memaafkannya. Aku masih saja menunggunya. Aku masih saja mengenangnya. Aku menjadi kolot alasannya ialah cinta. Namun saya bisu dengan cinta.
Tiga tahun kemudian saya mendapatkan sebuah surat dari Joe. Sebuah kabar bahwa ia akan pulang ke Indonesia sebulan kemudian. Tepat ketika Valentine. Aku hanya menunggunya dengan sabar. Walau hatiku masih terluka mendapatkan kenyataannya.

Hari Valentine tiba. Joe benar-benar kembali. Dia memberiku sebuah hadiah. Dia menyatakan cintanya padaku. Dia berkata bahwa ia sudah tidak mau mempunyai pasangan sejenis lagi. Namun itu sungguh membuatku bingung. Aku benar-benar diam ketika ia berkata cinta.
Aku memang mendapatkan cintanya. Dia hadiah terindah di hari Valentine ini apalagi kini ia memang sudah jauh berbeda. Dia Sarjana sekarang. Dia lulusan Belanda. Dia memang andal alasannya ialah hanya dalam tiga tahun saja ia sudah bisa lulus sedangkan saya masih menunggu setengah tahun lagi untuk lulus.
Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Setelah saya tahu bahwa Joe positif HIV. Apakah ini alasan ia untuk tidak lagi gay? Lagi-lagi saya tidak bisa berbuat apa-apa. Aku ingin marah, namun di dalam hatiku saya masih mencintainya.

Apapun kondisi Joe saya tetap mencintainya. Hingga ia benar-benar tidak berdaya dan hanya terbaring di atas kawasan tidur. Sudah satu ahad ia menginap di rumah sakit dengan kondisi yang semakin parah.
“Sheila.” Ucapnya lirih,
“Joe? Lo harus kuat!” Kataku,
“Kapan gue bisa pulang ke rumah?”
“Tunggu kondisi lo membaik ya?”
“Ya. Gue pengen keluar dari kamar. Gue bosen tidur terus.”
“Oke. Gue bawa lo ke taman ya?”
“Iya.”

Aku membawa Joe ke taman untuk melihat matahari tenggelam. Sebenarnya saya sangat sedih melihat kondisinya sekarang. Dulu ia seorang yang benar-benar berpengaruh dan selalu menang dalam pertandingan basket. Namun, ia menjadi lemah dan tak berdaya.
“Sheila. Selama gue sama lo. Gue nggak pernah bikin lo bener-bener bahagia.” katanya,
“Nggak kok. Lo itu segalanya buat gue. Lo selalu bikin gue bahagia. Coba kalau gue nggak bahagia. Gue nggak bakalan cinta sama lo.”
“Ah lo bisa aja. Oh ya, lo harus inget gue setiap malem. Apalagi waktu matahari tenggelam.”
“Emang lo mau balik ke Belanda lagi?”
“Enggak. Gue mau balik ke kawasan yang bener-bener indah.” kemudian ia tersenyum,
“Jangan bercanda deh!”
“Gue serius. Gue bakal tenang disana. Apalagi kalau lihat lo.”
“Nggak! Mending gue nggak lihat matahari karam daripada lo pergi.”
“Cepat atau lambat gue bakal pergi La.”
Air mataku menetes. Hatiku tersayat sesudah mendengar perkataan Joe. Apa saya harus menunggunya lagi? Sampai kapan?

Selama saya menghapus air mataku, saya tidak sadar kalau hal jelek menimpa Joe. Seketika darah dari hidungnya keluar begitu saja. Aku sangat panik ketika melihat wajahnya yang begitu pucat dan tampaknya ia menahan sakit.
“Joe! Lo nggak pa-pa kan?” Tanyaku dalam kepanikan,
“Eng-enggak pa-pa kok.” jawabnya pelan dan ia benar-benar menahan sakit,

Aku membawanya kembali ke kamarnya. Walau saya tahu darah seorang positif HIV itu mengandung virus dan sanggup mengancamku. Aku tetap bersedia untuk menghapusnya,
“Udah La! Jangan ikutan hapus darah gue. Ntar lo ketularan!” kata Joe merasa bahwa ia menjijikan,
“Nggak Joe! Gue nggak peduli sampe gue mati juga nggak peduli.”
Sepertinya Joe benar-benar tidak berpengaruh dengan kondisinya itu. Aku mencicipi bahwa ia sangat kesakitan. Lalu ia tidak sadarkan diri.

Semenjak itu, saya berusaha untuk menjaga Joe. Dia sangatlah berharga bagiku. Aku tidak mau menunggunya lagi. Aku ingin selalu bersamanya. Namun takdir berkata lain. Tidak ada kuasa yang lebih besar daripada kuasa Tuhan. Di hari ulang tahunnya yang ke dua puluh dua, ia pergi untuk selamanya.
Hanya air mata yang bisa saya berikan untuknya. Aku mengingat senyumannya ketika ia akan pergi. Senyuman kedamaian di wajahnya. Dan lagi-lagi saya tidak bisa berbuat apapun. Aku hanya bengong membisu.

Malam ini semakin cuek saja. Udara cuek ini menusuk tulangku bersama kenangan akan Joe yang sudah saya uraikan. Sampai kini saya tetap menunggunya. Menunggu sebuah hal yang sia-sia. Menunggu hal yang sudah pergi. Rasa cinta yang awet membuatku rela untuk selalu mengenang dan menunggunya. Hanya satu pertanyaanku. Sampai kapan saya harus menunggu?

-The End-

PROFIL PENULIS
Elisabeth Cecilia
Semarang, 17 Nov 1996
http://www.facebook.com/lisacecil.cinta
Follow twitter @elelisalisa


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel