Pertemuan Singkat - Cerpen Cinta

PERTEMUAN SINGKAT
Karya Aulia Febrianti Vanya Putri

Aku percaya akan keajaiban. Magic, sesuatu yang kita anggap tak pernah terjadi sanggup terjadi. Dari hal yang mustahil, sanggup menjadi hal yang menakjubkan. Mungkin, saya memang lebih banyak berada didalam dunia mimpi daripada berada didunia nyata. Aku sering berada didunia khayalku daripada didunia yang kini saya jalani. Tapi, saya bahagia dengan itu semua. Bukannya saya tak bersyukur dengan apa yang sudah saya miliki. Aku hanya menyalurkan semua hal yang saya sukai melalui mimpi. My Love Dream.
“Hellow, Roby. Lo jangan ngelamun terus ya. Kesambet gres tahu rasa lo.” Aku menatap Chandra dengki. Bisa-bisa nya beliau mengganggu rutinitasku. “Apaan deh lo Cha. Siapa juga yang ngelamun,” saya menjulurkan pengecap merahku kearahnya. Dia tersenyum kearahku dengan gugusan besi penyangga di giginya. Ehh, tunggu dulu. Warna besi itu pink atau saya yang salah lihat.
“Ehh Chaca, lo ganti warna pagar gigi lo lagi? Tapi kok warna nya pink,” saya sedikit tersenyum menahan tawa, jikalau saja saya ingat disini kantin sekolah. Mungkin, saya sudah tertawa bebas melihatnya. “Sial lo, biarin napa gue ganti warna behel. Dan inget, nama gue Chandra bukan Chaca.” Chandra melipat kedua tangannya di dada.
“Sorry-sorry, abisnya lo ganti behel warna nya pink. Cocok tuh, nama lo jadi Chaca bukan Chandra,” saya membekap mulutku dan tertawa kecil disana. Chandra menatapku dengan wajah datar tanpa ekspresi. “Gimana jikalau Natasha lihat lo? Bisa abis lo diketawain pacar sendiri,”Chandra sedikit menggaruk tengkuknya, mungkin beliau bingung. “Yaudahlah, gakpapah kali buat pacar sendiri seneng. Dapet pahala,”
“Yayaya... Percaya ajadah gue mah,”
**
Pertemuan Singkat
Aku memotret objek yang sangat indah, menurutku. Seorang gadis yang tengah duduk di bibir pantai dengan tangan yang memeluk kedua lututnya. Dengan mata yang menatap hamparan bahari yang mulai menguning terkena sinar matahari yang siap tenggelam. Sudut bibirku mulai terangkat menyaksikan adengan itu. Kalau saja saya memiliki sedikit keberanian untuk menyapanya. Sayangnya saya tak punya sama sekali. Aku terlalu takut untuk melaksanakan itu. Takutnya, tiba-tiba ada pemuda berbadan besar yang menghampiri saya ketika dengannya. Dan pemuda itu ternyata pacarnya. Kayak di sinetron-sinetron.
Setelah sekian usang saya memandangi gadis berambut hitam pekat itu. Aku mulai tersadar dan dengan keberanian yang hanya 10%, akibatnya saya nyamperin beliau deh. “Emm.. Hay!” kataku, tanganku yang semula mau menyentuh pundaknya. Kini terhenti karna beliau sudah melirik ku duluan. Aku tersenyum getir kemudian menggaruk tengkukku. Malu!
“Kamu siapa?” tanyanya. Omaigat, suaranya lembut banget. “Emm.. Gue Roby. Lo ?” tanyaku sembari duduk disampingnya. Dia tersenyum manis dengan kacamata hitamnya yang menciptakan mata sipitnya sedikit tertutupi. “Aku Sinta,” saya tersenyum mendengarnya. Huh.. Mau ngomong apalagi nih?
“Kamu dari tadi disini?” tanyanya, mungkin beliau tahu kegelisahan ku. Aku mengangguk kemudian memperlihatkan kameraku yang terdapat figura gadis berkacamata itu. “Itu foto aku? Kamu ngambil foto saya diem-diem?” beliau memukul pelan bahuku sambil meraih kameraku. “Mau diapain?” tanyaku. “Mau ngapus foto aku,” dengan segera saya merebut kembali kamera hitam itu dari tangannya.
“Kok diambil?” saya tersenyum kemudian menyimpan kembali kamera itu kedalam tas punggung hitam itu. “Jangan dihapus ya, kan bagus.” Dia tersenyum kemudian mengangguk. Sinta kembali menatap hamparan bahari yang sudah mulai menghitam. Matahari tampaknya sudah singgah di tempatnya. “Aku pulang dulu ya,” Sinta berangkat dari duduknya kemudian meninggalkan ku yang masih mematung. Setelah gadis bermata sipit itu benar-benar tak terlihat lagi, saya mulai tersadar dari lamunanku. “Bego.. Kenapa gue gak minta nomor handphone nya. Kalau gak Facebook atau Twitter, biar simpel ngehubungin dia,”
**

Hari ini, sekolah diliburin, entahlah kenapa. Katanya sih, ada rapat. Basi, setiap kali itu aja alesannya. Udah capek-capek tiba kesekolah. Tadi malem bergadang ngapalin rumus-rumus Fisika, karna mau ulangan. Malah gini, mana tadi pagi belum sarapan. Mending, kini mampir ke warung pinggir jalan. Gak mungkin kan, jikalau ke restaurant. Gak ada duit bro..
Dengan langkah yang pelan, ajun yang dimasuki ke saku celana abu-abuku. Ya.. Kerenlah gue dengan gaya kayak gini. Aku memasuki warung makan yang sedikit ramai itu. “Bu, nasi ya.. Lauknya terserah deh.” Aku menduduki dingklik yang sudah disediakan. Sambil nunggu, saya lebih menentukan mainin handphone. “Bu, saya nganterin masakan ini kedepan dulu ya.” Samar-samar saya mendengar bunyi gadis, sangat lembut. Aku mendongakkan kepalaku. Dan.. Dia, cewek berkacamata dan bermata sipit itu. Berambut hitam lekat dan dia, yang menjadi objek fotoku kemarin.
Ternyata beliau anak gadis dari penjaga warung daerah makan ku sekarang. Yang ada difikiranku kemarin, beliau anak orang kaya. Ternyata.. Tapi, saya gak akan ilfeel. Aku suka dengan perilaku beliau yang sederhana. Aku tersenyum ketika beliau berjalan melewatiku. Tapi, senyum ku memudar ketika beliau tak membalasnya sama sekali. Dia itu gak lihat senyuman mautku atau apa sih. “Ini nak masakan nya,” saya melirik Ibu penjaga warung itu yang tengah memegang sepiring nasi dengan beberapa lauk disana. Aku tersenyum kemudian mengambil piring itu.
“Huh.. Allhamdulillah, kenyang juga gue,” sehabis kurang lebih 17 menit piring itu telah bersih, hanya terdapat beberapa butir nasi, gue gak ngitung lah, berapa usang gue makan. Akupun bangun dari duduk ku, sedikit kram kebanyakan duduk. “Ini Bu, uangnya,” saya memperlihatkan dua lembar uang lima ribuan, dan Ibu itu memperlihatkan satu lembar uang dua ribuan. Aku tersenyum ramah kemudian berjalan keluar warung nasi dan celingak-celinguk mencari seseorang. Siapa lagi yang saya cari, selain dia. Gadis manis yang namanya Sinta.

Kenapa beliau gak balik-balik, apa beliau nyasar? Mikir apa, gak mungkinlah beliau nyasar. Tapi, beliau kemana? Pusing, mending saya pulang aja deh. Aku berjalan kearah sisi kiri, dari kejauhan saya melihat beliau lagi.. Aku tersenyum kemudian berlari menghampirinya. Aku menarik lembut pergelangan tangannya dan menariknya ke gang yang sempit. Dia berusaha melepaskan genggaman tanganku. Kayaknya, saya gak berpengaruh deh megang dia, kenapa beliau gak sanggup ngelepasin nya. Kayaknya beliau belum lihat wajah ganteng ku. Makanya beliau berontak gitu. “Lepasin aku, jangan apa-apain aku.” Yaelah, siapa juga yang mau ngapa-ngapain dia.
“Kenapa takut banget sih? Ini gue, inget gak?” Sinta mengangkat wajahnya dan menatap wajahku. Dia tersnyum. “Ternyata kamu, bikin takut aja.” Dia melirik kearah tangannya yang masih saya genggam. Dengan segera saya melepaskan genggamanku. Tuh kan, gue malu lagi. Dia tersenyum, “Ada apa?” tanyanya. “Gakpapah, gue boleh minta nomor handphone lo gak?” kataku, beliau tersenyum kembali. Gak capek apa senyum terus. “Aku gak punya handphone.” Aku menepuk keningku frustasi. Sedetik kemudian saya tersenyum manis. Semanis gula.
“Yaudah, jikalau gitu, sanggup gak kita ketemu lagi di pantai kemarin?” kataku. Dia terlihat berfikir sejenak kemudian menganggukkan kepalanya. Aku tersenyum mendengarnya, bukan, tapi melihatnya. “Kalau gitu saya pulang dulu ya,” ceilah, bahasanya aku-kamu. Sinta mengangguk, dan saya meninggalkan nya. Seharusnya, cewek duluan yang pergi. Ini malah kebalik.
**

“Dari awal pertemuan antara diriku dan dirimu. Gue mulai menyukaimu...” bukan-bukan, ahh.. Pusing mikirin kata-kata yang lagi saya rangkai buat Sinta. Mudah-mudahan, beliau masih usang kesininya. Aku mau ngomong apa coba, galau banget. “Hay, udah usang nunggu?” saya melirik kearah samping, terdapat Sinta yang semakin anggun dengan balutan celana jeans dan kaos putihnya dengan goresan pena Always Thing About You. Aku tersenyum memandangnya, galau juga. Kata-kata yang saya rangkai belum selesai. “Mau ngapain ngajak saya kesini?” tanyanya. Aku nyengir kearahnya. “Emm..” saya menggigit kuku telunjukku. Sangking bingungnya mau ngomong apa. Sinta menautkan alisnya, saya menatap mata coklat milik Sinta yang di batasi oleh kacamatanya.
“Dari awal pertemuan singkat kita. Gue udah ngerasa beda sama diri lo, gue cuma berharap sanggup ketemu lo lagi dilain kesempatan. Rasanya, gue gak sanggup banyak berharap sanggup ketemu lo lagi. Dan sejak ketemu sama lo, gue sering bermimpi buat milikin lo seutuhnya. Gue cuma mau lo yang jadi pacar gue, kalaupun, kita gak berjodoh. Itu gak masalah, yang penting gue udah pernah jadi bab dari hidup lo.” Gak tahu dari mana, kata-kata itu udah dateng di fikiran ku. Sinta tersenyum kemudian mengarahkan pandangannya kearah hamparan pantai yang tenang, tak ada ombak sama sekali.
“Aku juga ngerasain hal yang sama. Tapi, kita beda. Kamu dari orang yang berada, sedangkan saya dari kalangan orang bawah. Kita gak mungkin sanggup bersatu.” Aku memandang tak percaya dengan ucapannya, apa benar dengan semua ucapan yang keluar dari mulutnya. “Tapi, itu bukan hal yang sanggup memisahkan kita. Gue sayang lo, sayang banget.”
“Emm.. Apa kau sanggup nerima semua kekurangan aku?” tanyanya, saya tersenyum kemudian mengangguk. “Jadi, apa tanggapan lo?” tanya ku, Sinta mengerutkan keningnya. Kenapa? “Kamu kan belum bilang Mau gak kau jadi pacar aku, gitu.” Aku memukul keningku, kenapa sanggup lupa gitu coba. “Yaudah gue ulang. Lo mau gak jadi pacar gue?” tanyaku, Sendi tersenyum kemudian mengangguk. Gitu aja ribet, bilang aja dari tadi mau.
PROFIL PENULIS
Hay teman:) nama gue Aulia. Ada juga yang manggil Vany. Gue tinggal di B. Lampung. Nulis, yaitu hobi gue. Sekarang gue duduk di kelas IX. Bentar lagi masuk SMA. Yang mau ngehubungin gue sanggup lewat Facebook. Nih nama fb gue Aulia'bismaniac Cie Balabala. Kasih saran nya ya..


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel