Mahabarata Episode 7: Yayati Bau Tanah Ingin Muda Kembali
Rabu, 10 September 2014
Sebelumnya...
Maharaja Yayati yaitu putra Raja Nahusha dan salah seorang nenek moyang Pandawa. Ia tidak pernah kalah dalam peperangan. Ia selalu mengikuti petunjuk- petunjuk kitab suci Sastra, menyembah Tuhan dan menghormati nenek moyang dengan dedikasi yang tak pernah putus. Ia menjadi masyhur alasannya yaitu pemerintahan- nya ditujukan untuk kesejahteraan rakyatnya. Sayangnya, ia cepat menjadi bau tanah alasannya yaitu kutuk-pastu Mahaguru Sukra yang diterimanya alasannya yaitu ia bersikap tidak adil terhadap Dewayani, istrinya. Yayati menjadi bau tanah renta dengan cepat. Semangat hidupnya hancur, ia merasa malu dan terhina. Ia tak bisa lagi mereguk kenikmatan dunia, padahal gairah nafsunya untuk mencicipi madu asmara masih menggebu-gebu.
Pada suatu hari, Yayati memanggil kelima putranya. Setelah mereka menghadap, ia berkata dengan lembut, meminta mereka supaya sudi menolong ayah mereka. Kata Yayati, “Kutuk-pastu telah dijatuhkan oleh kakek- mu Mahaguru Sukra, membuatku tiba-tiba menjadi tua. Tahu-tahu saya menjadi bau tanah sebelum waktunya, padahal saya belum puas mengecap kenikmatan duniawi.
“Ketahuilah, hai putra-putraku, semenjak muda saya hidup dengan mengekang hawa nafsuku, menolak semua kese- nangan duniawi walaupun kesenangan itu masuk akal dan tidak melanggar hukum kitab-kitab suci. Setelah menikah de- ngan ibu kalian, belum usang mengecap kebahagiaan, tahu-tahu saya menjadi tua. Sebab itu, salah seorang dari eng- kau hendaknya membantuku memikul bebanku, mengam- bil ketuaanku dan menunjukkan kemudaanmu padaku. Siapa di antara kau yang bersedia menolongku akan kuangkat menjadi raja negeri ini. Aku ingin menikmati hidupku sebagai orang muda yang penuh gairah.”
Pertama-tama ia bertanya kepada putra sulungnya. Putra sulungnya berkata, “Oh, Ayahanda Raja, semua perempuan dan dayang-dayang akan mencemoohkan saya kalau saya menjadi bau tanah dalam umurku sekarang. Aku tidak sanggup menolong Ayahanda. Tanyailah adik-adikku saja.” Yayati bertanya kepada putranya yang kedua. Dengan lemah lembut pangeran itu menolak, “Ayahanda, Paduka menyuruhku menjadi tua, itu berarti Paduka menghancur- kan seluruh kekuatan dan ketampananku, dan ibarat yang kutahu, itu juga kebajikan. Aku tidak bisa menghadapi hal ini.”
Selanjutnya, dikala giliran ditanya, putra yang ketiga menjawab, “Seorang lelaki bau tanah tidak akan bisa naik kuda atau naik gajah dan bicaranya gemetar. Apa yang masih bisa kulakukan nanti bila tiba-tiba saya menjadi renta? Aku tidak sanggup.”
Maharaja Yayati murka mendengar penolakan ketiga putranya. Susah payah beliau berusaha mengendalikan diri, menahan amarahnya, dan mencoba berharap pada putra- nya yang keempat. Ia berkata, “Maukah engkau mengambil ketuaanku? Maukah kau menukar kemudaanmu dengan ketuaanku, untuk sementara saja? Tidak lama. Ayah akan segera menukarnya kembali. Ayah akan mengambil kem- bali ketuaan itu dan itu akan membuatmu menjadi muda lagi.”
Tetapi putranya yang keempat meminta maaf alasannya yaitu ia tidak bisa melaksanakan itu. Putra keempat itu tahu, sebagai lelaki bau tanah renta nanti, hidupnya akan bergantung pada orang lain. Ia akan terpaksa selalu meminta pertolongan orang lain alasannya yaitu tak bisa membersihkan badannya sendiri, misalnya. Karena itu, betapapun sangat menyayangi ayahnya, beliau tak sanggup memenuhi permintaannya.
Perasaan Yayati kacau. Ia sedih, marah, dan kesal mendengar penolakan keempat putranya. Tetapi, masih ada satu harapan, yaitu putranya yang kelima. Putra bungsunya itu belum pernah menolak usul atau perintahnya. Katanya, “Engkau harus menolong ayahmu. Aku hidup sengsara alasannya yaitu ketuaanku ini, alasannya yaitu kulitku yang keriput, alasannya yaitu rambutku yang memutih, dan alasannya yaitu ketidakmampuanku. Semua ini gara-gara kutuk-pastu kakekmu, Mahaguru Sukra. Cobaan ini terlalu berat bagi- ku! Aku ingin menikmati masa mudaku beberapa waktu lagi. Maukah engkau mengambil ketuaanku untuk semen- tara? Setelah cukup puas, saya akan segera mengembali- kan kemudaanmu. Aku akan terima ketuaanku lagi dengan senang hati. Janganlah engkau menolak permin- taanku ibarat kakak-kakakmu.”
Puru, putra bungsu Yayati yang sangat menyayangi ayahnya, berkata, “Ayahku, dengan senang hati saya akan menunjukkan kemudaanku kepadamu supaya Ayahanda terlepas dari cengkeraman segala kedukaan dan kesusa- han dalam memerintah kerajaan. Ambillah kemudaanku dan berbahagialah Ayahanda!”
Mendengar balasan itu, Yayati memeluk Puru. Ajaib! Begitu menyentuh putranya, seketika itu juga beliau menjadi muda kembali. Sebaliknya, Puru tiba-tiba bermetamorfosis tua.
Yayati memenuhi janjinya. Takhta kerajaan ia serahkan kepada Puru yang kemudian termasyhur sebagai raja yang memerintah dengan adil dan bijaksana.
Sementara itu, Yayati hidup usang dan menikmati kehidupan sebagai orang muda. Ia reguk segala kenikma- tan duniawi dengan gairah yang tak pernah terpuaskan. Ia pergi ke Taman Kubera dan tinggal di sana selama bertahun-tahun bersama wanita-wanita anggun dan para bidadari. Bertahun-tahun ia melampiaskan hawa nafsunya dan menuruti semua keinginannya, tetapi tak pernah merasa puas. Di balik itu semua, ia merasa hidupnya hampa dan tak berarti alasannya yaitu hanya mengejar kenik- matan. Akhirnya ia sadar, semua itu sia-sia.
Yayati kembali ke kerajaannya kemudian menemui Puru. Kepada putranya itu ia berkata, “Anakku sayang, kini ayahmu sadar. Ternyata nafsu berahi tidak sanggup dilawan dengan melampiaskannya. Ibarat memadamkan api dengan minyak. Padahal saya sudah mendengar dan mem- baca anutan itu semenjak muda, tetapi tidak menyadarinya. Baru sesudah menjalani kehidupan serba bebas tanpa kekangan, Ayah menjadi sadar. Tak satu pun keinginan duniawi, ibarat gandum, emas, sapi, perempuan, dan lain- lain, sanggup menciptakan insan merasa puas. Tak satu pun sanggup menciptakan insan merasa damai. Kita hanya sanggup mencapai kedamaian dengan keseimbangan jiwa yang mengatasi segala kesenangan dan ketidaksenangan. Kete- nangan jiwa dan perasaan tenang yang sejati yaitu karunia mulia dari Yang Maha Kuasa.
“Wahai Puru putraku, ambillah kembali kemudaanmu dan perintahlah kerajaan ini dengan bijaksana dan penuh kebajikan.”
Setelah berkata demikian, Yayati memeluk putranya. Seketika itu juga ia bermetamorfosis bau tanah renta dan Puru kembali menjadi muda. Puru meneruskan pemerintahan- nya dengan adil dan bijaksana.
Raja Puru memiliki putra berjulukan Dushmanta, yang kelak kawin dengan Syakuntala, putri angkat Resi Kanwa. Anak Syakuntala dan Dushmanta dinamai Bharata. Kelak, anak keturunan Bharata menjadi wangsa yang termasy- hur.
Setelah mendapat kembali ketuaannya, Yayati pergi ke hutan. Di sana ia bertapa dan menjalankan ajaran- anutan suci sampai datang waktunya ia kembali ke surga.
Bersambung...
Maharaja Yayati yaitu putra Raja Nahusha dan salah seorang nenek moyang Pandawa. Ia tidak pernah kalah dalam peperangan. Ia selalu mengikuti petunjuk- petunjuk kitab suci Sastra, menyembah Tuhan dan menghormati nenek moyang dengan dedikasi yang tak pernah putus. Ia menjadi masyhur alasannya yaitu pemerintahan- nya ditujukan untuk kesejahteraan rakyatnya. Sayangnya, ia cepat menjadi bau tanah alasannya yaitu kutuk-pastu Mahaguru Sukra yang diterimanya alasannya yaitu ia bersikap tidak adil terhadap Dewayani, istrinya. Yayati menjadi bau tanah renta dengan cepat. Semangat hidupnya hancur, ia merasa malu dan terhina. Ia tak bisa lagi mereguk kenikmatan dunia, padahal gairah nafsunya untuk mencicipi madu asmara masih menggebu-gebu.
Pada suatu hari, Yayati memanggil kelima putranya. Setelah mereka menghadap, ia berkata dengan lembut, meminta mereka supaya sudi menolong ayah mereka. Kata Yayati, “Kutuk-pastu telah dijatuhkan oleh kakek- mu Mahaguru Sukra, membuatku tiba-tiba menjadi tua. Tahu-tahu saya menjadi bau tanah sebelum waktunya, padahal saya belum puas mengecap kenikmatan duniawi.
“Ketahuilah, hai putra-putraku, semenjak muda saya hidup dengan mengekang hawa nafsuku, menolak semua kese- nangan duniawi walaupun kesenangan itu masuk akal dan tidak melanggar hukum kitab-kitab suci. Setelah menikah de- ngan ibu kalian, belum usang mengecap kebahagiaan, tahu-tahu saya menjadi tua. Sebab itu, salah seorang dari eng- kau hendaknya membantuku memikul bebanku, mengam- bil ketuaanku dan menunjukkan kemudaanmu padaku. Siapa di antara kau yang bersedia menolongku akan kuangkat menjadi raja negeri ini. Aku ingin menikmati hidupku sebagai orang muda yang penuh gairah.”
Pertama-tama ia bertanya kepada putra sulungnya. Putra sulungnya berkata, “Oh, Ayahanda Raja, semua perempuan dan dayang-dayang akan mencemoohkan saya kalau saya menjadi bau tanah dalam umurku sekarang. Aku tidak sanggup menolong Ayahanda. Tanyailah adik-adikku saja.” Yayati bertanya kepada putranya yang kedua. Dengan lemah lembut pangeran itu menolak, “Ayahanda, Paduka menyuruhku menjadi tua, itu berarti Paduka menghancur- kan seluruh kekuatan dan ketampananku, dan ibarat yang kutahu, itu juga kebajikan. Aku tidak bisa menghadapi hal ini.”
Selanjutnya, dikala giliran ditanya, putra yang ketiga menjawab, “Seorang lelaki bau tanah tidak akan bisa naik kuda atau naik gajah dan bicaranya gemetar. Apa yang masih bisa kulakukan nanti bila tiba-tiba saya menjadi renta? Aku tidak sanggup.”
Maharaja Yayati murka mendengar penolakan ketiga putranya. Susah payah beliau berusaha mengendalikan diri, menahan amarahnya, dan mencoba berharap pada putra- nya yang keempat. Ia berkata, “Maukah engkau mengambil ketuaanku? Maukah kau menukar kemudaanmu dengan ketuaanku, untuk sementara saja? Tidak lama. Ayah akan segera menukarnya kembali. Ayah akan mengambil kem- bali ketuaan itu dan itu akan membuatmu menjadi muda lagi.”
Tetapi putranya yang keempat meminta maaf alasannya yaitu ia tidak bisa melaksanakan itu. Putra keempat itu tahu, sebagai lelaki bau tanah renta nanti, hidupnya akan bergantung pada orang lain. Ia akan terpaksa selalu meminta pertolongan orang lain alasannya yaitu tak bisa membersihkan badannya sendiri, misalnya. Karena itu, betapapun sangat menyayangi ayahnya, beliau tak sanggup memenuhi permintaannya.
Perasaan Yayati kacau. Ia sedih, marah, dan kesal mendengar penolakan keempat putranya. Tetapi, masih ada satu harapan, yaitu putranya yang kelima. Putra bungsunya itu belum pernah menolak usul atau perintahnya. Katanya, “Engkau harus menolong ayahmu. Aku hidup sengsara alasannya yaitu ketuaanku ini, alasannya yaitu kulitku yang keriput, alasannya yaitu rambutku yang memutih, dan alasannya yaitu ketidakmampuanku. Semua ini gara-gara kutuk-pastu kakekmu, Mahaguru Sukra. Cobaan ini terlalu berat bagi- ku! Aku ingin menikmati masa mudaku beberapa waktu lagi. Maukah engkau mengambil ketuaanku untuk semen- tara? Setelah cukup puas, saya akan segera mengembali- kan kemudaanmu. Aku akan terima ketuaanku lagi dengan senang hati. Janganlah engkau menolak permin- taanku ibarat kakak-kakakmu.”
Puru, putra bungsu Yayati yang sangat menyayangi ayahnya, berkata, “Ayahku, dengan senang hati saya akan menunjukkan kemudaanku kepadamu supaya Ayahanda terlepas dari cengkeraman segala kedukaan dan kesusa- han dalam memerintah kerajaan. Ambillah kemudaanku dan berbahagialah Ayahanda!”
Mendengar balasan itu, Yayati memeluk Puru. Ajaib! Begitu menyentuh putranya, seketika itu juga beliau menjadi muda kembali. Sebaliknya, Puru tiba-tiba bermetamorfosis tua.
Yayati memenuhi janjinya. Takhta kerajaan ia serahkan kepada Puru yang kemudian termasyhur sebagai raja yang memerintah dengan adil dan bijaksana.
Sementara itu, Yayati hidup usang dan menikmati kehidupan sebagai orang muda. Ia reguk segala kenikma- tan duniawi dengan gairah yang tak pernah terpuaskan. Ia pergi ke Taman Kubera dan tinggal di sana selama bertahun-tahun bersama wanita-wanita anggun dan para bidadari. Bertahun-tahun ia melampiaskan hawa nafsunya dan menuruti semua keinginannya, tetapi tak pernah merasa puas. Di balik itu semua, ia merasa hidupnya hampa dan tak berarti alasannya yaitu hanya mengejar kenik- matan. Akhirnya ia sadar, semua itu sia-sia.
Yayati kembali ke kerajaannya kemudian menemui Puru. Kepada putranya itu ia berkata, “Anakku sayang, kini ayahmu sadar. Ternyata nafsu berahi tidak sanggup dilawan dengan melampiaskannya. Ibarat memadamkan api dengan minyak. Padahal saya sudah mendengar dan mem- baca anutan itu semenjak muda, tetapi tidak menyadarinya. Baru sesudah menjalani kehidupan serba bebas tanpa kekangan, Ayah menjadi sadar. Tak satu pun keinginan duniawi, ibarat gandum, emas, sapi, perempuan, dan lain- lain, sanggup menciptakan insan merasa puas. Tak satu pun sanggup menciptakan insan merasa damai. Kita hanya sanggup mencapai kedamaian dengan keseimbangan jiwa yang mengatasi segala kesenangan dan ketidaksenangan. Kete- nangan jiwa dan perasaan tenang yang sejati yaitu karunia mulia dari Yang Maha Kuasa.
“Wahai Puru putraku, ambillah kembali kemudaanmu dan perintahlah kerajaan ini dengan bijaksana dan penuh kebajikan.”
Setelah berkata demikian, Yayati memeluk putranya. Seketika itu juga ia bermetamorfosis bau tanah renta dan Puru kembali menjadi muda. Puru meneruskan pemerintahan- nya dengan adil dan bijaksana.
Raja Puru memiliki putra berjulukan Dushmanta, yang kelak kawin dengan Syakuntala, putri angkat Resi Kanwa. Anak Syakuntala dan Dushmanta dinamai Bharata. Kelak, anak keturunan Bharata menjadi wangsa yang termasy- hur.
Setelah mendapat kembali ketuaannya, Yayati pergi ke hutan. Di sana ia bertapa dan menjalankan ajaran- anutan suci sampai datang waktunya ia kembali ke surga.
Bersambung...