Berbeda - Cerpen Cinta Remaja

BERBEDA
Karya Elisabeth Cecilia
Sudah lima belas tahun lamanya saya tidak bertemu dengannya. Gadis elok yang cerewet, galak dan sedikit kasar. Mungkin membingungkan. Mengapa saya sanggup kenal baik dengan seseorang menyerupai itu bahkan saya erat dengannya.

Namanya Mandy. Aku mengenalnya ketika saya duduk di dingklik SMP. Ia selalu sendirian, tanpa teman. Memang ia cantik, ia cerdas, pintar bahkan selera humornya begitu tinggi sampai ia lupa siapa yang ada di hadapannya. Nyaris semua sobat di kelas bahkan sekolah tidak mau dekat dengannya sebab itu, sebab ia tidak sanggup membaca situasi.

Mandy juga suka kelepasan. Ia suka mengumpat jikalau terkejut. Tangannya ringan sekali untuk tidak segan-segan memukuli siapapun yang membuatnya tersingung.
Berbeda
Pernah suatu ketika Michel, sobat sebangkunya mengatai ia ndeso sebab tidak mengerti apa yang sedang diajarkan ibu guru matematika di kelas. Ketika itu Mandy menanyai Michel yang yaitu sorang anak laki-laki bertubuh imbang dengan dirinya, sedang dan agak gempal.
“Sel, kau ngerti yang dijelasin tadi?” tanya Mandy baik-baik,
“Ngerti.” jawab Michel nyaris tidak terdengar,
“Aku belum ngerti.”
“Ah, tanya saja ke gurunya.”
“Kamu kan yang ada disini, kenapa tidak kau saja?”
“Aku tidak mau mengajarimu. Kau itu ndeso sekali sebab tidak mengerti hal sepele semacam itu.” kata Michel dengan nada datar kemudian mengangkat sebelah bibirnya, menyengir.

Seketika wajah Mandy menjelma merah dan matanya melotot. Ia terlihat begitu emosi menanggapi Michel yang mengatainya. Lalu Mandy pribadi mengepalkan tangannya. Tanpa menimbang-nimbang ia pribadi melayangkan kepalan tangannya itu. Sebuah pukulan keras mendarat di wajah Michel yang masih mulus itu, dan disusul dengan jeritan yang sangat keras.

“Mandy!” Ibu guru menegur, mukanya tidak jauh merahnya dari Mandy. Sepertinya suasana kelas pada ketika itu sangat panas dan tidak ada kenyamanan. Mandy hanya membisu dan mencoba menahan amarahnya yang sedang meletup-letup itu.
“Apakah kau tidak mempunyai sopan santun?” tanya ibu guru dan matanya melotot. Mandy malah ikut melotot, bahkan lebih tajam dan kejam dari pada ibu guru sementara Michel yang habis dipukul itu hanya memegangi pipinya yang mulai membengkak. Untung giginya tidak copot.

Mandy di-skors seminggu sehabis insiden itu dan ia yaitu satu-satunya anak perempuan di sekolahku yang terjerat duduk kasus kekerasan menyerupai ini. Selama ia tidak masuk sekolah, akulah yang mengajarinya. Semua pekerjaan rumah saya bawa ke rumahnya semoga ia tidak kerepotan ketika masuk nanti. Ayah dan ibunya sama sekali tidak membencinya dan menghukumnya. Mereka sendiri juga orang-orang yang keras dan kuat. Namun yang saya bingungkan kehidupan mereka yang senang menyerupai tidak ada halangan.

Keluarga Mandy selalu baik denganku dan mereka sangat senang sebab saya mau menjadi sobat anak mereka yang sulit bergaul dan terlalu unik itu. Mereka selalu mengundangku setiap ada program pesta dan syukuran kecil-kecilan sekalipun. Dalam keluarganya, Mandy yaitu seseorang yang sangat baik dan ceria.
Namun tetap saja Mandy tidak disukai teman-teman sekelas terlebih sehabis perlakuan kasarnya kepada Michel. Mungkin sekolah menengah pertama bukanlah daerah yang ramah untuknya. Dengan kecerewetannya, ia tidak pernah berhenti mengeluhkan masalahnya kepadaku yang selalu ada untuknya,
“Ben, saya males sekolah lagi.” Katanya padaku,
“Kenapa?”
“Mereka itu suka menyulut namun mereka tidak mau apinya.” Jawaban Mandy sangat menyadarkanku perihal duduk kasus sebenarnya. Entah mengapa saya malah baiklah dengan apa katanya daripada pernyataan awalku. Aku merasa bahwa benar saja bahwa teman-teman lebih suka menyulut emosinya dengan kata-kata mereka yang sarkatis.

Mandy memang sering bicara kasar, bahkan mengumpat. Rupa-rupanya itu yang menciptakan citra perihal dirinya rusak dan karam begitu saja. Dan kenyataan itu berakhir ketika ia dan keluarganya pindah ke luar negeri. Aku tak tahu tepatnya mereka pindah kemana. Ayahnya yaitu seorang pegawai kedutaan dan selalu berpindah dari negara satu ke negara lain. Biasanya Mandy, ibu dan adiknya tidak pernah ikut namun kali ini mereka ikut.

Aku merasa sendirian sehabis Mandy pergi. Ia tidak berpamitan denganku bahkan siapapun. Tidak ada yang tahu ia kemana. Sendiri... Aku sendirian. Tidak ada lagi yang membicarakannya. Biasanya saya selalu bercanda dengannya dan kami saling tonjok bahkan tampar. Itu cara kami untuk bersenang-senang. Kami gres saling mengenal selama satu tahun dan itu yang paling dekat.

Sekarang, disebuah program fashion show disebuah gedung megah Jakarta saya melihatnya. Mandy Mariana ada disitu. Ia bangun sempurna sepuluh meter di depanku. Wajahnya terlihat begitu cendekia balig cukup akal dan tingginya sudah sekitar sepuluh senti meter lebih tinggi dariku, ia tidak sedang memakai hak tinggi. Tubuhnya langsing, kini ia yaitu seorang super model. Ya saya gres ingat siapa perempuan itu, saya ingat nama populernya, Mandy William. Ia mengganti nama belakangnya dengan nama depan kekasihnya, William Douglas yang kini ada di sampingnya. Sepertinya suasana hatiku semakin menjadi tidak karuan.

Aku hanya seorang wartawan dan harus meliput program ini. Sekilas saya merasa minder dengan Mandy. Ia terlihat berbeda bahkan pancaran kecantikannya sangat terasa. Aku juga ingat ketika salah satu temanku menyampaikan bahwa super model yang satu ini yaitu super model yang mempunyai kepribadian yang sangat luar biasa baik. Dari caranya menatap orang pun sudah berbeda. Perlahan saya mendekatinya tanpa memikirkan apapun, hanya mencoba mewawancarainya.

Aku terdiam, ia memandangiku. Mandy memperhatikanku dengan seksama dari ujung rambut ke unjung kaki. Ya, hanya aku. Ruben Aditya. Hanya seorang wartawan gres di sebuah majalah fashion yang belum begitu tahu siapa saja super model yang mendunia, belum tahu apa itu fashion, dan belum tahu niscaya perihal kehidupan artis-artis menyerupai itu.

Aku hanya seorang laki-laki yang mempunyai tinggi 165 senti meter dan badan yang cukup berisi. Aku hanya seorang yang sederhana dan tidak hidup glamour sepertinya. Astaga, saya ingin menghentikan perasaan ini sepenuhnya.
“Ben? Ruben?” Aku tidak percaya akan hal ini. Akhirnya ini terjadi, ia memanggilku.
“Mandy?” Kata-kataku seakan pelan dan tak terdengar.
“I miss you so much.” Mandy memelukku, kata-katanya itu terasa melelehkan hatiku, senyumku mengembang dan air mulai menggenang di mataku. Oh sahabat kecilku.
“Apakah kau berubah?” tanyaku sambil melepas pelukkan Mandy,
“Iya. Kau tahu? Tidak ada lagi umpatan kasar. Aku sudah bukan saya yang dulu.”
“Apakah kau suka itu?”
“Sebenarnya tidak terlalu. Aku rindu ketika saya bebas untuk apapun tapi kini ini duniaku yang saya perjuangkan. Kau tahu? Aku juga menjadi salah satu mentor disebuah kontes kecantikan. Aku tak mungkin menjadi menyerupai dulu.”
“Aku paham itu.” Kataku, “Kau ingat Michel?”
“Iya, bagimana kabarnya sekarang?”
“Baik, kini ia menjadi guru matematika.”
“Ehm.” Ia berdeham sejenak, “Pasti ia yaitu guru yang galak dan tidak mau mengajari muridnya dengan sungguh-sungguh.”
“Sepertinya ia menebus kesalahannya terhadapmu. Ia menjadi guru muda teladan, dan rata-rata siswanya sanggup menjadi pandai.” Tepisku dan memang ini kenyataannya.

Lalu Mandy mengenalkan kekasihnya kepadaku. Mereka akan menikah bulan depan, tampaknya mereka memang cocok dan pantas untuk bersama. Dalam penglihatanku, William yaitu sosok yang sangat bijaksana dan setia. Ia seorang pengusaha muda di Amerika Serikat. Usahanya sangat sukses dan ia yaitu sosok yang rendah hati. Aku mencoba untuk mengenalnya.

Lima belas tahun telah merubah segalanya. Merubah pandangan, sikap, dan rupa seseorang. Kini kehidupan yang dimiliki oleh Mandy yaitu kehidupan kelas atas. Sekarang memang ia tidak se-asik dulu, ia terlihat lebih dewasa, lebih teratur dan berkelas. Mungkin saya tak sepantasnya dekat dengannya apalagi ia akan menikah. Aku hanya menyimpan kisah ini. Kisah dimana setiap orang sanggup berubah dengan cara apapun kalau ada kemauan.

- The End -

PROFIL PENULIS
Elisabeth Cecilia atau yang kerap disapa Lisa atau El lahir di Semarang pada tanggal 17 November 1996 dan kini duduk di kelas XI IPS Sekolah Menengan Atas Kolese Loyola Semarang. Ia yaitu seorang yang suka sekali dengan kesenian dan berimajinasi. Setiap ada gagasan ia selalu menuangkannya dalam aneka macam bentuk kesenian termasuk menulis cerita, puisi dan lagu.
Add fb http://www.facebook.com/lisacecil.cinta
Follow @elelisalisa on twitter

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel