Mahabarata Episode 12: Karna Anak Sais Kereta Kuda
Senin, 15 September 2014
StarPlus.in |
Putra-putra Pandawa dan Kaurawa mempelajari ketram- pilan memakai banyak sekali senjata perang dan ber- latih berperang di bawah bimbingan Mahaguru Kripa dan Mahaguru Drona. Setelah cukup usang berguru dan berlatih, kedua mahaguru itu memilih hari baik untuk menguji kecakapan mereka di hadapan Raja, para kerabat, para panglima dan rakyat.
Pada hari yang telah ditentukan, semua hadir di seke- liling arena olah senjata di istana untuk menyaksikan para putra raja yang mereka kasihi bertanding memperlihatkan kemahiran masing-masing.
Di antara semua pangeran yang akan diuji kebolehan- nya, Arjunalah yang mempunyai kemampuan melebihi para pangeran lainnya. Ketika memasuki arena, ia disambut tepuk tangan gemuruh dan sorak sorai membahana. Semua yang hadir mengelu-elukannya. Melihat sambutan luar biasa yang diterima sepupunya, Duryodhana menge- rutkan alisnya yang hitam tebal. Wajahnya keruh dan matanya menyorotkan rasa dengki, amarah dan iri hati.
Satu per satu para pangeran dipanggil ke tengah arena untuk memperlihatkan kemahiran mereka dengan saling berlaga. Tak satu pun sanggup mengalahkan kesaktian dan kemahiran Arjuna. Pagi berganti siang, siang berganti sore, dan sore merambat menjadi senja temaram. Suasana di arena semakin seru. Tak henti-hentinya rakyat bersorak- sorai memberi semangat kepada pangeran pujaan mereka.
Dalam keremangan senja, tiba-tiba terdengar bunyi gemuruh menderu-deru dari arah gerbang arena, disusul ledakan menggelegar menyerupai sambaran halilintar. Itu ada- lah bunyi ledakan senjata jago sebagai tanda adanya tantangan kepada sang pemenang ujian laga hari itu. Semua kepala menoleh ke arah gerbang. Orang-orang menyibak, memberi jalan bagi seorang cowok gagah perkasa yang wajahnya bersinar-sinar. Pemuda itu maju ke tengah arena, mendekati Arjuna tanpa mempedulikan Mahaguru Kripa dan Mahaguru Drona. Para Pandawa, yang tidak mengetahui bahwa cowok itu ialah Karna, saling berpandangan dengan hati ber- tanya-tanya. Mereka tidak tahu suratan nasib yang sedang mereka hadapi. Mereka tidak tahu, sesungguhnya Karna ialah saudara mereka satu ibu.
Sampai di depan Arjuna, Karna berkata dengan bunyi lantang dan bergema bagai guruh, “Wahai Arjuna, saya menantangmu berkelahi kemahiran olah senjata. Akan kuperli- hatkan padamu, siapa sesungguhnya yang lebih sakti di antara kita berdua.”
Tiba-tiba Mahaguru Drona berdiri berdiri kemudian mening- galkan daerah duduknya. Sementara itu, Karna yang sangat ingin memperlihatkan kesaktiannya, dengan gampang dan dengan perilaku tak peduli sanggup menandingi semua kecakapan olah senjata yang ditunjukkan oleh Arjuna.
Melihat itu, Duryodhana merasa senang. Dia maju ke tengah arena, menyalami Karna, kemudian memeluknya erat- erat sambil berkata, “Selamat tiba wahai kesatria sejati. Senjata Tuan sungguh luar biasa. Kami sungguh berun- tung Tuan sudi tiba kepada kami. Kami, keturunan wangsa Kuru, siap menunggu perintah Tuan.”
Karna menjawab, “Aku, Karna, berterima kasih kepada- mu, wahai Pangeran. Hanya dua hal yang saya butuhkan di sini. Pertama, cinta kasihmu. Kedua, kesempatan untuk bertarung melawan Partha alias Arjuna.”
Sekali lagi Duryodhana memeluk Karna erat-erat sambil berkata, “Semua harta kekayaanku akan kuserahkan kepadamu demi kebahagiaanmu, Tuan.”
Rasa gembira memenuhi dada Duryodhana. Tingkah laris dan ucapannya menciptakan Arjuna tersinggung dan murka sekali. Dengan tajam ia memandang Karna yang berdiri tegak dengan angkuhnya sambil mendapatkan salam dari para Kaurawa.
Arjuna berkata, “Hai Karna, akan kubunuh dan kukirim engkau ke neraka. Berani benar kamu masuk ke arena ini tanpa diundang dan bicara sombong di depan kami semua.”
Karna tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata dengan nada mengejek, “Arena ini terbuka bagi siapa saja, hai Arjuna! Bukan hanya bagimu. Kekuasaan yang bertuah ialah kekuasaan yang berdaulat, dan aturan ditata ber- dasarkan kedaulatan itu. Tetapi, apa gunanya banyak cakap? Cakap kosong ialah senjata kaum lemah. Bidik- kan panahmu, jangan kata-kata!”
Mahaguru Drona memberi isyarat, mengijinkan Arjuna mendapatkan tantangan itu. Segera sehabis berpelukan dengan saudara-saudaranya, Arjuna berdiri tegak, siap untuk bertanding. Sementara itu, Karna yang senang sebab sambutan hangat Kaurawa, segera bersiap untuk menghadapi Arjuna.
Hari menjelang malam, namun tiba-tiba langit menjadi terperinci benderang seolah-olah para dewata dan orangtua para pendekar tiba hendak mengelu-elukan putra-putra mereka dalam olah perang tanding. Memang demikianlah, Batara Indra Dewa guruh dan petir, Batara Bhaskara Dewa sinar abadi, serta Batara Surya Dewa matahari muncul di angkasa. Semua yang hadir di sekeliling arena terpana melihat keajaiban itu.
Sementara itu, begitu melihat Karna yang tampan, Kunti eksklusif mengenali putra sulungnya. Ia terkejut, duka dan cemas melihat kedua putranya berhadapan, siap mengadu kesaktian. Tak kuasa menahan kegalauan hatinya, Dewi Kunti jatuh pingsan. Widura menolongnya hingga sadar kembali. Dewi Kunti berdiri terpaku, tak tahu harus berbuat apa.
Ketika Arjuna dan Karna telah siap untuk berperang tanding, Mahaguru Kripa yang menguasai aturan segala jenis pertempuran, turun ke tengah arena kemudian berdiri di antara keduanya. Kemudian ia berkata, “Putra raja yang siap bertempur dengan Tuan ini ialah putra Pritha dan Pandu dan berasal dari keturunan wangsa Kuru. Sadarlah, wahai kesatria perkasa, nenek moyang Tuan dan wangsa Tuan telah mengatakan teladan mulia wacana asal usul Tuan. Hanya sehabis mengetahui asal usul Tuan, Partha boleh bertempur melawan Tuan. Menurut aturan perang tanding, putra raja yang bergaris kelahiran mulia dihentikan bertanding melawan seorang petualang yang tak dikenal.”
Mendengar kata-kata mahaguru itu, serta merta Karna tertunduk lunglai bagai sekuntum teratai layu. Tetapi Duryodhana bangkit, berdiri tegak, kemudian berkata lantang, “Kalau perang tanding ini tak bisa dilangsungkan hanya sebab Karna bukan seorang putra raja, gampang saja. Aku nobatkan Karna sebagai Raja Angga.”
Setelah berkata begitu, ia meminta Bhisma dan Drita- rastra untuk mempersiapkan upacara penobatan. Mahkota bertahtakan permata dan semua lambang kebesaran raja segera disiapkan. Dalam waktu singkat, Karna, yang ma- suk ke arena sebagai anak seorang sais kereta, dinobatkan menjadi raja Kerajaan Angga. Dengan demikian, martabat kedua orang muda itu sekarang sepadan.
Ketika keduanya siap bertanding, tiba-tiba muncullah Adhirata, ayah angkat Karna. Sambil mengacungkan tong- katnya, ia maju ke depan. Tubuhnya gemetar sebab amat cemas. Adhirata terkejut melihat anaknya mengenakan mahkota raja.
Melihat ayahnya, Karna mengunjukkan sembah hormat dengan kepala tunduk. Adhirata memeluknya dengan tangan gemetar dan air mata berlinang-linang. Hatinya terharu, penuh cinta berlimpah-limpah. Wajahnya yang sudah keriput teperciki air suci yang menetes dari mahkota Karna.
Pada dikala itulah Bhima tertawa terbahak-bahak sambil berkata, “Oo, ternyata ia anak sais kereta kuda. Tariklah kereta dan paculah kudamu menyerupai yang dikerjakan ayahmu! Engkau tak cukup berharga untuk mati di tangan Arjuna. Kau juga tidak pantas menjadi raja Kerajaan Angga.”
Mendengar kata-kata Bhima yang tajam, bibir Karna bergetar sebab sangat marah. Begitu marahnya dia, hing- ga tak kuasa berkata-kata. Ia hanya menatap matahari yang sedang karam di yojana barat sambil menarik napas panjang.
Tetapi, Duryodhana berteriak memotong kata-kata Bhima yang menghina, “Hai Wrikodara, tak pantas engkau berkata demikian. Hakikat seorang kesatria ialah keberaniannya, bukan asal kelahirannya. Karena itu, tak ada gunanya kamu bicara wacana asal usul seorang pendekar besar atau mata air sungai yang mahaluas. Aku bisa berikan ratusan orang yang berasal dari kelahiran sederhana sebagai teladan bagimu. Aku tahu, sungguh tidak yummy ditanyai mengenai asal usul. Lihatlah kesatria ini, perawakan dan sikapnya bagai dewata. Senjata dan anting-antingnya yang kemilau! Lihatlah kemahirannya mempergunakan banyak sekali senjata! Pastilah ada sesuatu yang tersembunyi wacana dirinya. Sebab, bukankah mustahil seekor harimau lahir dari perut seekor biri-biri? Katamu ia tidak pantas menjadi Raja Angga. Sebaliknya, saya menganggap ia sangat berharga dan pantas meme- rintah seluruh dunia.”
Setelah berkata begitu, Duryodhana menyambar Karna, menaikkan ke keretanya, kemudian memacu kereta itu secepat kilat, meninggalkan arena.
Matahari pun eksklusif lenyap dari angkasa. Langit gelap gulita. Rakyat bubar dengan ribut. Suasana kacau balau. Orang berkelompok-kelompok membicarakan peris- tiwa yang gres saja terjadi. Ada yang memuji Arjuna, ada yang memuji Karna, ada pula yang memuji Duryodhana.
Batara Indra tahu, pertarungan sengit antara putranya dan putra Batara Surya tak mungkin dihindari lagi. Jika tidak dikala ini, niscaya akan terjadi kelak di kemudian hari. Untuk melunturkan kesaktian Karna, Batara Indra menya- mar sebagai seorang brahmana. Ia pergi menemui Karna yang populer sangat dermawan. Ia memohon semoga diberi anting-anting dan senjatanya. Karna tak sanggup menolak undangan seorang brahmana, walaupun Batara Surya telah memperingatkannya dalam mimpi, bahwa Batara Indra akan mencoba mencuri kesaktiannya. Akhirnya, Kar- na mengatakan anting-anting dan senjata yang dibawanya semenjak lahir kepada brahmana itu.
Batara Indra kaget tetapi senang mendapatkan pemberian itu. Ia memuji Karna yang rela meluluskan undangan itu. Karena malu melihat ketulusan hati Karna, Batara Indra mengatakan senjata sakti kepada cowok itu.
Karna menjawab, “Aku ingin mempunyai senjatamu yang sakti, semoga saya bisa mengalahkan semua musuhku.”
Batara Indra mengabulkan undangan Karna dan mem- berikan mantra senjatanya yang mahasakti sambil berkata, “Senjata ini hanya akan sanggup engkau gunakan satu kali saja. Siapa pun musuhmu, betapa pun saktinya dia, kamu niscaya sanggup memusnahkannya dengan senjata ini. Tetapi, sehabis sekali kaugunakan, kamu tidak sanggup menggunakan- nya lagi. Dan... ingat, begitu selesai kaugunakan, senjata ini harus kaukembalikan kepadaku.” Setelah berkata demikian, Batara Indra kembali ke kahyangan.
Berbekal senjata pemberian Batara Indra, Karna pergi menemui Parasurama. Ia menyamar sebagai seorang brah- mana semoga diterima menjadi muridnya. Dari Parasurama ia mempelajari mantra semoga sanggup mempergunakan senjata terunggul yaitu Brahmastra.
Pada suatu hari, Parasurama meletakkan kepalanya di pangkuan Karna dan jatuh tertidur. Seekor serangga menyelinap ke kaki Karna dan menggigit pahanya hingga berdarah. Walaupun sangat kesakitan, sedikit pun Karna tidak bergerak sebab khawatir gurunya akan terganggu tidurnya.
Beberapa waktu kemudian dikala Parasurama terbangun dan melihat darah mengalir dari paha Karna, ia berkata, “Muridku terkasih, engkau niscaya bukan seorang brahmana. Hanya seorang kesatria sejati yang sanggup menahan segala siksa ragawi tanpa bergerak sedikit pun. Katakan padaku, siapa gotong royong dirimu.”
Karna mengaku bahwa ia telah berdusta dengan menya- mar sebagai brahmana. Ia berkata bahwa sesungguhnya dirinya hanyalah anak sais kereta kuda.
Mendengar itu, Parasurama menjadi murka dan mengu- capkan kutuk-pastu pada Karna, “Hai, anak muda, berani benar engkau menipu gurumu. Sebagai hukuman, Brah- mastra yang telah engkau pelajari takkan bisa kaugunakan di dikala yang memilih hidup-matimu. Engkau takkan bisa mengingat mantra panggilan itu pada dikala engkau memerlukannya.”
Kelak, ketika melawan Arjuna di medan perang Kuruk- shetra, Karna tak bisa mengingat mantra pemanggil senja- ta Brahmastra sebab kutuk-pastu Parasurama.
Setelah diusir oleh Parasurama, Karna kembali ke Ang- ga dan kemudian menjadi mitra tepercaya Duryodhana. Sampai dikala terakhir hidupnya, Karna selalu setia kepada Kaurawa bersaudara sebab merekalah yang telah membe- rinya kehidupan yang lebih baik dan selalu menghargainya sebagai kesatria yang sederajat. Dalam perang besar Bharatayuda, sehabis Bhisma dan Drona mangkat, Karna diangkat menjadi senapati agung yang memimpin bala- tentara Kaurawa dengan gagah berani.
Bersambung...