Mahabarata Episode 13: Drona Seorang Brahmana Dan Kesatria

 Drona ialah putra seorang brahmana berjulukan Bha Mahabarata Episode 13: Drona Seorang Brahmana dan Kesatria
StarPlus.in
Sebelumnya...
Drona ialah putra seorang brahmana berjulukan Bha- radwaja. Setelah final mempelajari banyak sekali kitab Weda dan Wedangga, Drona memusatkan hati dan piki- rannya untuk mempelajari seni dan keahlian memperguna- kan senjata dan peralatan perang. Karena talenta dan ketekunannya, ia menjadi mahir dalam olah senjata dan menguasai ilmu perang.
Brahmana Bharadwaja berkawan dengan Raja Panchala yang memiliki putra berjulukan Drupada. Pangeran ini ialah mitra Drona dalam berguru olah senjata dan ilmu perang. Di antara mereka tumbuh rasa persahabatan yang erat dan mereka saling mengasihi. Semasa masih sama- sama berguru itu, Drupada sering berkata kepada Drona, kelak jikalau ia naik takhta menjadi raja, setengah keraja- annya akan diberikannya kepada Drona.
Setelah tamat belajar, Drona menikah dengan adik Kripa dan dikaruniai seorang putra yang diberi nama Aswatthama. Ia sangat menyayangi istri dan anaknya dan demi mereka ia berusaha keras untuk memperoleh kekaya- an yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehnya.
Pada suatu hari, ia mendengar bahwa Parasurama sedang membagi-bagikan kekayaannya kepada para brah- mana. Ia kemudian pergi menemui Parasurama. Tetapi sayang, ia tiba sangat terlambat. Parasurama telah membagikan semua kekayaannya kepada para brahmana dan telah ber- siap hendak pergi ke hutan untuk bertapa. Karena ingin menawarkan sesuatu kepada Drona, Parasurama mena- warkan untuk mengajarkan ilmu olah senjata berat kepada Drona alasannya ialah itulah keahliannya.
Drona menyambut proposal itu dengan gembira, lebih- lebih alasannya ialah ia sendiri sudah mahir berolah senjata. Sete- lah menyerap ilmu yang diberikan Parasurama, ia menjadi hebat dalam olah segala macam senjata dan hebat siasat perang yang tiada tandingnya. Keahliannya itu membuat- nya bisa menjadi guru di istana raja mana pun.
Sementara itu, Raja Panchala wafat dan Drupada dino- batkan sebagai raja menggantikan ayahnya. Ingat akan persahabatannya dan komitmen Drupada untuk memberinya setengah dari kerajaannya sesudah ia naik takhta, pergilah Drona menemui sahabatnya itu. Ia yakin, Drupada niscaya akan menyambutnya dengan bangga dan memenuhi janjinya.
Tetapi, hingga di istana Panchala, Drona kecewa alasannya ialah sambutan Drupada sangat dingin. Raja gres itu tidak peduli padanya dan tampak tidak bahagia melihatnya. Drupada bahkan berpura-pura tidak kenal, meskipun Drona sudah memperkenalkan diri dan mengingatkannya akan persahabatan mereka.
Drupada yang haus kekayaan dan kekuasaan berkata, “Hai brahmana, betapa lancangnya engkau, menyampaikan saya ini temanmu. Persahabatan menyerupai apakah yang ada antara seorang raja dan seorang pengemis pengembara? Kau niscaya gila, menyampaikan ada persahabatan di masa kemudian antara aku, raja kerajaan ini, dengan kau, pengemis miskin. Tak mungkin saya yang kaya raya dan terpelajar dekat dengan pengemis miskin yang tak terperinci asal usulnya. Persahabatan hanya bisa terjalin di antara mereka yang sederajat.”
Setelah berkata demikian, Drupada menyuruh huluba- langnya mengusir Drona.
Dengan perasaan aib dan amarah yang terpendam, Drona meninggalkan istana sahabatnya. Hatinya panas oleh kebencian dan dendam yang membara. Ia bersumpah akan membalas dendam dan menghukum Drupada yang arogan dengan penghinaan menyerupai yang telah diterimanya. Dari Panchala, Drona pergi ke Hastinapura untuk mencari pekerjaan sebagai guru. Di sana untuk sementara ia ting- gal di rumah abang iparnya, yaitu Mahaguru Kripa.
Pada suatu hari, para putra raja bermain di luar ger- bang istana. Ketika sedang asyik bermain, bola dan cincin Yudhistira jatuh ke dalam sumur. Mereka menghentikan permainan dan bangkit mengelilingi sumur itu. Mereka hanya bisa memandangi bola dan cincin yang tampak berkilau di dasar sumur. Tak seorang pun tahu bagaimana cara mengambilnya. Ketika itulah, tahu-tahu tiba seo- rang brahmana berkulit hitam. Brahmana itu memandang mereka sambil tersenyum.
“Wahai, para Pangeran, Tuan-Tuan ialah keturunan wangsa Bharata yang perkasa,” kata brahmana itu mengejutkan mereka. “Mengapa Tuan-Tuan tidak bisa mengambil bola itu dari dalam sumur? Bukankah siapa pun yang mahir berolah senjata perang mengetahui cara mengambil bola itu? Atau ... bolehkah saya menolong kalian?”
Yudhistira berkata sambil tertawa, “Wahai, Brahmana, kalau kamu memang bisa mengambil bola itu, kami akan menjamu engkau dengan masakan lezat di rumah Maha- guru Kripa.”
Brahmana berkulit hitam itu mengambil sehelai rum- put, mengucapkan mantra, kemudian membidikkan rumput itu ke arah bola di dalam sumur. Seperti anak panah lepas dan busurnya, rumput itu melesat ke bawah kemudian menan- cap pada sasaran. Brahmana itu membidikkan beberapa helai rumput lagi. Rumput-rumput itu menancap sam- bung-menyambung menjadi semacam tali panjang. Setelah tali itu cukup panjang, brahmana itu menariknya dan bola itu berhasil dikeluarkan dan dalam sumur.
Para pangeran takjub melihat kepandaian brahmana itu. Kemudian mereka memintanya mengambilkan cincin Yudhistira. Brahmana itu menyanggupi. Ia meminjam sebatang anak panah kemudian membidikkan anak panah itu ke arah cincin di dasar sumur. Sekali lagi ia berhasil menge- nai sasaran. Kemudian ia menarik anak panah itu dari dalam sumur, bersama cincin yang kemudian diserah- kannya kepada Yudhistira sambil tersenyum.
Menyaksikan semua itu, para putra raja itu semakin takjub. Salah seorang dari mereka berkata sambil mem- bungkuk memberi hormat, “Selamat untukmu, wahai Brahmana. Siapakah bergotong-royong engkau ini? Apa yang sanggup kami perbuat untukmu?”
Brahmana itu berkata, “Putra-putra raja yang belia, pergilah bertanya kepada Bhisma. Dialah yang tahu, siapa bergotong-royong saya ini.”
Dari citra yang dilukiskan oleh putra-putra raja itu, Bhisma menyimpulkan bahwa brahmana itu tak lain dan tak bukan ialah Drona, kesatria sakti yang termasy- hur. Bhisma memutuskan bahwa Drona ialah orang yang paling sempurna untuk menawarkan pendidikan lanjutan kepada Pandawa dan Kaurawa. Ia menyuruh Yudhistira memanggil brahmana itu untuk menghadap di istana.
Demikianlah, Bhisma mendapatkan Drona dengan penghor- matan istimewa dan mengangkatnya sebagai guru Pan- dawa dan Kaurawa dengan kiprah mengajarkan keteram- pilan olah senjata, berat maupun ringan, dan mengajarkan banyak sekali ilmu perang.
Setelah Pandawa dan Kaurawa cukup menguasai olah senjata dan siasat perang, Drona mengutus Karna dan Duryodhana menangkap Drupada hidup-hidup. Dia ber- kata bahwa itu ialah kiprah dan kewajiban yang harus dijalani seorang siswa sebelum ia dinyatakan berhasil menamatkan pelajarannya. Kedua orang itu pergi men- jalankan perintah guru mereka. Sayang, mereka gagal melaksanakannnya. Kemudian Drona mengutus Arjuna dengan kiprah yang sama. Arjuna berhasil mengalahkan Drupada dan menangkapnya hidup-hidup. Ia kembali ke Hastinapura bersama tawanannya yang kemudian diserah- kannya kepada Drona.
Sambil tersenyum Drona berkata kepada Drupada, “Paduka Tuanku Raja Yang Agung, jangan khawatir akan keselamatan jiwamu. Di masa muda kita pernah bersaha- bat. Tetapi, dengan sengaja engkau melupakan persahaba- tan kita. Engkau bahkan menghina dan mengusir saya dari istanamu. Engkau pernah berkata, bahwa seorang raja hanya dekat dengan sesama raja, bahwa persahaba- tan hanya bisa terjalin di antara orang-orang yang sede- rajat. Sekarang saya telah menjadi raja dan muridku telah menaklukkan kerajaanmu. Meskipun begitu, saya ingin memulihkan persahabatan kita. Karena itu, kuberikan padamu setengah dari kerajaanmu yang telah menjadi milikku.”
Setelah berkata begitu, Drona menyuruh Arjuna mem- bebaskan Drupada, mengawalnya kembali ke Kerajaan Panchala, dan memperlakukannya dengan penuh penghor- matan. Drupada yang mendapatkan perlakuan itu justru merasa sangat terhina. Seandainya Drona memperlaku- kannya dengan bernafsu dan kejam, beliau lebih bisa menerima. Tetapi ... penghinaan halus yang dibungkus penghormatan justru terasa lebih kejam dan lebih menyakitkan hati.
Drona puas, dendamnya telah terbalas. Sementara Dru- pada mencicipi akar-akar dendam dan kebencian kepada Drona mulai menancap dalam-dalam di hatinya. Dalam hidup ini hanya sedikit sekali yang sanggup diderita oleh hati melebihi luka yang ditancapkan untuk merusak kehor- matan seseorang.
Dengan hati gelap penuh dendam, Drupada melaksana- kan upacara-upacara keagamaan untuk memohon kepada para dewata semoga dianugerahi seorang anak pria yang kelak bisa membalaskan dendamnya dengan membunuh Drona dan seorang anak wanita yang kelak akan menikah dengan Arjuna. Usaha Drupada berhasil. Istrinya melahirkan seorang anak pria yang diberi nama Dristadyumna dan seorang anak wanita yang diberi nama Draupadi. Kelak Dristadyumna menjadi senapati agung yang memimpin balatentara Pandawa dalam perang besar di padang Kurukshetra dan Draupadi menjadi istri Arjuna
Bersambung...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel