Cerpen: 1001 Kenikmatan Kebebasan

 Sehingga kamu yaitu makhluk  pembebasan Cerpen: 1001 Kenikmatan Kebebasan
Kau yaitu Sperma yang meliuk-liuk, bergerak bebas. Bergerak liar, memburu mangsa. kamu bertarung dengan kawanmu sendiri. Walau hukum dihidangkan, kamu bebas memilih. Memilih dengan mengusai kebebasan.

Tiap kebebasan berdasarkan aturanmu. Sehingga kamu yaitu makhluk pembebasan. Kau usulkan kebebasan kehidupan dengan aturanmu. Kau menciptakan patung simbol kebebasan. Tak puas, hingga kamu bebas mengharapkan 1001 lebih kenikmatan, tiba atas nama kebebasan kehidupan. Dan kamu bebas menikmati. Bebas pula mengingkari seribu satu kenikmatan.

Pantaslah malaikat di atas langit merasa iri melihatmu. Kau punya surat kuasa untuk bebas merusak. Kau hanya makhluk perusak kehidupan dunia. Kau sombong. Kau berlagak berkuasa. Unggul di antara para makhluk Tuhan.

“Kenikmatan sudah kamu raih.”

Kau terlahir. Kau telentang. Kau merangkak. Kau berjalan. Kau berlari-lari.
Kau sanggupi kehidupan. Nafsumu memburu agresif seiring dewasamu.
Kau memburu makanan, memburu harta, memburu kuasa, memburu cinta, dan memburu segalanya. Tapi kamu berhasrat memburu dunia dari sisi gelapnya.

“Kenikmatan hidup kamu peroleh. Kau hirup udara kebebasan hidup.”

Kau lapar, makan. Kau haus, minum. Tapi kamu lahap dengan kenikmatan rakus. Seolah kerakusan yaitu kenikmatan. Kau pun tahu, kenikmatan tidaklah dari suatu yang berlebih dalam kepemilikan. Melainkan dari suatu yang bernilai berbagi. Perutmu butuh nilai pembagian. Jangan kamu selalu isi dengan kekenyangan. Berilah kebebasan untuk kehidupan laparmu.

“Masihkah kamu mau menikmati?” Kau terdiam saja. Padahal kamu punya kenikmatan ekspresi dalam berbicara. Mungkin kamu bebas dalam penentuan jadwal bicaramu. Kau berhak itu dan kamu hanya berhak mendapatkan acuhmu.

Lalu kamu pergi. Meninggalkan aku. Bergerak bebas. Dasar Sperma! Kau hanya mengurusi kehidupanmu sendiri. Berurusan dengan orang lain hanyalah untuk kepentingan nafsumu.

Malam kamu membawa barang. Sembari lelah. Cemas menemani pula. Kau kucurkan keringat di tubuh. Keringkan badan dalam kawasan teduh. Lalu kamu pamerkan komplemen yang ada pada potongan jari, dompet bercampur darah, dan celana dalam perawan berwarna kelabu. Sungguh inilah caramu mempertahankan hidup. Sperma hina semakin hina, berwarna lumpur lapindo.

Betapa kamu malas melongok sisi terang. Padahal kenikmatan sejati ada di dalamnya: menerangi dunia dan menampakkan keindahan di tiap bunga- bunga. Betapa kamu hanyut dalam sisi gelap, di dikala indah bunga tak akan berwarna tanpa cahaya. Bunga tak ada keindahan. Tak nikmat dipandang mata. seharusnya kamu berpikir, tak ada kehidupan jika dunia gelap gulita.

Kau bebas menggunakan warna kegelapan: wajah kegelapan, berbaju kegelapan, ruang nongkrong kegelapan, dan cinta dalam kamar kegelapan.

“Inikah kenikmatanmu dalam hidup?”

Kau hanya suguhkan kemarahan padaku. Kau tak menjawab. Kau tinggalkan pertanyaanku begitu saja, Sperma! Apakah kebebasan bersuara tak ada untukku? Untuk seorang pengagum kenikmatan terperinci cahaya. Sungguh, cuma dunia gelap yang bebas bersuara, bebas menyuruh orang untuk memasukinya. “Kau tak akan mencicipi kenikmatan sejati jika menikmati dengan kemarahan!”

Berhari-hari kamu luangkan waktu hanya untuk berburu harta iblis yang maha terkutuk. Berhari-hari pula kamu pamerkan hasil kegelapanmu padaku. Kau pun menyuguhkan hasil itu untukku. Tapi saya tolak, Sperma! Kau merasa bahagia menjual barang najis itu. Tapi entah, apa yang kamu senangi terhadap barang itu. Padahal hidupmu tertekan kehidupan itu sendiri alasannya barang itu. “Mana ada dunia gelap yang nyaman di dikala kegelapan itu menutupi kehidupan? Kau akan tertabrak, atau menabrak.”

Lantas kamu meningkat derajat. Nasib beruntung tetap hadir pada seorang pengagum dunia gelap. Kau tersenyum nikmat. Usaha kegelapanmu meledak sukses. Sperma mafia, sekarang berkuasa. Kau banyak harta. Harta banyak, berlebih, hingga di tangan bawahanmu, di selimut selingkuhanmu, di legalitas rumah pelacuran, di saku aparat, di bra bunga raya, dan di amplop penguasa politik. Sampai kamu melenggang santai tak tertekan lagi perihal pemburuan itu. Kau telah punya kuasa.

“Apakah hidup muliamu masih terasa nikmat di dikala kemuliaan hidupmu diperoleh dari jalan kegelapan?”

Kau hanya tersenyum. Lantas kamu pergi.

Sampai berhari-hari kamu pergi. Kini kamu kembali. Sepulangnya di rumah, kamu bawakan buah tangan gadis cantik. Kau pamerkan ke hadapanku. Lantas kamu bermain dalam kegelapan kamarmu.

Terus-menerus kamu selalu bawakan gadis. Kau menusuk dengan delusi cinta sehingga mereka cucurkan darah murung atau cucurkan darah kenikmatan. Entah apa keinginanmu. Kau bertingkah dengan spermamu. Nafsu-nafsu bersarang, menyerang: dalam kelembutan atau kekerasan. Menusuk, menerobos pembatas, dan kamu leluasa. Setelah itu kamu bebas tak peduli. Kau nikmati sendiri. Kau tinggalkan gadis-gadis itu. lalu, gadis- gadis itu menjadi bunga raya sejati alasannya ulahmu.

“Apakah kenikmatan sanggup dirasakan sejati jika bermain kelamin?”

Kau tertawa dikala saya bertanya. Seolah-olah memang benar perihal perkiraanku. Dan saya melongok lagi pada keburukannya.

“Siapakah yang menjual gadis-gadis?” Bukankah kegadisan hanya sanggup dibeli dengan mediator penghulu, saksi dan seindah mahar?”

Kau beralasan. Kau sanggup beralasan. Kau seenaknya beralasan dengan kebebasan kekuasaan. Kau merujuk pada dongeng para tokoh glamor yang beristri sepuluh, bahkan lebih, lewat jual-beli rahasia. Sah. kamu tak perlu menutup aib-lewat jual-beli rahasia-dalam menikmati rembulan-rembulan remaja. Tak ibarat para tokoh glamor lainnya. Memang, kamu penganggum kegelepan hidup yang sejati.

“Sialan kau, Sperma! Aku tetap tak terima!”

Lihat saja para korban jawaban ulahmu, Sperma. Kini jawaban kesuksesanmu menguasai jagat dengan label kebebasan yang hakiki, menyebar luas tema perihal kebebasan. kerap kali kebebasan ini mengikuti kebebasan warna kehidupan gelapmu.

Kebebasan sex, tapi kerap kali melaksanakan kebebasan pelecehan seksual. Beringas dalam melaksanakan kepungan terhadap mangsanya. Mengikat cincin tapi selingkuhan dimana-mana. Kerap kali memaksakan kehendak dengan muslihat: iming-iming menerima kerja, rayuan cinta, dan dengan segala macam paksa halus di dikala para korban tak mau dalam hal yang berbau sex.

“mereka sebut itu yaitu kenikmatan?”

Kau jawab pertanyaanku dengan mencolek dua buah kenikmatanku.
“Biadab!!!”

Pergaulan bebas tapi kerap kali saling hantam, saling tusuk, saling gasak, saling paksa, saling menguasai dan segala macam pergaulan bebas lainnya.

“Itu bukan pergaulan bebas! Tapi acara pengurungan diri dalam tempurung! Hidup mereka akan penuh intel ancaman!”

Plak. Plak. Plak.

“Biadab! Itukah kenikmatan pergaulan bebasmu denganku?!”

Kau menyumpal mulutku dan mengikatku. Membawaku ke ruang gudang. Di situ kamu seenaknya melecehkan tubuhku. Kau menghalangiku beribadah. Kau mencegahku berbicara. Kau tak memperlihatkan pergaulan bebas untukku. Kau menutup semua jalan kebebasan.

“Masih adakah kawasan untuk menikmati kebebasan hidup dalam dunia terang, di dikala kebebasan dunia gelap menguasaiku?”

“Sialan! Aku tak terima perlakuanmu ini! Aku masih ingin mengomentari kehidupanmu! Aku masih punya pertanyaan perihal kebebasan beragama untukmu, kebebasan berpikir untukmu, dan segala macam pertanyaan perihal kenikmatan kebebasan untukmu. Tolong buka ikatan ini!”

Aku tanya dalam hati, Sperma! “Apakah hukum kebebasan gelapmu hanya untuk menerima kenikmatan hidup semata?”

Cerpen Karya : ELBUYZ
Pemilik situs : www.ebookbisnis.siteindo.com

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel