Mahabarata Episode 10: Pandawa Dilahirkan Di Hutan
Senin, 15 September 2014
Sebelumnya...
Pada suatu hari Raja Pandu pergi berburu di hutan. Di dalam hutan itu ada seorang resi yang sedang asyik bercengkerama dengan istrinya dan menyamar sebagai sepasang kijang. Pandu yang melihat sepasang kijang itu tidak menyangka bahwa mereka yaitu jelmaan seorang resi dan istrinya. Dia mengangkat panahnya, membidik mereka. Dan... meluncurlah anak panah dari tangan Pan- du, melesat cepat, sempurna menancap pada badan si kijang jantan.
Kijang itu jatuh terguling. Luka berdarah-darah. Dalam keadaan sekarat, kijang jantan itu berubah menjadi resi dan mengucapkan kutuk-pastu terhadap Pandu, “Hai, lelaki penuh dosa, rasakan kutukanku. Engkau akan menemui ajalmu sesaat sesudah engkau menikmati olah asmara dengan istrimu.” Setelah melontarkan kutukannya, resi itu menghembuskan napas yang penghabisan.
Pandu sungguh kaget mendengar kutukan sang resi. Dengan perasaan frustasi ia memikirkan tanggapan kutukan itu. Akhirnya ia tetapkan untuk mengundurkan diri dari kerajaan dan menyerahkan semua urusan kerajaan kepada Bhisma dan Widura. Pandu tetapkan untuk hidup mengembara di hutan bersama kedua istrinya untuk menyucikan diri dengan bersamadi dan bertapa.
Dewi Kunti sedih melihat suaminya terkena kutuk- pastu. Ia tahu, bekerjsama suaminya ingin sekali mempu- nyai keturunan tetapi tak kuasa mewujudkannya lantaran kutukan itu. Sebagai istri yang menyayangi dan setia kepada suaminya, ia merasa wajib menolong Pandu. Karena itu ia menceritakan diam-diam mantra mistik yang diterimanya dari Resi Durwasa.
Pandu mendesak kedua istrinya untuk memakai mantra itu guna memanggil dewa-dewa dari kahyangan. Dewi Kunti dan Dewi Madri menyanggupi seruan suami mereka. Bersama-sama mereka mengucapkan man- tra itu dan memohon semoga mereka dikaruniai anak.
Demikianlah yang terjadi. Kedua istri Pandu mengucap- kan mantra dan permohonan mereka dikabulkan. Lima yang kuasa turun dari kahyangan menemui kedua perempuan itu. Kemudian, dengan cara mistik Dewi Kunti melahirkan tiga putra dan Dewi Madri melahirkan putra kembar. Kelima putra itu dibesarkan di tengah hutan dalam asuhan orangtua mereka, dibantu para resi dan para pertapa di hutan itu.
Putra Dewi Kunti yang tertua diberi nama Yudhistira, artinya ‘yang teguh hati dan teguh doktrin di medan perang’. Putra ini lahir sebagai titisan Batara Dharma, Dewa Keadilan dan Kematian, dan disegani lantaran keteguhan hatinya, rasa keadilannya, dan keluhuran wibawanya. Putra kedua diberi nama Bhima atau Bhimasena, terlahir dari Batara Bayu, Dewa Angin. Bhimasena disegani sebagai penjelmaan wujud kekuatan yang luar biasa pada manu- sia. Ia dilukiskan sebagai orang yang pemberani dan berperilaku kasar, tetapi berhati lurus dan jujur. Putra ketiga diberi nama Arjuna, terlahir dari Batara Indra, Dewa Guruh dan Halilintar. Arjuna, yang berarti ‘cemerlang, putih higienis bagaikan perak’ disegani sebagai penjelmaan sifat-sifat pemberani, kebijaksanaan yang luhur, dermawan, lembut hati dan berwatak kesatria dalam membela kebenaran dan kehormatan. Putra kembar Dewi Madri diberi nama Nakula dan Sahadewa dan terlahir dari Dewa Aswin yang kembar, putra Batara Surya, Dewa Matahari. Putra kembar itu melambangkan keberanian, semangat, kepatuhan, dan persahabatan yang kekal.
Kehidupan di alam bebas di dalam hutan itu memberi efek sangat besar dan mendalam bagi pertumbuhan jiwa dan raga putra-putra Pandu yang disebut Pandawa. Kelak, sesudah mereka dewasa, kelima putra itu akan memegang peranan penting dalam sejarah dan membuat seisi dunia kagum.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Kehidupan di dalam hutan sangat tenang. Pohon-pohonan dan majemuk hewan hidup hening bersama insan yang menghuni hutan itu. Mereka bagaikan satu keluarga besar yang hidup selaras dengan alam. Memang demikianlah seharusnya, lantaran Yang Maha Kuasa telah membuat alam semesta seisinya dengan tatanan yang adil bagi setiap makhluk ciptaanNya.
Pada suatu pagi di ekspresi dominan semi yang indah, Pandu dan Dewi Madri duduk melongo memikirkan kutukan yang membuat mereka sengsara. Mereka sedih mencicipi gairah asmara yang terpendam dan tak mungkin tersalur- kan, padahal alam di sekitar mereka sedang mengenakan busananya yang terindah. Bunga-bunga bermekaran menaburkan keharuman yang semerbak, burung-burung berkicau riang dan aneka margasatwa bercengkerama memuaskan nafsu berahi dalam udara ekspresi dominan semi yang segar.
Pandu memandang sekelilingnya, kemudian menatap Dewi Madri yang jelita. Terpengaruh oleh keindahan alam dan suasana ekspresi dominan semi yang penuh gairah, ia lupa diri. Dengan penuh gairah ia memeluk Dewi Madri dan men- cumbunya. Dewi Madri berusaha menolaknya, tapi tak kuasa. Mereka segera karam dalam olah asmara yang menggebu-gebu. Tetapi... tiba-tiba Pandu roboh dan seketika itu juga menghembuskan napas yang pengha- bisan. Kutuk-pastu, yang dilontarkan resi yang bermetamorfosis dalam rupa kijang yang mati dipanah oleh Pandu, mengatakan kesaktiannya.
Dewi Madri sangat sedih, lebih-lebih lantaran ia merasa berdosa dan bertanggung jawab atas kematian Pandu. Ia segera menghadap Dewi Kunti, memohon semoga perempuan itu bersedia mengasuh anak-anaknya lantaran ia akan menyusul suaminya dengan melaksanakan satya. Tak ada yang sanggup mencegahnya. Dewi Madri melaksanakan satya dengan menerjunkan diri ke dalam api pembakar mayit suaminya.
Para resi dan para pertapa yang iba melihat Dewi Kunti dan anak-anaknya kemudian mengantarkan mereka ke Hastinapura. Ketika itu Yudhistira, sulung di antara para Pandawa, gres berusia belasan tahun. Sampai di Hastina- pura, rombongan itu menghadap Bhisma. Para resi dan pertapa itu mengabarkan mangkatnya Raja Pandu dan menyerahkan Dewi Kunti dan kelima putra Raja Pandu ke dalam asuhan Bhisma. Mendengar kabar itu, seisi kera- jaan berkabung. Widura, Bhisma, Wyasa, dan Dritarastra kemudian melaksanakan upacara persembahyangan untuk mendoakan arwah Raja Pandu yang manunggal paratman kekal awet
Bagawan Wyasa berkata kepada Satyawati, nenek Raja Pandu, “Masa lampau telah berlalu bersama suka duka- nya, tetapi masa depan akan tiba membawa kedukaan yang lebih menyakitkan. Dunia ini telah memikul kegaira- han orang muda yang terbuai mimpi-mimpi. Sekarang dunia akan memasuki jaman yang penuh dosa, kepahitan, kesedihan, dan penderitaan. Tak ada yang sanggup menghin- darinya. Waktu terus berjalan, menyusuri garis takdirnya. Engkau tak usah menunggu untuk menyaksikan semua malapetaka yang akan menimpa anak keturunanmu. Akan lebih baik bagimu jikalau kamu meninggalkan Hastinapura dan melewatkan hari-harimu dengan bersamadi dan bertapa di dalam hutan.”
Satyawati mendapatkan nasihat Bagawan Wyasa. Bersama Ratu Ambika dan Ratu Ambalika, ia pergi ke hutan. Ketiga ratu yang telah lanjut usia itu melewatkan hari-hari mere- ka dengan bersamadi dan menyucikan diri serta berdoa semoga anak keturunan mereka terhindar dari malapetaka. Itulah yang mereka lakukan, hari demi hari, bulan demi bulan, hingga mereka mencapai moksha.
Bersambung...
Pada suatu hari Raja Pandu pergi berburu di hutan. Di dalam hutan itu ada seorang resi yang sedang asyik bercengkerama dengan istrinya dan menyamar sebagai sepasang kijang. Pandu yang melihat sepasang kijang itu tidak menyangka bahwa mereka yaitu jelmaan seorang resi dan istrinya. Dia mengangkat panahnya, membidik mereka. Dan... meluncurlah anak panah dari tangan Pan- du, melesat cepat, sempurna menancap pada badan si kijang jantan.
Kijang itu jatuh terguling. Luka berdarah-darah. Dalam keadaan sekarat, kijang jantan itu berubah menjadi resi dan mengucapkan kutuk-pastu terhadap Pandu, “Hai, lelaki penuh dosa, rasakan kutukanku. Engkau akan menemui ajalmu sesaat sesudah engkau menikmati olah asmara dengan istrimu.” Setelah melontarkan kutukannya, resi itu menghembuskan napas yang penghabisan.
Pandu sungguh kaget mendengar kutukan sang resi. Dengan perasaan frustasi ia memikirkan tanggapan kutukan itu. Akhirnya ia tetapkan untuk mengundurkan diri dari kerajaan dan menyerahkan semua urusan kerajaan kepada Bhisma dan Widura. Pandu tetapkan untuk hidup mengembara di hutan bersama kedua istrinya untuk menyucikan diri dengan bersamadi dan bertapa.
Dewi Kunti sedih melihat suaminya terkena kutuk- pastu. Ia tahu, bekerjsama suaminya ingin sekali mempu- nyai keturunan tetapi tak kuasa mewujudkannya lantaran kutukan itu. Sebagai istri yang menyayangi dan setia kepada suaminya, ia merasa wajib menolong Pandu. Karena itu ia menceritakan diam-diam mantra mistik yang diterimanya dari Resi Durwasa.
Pandu mendesak kedua istrinya untuk memakai mantra itu guna memanggil dewa-dewa dari kahyangan. Dewi Kunti dan Dewi Madri menyanggupi seruan suami mereka. Bersama-sama mereka mengucapkan man- tra itu dan memohon semoga mereka dikaruniai anak.
Demikianlah yang terjadi. Kedua istri Pandu mengucap- kan mantra dan permohonan mereka dikabulkan. Lima yang kuasa turun dari kahyangan menemui kedua perempuan itu. Kemudian, dengan cara mistik Dewi Kunti melahirkan tiga putra dan Dewi Madri melahirkan putra kembar. Kelima putra itu dibesarkan di tengah hutan dalam asuhan orangtua mereka, dibantu para resi dan para pertapa di hutan itu.
Putra Dewi Kunti yang tertua diberi nama Yudhistira, artinya ‘yang teguh hati dan teguh doktrin di medan perang’. Putra ini lahir sebagai titisan Batara Dharma, Dewa Keadilan dan Kematian, dan disegani lantaran keteguhan hatinya, rasa keadilannya, dan keluhuran wibawanya. Putra kedua diberi nama Bhima atau Bhimasena, terlahir dari Batara Bayu, Dewa Angin. Bhimasena disegani sebagai penjelmaan wujud kekuatan yang luar biasa pada manu- sia. Ia dilukiskan sebagai orang yang pemberani dan berperilaku kasar, tetapi berhati lurus dan jujur. Putra ketiga diberi nama Arjuna, terlahir dari Batara Indra, Dewa Guruh dan Halilintar. Arjuna, yang berarti ‘cemerlang, putih higienis bagaikan perak’ disegani sebagai penjelmaan sifat-sifat pemberani, kebijaksanaan yang luhur, dermawan, lembut hati dan berwatak kesatria dalam membela kebenaran dan kehormatan. Putra kembar Dewi Madri diberi nama Nakula dan Sahadewa dan terlahir dari Dewa Aswin yang kembar, putra Batara Surya, Dewa Matahari. Putra kembar itu melambangkan keberanian, semangat, kepatuhan, dan persahabatan yang kekal.
Kehidupan di alam bebas di dalam hutan itu memberi efek sangat besar dan mendalam bagi pertumbuhan jiwa dan raga putra-putra Pandu yang disebut Pandawa. Kelak, sesudah mereka dewasa, kelima putra itu akan memegang peranan penting dalam sejarah dan membuat seisi dunia kagum.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Kehidupan di dalam hutan sangat tenang. Pohon-pohonan dan majemuk hewan hidup hening bersama insan yang menghuni hutan itu. Mereka bagaikan satu keluarga besar yang hidup selaras dengan alam. Memang demikianlah seharusnya, lantaran Yang Maha Kuasa telah membuat alam semesta seisinya dengan tatanan yang adil bagi setiap makhluk ciptaanNya.
Pada suatu pagi di ekspresi dominan semi yang indah, Pandu dan Dewi Madri duduk melongo memikirkan kutukan yang membuat mereka sengsara. Mereka sedih mencicipi gairah asmara yang terpendam dan tak mungkin tersalur- kan, padahal alam di sekitar mereka sedang mengenakan busananya yang terindah. Bunga-bunga bermekaran menaburkan keharuman yang semerbak, burung-burung berkicau riang dan aneka margasatwa bercengkerama memuaskan nafsu berahi dalam udara ekspresi dominan semi yang segar.
Pandu memandang sekelilingnya, kemudian menatap Dewi Madri yang jelita. Terpengaruh oleh keindahan alam dan suasana ekspresi dominan semi yang penuh gairah, ia lupa diri. Dengan penuh gairah ia memeluk Dewi Madri dan men- cumbunya. Dewi Madri berusaha menolaknya, tapi tak kuasa. Mereka segera karam dalam olah asmara yang menggebu-gebu. Tetapi... tiba-tiba Pandu roboh dan seketika itu juga menghembuskan napas yang pengha- bisan. Kutuk-pastu, yang dilontarkan resi yang bermetamorfosis dalam rupa kijang yang mati dipanah oleh Pandu, mengatakan kesaktiannya.
Dewi Madri sangat sedih, lebih-lebih lantaran ia merasa berdosa dan bertanggung jawab atas kematian Pandu. Ia segera menghadap Dewi Kunti, memohon semoga perempuan itu bersedia mengasuh anak-anaknya lantaran ia akan menyusul suaminya dengan melaksanakan satya. Tak ada yang sanggup mencegahnya. Dewi Madri melaksanakan satya dengan menerjunkan diri ke dalam api pembakar mayit suaminya.
Para resi dan para pertapa yang iba melihat Dewi Kunti dan anak-anaknya kemudian mengantarkan mereka ke Hastinapura. Ketika itu Yudhistira, sulung di antara para Pandawa, gres berusia belasan tahun. Sampai di Hastina- pura, rombongan itu menghadap Bhisma. Para resi dan pertapa itu mengabarkan mangkatnya Raja Pandu dan menyerahkan Dewi Kunti dan kelima putra Raja Pandu ke dalam asuhan Bhisma. Mendengar kabar itu, seisi kera- jaan berkabung. Widura, Bhisma, Wyasa, dan Dritarastra kemudian melaksanakan upacara persembahyangan untuk mendoakan arwah Raja Pandu yang manunggal paratman kekal awet
Bagawan Wyasa berkata kepada Satyawati, nenek Raja Pandu, “Masa lampau telah berlalu bersama suka duka- nya, tetapi masa depan akan tiba membawa kedukaan yang lebih menyakitkan. Dunia ini telah memikul kegaira- han orang muda yang terbuai mimpi-mimpi. Sekarang dunia akan memasuki jaman yang penuh dosa, kepahitan, kesedihan, dan penderitaan. Tak ada yang sanggup menghin- darinya. Waktu terus berjalan, menyusuri garis takdirnya. Engkau tak usah menunggu untuk menyaksikan semua malapetaka yang akan menimpa anak keturunanmu. Akan lebih baik bagimu jikalau kamu meninggalkan Hastinapura dan melewatkan hari-harimu dengan bersamadi dan bertapa di dalam hutan.”
Satyawati mendapatkan nasihat Bagawan Wyasa. Bersama Ratu Ambika dan Ratu Ambalika, ia pergi ke hutan. Ketiga ratu yang telah lanjut usia itu melewatkan hari-hari mere- ka dengan bersamadi dan menyucikan diri serta berdoa semoga anak keturunan mereka terhindar dari malapetaka. Itulah yang mereka lakukan, hari demi hari, bulan demi bulan, hingga mereka mencapai moksha.
Bersambung...